KUMPULAN CERPEN

Menjadi Diri Sendiri
Aku berbeda sekali dengan kakakku. Tak ada yang mirip sama sekali padahal kami saudara kandung. Kakakku cantik, matanya besar, tubuhnya tinggi semampai, kulitnya bersih, rambutnya hitam panjang dan orangnya lemah lembut. Sedangkan aku? Tubuhku kurus, hitam, mata sipit dan yang paling aku benci suaraku keras sekali.
Ini Hari pertamaku masuk SMA. Seorang guru masuk kelas lalu menyuruh para siswa berkenalan. Sialnya, aku mendapat giliran yang pertama. Aku pun mulai memperkenalkan diri. “Nama saya Lusiana,” kataku dengan suara keras. Semua anak menahan tawa melihatku. Aku jadi tidak nyaman melihat tatapan mata mereka.
“Blacky.” Sapa seorang anak laki-laki yang duduk di bangku paling depan begitu aku akan kembali ke tempat dudukku.
“Apa? Kamu memanggilku?” sahutku dengan suara keras dan kesal. Semua mata tertuju padaku, sepertinya mereka heran. Anak itu lalu ditunjuk guru untuk memperkenalkan dirinya. Ternyata namanya adalah Dendi Setia Wibawa.
“Wow keren sekali namanya, tapi tidak dengan orangnya,” aku menyindirnya. Dia hanya tertawa, seperti tak merasa kalau dia sedang aku sindir.
Ketika bel istirahat berdering. Aku dan Vania, teman sebangkuku yang juga teman SMPku, tinggal di dalam kelas saja. Kami sedang malas keluar. Sambil berlalu di depanku, Dendi mengucap, “Hai hitam” kepadaku lalu keluar kelas.
“Van, memangnya penampilanku sangat aneh ya?” tanyaku pada Vania.
“Tidak kok, tidak aneh. Tapi kamu beda dengan yang lain.”
“Yah, itu sih sama aja”.
“Sebenarnya kamu manis kok,” kata Vania meyakinkanku.
Olokan Dendi itu begitu menyinggungku. Ini tidak pertama kalinya, dulu aku pernah dijuluki “anak tiri” oleh anak-anak yang benci denganku. Aku juga pernah dibedakan dengan kakaku, aku mendengar bisik-bisik teman, “Adik sama kakak kok beda banget ya?” mendengarnya rasanya aku sakit hati. Ingin rasanya aku menangis. “Bu, ibu dulu ngidam apa sih, kok sampai lahir anak kayak aku? Apa aku bukan anakmu?” kataku ingin menangis.
“Ya ampun Lusia jangan bilang seperti itu, kamu anak Ibumu. Dia tidak membeda-bedakan kamu kan?” ucap Vania menenangkanku.
***
Sepulang sekolah, aku langsung masuk kamar. Kamarku terasa hening, udara dari jendela terasa dingin, ingin rasanya aku berteriak. Aku lalu mengaca, “Ya Allah apakah aku manusia terjelek dan teraneh di dunia ini? Mengapa tak ada yang mau menghargai penampilanku? Aku harus merubah penampilanku,” kataku dalam hati. “Uang tabunganku akan aku gunakan untuk membeli pemutih kulit. Setelah berganti pakaian, aku pergi ke salon kecantikan dan membeli beberapa kosmetik pemutih, lulur, dan kosmetik pemutih lainnya. Kakak dan ibuku heran dengan apa yang aku lakukan karena biasanya sebelum berganti pakaian aku langsung menuju meja makan.
Setelah membeli apa yang aku perlukan, aku langsung mandi. Aku pakai lulur pemutih yang tadi kubeli. Uh… baunya tidak enak, tapi aku paksakan demi kulitku. Malam harinya kulitku terasa gatal sekali. Pagi harinya kulitku memerah, aku tak bisa keluar kamar, karena takut Ibu memarahiku.
Jam 06.30 aku belum keluar kamar juga. Ibu mulai memangil-manggilku. Akhirnya kuputuskan untuk keluar kamar.
“Bu, hari ini aku tidak masuk sekolah ya?”
“Kenapa Lusia, kamu sakit ?” tanya ibu cemas.
“Lihat, wajah, tangan dan kakiku Bu !” kataku sambil membuka lengan bajuku.
“Kenapa ini Lusia, kamu alergi makanan apa?”
“Penjelasannya nanti saja bu. Ayo Ibu antar aku ke dokter kulit sekarang,” kataku merengek. Akhirnya aku diantar ke dokter kulit.
Dokter menjelaskan kalau aku alergi kosmetik. Kulitku sangat sensitif terhadap kosmetika pemutih. “O… jadi kamu memakai kosmetik pemutih, buat apa Lusia?” tanya Ibu tegas.
“Aku ingin kulitku putih seperti Kak Reni Bu! Aku malu kalau jalam sama Kak Reni!”
“Kenapa malu? Tuhan menciptakan orang bebeda-beda, kita tinggal menerima saja apa yang telah dibuat-Nya”.
“Benar juga bu, tapi aku tak berfikir seperti itu. Aku hanya mencari jalan pintas. Ini semua gara-gara aku terlalu sensitif dengan omongan orang,” sahutku dengan nada lemas. Di rumah aku banyak bercerita pada Ibu dan Kak Reni tentang Dendi yang mengolok-olokku.
***
Setelah beberapa hari tidak masuk seklah, hari ini aku sudah boleh bersekolah. Aku mulai hariku dengan senyuman.
“Sudah sembuh Lusia? Kamu benar alergi kosmetik ya? Kok bisa sih?” tanya Vania.
“Iya Van, mungkin pada saat itu emosiku memuncak jadi aku langsung mencari jalan pintas, tanpa tahu akibatnya !”
“Kalau sudah tahu gitu, besok-besok jangan diulangi lagi ya. Aku kangen sama kamu yang dulu. Dulu kamu anak yang ceria, cuek sama apa yang orang omongkan,” ketus Vania.
“Aku juga Van, sekarang aku berjanji. Aku akan menjadi diriku sendiri”.
“Nah begitu. Biar saja luarnya seperti apa yang penting punya inner beauty .“Eh, terus bagaimana dengan ucapan-ucapan Dendi?”
“Ku anggap seperti angin lalu. Aku do’akan semoga dia sadar.”
“Amien…” ucapku dan Vania serentak seperti paduan suara.
***

PUTRI SEMALAM
Sinta adalah murid SMA yang mempunyai karakter unik. Dia cantik, baik hati, dan pemaaf tetapi sangat tomboy, sehingga teman-teman memanggilnya “Preman Kelas”. Dandanannya tak lepas dari rambut pendek dan tidak pernah pakai bedak atau krim wajah.
Suatu ketika sekolahnya ada acara besar yaitu konser music dan perpisahan. Orang luar di ijunkan untuk masuk dan melihat konser musik tersebut. Teman-teman Sinta berpenampilan teramat beda, tak seperti saat sekolah. Mereka berdandan ala orang dewasa. Tidak dengan Sinta, seperti biasa Sinta berdandan seperti anak laki-laki. Ia memakai celana jeans, kaos oblong, dan sandal jepit. Sedangkan teman-temannya berdandan seperti putri dan memakali sepatu dan sandal yang serasi dengan baju yang dikenakan. Pada saat acara baru dimulai tidak sengaja dia berjumpa dengan kawan di SMPnya yang bernama Damar. Damar tak lupa dengan Sinta karena penampilannya telah berubah dari dulu. Dia menyapa Sinta. Sinta bingung dan tercengang. Tiba-tiba ada anak laki-laki ganteng, gaul, imut, manis, menegur dan menyapanya. Sinta agak lupa sama Damar karena perubahan penampilannya dari SMP dulu yang kuper dan pemalu.
Mereka akhirnya bercerita panjang lebar tentang perjalanan sekolah di SMA sampai masalah pacar. Sinta hanya menjadi pendengar setia karena dia tak pernah pacaran jadi tidak ada yang bisa diceritakan. Damar bertanya tentang cowoknya. Sinta tertawa mendengarnya.
“Cowok mana yang suka sama aku, lihat aja tidak mau apalagi menjadikan pacar.”
Mereka terdiam beberapa saat.
“Lihat saja penampilanmu seperti preman. Berdandanlah, pakai bedak, parfum dan tampil beda dong?” ucap Damar.
“Yang penting kan PD. Daripada berdandan seperti orang lain tapi tidak PD? Aku heran kenapa lelaki hanya melihat perempuan dari penampilan fisiknya saja?” jawab Sinta ketus.
“Tapi kodratmu sebagai wanita. Wanita cenderung anggun dan cantik. Kamu tidak PD karena tidak terbiasa. Jika kamu terbiasa, lama-kelaman akan menjadi ciri khasmu dan akhirnya kamu jadi PD.”
***
Seminggu telah berlalu, pada malam minggu Sinta ada acara ultah temannya, dia bingung harus berdandan bagaimana karena dia tidak bisa berdandan sedangakan teman pada ultah ini adalah feminim dan glamour. Di dalam kamar dia mondar-mandir, kelabakan bingung harus bagaimana, tak sengaja ibunya melihat dan sang ibu pun membantu mendandani purtinya. Ibu meminjamkan baju saat muda dulu, karena Sinta tidak punya gaun, yang dia punya hanya kaos dan kaos.
Walau baju itu lama tapi Sinta terlihat cantik ditambah lagi, rambutnya ditambah jepit rambut berwarna silver yang beling-beling menambah kesempurnaan dandannya. Tapi dia tak segera berangkat, dia terdiam di kamar sambil memandangi jam, detik berganti menit, satu jam berlalu dari undangan yang diberikan. Sang ibu bertanya kenapa dia tak segera berangakat. Kata Sinta, dia tidak PD. Akhirnya dengan bujukan dan rayuan ibu, dia pun berangkat.
Dia telah terlambat sesampainya disana. Acarapun telah dimulai. Ketika Sinta membuka pintu dan masuk, ratusan mata dan pandangan tertuju pada dia. Ia bagaikan putri datang dari khayangan, sungguh cantik. Karena cantiknya sahabat dan teman-temannya hampir tak tak mengenalinya. Pengakuan kecantikan terlontar dari banyak temannya. Pujian itu menambah kepercayaan diriya. Dia semakin mantap untuk mengubah penampilannya sedikit demi sedikit. Bagaimanapun saya adalah wanita, katanya dalam hati. Malam itu, dia sangat bergembira bisa merasakan menjadi putri semalam yang disukai dan dipuji banyak orang.

***








DIARY HIDUP ANDI
Pagi itu jam menunjukkan pukul 06.10. Andi beranjak dari kamarnya dan mengambil tas ranselnya di atas meja. Ketika mendekati kamar orang tuanya, dia mendengar keduanya bertengkar. Mendengar kedua orang tuanya bertengkar, dia jadi malas pergi ke sekolah. Dia sangat sedih melihat ulah orang tuanya itu. Dia memutuskan tidak pulang sebelum kedua orang tuanya berdamai.
Dia terus berjalan tanpa arah hingga siang hari. Ia tak peduli peluh didahinya meleleh. Andi berhenti di sebuah lapangan yang sunyi. “Tuhan, kenapa kau beri cobaan seperti ini? Kenapa tuhan? Andi berkata dalam hati. Dengan lirik Andi berkata, “aku sudah tidak punya siapa-siapa di dunia ini, aku tidak tahu harus bersandar kepada siapa?“ Tiba-tiba ia teringat ibunya yang kadangkala dihajar bapaknya jika sedang bertengkar. Andi memutuskan untuk kembali ke rumah. Ia takut tidak ada yang melerai mereka.
Sampai di depan rumah, Andi mengetuk pintu tapi tak ada yang membukakan pintu. Akhirnya Andi masuk. Dia mendengar isak tangis ibunya di kamar. Andi mengetuk pintu kamar ibunya. “Andi boleh masuk bu?” tanya Andi. ”Masuklah”, jawab ibu. Andi duduk di samping ibunya yang sedang menangis.
”Ada apa, Bu?”
”Maafkan ibu nak!”, jawab ibunya sambil menangis. ”Ibu,” kata ibu dengan terbata- bata.”Kamu jangan marah ya nak?, ibu dan ayahmu akan cerai”.
Andi tersentak,dia kaget. Dia tidak mengira hal yang ia takutkan benar-benar terjadi. Matanya berbinar menahan air jatuh dari matanya. Andi meninggalkan ibunya. Dia menangis di kamarnya. ”Andi benci ayah, kenapa ayah tega hianati ibu?” ucap Andi sambil melihat foto keluarga yang terpajang di meja dekat tempat tidurnya. Ia semakin sedih melihat keluarganya yang utuh dan bahagia di dalam foto itu karena kenyataannya kini semua tinggal kenangan saja keutuhan itu.
Hari-hari terus berjalan. Andi menjalani hari-harinya dengan penuh kesedihan, sakit hati, strees dan depresi berat, dia mudah marah dan sering murung. Kedua orang tuanya bercerai, disaat dia belum mengerti arti sebuah perceraian yang menghancurkan semua itu. Sejenak ia bisa melupakan dengan minum-minuman bersama teman-temannya. Apapun dia lakukan untuk melupakan semua itu. Tetapi disaat dia mulai sadar dari pengaruh minum-minuman, luka itu semakin dalam dan perih yang dirasa.
“Aku tidak bisa hidup seperti ini. Aku butuh orang yang dapat membuatku semangat dan yang bisa menyangiku. Aku iri dengan semua yang hidup bahagia dengan suasana indah kebahagiaan bersama keluarga. Sedangkan hidupku tiada bahagia. Kebahagiaanku hanyalah sesaat saja selama minuman keras bereaksi.” Keluh Andi pada dirinya sendiri.
***
Pada malam yang sunyi, dia melihat ibunya duduk termenung. Pandangannya kosog. Bajunya lusuh, rambutnya acak-acakan. Ia tidak memnemukan rumahnya yang selalu rapih, bersih seperti biasanya melainkan ruah yang kacau dan berantakan. Ia merasakan tubuhnya ringan melayang-layang seperti tak bernyawa. Ia ingin membuat ibunya tersenyum. Ia ingin memeluk ibunya, namun raganya begitu rapuh tak berdaya. Ia tidak bisa bergerak-gerak. Dia menangis dan menjerit, tetapi tidak bisa keluar suaranya. Ia memanggil-manggil ibunya tapi ibunya tidak menjawab karena ia tak bersuara. Andi ingin ibunya bahagia di sisa hidupnya. Ibunya telah banyak menderita karena ayahnya. Dia ingin membuat ibunya tersenyum. “Ibu… ibu,” Napasnya terengah-engah, jantungnya berdetak kencang. Rupanya dia bermimpi.
“Ya Allah maafkanlah semua kesalahanku yang selama ini aku lakukan dengan tanpa merasa bersalah. Meninggalkan semua apa yang engkau perintahkan dan aku melakukan sesuatu yang engkau larang, minum-minuman dalam keseharianku. Terimakasih Engkau mengingatkanku, menyadarkanku dengan mimpiku. Dengan semua ini aku sadar, akan semua peristiwa yang terjadi dan aku menyadari apa yang aku lakukan selama ini salah, aku tidak akan mengulangi semua perbuatanku ini.
Perubahan diawali dengan perubahan pula tak mungkin jika hidupku bisa berubah dan tak mungkin bisa juga kulakukan jika hanya dengan setengah hati. Tuhan, ku bulatkan tekatku untuk melangkah yang lebih baik untuk merubah semua kehidupan yang kelam ini. Ku yakin akan jadi orang sukses dengan tanpa mengenal kata putus asa,” kata agus dalam hati.
Sejak mimpi itu, Andi menjadi anak yang bertanggung jawab dan selalu membuat ibunya bahagia. Ia lanjutkan sekolahnya. Dia berpikir jauh ke depan tanpa mempedulikan hal-hal kecil atau besar yang menganggu pikirannya, termasuk ayahnya yang telah menyakiti bunya. Kenyataan itu dia jadikan sebagai kerikil tajam yang harus disingkirkan agar jalannya mulus dalam mencapai cita-cita.
***



















HIJRAH
Aku benci dengan kehidupan ini, aku benci dengan kehidupanku. Kenapa aku dilahirkan dari keluarga miskin? Keluarga yang penuh dengan kekurangan sehingga aku tidak bisa melanjutkan kuliah seperihalnya teman-temannku. Aku capek dengan hidupku yang tanpa pekerjaan. Tapi apalah yang bisa dilakukan lulusan SMA sepertiku? Kata-kata itu selalu aku lontarkan. Namaku Nisa, aku hidup dengan penuh kekurangan di sebuah desa yang terpencil. Bisa lulus SMA merupakan perjuangan yang luar biasa dalam keluargaku. Aku hidup bersama bapak, ibu tiri, dan adikku tiri.
Bapak sangat sayang padaku sehingga serigkali dia mengekangku karena tidak ingin aku kenapa-napa. Dari kecil aku hidup bersama bapakku, ibu kandungku meninggal karena sebuah kecelakaan ketika umurku 5 tahun. Suatu saat bapakku menikah lagi dengan perempuan lain yang sudah mempunyai anak. Aku tidak bisa berbuat apa-apa ketika bapakku memutuskan untuk menikah lagi.
Pada dasarnya ibu tiriku baik, tapi aku selalu berpikiran negative karena image ibu tiri selalu jahat. Aku tahu sebenarnya dia telah menganggapku sebagai anak, tapi tetap saja aku tidak bisa menganggapnya sebagai ibu. Tiada yang bisa mengantikan almarhumah ibuku. Karena ibu tiriku telah menganggap aku sebagai anaknya sendiri, aku sering dimarahi, dan disuruh-suruh. Aku menganggap diriku sebagai seorang pembantu layaknya. Sampai-sampai aku ingin pergi dari rumahku. Terkadang aku juga sering berantem sama adik tiriku.
Pada suatu pagi aku menemui bapakku untuk menceritakan apa yang ada dalam pikiranku. “Aku ingin menjadi seperti orang yang lain, hidup layak dan enak. Aku ingin mencari pekerjaan pak, aku ingin ke kota. Ada teman yang menawariku menjadi pelayan di sebuah toko besar. Aku mohon pak, izinkan aku,” kataku pada bapak. Bapak hanya diam aku bilang seperti itu.
“Pak, apa gunanya bapak menyekolahkanku sampai SMA? Dengan susah bapak bapak mencari uang untuk membayar uang sekolahku. Aku ingin merubah kehidupan kita pak,” tuturku. Aku pernah mendapatkan petuah dari guruku kalau tempat dimepati tidak memungkinkan lagi untuk memperbaiki kehidupan, lebih baik hijrah saja.
Nisa, bapak bukannya tidak mengizinkan kamu pergi, tapi bapak belum tega melepaskan kamu. Di Kota itu kejam, Nis. Sangat berbeda dengan di kampung kita ini, bapak tidak tega. Terus kamu mau kerja apa?”
“ Aku sudah nggak betah di rumah ini,” sahutku.
“Tidak betah kenapa?”
Aku hanya bisa diam ketika bapak bilang seperti itu. Mataku berkaca-kaca, lalu bapakku sambil berkata, “Sudahlah Nis, bapak mengizinkan kamu pergi”.
“Benar bapak mengizinkan aku pergi?”
“Ya, tapi kamu harus hati-hati disana.Jaga dirimu baik-baik. “
Tiba-tiba ibu tiri ku datang menghampiri aku dan bapak.
“Eh, ada apa ini? Aku dan bapak hanya melihat dengan tak acuh. Lalu ibu tiriku dengan suara yang keras kembali bertanya lagi, “Ada apa ini?” Lalu bapak menjawab pertanyaan ibu.
“Begini bu, Nisa ingin ke kota mencari pekerjaan. Dengan memotong pembicaraan bapak ibu menjawab “O, begitu. Baguslah itu,” jawab ibu.
"Nisa masih belum punya pengalaman kerja bu? Bagaimana kalau di sana nanti kenapa-napa?” Bapak berbicara dengan suara keras. Aku hanya diam, bapak selalu membela ku seperti itu.
“Kamu sudah besar, sudah lulus SMA. Sudah waktunya kamu keluar dari rumah, mencari pengalaman dan peghasilan. Aku mendukung niatmu, bukan karena aku senang kamu pergi dari kami, tetapi agar kamu bisa hidup mandiri untuk masa depanmu. Bekerjalah untuk dirimu sendiri. Tabung uangmu agar kelak bisa digunakan untuknmodal usaha.”
Ucapan ibuku semakin menguatkan niatku untuk pergi. Ternyata ib tiriku baik hatinya. Jika aku rasa-rasakan apa yang diucapkan ibu memang benar, namun karena dia ibu tiriku perasaanku menjadi sensitif sekali.
Suatu hari, tibalah saatnya aku meninggalkan bapakku. Aku berangkat ke kota dengan niat yang tulus dengan tekat yang kuat aku mencari pekerjaan. Aku berpamitan dengan bapak dan ibuku juga adikku.
“Pak aku pergi ya....jaga kesehatan bapak, aku janji akan pulang dengan membawa hasil. Nisa ingin membahagiakan bapak.” Bapak menangis karena tidak tega melihatku. Aku berpamitan dengan ibu tiriku,
“Bu jaga bapak ya?”
“Sudahlah berangkat saja, mantapkan lagkahmu, jemputlah masa depanmu.” Aku memandangi bapak, bapak tak kuasa menahan air matanya. Dengan air mata yang bercucuran , bapak memelukku.
Aku segera mengambil tas dan barang-barang yang akan aku bawa. Perlahan langkahku menjauh dari mereka. Aku dan temanku yang sudah menanti sejak tadi, pergi menuju terminal dengan air mata yang berlinang. Setiba di terminal kami mencari bus jurusan ke kota Surabaya. Bus sudah menanti kami. Kami langsung masuk ke dalam bus dan berdoa agar kami selamat sampai tujuan. Bus pun berjalan meninggalkan terminal.
***
Setelah delapan jam perjalanan sampailah kami di kota. Surabaya Kami turun dari bus. Aku pasti bingung jika tidak ada teman yang mengantarku ke kota ini. Bangunan megah tinggi menjulang, kendaraan berlalu-lalang silih berganti tiada henti, begitu banyak orang berkeliaran. Aku tidak tahu mana arah utara dan selatan. Aku sempat ragu tentang langkah yang aku ambil. Temanku mengajakku berjalan menuju tempat bus kota. Terbesit dalam pikiranku, kenapa aku nekat banget ke kota ini? Mau kerja apa aku ini? Tapi aku nggak boleh menyesal, aku harus menjemput masa depanku. Hatiku tidak akan mati walau dikota ini aku sengsara. Aku harus bisa berhasil.
***
“Kebetulan sekali, saya memang sedang mencari karyawan. Siapa nama mu?” tanya bos pemilik minimarket kepadaku. “Namaku Nisa bu, “ jawabku. Lalu Ibu tadi meminta temanku untuk mengantarku ke kamarnya untuk istirahat. Aku akan mulai bekerja keesokan harinya.
Akhirnya aku dapat kerja juga. Sesudah beberapa hari aku kerja, aku menelepon bapakku di desa. Aku kabarkan kalau aku sudah dapat kerjaan dan aku dalam keadaan sehat. Aku akan mengirimkan bayaranku ke desa dan sisanya akan aku tabung untuk modal usaha. Ya, dengan hijrah ini, semoga aku berani bercita-cita dan memperbaiki kehidupan.
***











Menabung Poin
Hari ini sinar matahari tidak terlalu panas, udara terasa segar. Sesekali suara burung terdengar sayup-sayup memecahkan alunan suara yang merdu. Embunya daun-daun dipagi hari yang membuat suasana pagi menjadi hening, tenang, dan hanya terdengar suara angin yang bertebaran dengan sepoi-sepoi. Itu menandakan dinginnya pagi hari yang menyenangkan bagi orang yang sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.
Tampak sebuah sekolah dengan banyak ruang-ruangan yang masih kosong belum ada penghuninya. Angin yang sedikit kencang menambah heningnya suasana sekolah yang terdengar suara pintu yang terbawa oleh angin. Disekolah SMA inilah, para anak didik menuntut ilmu dan bercanda dengan teman-teman, bergaul dan beradaptasi.
Setelah mentari menampakkan cahayanya, suasana sekolah menjadi ramai dan anak-anak berdatangan. Mereka ada yang tertawa-tawa dengan teman-temannya, belajar dan ada yang mencontoh pekerjaan rumah temannya karena semalam tidak mengerjakan pekerjaan rumahnya.
Suasana sekolah tidak tampak sunyi lagi ketika bel tanda masuk berbunyi tepatnya pukul 07.00 WIB. Anak-anak bergegas masuk kelas dan mengikuti pelajaran dengan baik. Tapi, tampak di sudut sekolah ada seorang siswa yang agaknya terlambat masuk kelas. Dia adalah Dimas.
Pagi ini Dimas terlambat lagi seperti hari-hari kemarin. Setiap kali sampai sekolah, suasana sekolah tampak sunyi dan tenang karena guru sudah mengajar di kelas. Dimas merupakan murid kelas XI yang acapkali terlambat masuk kelas. Setiap kali terlambat, ia harus minta izin ke guru piket. Oleh karena itu, guru piket yang bernama pak sidiq hafal betul dengan Dimas. Beliau sering marah dalam member nasehat sehingga dia tidak tahan mendengarnya.
“Dimas, kau terlambat lagihari ini? Apa kamu tidak pernah bangun pagi?” tanya Pak Sidiq.
“Maaf pak, semalam Dimas nonton sepak bola sampai pukul 03.30,” jawabku sekenanya dan kurang memperhatikan perkataan Pak Sidiq.
“Setiap Bapak dan Ibu guru menasehatimu, kamu tidak pernah mendengarkannya bahkan kamu malah melanggar nasehatnya”. Kata-kata Pak Sidiq seakan-akan kecewa pada Dimas.
“Ya pak! Dimas kan Cuma terlambat hari ini saja, “ jawab Sandi sekenanya.
“Keterlambatan kamu bukan hari ini saja. Kamu sudah berkali-kali hingga poin kamu bertambah terus. Pihak sekolah tidak lagi mau menampung siswa seperti kamu yang selalu melanggar tata tertib untuk mengembalikan kamu lagi ke orang tua kamu. Baru kelas XI saja, kamu mentang-mentang punya kuasa dengan berangkat paling awal dari temanmu,” pak Sidiq menyindir perilaku yang terus merajalela. Baru semester dua, kamu sudah mencapai rangking poin tertinggi diantara teman-temanmu.” Seraya pak Sidiq memberikan surat izin masuk kelas yang telah ditanda tanganinya.
Pak Sidiq merasa kesal, ia cepat-cepat meninggalkan Dimas. Dimasnya tidak pernah mau insaf. Dimas pun kembali melangkahkan kakinya ke kelas dengan santai tanpa ada perasaan bersalah atau beban sedikit pun.
Suasana kelas hening, dengan santainya Dimas masuk kelas tanpa salam.Di dalam kelas, Dimas membuat ulah buruk lagi. Ketika guru matematika sedang mengajar, Dimas mengoperasikan Hpnya.
“Apa yang kamu lakukan, Dimas?” Tanya guru matematika dengan suara lantang.Dimas tidak bisa mengelak. Hp disita oleh guru.
Ketika istirahat, Dimas dipanggil ke ruang BP. Dia diminta memberikan surat panggilan orang tua dari sekolah. Ada beberapa hal yang harus diketahui orang tua Dimas. Tidak hanya masalahnya yag serig terlambat atau membuat ulah di kelas. Terlehih dari itu, ternyata Dimas menyimpan video BF yang tidak semestinya dia lihat.
Sampai di rumah Dimas tetap saja menyembunyikan surat itu. Dimas takut kalau ayahnya marah. Pada malam harinya, Diamas memberanikan diri untuk memberikan surat panggilan itu. Ayahnya tidak bertanya penjang lebar kepada Dimas.Menurutnya lebih baik menanyakan ulah Dimas kepada gurunua saja. Walau dia diam saja, sebenarya dia sangat marah dan kecewa pada Dimas.
***
“Begini pak, Dimas ini anaknya susah sekali dinasehati, dia membuat guru-guru menjadi jengkel dan kesal. Dia berkali-kali membuat ulah. Dia sering terlambat.Dan yang lebih parah lagi, di Hpnya tersimpan video yang tidak sepantasnya dilihat oleh anak SMA,” ucap guru BK sabil menyerahkan HP Dimas. “Jadi, tujuan saya memanggil Bapak adalah membicarakan penyelesaian masalah Dimas. Apakah Dimas tetap bertahan disekolah ini atau pihak sekolah yang tidak sanggup lagi memperbaikiya, mengembalikan Dimas ke Bapak? Tinggal satu kali lagi kesempatan yang pihak sekolah berikan kepada Dimas untuk memperbaiki diri. Jika sekali lagi dia membuat kesalahan, dia harus dikeluarkan,” lanjut guru BP dengan tegas.
Selepas pembicaraan terhenti, Dimas merasa hatinya sedih. Pikirannya tidak menentu dan gelisah sekali. Ia tidak mengir kalau konsekuensinya seberat ini. Ia memikirkan nasibnya nanti, bila keputusan pihak sekolah tetap pada pendiriannya yaitu mengeluarkannya. Dimas tidak siap jika ia dikeluarkan dan harus berpisah dengan teman-temannya, terlebih lagi dia tidak mau jadi anak drop out tanpa status. Bagaimanapun dia punya cita-cita.
Hari esoknya, Dimas memberanikan diri untuk meminta maaf kepada pak Shodiq.
“Pak, Dimas ingin berbicara dengan bapak,” Tanya Dimas suatu pagi. Pagi itu Dimas berangkat pagi-pagi sekali. Ia akan membuktikan kalau dia berubah.
“Apa yang kamu mau bicarakan?”
“Saya minta maaf atas perbuatan saya selama ini, Pak. Pak, saya ingin memperbaiki kesalahan yang dulu-dulu sudah menumpuk. Maafkan semua kesalahanku, ya pak? Dimas ingin sekali menjadi murid yang baik dan tidak membuat masalah lagi.”
“Kamu masih punya kesempatan. Sekali lagi kau membuat masalah, pihak sekolah tidak bisa memaafkanmu. Jangan kau ulangi perbuatanmu yang sering terlambat, suka membuat ulah buruk. Belajar yang benar.”
Dimas bersyukur pak Shodiq masih memberinya kesempatan. Dia juga bersyukur telah mengumpulkan banyak poin pelanggaran sehingga bisa memperbaiki hidupnya tetapi kini ia tidak akan menabung poin lagi. Cukuplah sudah poinnya memberi pelajaran.



















Berkat Guru BK
Pertama kali aku masuk SMA kesannya sangat tidak mengenakan. Aku merasa terasingkan karena ulahku dahulu. Aku tak punya teman dan sering kali di takuti semua anak. Aku sering berkelahi, merokok dan mabuk-mabukan. Meskipun aku sering di panggil guru BK, aku tak pernah menghiraukan. Malam hari aku berkumpul bersama teman-teman untuk minum-minuman. Pukul 03.00 pagi aku baru pulang lalu tidur. Pukul 07.00 aku baru bangun tidur meskipun masih ngantuk kemudian mandi, memakai seragam lalu berangkat ke sekolah. Sampai di sekolah, aku sudah terlambat.
Setibanya di kelas Ibu Guru BPku memanggilku ke ruang BP.
“Dino, kenapa kamu terlambat yang ke sekian kalinya? tanya Bu Reni”
“Saya bangun kesiangan, Bu.“
“Jam berapa semalam tidurmu?”
“Mungkin sekitar jam 03.00 pagi, Bu”
“Kamu begadang bersama teman-temanmu lagi ya? tanya Bu Renii dengan tegas”
“Ya, Bu”
“Kalau besok kamu terlambat lagi maka orang tuamu akan ibu suruh datang ke sekolahan atau Ibu akan skors kamu. Belum ada sebulan saja kamu sudah bikinmasalah.” Ibu Reni menundukan kepalanya sambil menangis dan berkata, “Dino, Kamu tahu, jika anak Ibu masih ada, mungkin dia sebesar kamu. Ibu sangat sayang sekali terhadapmu tetapi kenapa kamu tidak bisa berfikir dewasa dan selalu membikin ulah di sekolah? Ibu hanya bisa menyarankan kalau kamu memang mau berniat menjadi orang dewasa dan mau bertanggung jawab, ubahlah sikap dan tingkah lakumu.”
“Apa orang tuamu tahu kebiasaamu?”
“Dia tidak akan tahu, Bu. Dia menitipkan aku di rumah nenek.”
“Memangnya kamu ditinggal kedua orang tua kamu itu sejak kapan?”
“Sejak saya kelas lima SD, Bu. Ibu bekerja menjadi TKW di Taiwan”
“Bapak kamu?”
“Saya tidak pernah tahu bapak saya siapa.”
“Nenek kamu mengetahui kebiasaanmu?”
“Tidak tahu. Dia sudah tua dan tidak bisa melacak saya berada dimana.”
“Kalau begitu saya minta nomor ibumu. Besok ibu akan telepon agar mereka tahu kelakuan kamu sekarang seperti apa. Ibu tidak mau kamu seperti ini. Ibu berharap agar kamu jadi anak bisa dibanggakan.”
Keesokan harinya Ibu Reni menelepon ibu Dino. Bu Reni menceritakan semua hal-hal yang Dino lakukan. Dikatakan juga kalau Rendi pengin ibunya selalu ada di dekatnya. Ibu Dino menangis mendengar ucapan bu Reni. Ibu Dino mengatakan bahwa ia juga ingin berkumpul bersama keluarganya tapi kebutuhan yang mendesak, yang membuatnya harus pergi keluar negeri. Apalagi, dia juga harus berperan sebagai bapak yang harus memenuhi kebutuhan keluarganya.
“Anak ibu sangat membutuhkan sosok orang tua yang selalu menemaninya. Dino sekarang sering terlambat, minum-minuman dan juga balap motor. Prestasi sekolahnya sangat jelek.”
“Baiklah, bu.” Saya akan pulang ke Indonesia demi anak. Saya akan membuat usaha sendiri dari gaji yang saya tabung beberapa tahun. Terimakasih atas perhatiannya. “
***
Akhirnya ibu Dino pulang. Tidak ada alasan lagi bagi Dino untuk melakukan hal-hal yang tidak baik karena alasan dia melakukan kejelekan selama ini sudah diatasi. Dino pun tidak mau membuat guru dan orang tuanya kecewa dengan ulahnya.










ULANGAN DADAKAN
Hujan turun di pagi hari, namun tidak mematahkan semangatku untuk berangkat pagi-pagi karena aku akan mencontoh PR temanku. Setelah beberapa saat aku mencontoh PR, lonceng berbunyi tanda kegiatan belajar mengajar dimulai. Upacara hari Senin tidak dilaksanakan karena hujan turun tiada henti. Guru memasuki ruang kelas. Dengan penuh wibawa guruku mengatakan, “Hari ini ulangan, saya beri waktu 15 menit untuk belajar.” Mendengarnya, semua murid mengeluarkan suaranya “Haaa,” seperti latihan paduan suara. Dan aku bagaikan ayam disambar petir tak berkutik, tak bergerak, hanya diam dan diam. Jangan saja ulangan dadakan PR saja membuat bingung dan resah setiap hari dan ulangan dadakan menjadikan aku kelabakan. Aku pasrah dengan keadaan pada saat itu.
Semua anak ribut dengan sendirinya. Ada yang mengomel tidak jelas,. ada yang garuk-garuk kepala dan bermacam-macam. Ku terhentak dari diam pendekku. Segera ku buka bukuku dengan jari-jari kecilku. Kupandangi susunan kata demi kata dengan kedua mataku. Dan kupahami kalimat demi kalimat dengan pikiranku lalu kesimpulan didalam memoriku.
Waktunya soal dibagikan sekarang soal sudah didepan mata. Dengan bekalku yang tidak cukup mumpuni segera kutunjukkan pandanganku ke soal ulangan. Kubiarkan bulpoin bekerja sama dengan jari-jemariku menari-nari diatas lembar jawabanku dengan aba-aba diotakku. Tiba-tiba jari-jariku terhenti mematung dan otakku berhenti memberi kode. Biasa disebut penyakit lupa ditengah jalan kambuh lagi.
Kemudian ku pandangi teman-temanku mereka diam mengerjakan. Ada yang berlagak berpikir ketika diamati guru dan tengak-tengok ketika lengah dari pandangan guru. Ada yang menunggu jawaban terbang. Ada pula yang menunduk terus sambil melihat contekan. Ada yang berbicara dengan bahasa isarat seperti orang bisu. Bangku, kursi, bulpoin, kertas menjadi saksi bisu ulah tingakan anak-anak ketika ulangan dadakan. Perut keroncongan yang tadi belum kuberi sarapan, mengiringi ulangan dadakan ini.
Ku kembalikan pandanganku ke soal-soal yang tak kuharapkan ini. Bagaimana caranya? Hanya kata-kata itu yang bersemayam dibenakku menit ini. Ku pandangi teman-temanku “Hust…Hust” kata itu juga yang keluar dari mulutku. Menoleh kepalaku, dan langsung ku sambar nomor sembilan gimana?” Dia mengangkat bahu menandakan ketidak tahuannya. Sedangkan temanku yang handal sudah menumpuk kertasnya 5 menit yang lalu. “Waktu tinggal 15 menit,” kata guruku. Bingung, kisruh, tegang yang setia menemaniku saat ini. Akhirnya tanpa rumus tanpa logika kuselesaikan soal dengan aji pengawuran. Dengan do’a ku serbu soal ini nomor demi nomor.
Waktu tinggal 5 menit. Bingungku semakin tak menentu. Ku jawab soal itu tanpa pikir panjang bisa disebut pengawuran. Setelah semua selesai, awaban pun dikoreksi. Selama jawaban dikoreksi. Hatiku deg-degan tak mementu. Beberapa menit kemudian, guru membagikan lembar jawaban. Ku menanti-nanti namaku dipanggil. Sekarang lembar ulangan sudah ada didepan mata, kaget takjub, sedih, malu melihatnya. Angka 45 mengisi kolom nilai lembar jawabanku. 45, ya 45 seperti tahun kemerdekaan Indonesia. Tapi ini hasil keringatku sendiri. Kejadian ini akan kujadikan motivasi. Setelah ini semangatku harus seperti semangat pejuang 45. Aku akan belajar setiap hari sehingga setiap saat ada ulangan aku siap mengerjakannya. Aku yakin bahwa aku pasti bisa.
***












Membayar Kepercayaan
Bu Siti, Wali kelasku memanggilku, aku ditanya mengapa aku belum bayar buku. Aku pun bingung karena uang yang diberikan ibu untuk membayar buku telah kuhabiskan untuk bersenang-senang. Lalu Bu Siti bertanya kapan aku akan melunasi buku ku. Aku semakin bingung, tidak mungkin aku minta uang lagi kepada ibu. Ibu pasti marah kalau tahu aku menghabiskan uang yang telah lama ibu kumpulkan untuk biaya sekolah. Aku keluar dari ruangan dengan wajah tak muram.
Istirahat kuberanikan diriku untuk pergi ke ruang BK. Didalam ruang tersebut aku akan sharing tentang semua masalahku pada Bu Lisa yaitu guru BK yang sangat digemari oleh teman-teman karena baik, sabar danpengertian. Ku ketuk pintu pelan-pelan, mulai ku ucapkan salam, jawaban salam sudah ku dengar, aku masuk dengan tersenyum. Aku mulai bercerita.
“Begini Bu, saya sangat bingung sekali dengan masalah yang saya hadapi. Saya telah menghabiskan uang yang diberikan ibu untuk membayar buku.”
“Kenapa kamu bisa melakukan hal tersebut, Wati?”
“Ibu memberikan uang saku kepada saya hanya sedikit, sedangkan uang saku teman-teman saya banyak, bahkan mereka juga punya uang untuk main dan belanja. Sedangkan saya untuk jajan saja kadang masih kurang, apalagi buat beli pulsa atau belanja.”
“Kamu jangan melihat teman-temanmu yang mampu. Lihat teman-teman kamu diluar sana. Mereka untuk sekolah saja tidak mampu. Apalagi memikirkan uang saku, seharusnya kamu bersyukur karena kamu masih bisa sekolah. Coba ceritakan bagaiman asal mulanya kamu menyelewengkan amanah ibumu.”
“Ya sih, Bu. Tetapi apa yag saya beli juga penting. Waktu itu, pagi-pagi saya diberi uang untuk membayar buku sekolah. Waktu istirahat saya lupa membayarkannya. Ketika pulang sekolah, teman-teman ada rencana untuk jalan-jalan ke hypermarket baru yang ada di kota kabupaten. Saya mendengar hal tersebut dan ingin sekali ikut. Saya sangat jarang pergi ke supermarket atau hypermarket. Karena keinginan saya yang sangat kuat dan ditambah cerita seru dari teman-temanku akhirnya saya memutuskan untuk ikut pergi ke hypermarket. Waktu itu saya tidak berfikir kalau uang yang ada ditasku adalah uang untuk membayar buku,” tuturku.
“Wati, apakah kamu tau perjuangan orang tuamu dari pagi sampai siang bahkan kadang sampai sore di bawah terik matahari yang menyengat menelusuri lumpur-lumpur, mengaisi rumput-rumput tanpa memperdulikan jijik, dan jorok. Ibu dapat bilang begini karena dulu orang tua ibu juga seorang petani. Jadi ibu tahu bagaimana seorang petani itu banting tulang untuk mencari uang. Mereka melakukan itu semua dengan satu tujuan yaitu agar kamu bisa sekolah tinggi memperbaiki nasib. Agar tidak hanya menjadi petani. Sementara itu kamu dengan mudah menghabiskan uang orang tuamu,” tutur bu Lisa.
Mendengar seuntai nasehat dari Bu Lisa tersebut aku pun meneteskan air mata penyesalan atas perbuatanku. Aku teringat perjuangan ibu dan bapak. Rasanya aku ingin cepat-cepat pulang dan minta maaf pada ibu dan bapak tentang semua kesalahanku.
* * *

Sampai di rumah aku tidak menemukan bapak dan ibu. Tidak seperti biasa, mereka tak ada seperti ini. Aku bertanya pada nenek. Kata nenek tadi sudah pulang. Ibu memasak dan istirahat sebentar, kemudian berangkat lagi ke sawah mencari rumput bersama bapak. Mendengar cerita nenek, aku semakin tahu bahwa orangtuaku tak pernah lelah bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Aku semakin merasa bersalah karena selama ini aku selalu minta uang untuk keperluan yang tidak jelas. Selama ini aku selalu marah-marah kalau tidak diberi uang saku.
Hari semakin sore tapi orangtuaku belum juga pulang. Aku duduk termenung sambil menanti orang tuaku yang belum juga pulang. Aku teringat lagi dengan kata-kata Bu Lisa tadi. Ternyata benar bapak dan ibu bekerja keras untuk mencari uang, bahkan sampai sore mereka belum pulang. Tak lama kemudian aku mendengar suara sepeda. Ternyata itu adalah ibu. Awalnya aku senang ibu sudah datang, tapi ternyata ketika aku mendekat, kulihat tangan ibu bercucuran darah. Setelah kubertanya pada ibu ternyata tangan ibu tak sengaja terkena sabit saat mencari rumput. Hatiku sangat ngeri dan kasihan melihat hal tersebut. Tadinya aku mau bercerita dan minta maaf atas perbuatan yang telah aku perbuat. Melihat ibu yang seperti itu, aku urungkan niatku untuk mengatakan kebohonganku. Orangtuaku harus banting tulang untuk mendapatkan uang yang aku anggap sepela itu.
***
Malam hari aku, bapak dan ibu berkumpul nonton TV.
“Bu...apasih yang ibu harapkan dari saya?”
“Ibu hanya ingin kamu menjadi anak yang sholekhah yang berbakti pada orang tua, manjadi orang yang sukses, tidak seperti ibu yang hanya seorang buruh tani.
Kata-kata ibu tadi sangat memotivasiku untuk mewujudkan keinginan nya. Waktu itu aku gunakan kesempatan untuk berterus terang mengenai uang yang habis itu. Aku menceritakan semuanya pada mereka. Mereka marah dan sangat kecewa padaku. Kemudian aku berkata pada orangtuaku.
“Pak, Buk, maafkan saya karena sudah merusak kepercayaan bapak dan ibu. Saya janji saya tidak akan mengulangi perbuatan saya itu. Saya tahu bapak dan Ibu sudah bersusah payah untuk mendapat uang tersebut, tapi malah saya gunakan untuk hal yang tidak berguna. Saya juga berjanji akan menjadi anak yang sholekhah, rajin belajar, dan menjadi orang sukses seperti yang ibu harapkan.”
“Lalu dari mana kita dapatkan uang lagi untuk membayar buku,Pak?” tanya ibu pada bapak. Yang ditanya diam saja tidak memberikan jawaban.
“Ibu tenang aja, mulai besuk saya akan mulai menabung, dan hasilnya akan saya gunakan untuk membayar buku.”
“Baiklah, ibu senang kamu mau bantu ibu dan bapak. Ibu juga senang kamu dapat bertanggung jawab seperti ini.”
Hari ini aku berangkat sekolah seperti biasa. Disekolah aku kembali sharing denga guru BK ku itu.
“Kemarin, orantua saya pulang kerja sore sekali Bu. Mereka harus bekerja keras untuk biaya sekolah saya.”
“Sekarang kamu sudah sadar, terus apa yang akan kamu lakukan selanjutnya?”
“Itulah bu, saya bingung bagaimana cara saya meringankan beban orang tua. Saya akan mempertanggungjawabkan perbuatan saya. Mulai hari ini saya menabung tapi kelihatannya untuk membayar buku masih kurang. Apakah ibu punya solusi untuk masalah saya?”
Lalu ibu Lisa berfikir sebentar. Lalu dia mengatakan dua solusi untuk saya. Pertama, saya akan diusulkan sebagai penerima beasiswa BKM. Saya dianjurkan untk meminta Surat Keterangan idak Mampu dari desa. Kedua, bu Lisa menawari saya pekerjaan membantu tetangganya yang seorang penjahit, yaitu memasang kancing baju. Katanya, aku bisa memasangnya dirumah. Walaupun bayarannya tidak seberapa tapi bisa aku gunakan untuk tambahan membayar buku sebagai wujud tanggung jawabku dan bayaran atas kepercayaan yang telah aku selewengkan. Aku aka melakukannya dengan senang hati pekerjaan itu. Lega sekali rasanya mendapat solusi dari guruku.
***


Facebook
Rere adalah teman Santi yang sangat menggilai Facebook. Sedangkan Santi sama sekali tidak mengerti tentang Facebook. Rere adalah anak orang berada sehingga semua kebutuhannya terpenuhi,termasuk akses internet di rumahnya, dia bisa on line Facebook kapan pun ia mau. Sebalikya dengan Santi, dia anak dari seorang yang sangat sederhana,tidak ada akses internet dirumahnya. Santi tidak pernah bermain dengan internet jika tidak ada pelajaran TIK di kelasnya.
Rere selalu memegang dan memandangi hand phone yang di bawanya. Terlintas di benak Santi, sebenarnya apa yang sedang dilakukan Rere dengan Hand phonenya itu begitu melihat Rere senyum-senyum sendiri. Santi semakin penasaran, ”Kamu sedang apa, Re? tanya Santi dengan melirik hand phone ditangan Rere. Santi melihat tulisan FACEBOOK di hand phone Rere. Lalu dia tahu apa yang sedang dikerjakan sahabatnya itu.
Tidak jarang Santi melihat teman-temanya memegang hand phone dan chatting menggunakan Facebook,tapi ia tidak berani bertanya bagaimana cara membuat dan menggunakan Facebook itu. Ia takut teman-tamannya menertawakannya, karena ia terlau gaptek untuk anak seumurannya dan teman sebayanya. Ia tidak pernah berhenti berfikir,apa manfaat Facebook itu sehingga banyak temannya yang menggilai Facebook dan seperti tiada hari tanpa Facebook. Santi semakin penasaran dan penasran.
Hari itu dikelasnay XI A3 sedang ada pelajaran matematika. Santi sama sekali tidak bisa konsenterasi. Ia gelisah,ia menganggap dirinya adalah anak paling gaptek, seorang anak zaman sekarang yang tidak mengerti tentang teknologi yang semakin canggih. Santi yang biasa maju kedepan kelas dan mengerjakan soal matematika di depan kelas,hari itu dia mendadak menjadi siswa yang bodoh. Sama sekali tidak bisa mengerjakan soal yang diberikan oleh gurunya.
“Kamu kenapa Santi? Sakit?” tanya Rere dengan menyentuh pundaknya. Rere heran,mengapa hari itu sahabat baiknya itu menjadi aneh dan tidak seperti biasanya. Seperti bukan Santi yang Rere kenal. Santi hanya menggelenkan kepalanya. Rere semakin bingung dan tidak tau apa yang harus ia lakukan. Sampai jam pulang sekolah Santi masih tetap murung dan merasa minder. Rere berusaha mengajak Santi membicarakan palajaran yang dibahas di kelasnaya tadi siang tapi Santi hanya menggelengkan kepala dan tidak berkata sepatah kata pun.
Santi menhembuskan nafas panjangnya dan melangkah meninggalkan gerbang sekolah. Ia naik angkutan umum langganannya. Sepanjang perjalanan pulang, Santi terus memandang ke luar jendela. Ia berfikir, kalau dirinya benar-benar gaptek dan sama sekali tidak mengerti Facebook seperti tema-temannya. Sampai di rumahnya, ia masuk ke dalam kamar dan membanting tas sekolahnya. Ia duduk di tempat tidur sederhananya dan mencoba untuk menenangkan pikirannya.
“Santi, makanlah dulu,” teriak ibu.. Tidak ada jawaban dari kamar Santi. Santi tidak memerdulikan ajakan ibunya untuk segera makan siang. Ibunya penasaran,mengapa anaknya tidak seperti biasanya. Langkah kaki terdengar menuju kamar Santi. Ibumembuka pintu kamar Santi yang tidak tertutup dengan rapat. Ia mendapati Santi sedang duduk di atas tempat tidur. Ibunya mendekat dan mengelus rambutnya,
”Ada apa? Mengapa kamu terlihat murung? Apa kamu sakit?” tanya ibunya penasaran. Cukup lama Santi diam tanpa menjawab pertanyan ibunya. ”Aku capek, Bu,” bentak Santi. Ibunya terpaku dengan ucapan anaknya itu,ia tak menyangka anaknya bisa berkata sekasar itu. Ibu meninggalkan kamar Santi. Santi menyesal telah berkata kasar kepada ibunya.
Segera ia bangkit dan mengganti pakaiannya. Ia berjalan keluar rumah dan berniat untuk pergi ke warnet. ia ingin tahu seperti apa Facebook yang sangat digandrungi Rere dan teman-temannya. Di warnet, ia mencoba membuka web Facebook. Ia bingung,karena ia tidak mempunyai alamat Facebook. Ia diam dan termangu di depan computer. Ia tidak begitu mengerti komputer dan internet. Setengah jam ia buang waktu dengan sia-sia di warnet itu. Ia beranjak dari komputernya dan segera membayar di kasir. Ia pulang dengan wajah murung,ia tidak mendapatkan apa-apa hari itu. Ia berjalan menuju rumahnya. Sepanjang perjalanan ia menundukkan kepalanya, keceriaannya mendadak hilang pada hari itu.
Sampai ia di rumah,ia duduk di ruang tamu sederhana di rumahnya. Ibunya menghampiri dan bertanya pada Santi.
”Dari mana kamu?. Kekesalan Santi mulai reda dan mau menjawab pertanyaan ibunya.
”Dari warnet, Bu. Bu, Santi iri pada teman-teman Santi. Mereka punya computer dan jaringan internet di rumah mereka,” ucap Santi cemberut. Ibunya kaget dan mengelus dadanya. Ibunya bingung dan tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia tidak mempunyai cukup uang untuk memebelikan computer. Ia hanya buruh cuci dan suaminya hanya seorang petani yang penghasilannya tidak seberapa. Penghasilan mereka hanya cukup untuk makan sehari-hari dan biaya sekolah Santi. Jika Santi tidak mendapat beasiswa, mungkin Santi tidak bisa bersekolah sampai jenjang SMA.
“Dapat uang dari mana untuk membeli computer? Untuk makan sehari-hari saja sangat pas-pasan, “ jawab ibunya. Ia benar-benar tidak mempunyai uang.
Sore itu ayah Santi pulang dari sawah dan melihat isterinya sedang duduk termenung di ruang tamu. Ayahnya menanyakan apa yang terjadi. Ibunya menceritakan apa yang telah terjadi dengan anak semata wayang mereka. Ayah Santi terkejut mendengar cerita dari isterinya. Ia berfikir sangat mustahil bisa membelikan anaknya computer. Selama ini Santi adalah anak yang sangat baik dan penurut.
Malamnya Santi mendengar percakapan kedua orang tuanya yang bingung mencari jalan untuk membelikan computer anaknya. Santi sedih mendengarnya karena mereka akan menggadaikan sertifikat agar dapat uang demi menuruti kemauan anak semata wayang mereka. Santi menyesal telah membuat orang tuanya sedih. Ia mencoba menerima segala sesuatu yang telah ia miliki, termasuk hidupnya yang sederhana. Lalu Santi keluar kamar. Ia mengatakan agar orang tuanya tidak perlu bingung menuruti permintaannya. Apa yang dia mita hanyalah ungkapan emosinya sesaat karena pengaruh apa yang dia lihat dari teman-temannya.
Keesokan harinya, di sepanjang perjalanan menuju sekolah, Santi tidak membiarkan senyumnya terlepas dari bibirnya. Sampai di depan gerbang sekolah,I a bertemu dengan sahabatnya Rere. Seperti biasanya, Rere selalu memegang dan memandangi hand phone yang di bawanya. Kali ini ia berani mengajukan pertanyaan yang selalu ia pendam sendiri. “Re, bagaiman sih cara untuk punya facebook?” tanya Santi dengan melirik hand phone yang Rere bawa.
“Masa kamu belum punya facebook?” Tanya Rere lalu dia menjelaskan caranya. Sambil berjalan menuju kelas Santi menceritakan semua yang telah ia alami kemarin. Santi merasa lega dan saat itu Santi tidak lagi merasa malu dengan alasan ia tidak mengerti tentang dunia teknologi. Santi masih bisa belajar dengan Rere. Rere sama sekali tidak menertawakan Santi saat Santi bertanya. Justru Rere mau mengajari Santi. Santi senang karena Rere mau mengajari Santi tentang internet dan facebook.
Sampai dikelas pun Rere masih tetap menjelaskan apa yang seharusnya ia jelaskan. Dengan senang hati Santi mendengarkan Rere dan ia berusaha memahami semua yang Rere jelaskan. Lalu Rere membuatkan alamat email untuk Santi dan mendaftarkan nya di facebook menggunakan Hpnya. Santi tidak lagi merasa menjadi anak paling gaptek di sekolahnya.
“Terima kasih Rere,” ucap Santi.
“It’sOK, Santi. Andai sejak dulu kamu bertanya padaku pasti aku jawab. Datanglah ke rumahku kapan saja,” kata Rere.
Siang itu, saat pulang sekolah Santi diajak kerumah Rere untuk mengajari Santi menggunakan facebook. Santi merasa sangat senang dan tidak ada lagi yang perlu ia sesali. Ternyata ia sudah mempunyai segalanya. Ia mempunyai orang tua yang sangat sayang kepadanya dan ia mempunyai sahabat yang baik seperti Rere. Ia tidak harus punya computer dan jaringan internet sendiri untuk bisa berfacebook. Yang penting ia membuka diri, bertanya pada yang bisa dan tidak malu belajar. Masalah computer dan internet, ia bisa rental di warnet. Benar saja kata teman-temannya, hari gini tidak kenal facebook? Apa kata dunia?
***















HP
“Pak, bagaimana Hpnya? Ujian Duwi kurang seminggu lagi. Kalau tidak punya Hp dia tidak lulus katanya,” ucap bu Asih suatu senja kepada suaminya yang sedang duduk di lincak yang berada di teras rumah nya. Yang ditanya hanya dian saja dan terus menyobek dan mengusap daun pisang dengan gombal. Sesaat setelah itu, tiba-tiba Dwi muncul dari dalam rumah.
“Sudah selesai belajarnya?” tanya ibunya yang mengamati akhir-akhir ini Dwi agak malas belajar.
“Sudah, Mak. Mak…,” Dwi belum selesai berbicara ibunya sudah memotong.
“Apa? Soal Hp lagi? Saya sedang membicarakan dengan bapakmu. Kami masih mencari jalan agar dapat uang untuk beli hape.”
“Ya, Mak, tapi jagan lama-lama. Aku sudah mencatat nomor-nomor temanku,” jawabnya dengan polos.
Berkali-kali Dwi mengatakan keinginannya untuk memiliki Hp kepada bapaknya. Dia sangat menginginkan Hp agar bisa seperti teman-temannya. Zaman sekarang orang-orang pegangannya Hp. Siapa saja sekarang menginginkan Hp. Anak-anak SD, SMP, apalagi SMA atau mahasiswa. Tukang becak, bakul-bakul di pasar, pengamen, pemilik angkringan, sopir, penjaga toko, tukang ojek, tukang togel juga membawa Hp. Padahal, dulu ketika Hp masih sangat mahal, yang memiliki hanya orang-orang yang banyak uangnya dan besar penghasilannya.
Tidak zaman lagi sekarang mengirim kabar lewat surat. Berkirim kabar lewat sms atau telpon. Tidak zaman lagi mengandalkan pikiran dan pengalaman lewat tulisan seperti zaman Kartini dulu. Cukup dengan kata-kata yang singkat dan pendek. Kalau perlu, ada kamus baru yaitu kamus bahasa sms. Walau keadaan telah berubah, tidak demikian dengan keluarga Pak Mardi. Orang sepertinya, tidak mampu membeli walau Hp second termurah sekalipun.
***
Semakin kuat keinginan Dwi untuk memiliki Hp mendekati Ujian Nasional. Sebelumnya, ia bisa menahan diri untuk memiliki Hp karena tahu benar keadaan orang tuanya yang mau memenuhi kebutuhan sehari-harinya saja susah. Ia cukup bersyukur bisa sekolah di SMA karena didanai beasiswa dari pemerintah, sehingga orang tuanya tidak repot memikirkan SPP setiap bulannya. Ia pun rela tidak ikut beberapa kegiatan sekolah yang harus mengeluarkan biaya seperti study tour.
Dwi tidak bisa berbuat sepertihalnya Silvi, kawannya yang mogok sekolah karena tidak dibelikan HP oleh orang tuanya. Orang tua Silvi tergolong mampu karena bekerja sebagai pegawai. Silvi akan kembali bersekolah setelah keinginanya dituruti. Dikatakan kepada bapaknya bahwa ia adalah satu-satunya anak yang belum punya Hp. Katanya, Hp sangat diperlukan sehingga kalau ada PR dan dia tidak bisa, dengan mudah ia bisa tanya pada temannya yang pintar.
“Setiap hari kamu sudah bertemu dengan teman-temanmu. Kalau ada masalah bisa dibahas di sekolah. Apa lagi permasalahan siswa kalau tidak masalah pelajaran? Tanya PR? Paling kau hanya malas mengerjakan tugas. Hp mengajari anak jadi bodoh saja,” ucap bapak Silvi setiap kali anaknya meminta Hp.
“Pokoknya, kalau tidak dibelikan Hp saya tidak akan sekolah. Titik.” Ucapan andalan Silvi.
Setelah tiga hari tidak masuk sekolah, ada surat panggilan untuk orang tua Silvi. Maka terpaksa Silvi pun dibelikan Hp.
***
Waktu pelaksanaan ujian nasional semakin dekat. Tiada jalan lain yang bisa ditempuh pak Mardi, kecuali menjual sepeda unta yang selama ini selalu setia mengantarnya ke pasar, ke angkring pak Topo dan kemana saja. Dengan susah payah ia harus menuruti permintaan anaknya. Bagaimanapun, ia berharap anaknya lebih baik darinya. Ia tidak ingin nasib anaknya suram seperti kehidupannya. Ia tahu benar konsekuensi menjual sepeda berarti harus berjalan kaki kemana-mana.
***
Dwi menyimpan nomor-nomor temannya di Hp. Nomor-nomor penting milik temannya yang pintar ditandai khusus. Ia optimis bisa lulus ujian karena kawannya dapat diandalkan. Beberapa waktu yang lalu Dwi dan teman-temannya juga telah mengatur strategi dengan menciptakan kode-kode isyarat serta sepakat menjalin kerjasama dalam ujian. Bersama kita bisa, begitu semboyan mereka. Ia tidak pernah lagi latihan mengerjakan soal atau belajar. Ia mengandalkan Hpnya dalam ujian.
Waktu yang ditunggu pun tibalah. Pada setiap mata pelajaran yang diujikan, Dwi mendapat kiriman jawaban. Bahkan, kiriman jawabannya banyak sekali. Antar teman berbeda-beda. Dwi menjadi binggung mau memakai kunci jawaban yang mana. Ia berusaha mengerjakan soal-soal sendiri, tetapi terlalu asing soal-soal itu baginya. Hal itu jauh dari angan-angannya.
***
Suatu pagi, guru wali kelas Dwi datang ke rumah pak Mardi. Dengan berat hati, dikabarkannya berita yang menyedihkan. Dwi tidak lulus ujian. Nilai ujian Dwi di bawah Standar Kelulusan Minimal. Bisa dibayangkan, betapa hancur hati pak Mardi.








KADO TERMAHAL

Aku menunggu kedatangan Firman. dari Jakarta. Tentu saja dengan janji memberi kado untukku. Dia selalu di hantui mimpi buruk tentangku. Firman adalah tumpuan harapan orang tuanya satu-satunya Adik-adiknya yang masih kecil, masih butuh perjalanan panjang untuk mencapai cita-citanya. Firman sendiri pun, sebenarnya terancam tak bisa melanjutkan SMA. Ayahnya yang penjual dan pembeli kertas bekas, tak bisa berbuat banyak, karena ibunya yang sakit-sakitan.Otanya termasuk cerdas dan encer. Dia dan aku adalah calon murid berestasi yang akan mendapatkan beasiswa dari perusahaan rokok tertentu. Ini adalah jalan alternatif untuk mengurangi sedikit beban orang tuanya.
Aku dan Firman sama-sama ingin mendapatkan beasiswa itu. Kami menjadi saingan. Orang tuaku memang mampu membiayai tapi itu kebanggaan tersendiri yang akan kupersembahkan sebagai anak kepada orang tuanya, jika aku berhasil mendapatkan beasiswa karena prestasi.
Apalagi orang-orang menganggap keluarga kami berantakan. Kak Farid yang bulan lalu hampir ditangkap polisi karene minum-minuman keras dan mengikuti genk-genk motor yang sering pulang malam. Dirumah hanya ada aku. Belajar dan belajar untuk membuktikan pada ayah dan ibu. Bahwa masih ada aku yang bisa dibanggakan pada orang lain.
Malam ini aku tidak bisa tidur, di benakku hanya ada Firman yang akan tersenyum, meski terluka dengan kemenanganku besok. Aku merasa yakin bahwa aku yang akan berangkat terpilih menjadi murid berestasi yang mendapatkan beasiswa dari perusahaan besar. Hanya dipilih satu siswa dalam satu sekolah.
Aku harus mengalah, itu yang akhirnya menjadi obat penenang jiwaku. Aku masih punya banyak kesempatan untuk membuktikan pada orang lain, Ayah dan ibuku bahwa aku lain dari kak Farid yang hanya membebani bagi keluarga.
Besok pagi aku sengaja berangkat terlambat datang ke tempat tes yang beradi di kantor Dinas Pendidikan Kabupaten. Rencana keterlambatanku berjalan lancar. Aku bahkan tak pernah lagi melihat wajah Firman hingga saat ini. Aku tidak pernah datang ke tempat tes. Aku tiba-tiba terkurung di dunia sepi ini. Dunia sebatas langkah gelindingan ban kursi roda.
Kecelakaan pagi itu, membuatku kehilangan segala harapan. Sedih melihat ibuku yang selalu murung, sekolahku bahkan tak kuselesaikan, aku benar-benar tidak bisa melangkah diatas kursi roda.
“Rio, kenapa kamu tidak ikut tes? Kalimat Firman itu ku dengar saat aku berbaring dirumah sakit. “Aku menabrak truk dari arah berlawanan yang melintas cepat” ucapku setegar mungkin., agar dia tidak gelisah memikirkanku. “Tapi nggak terlalu parah,” lanjutku dengan air mata menitik, saat seorang perawat datang membawakan kursi roda untuk tubuhku dengan sebelah tungkai kaki yang telah teramputasi. Tak ada kalimat dari Firman bisu entah siapa, aku atau dia yang duluan meletakkan telepon. Hingga saat itu aku trauma, dan kehilangan asa. Motor yang ku pakai saat kecelakaan hancur berkeping-keping.
Aku ingin melihat dia menangis melihat keadaanku. Padanya, aku akan berbagi duka tanpa ragu dia akan menertawaiku. Untuknya, aku akan persembahkan kado termahal, yakni kesediaanku untuk mengalah saat tes dulu. Meski nasib buruk memaksaku untuk tetap tinggal di Ponorogo.
Aku mulai jenuh menunggu kedatangan Firman. “Betul ini rumah pak Wijaya?” Tanya seorang polisi ketika aku sedang duduk di teras. Aku mengangguk lemah, polisi datang lagi kerumah. Jangan-jangan kak Farid membuat masalah lagi dan harus berurusan dengan polisi. Untung saja Ayah dan Ibu tidak ada dirumah. Aku kasihan melihat ibu yang seolah trauma melihat polisi.
Polisi itu mengamati kursi rodaku, juga kakiku yang tak sama panjang.
“Kamu putra pak Wijaya yang kecelakaan beberapa bulan lalu?” Aku mengangguk.
“Kami yang menangani masalah adik.”
“Masalah apa?
“Dari penyelidikan kami, motor yang adik pakai, sebelumnya sengaja dirusak dengan memutus tali rem. Peristiwa itu bukan murni kecelakaan, ada seseorang yang mendalanginya.”
Dadaku berdebar tak karuan. Bayangan Firman yang selalu hadir sebagai sahabat sejati untukku, kini hadir sebagai malaikat maut. Inikah gunanya sahabat? Kesedihan menjalar bebas masuk ke relung hatiku. Ini sedih yang terdalam, luka yang terperih lebih dalam dan jauh lebih perih, dibanding saat pertama ku tahu, sebelah tungkaiku telah teramputasi.
“Ayah dan ibu tidak ada dirumah,” ucapku lalu langsung berbalik dengan kursi rodaku. Kursi roda ini, kado termahal dari seorang sahabat bernama Firman. Kado ini tak akan kulupa, diberikan kepadaku demi kebahagiannya. Ini adalah bayaran dari niatanku untuk tidak ikut tes agar dia yang menerima beasiswa. Terlepas ari takdir atau kesengajaan, aku akan menganggap ini sebagai jalan hidupku.

***












Aku Punya Ibu Siti
Riski Lailani namaku. Aku tidak tahu dari mana asal nama itu. Aku biasa dipanggil akrab Riski begitu saja. Di panti Bu Siti aku dibesarkan tanpa mengenal kata Ayah dan Bunda. Malam itu aku bertanya kepada Bu Siti tentang asal asulku.
“Di suatu malam saat hujan deras, ibu Siti membuka pintu depan panti. Tiba-tiba ada seorang bayi di depan mata ibu dan tak ada satupun identitas bayi itu. Dan itulah sebabnya kamu saya beri nama Riski Lailani artinya Rejeki di malam hari. Aku beranjak pergi meninggalkan Bu Siti menuju kamar tidurku. Ku berusaha menata hatiku yang perih seakan teriris pisau. Ku terdiam sesaat dan timbul rasa kecewa dihatiku.
“Kamu kenapa Risk?” tanya Gita, temanku satu panti.
Aku berusaha tidak menampakkan kesedihanku pada Gita. Aku ingin menjadi seorang wanita yang tegar seperti Bu Siti biasa menasehati anak-anak panti. Malam semakin larut. Aku tidak juga bisa memejakan mataku.
Pagi pun datang dengan ditemani cahaya yang penuh kehangatan. Hati masih sedih seperti ada beban yang beras dalam pikiranku. Diantara anak-anak panti yang lain, akulah paling tidak beruntung karena aku tidak tahu identitas ibu dan bapakku sedangkan mereka masih bisa mengetahui ibu dan bapak mereka.
Gita ditinggal meninggal orang tuanya ketika dia berumur 6 tahun, nasib Sarah hampir sama denganku dibuang didepan panti tetapi Sarah masih mempunyai identitas dan alasan ibunya meninggalkan dia dipanti dan begitu jugalah nasib-nasib teman-teman pantiku. Sedangkan aku tak tahu siapa ibu dan ayahku.
Hatiku menangis ketika melihat keberuntungan teman-teman sekolahku yang bisa merasakan kehangatan ditengah-tengah keluarga.
“Riski,aku lihat sejak kemarin malam kamu selalu melamun,kamu kan bisa cerita kalau kamu punya masalah?” tanya Gita dengan penasaran.
“Aku hanya iri kepada teman-teman. Mereka mempunyai keluarga yang utuh dan harmonis,dimanja-manja oleh ibu dan ayahnya, sedangkan aku…”
“Tidak perlu iri kepada mereka, Ris. Semua yang kita jalani didunia ini sudah ada yang mengatur.”
“Aku tahu itu semua Git, tetapi kenapa Allah memberikan kehidupanku seperti ini? Ini semua tidak adil, Git,” jawabku meneteskan air mata.
“Sudahlah,hapus air mata mu itu. Suatu saat Allah pasti mengganti air matamu itu dengan air mata kebahagiaan”, kata Gita dengan menghapus air mataku dengan tisyu.
***
Keirianku semakin bertambah melihat anak-anak kecil bermain bersama orang tuanya, disitu aku merasa sangat merindukan kasih sayang dari orang tuaku yang sudah lama tidak aku rasakan.
Disamping kerinduanku dengan kasih sayang orang tua, itu ditambah oleh tingkah teman-teman yang selalu memanfaatkan kebaikanku. Mereka selalu ada disaat mereka butuh saja tetapi saat tidak butuh, mereka mengucapkan ku begitu saja.
Semakin hari aku semakin tertekan dengan keadaan ini, hingga kuputuskan untuk mengakhiri hidup ini dengan jalan pintas. Aku benar-benar putus asa dan gelap mata. Saat akan berusaha melakukan hal keji itu, tanpa aku sadar datang sosokibu Siti yang bisa menyemangati aku. Rupanya dia telah mengetahui permasalahanku dari Gita. Hingga aku sadar bahwa apa yang aku lakukan itu sangat mengecewakannya.
“Jadi selama ini aku tidak kamu anggap sebagai ibumu sendiri? Sejak bayi aku merawatmu dan menganggapmu sebagai anak sendiri. Baiklah kalau kamu tidak menganggapku sebagai ibu, cari saja ornga yang menelantarkan seorang bayi tak berdaya di teras orang,” ucap bu Siti marah.
“Maafkan aku, Ibu,” ucapku sambil memeluknya. Aku menyadari, tanpa bu Siti mungkin aku tidak jadi seperti ini, mungkin hanya menjadi anak jalanan yang tidak mengenyah bangku sekolah, atau tidak bisa hidup karena mati kelaparan sehingga tidak meresakan manisnya masa anak-anak hingga sekarang ini.
Ibu, aku berjanji akan menjadi yang terbaik akan ku buktikan semua janjiku. Kebahagianmu adalah kebahagianku juga. Aku tak pedulikan lagi siapa ibu bapakku sebenarnya. Yang penting, aku punya Ibu Siti.
***


Lapuknya Baja
Baru saja Rudi menerima sms, ada kabar jika papa Bagus kemarin meninggal dunia. Bagus dan Rudi bersahabat sejak klas 1 SD sampai SMA sekarang ini. Wajarlah bila Rudi ikut kehilangan senyum.
Bagus. Ia ingin menjadi orang yang pertama berada di sisi Bagus saat hati sahabatnya itu sedang lara. Berbagai rangkaian kalimat telah disusunnya, untuk diucapkannya pada Bagus. Rangkaian kata akan lebih bermakna dan lebih indah dari sebuah rangkaian bunga.
Bagus sangat terpukul dengan kematian papanya yang begitu mendadak. Dua hari yang lalu, Bagus meneleponnya kalau papanya masuk rumah sakit. Bahkan saat Rudi mau datang membesuknya, Bagus masih meyakinkan Rudi kalau papanya hanya sakit ringan dan hanya butuh istirahat yang cukup. Tapi dugaan Bagus meleset.
"Kamu tabah ya, Bagus!" Rudi langsung membawa Bagus ke dalam pelukannya. "Aku tahu kamu sedih, aku juga tahu kamu sekarang rapuh menghadapi musibah, tapi kamu harus tegar, Bagus! Jadikan musibah ini sebagai ujian. Dan kamu harus berhasil melaluinya!" Rudi mengeluarkan airmata saat mengucap kalimat itu, tapi dia tak menangis. Suaranya tak serak, terlebih tanpa isak. Di sela airmata itu, dia masih menyempatkan senyum.
"Memang berat, Bagus. Tapi waktu akan meringankan beban itu. Kalau saat terpukul seperti ini kamu menyempatkan untuk senyum, besok saat pukulan itu melemah, kamu akan merasa diri sebagai pemenang. Jangan cengeng!" Bagus menatapnya lemah. Dia belum juga bisa tersenyum. Dan senyum itu memang sepertinya mustahil.”
Seolah tahu apa yang ada di benak Bagus, Rudi semakin gencar berperibahasa. Dia tak mengerti jika Bagus bersedih. Pelukannya yang tadi terlerai, diikatkannya lagi. Kali ini diiringi dengan gerakan menepuk bahu Bagus.
"Aku yakin kamu selalu merasa nggak mungkin, merasa yakin tidak bisa menghadapi semua ini. Hanya persoalan waktu, Bagus! Tuhan nggak hanya memberi kita waktu, tapi juga kesempatan untuk menemukan jawaban dari kesulitan yang kita hadapi. Kuncinya hanya satu, kesabaran!"
Bagus menghela napas. Panjang. Berat. Di ujung hentakan napas berat itu, dia mencoba tersenyum, tapi bukannya merasa menang, malah menganggap dirinya munafik. Di balik dadanya ada yang terluka. Sakit. Bagaimana mungkin dia bisa tersenyum.
Tapi bukan berarti dia tak menghargai nasihat Rudi. Dia mengerti, sahabatnya itu tak ingin dirinya tenggelam dalam sedih, atau malah terapung dan dipermainkan perasaan. Setidaknya, kehadiran Rudi mampu mengurangi kesedihannya.
"Terima kasih, Rudi! Aku tidak bisa membayangkan, bagaimana jika kamu tidak ada. Paling tidak, aku punya teman berbagi untuk saat ini."
Rudi mengangguk. Merasa bangga karena kehadirannya berarti lagi bagi orang lain. Dan itulah yang selalu diinginkan Rudi, berarti bagi orang lain! Jangan heran, di sekolah, meski dia baru kelas satu, boleh dibilang dia adalah ujung tombak di kepengurusan OSIS. Dia selalu punya ide brilian yang membuat orang berdecak kagum.
Di setiap perdebatan rapat, Rudi selalu bisa jadi penengah yang tak berat sebelah, dan mampu memberi solusi terbaik. Jadi tak berlebihan jika teman-teman sekolahnya merasa diri diberi rahmat saat mendapatkan senyumnya. Senyum yang juga tak berat sebelah! Tarikan dua sudut bibirnya, terbagi untuk semua orang. Seolah bibir manis itu hanya ditakdirkan untuk senyum. Andine tak pernah mengeluh.
" Bagus...," ucapnya lagi. "Kamu pasti susah untuk tersenyum. Tapi cobalah! Sekali saja. Sedetik saja. Entah tulus atau nggak, tapi coba rasakan, senyum itu akan sampai di hati." Bagus menurut. Rudi tak mengada-ada. Senyum yang dipaksakannya itu, dirasakan mendarat sejenak di hatinya. Meski sejenak, tapi senyum itu seperti menitikkan embun segar di luka hatinya. Perih melayang sejenak. Senyum itu membuat Rudi semakin merasa dirinya sangat berarti bagi Bagus kali ini.
Hanya selang tiga hari, Rudi kembali membawa langkah tergesanya. Bedanya, langkah tergesanya kali ini, tidak disaksikan oleh teman-teman sekolahnya. Tak ada yang menunggu senyumnya yang kali ini kaku lagi. Pelajaran sedang berlangsung, saat wali kelas datang menemuinya di kelas dan memintanya segera pulang. Apa kesalahan Rudi pagi ini? Itu yang ada di benak teman kelasnya saat Rudi disuruh pulang.
"Rudi tidak punya salah. Bapak baru saja terima telepon di kantor, mama Rudi meninggal!" jelas kepala sekolah setelah kepergian Rudi.
Rudi sendiri diberitahukan berita itu setelah diajak masuk kantor. Seperti papa Bagus, mama Rudi pun tak membawa firasat apa-apa sebelum kematiannya. Awalnya dia tak percaya, tapi HP-nya yang di-on-kan setelah off karena sedang belajar, berdering dan suara papanya yang serak memperdengarkan sendiri berita duka itu.
Sepanjang perjalanan pulang, dia masih bisa menyatukan, merekatkan bangunan-bangunan ketegarannya yang mendekati roboh. Tapi setelah tiba di rumah, dan mendapatkan mamanya terbujur kaku, Rudi goyah. Menangis, teriak,histeris!
"Berat mata memandang, tak seberat bahu memikul," kata peribahasa.
Ya, kemarin Rudi sedih melihat Dia dengan kematian papanya, dan meminta Bagus untuk tersenyum. Tapi setelah bahunya sendiri yang memikul beban berat itu, dia tak bisa apa-apa! Dia tak bisa membayangkan bagaimana suasana rumah tanpa mamanya. Bagaimana jika papanya kawin lagi? Di antara empat bersaudara, Rudi yang sulung dan satu-satunya cowok. Itu berarti dia harus menggantikan posisi mamanya. Padahal selama ini, dia selalu terima beres dari mamanya. Untuk makan mi instan pun, mamanya yang turun tangan. Tangan kanan itu telah pergi.
Saat Bagus datang menemuinya, dia tak kuasa menyembunyikan tangisnya. Sebenarnya dia merasa malu untuk menangis. Baru kemarin dia ceramah habis-habisan tapi setelah dirinya yang tertimpa musibah, dia lebih rapuh lagi. Bagus yang melihat kerapuhan itu, mencoba mendekat, memeluk tubuh Rudi yang butuh penopang. Bagus sebenarnya risih karena tak bisa memberi nasihat apalagi berperibahasa seperti halnya Rudi. Tapi kebisuan Bagus telah mengingatkan Rudi pada seluruh nasihat yang pernah dituturkannya.
Tapi nasihat itu seolah tak bisa diberlakukan untuk dirinya. Dia menangis. Lebih dari tangis Bagus kemarin. Terkadang, bahkan selalu, seseorang dapat menasihati orang lain tapi susah menasihati diri sendiri. Saat ini Andine sangat butuh nasihat dari orang lain, bukan dari dirinya, tapi tak satu pun yang bisa memberinya nasihat. Bagus beranggapan, apa yang mendera Rudi adalah luka sesaat, hanya butuh istirahat. Apalagi dia kenal Rudi, kuat, tegar, kokoh, padahal karang pun suatu saat akan hancur karena badai.
Bukan hanya Bagus, teman-teman sekolah Rudi yang datang, tak banyak yang bisa menuturkan nasihat ataupun memberi semangat.
"Aku yakin kamu tegar!"
"Aku tahu kamu bisa melalui semua ini."
"Kamu nggak sampai terhempas, kan?"
"Aku tunggu senyummu besok!"
Rupanya mengeluh itu perlu, agar saat merasa kalah, orang lain mau memberi semangat. Selama ini Rudi tak hanya dikenal lewat senyum dan nasihatnya, tapi juga dari sosoknya yang tak pernah mengeluh. Dia selalu merasa bisa mengatasi permasalahannya sendiri, tanpa butuh bantuan meskipun itu hanya berupa semangat. Dia kalah kini terkapar. Tak ada yang melihatnya menggelepar. Semua menganggapnya tegar walau sesungguhnya kekuatannya yang dulu sekuat baja kini telah lapuk.
***





Penyesalan Cinta
Ibu kos terbelalak mendengar tangisan seorang gadis yang ada di kamar nomor 10. Tangisan itu terasa janggal karena baru kali ini, ibu kos mendengarnya. Ibu kos mendekati kamar itu lalu masuk ke dalamnya.
“Ada apa, Mbak?“ Ibu kos bertanya sambil memegang punggung gadis itu dengan hati cemas. Gadis itu menutupi wajahnya yang merah dan sembab karena linangan air matanya. Pertanyaan ibu kos tidak tidak langsung dijawab, mulutnya terkunci. Gadis itu masih mengusap-usap matanya. Wajahnya tampak layu seperti bunga mawar yang tak terkena sinar matahari, pucat pasi tak bersemangat.
“Ada apa mbak kok nangis-nangis segala? “ kata ibu kos melanjutkan. “Ayo katakan saja, barangkali ibu bisa membantu. Orang tuamu sudah menyuruh ibu untuk menjagamu dan membantu segala sesuatu untuk kebaikan kamu. Kita ini ibarat satu keluarga kalau ada yang susah, yang lainnya juga ikut susah, lagi pula ibu sudah menganggap semua anak kos disini seperti anak ibu sendiri,“ sambung ibu kos dengan penuh kasih sayang.
Gadis itu masih saja tak berkutik dalam kesedihannya, hanya kakinya digerakkan yang tergantung-gantung dari atas kasur. Tiba-tiba gadis itu bangkit dan menatap wajah ibu kosnya.
“Tidak ada apa-apa, Bu. Saya hanya kecapekan habis ada kegiatan olah raga di sekolah,“ kata gadis itu yang kemudian merebahkan tubuhnya yang lemas lunglai ke atas kasur.
“Kalau begitu kamu istirahat saja dan minum obat supaya lekas sembuh,“ pinta ibu kos sambil menyelimuti gadis itu yang kemudian meninggalkan kamar itu.
Gadis dengan perawakan tinggi, body yang langsing, serta rambut hitam lurus sebahu itu Lucia. Dia belum juga beranjak dari kasurnya. Tubuhnya digerak-gerakkan ke kanan dan ke kiri mencari posisi tidur yang nyaman tapi belum juga dia merasakannya. Kakinya lantas bergerak menuruni kasur yang berwarna kuning itu menuju meja belajarnya. Air mata masih mengalir di pipinya, matanya sembab, ada sesuatu yang ditangisinya, melambangkan hatinya yang luluh dan hancur. Walaupun malam itu adalah malam tujuh belas agustus, disekitar kos banyak pertunjukan, bazaar dan panggung gembira, tidak dengan Lucia. Kesedihan itu seolah menghalangi langkahnya untuk ikut bersama teman-temanya yang sedang asyik menonton pertunjukan musik dangdut yang digelar oleh RT setempat.
“Mana Lucia?“ tanya Lina teman sekelasnya yang lagi asyik melihat penyanyi lagi nyanyi di atas panggung.
“Aku tidak tahu, mungkin lagi pergi,“ jawab Lisna seadanya yang lantas ikut menggoyangkan pinggulnya mengikuti irama lagu. Mereka berdua larut dalam lantunan lagu pop Keong Racun. Begitu air matanya mereda, Lucia masih tetap termangu di meja belajarnya. Di atas meja itu terdapat gunting dan cutter yang biasanya digunakan untuk memotong dan menggunting seuatu. Tidak biasanya, Lucia meletakkan kedua barang itu di tempat meja belajarnya. Ibu kos sempat melihat lagi Lucia termenung di meja belajarnya.
“ Apa ibu tidak salah melihat? “ tanyaku heran
“ Tidak, ketika mau berangkat pergi ke pasar, ibu sempat melihatnya,” jelas ibu kos.
Hatiku hanya berharap berpadu dengan khawatir semoga yang dikatakan ibu kos hanya dugaan. Kedua barang itu bukan untuk macam-macam.
Setelah mengikuti kegiatan belajar serta ujian tengah semester, Lucia nampak kelelahan. Kelelahan itu tidak seperti biasanya karena berbalut dengan kemuraman. Setelah sampai di rumah kos, Lucia yang biasanya langsung menyantap hidangan yang disediakan ibu kos hanya tergeletak di atas meja makan.
Ibu kos tidak tahu sebabnya, mengapa dia tidak mau makan. Apakah makanannya tidak enak atau sudah makan disekolah atau memang Lucia lagi sakit sehingga kurang bergairah untuk makan.
Ibu kos menanyakan kepadaku tentang kondisi aneh Lucia akhir-akhir ini, tapi aku pun bungkam tidak tahu permasalahannya. Ibu kos juga sempat mengeluh kepada anak kos yang lain tapi hampir semua jawaban yang didengarnya belum memuaskan batinnya.
Sedangkan aku hanya bisa berkata, “Saya tidak tahu, mungkin dia sedang sakit.” Jawaban ini agak konyol karena meski Lucia sakit tapi tidak pernah semuram ini. Setiap anak kosnya dianggapnya anak sendiri, sudah sewajarnya beliau menanyakan kondisi anak kosnya itu.
Suatu ketika, sore sekitar jam setengah lima, tak sengaja aku melihat Lucia keluar dari kamarnya dengan tergesa-gesa. Dia keluar sendirian, pakai sepeda motor dengan baju lengan pendek serta celana jeans. Sepertinya ada sesuatu yang penting dibalik kepergiannya itu. Setelah memastikan kepergiannya, perlahan-lahan aku mulai mendekati kamar kosnya yang terlihat tertutup.
Kelambu di jendela kamarnya tertutup rapat,tapi ada celah yang bisa mengetahui keadaan kamarnya. Kulihat kamar itu melalui celah kecil itu, ku dapati buku lembaran putih yang ada di atas mejanya. Aku ingin mengetahui tulisan yang ada dilembaran itu, tapi mustahil aku dapat membaca tulisan itu dengan jarak demikian jauh.
Kupaksakan mataku untuk dapat membacanya tetapi semakin kupaksakan semakin sakit mata ini. Aku mulai mencari akal bagaimana aku dapat membaca tulisan itu, siapa tahu setelah aku membaca tulisan itu aku dapat memberi solusi terhadap masalah yang sedang dihadapinya. Tanganku terasa gatal ingin mendobrak dan masuk ke kamarnya. Perlahan tapi pasti aku mulai meraba gagang pintu lalu aku putar gagang itu. Deg, betapa kagetnya aku, kamar itu ternyata tak terkunci.
“Ini adalah kesempatan,“ bisikku dalam hati. Aku menengok ke kanan dan ke kiri khawatir ada teman kos yang melihat aksiku. Setelah yakin aman, kakiku mulai melangkah memasuki kamar. Kubaca tulisan itu dengan seksama tanpa aku menyentuh lembaran itu. Ternyata sebuah penyesalan cinta. Cinta terbalas luka. Di lembaran itu terdapat kalimat
“Kalau dulu sudah tahu seperti ini jadinya, lebih baik aku tak bertemu denganmu dan mengenalmu. Mengenalmu seperti mengenal hantu yang membuatku selalu takut, cemas, khawatir dan jengkel. Perasaanku sudah terlau dalam hingga sulit bagiku untuk melupakanmu. Tapi sikapmu yang seperti itu, bermain api dibelakangku. Kau menduakan cintaku. Cinta sejati memang tidak ada di dunia ini. Yang ada hanya cinta sekejap yang mudah hilang seiring hembusan angin kencang di malam hari. Aku memang telah terbius dengan segala ucapan dan janji-janji palsumu, janji sehidup semati. Tetapi itu semua tinggallah janji-janji palsu yang tak tertepati. Seandainya dunia seisinya digantikan dengan dirimu, aku masih mendambakanmu, tapi itu dulu. Sekarang, jangankan dunia dan isinya, ditukar dengan kucing pun aku masih memilih kucing. Aku merasa diriku adalah orang hina, tak ada gunanya aku hidup lagi. Aku sudah bagaikan sampah. Kau tinggalkan diriku begitu saja tanpa merasa belas kasihan. Kau nikmati aku setelah kau bosan, dengan sesuka hatimu kau pergi. Hari ini aku rasakan kepedihan yang tak tersembuhkan. Jiwaku tersayat perih. “
Sekalipun tulisan yang aku baca di atas meja Lucia tidak terlau banyak, hanya selembar namun isinya cukup menyentuh perasaanku.Setelah membaca tulisan itu, aku bergegas keluar dari kamarnya dengan kaki berjinjit. Ternyata patah hati adalah permasalahan yang dihadapi Lucia. Aku yakin Lucia adalah anak yang cerdas tidak mungkin stress hanya gara-gara cinta. Lucia diakui teman-temannya sebagai gadis SMA yang cerdas, apalagi dia gadis yang cantik yang banyak bergaul dengan laki-laki. Aku yakin pasti banyak laki-laki yang suka padanya.
Malam itu aku bisa tidur, bukan karena banyak nyamuk tapi perasaan khawatirku. Lucia yang sejak sore tadi meninggalkan kamar belum kembali hingga jam 9 malam. Aku mengalihkan perasaan khawatirku dengan mendengarkan musik di hpku. Tiba-tiba gedoran pintu pagar memaksaku beranjak. Di pintu pagar ada seorang perempuan, dia adalah perawat di puskesmas.
“ Apa ini kos-kosannya Lucia? “ tanyanya.
“ Benar, “ jawabku singkat.
“Saya hanya menyampaikan pesan bahwa Lucia sedang dirawat dirumah sakit, sebelumnya kami menemukan dia tergeletak di depan puskesmas kami,“ mendengar perkataan perempuan itu membuatku terhenyak.
“ Ada apa dengan Lucia, bu? “ tanyaku was-was. Wanita itu menceritakan kalau Lucia mengalami luka yang serius di nadinya karena te lah mengeluarkan banyak darah. Menurutnya ada unsur kesengajaan yang dilakukan korban untuk menyobek dengan benda tajam. Beberapa saat kemudian, suster itu meninggalkanku setelah memberi pesan penting itu, Aku tidak tahu harus berbuat apa, membangunkan sersama teman kos, jelas tidak mungkin karena semua sudah pasti tidur pulas. Mungkin besok pagi.
Yang pasti setelah mendengar berita itu aku hanya terpaku dalam kamar dan menyesalkan perbuatan nekat yang dilakukan Lucia. “Kamu adalah gadis cantik, cerdas dan punya masa depan cerah, apa untungnya melakukan itu Lucia, apa untungnya! Apa hanya untuk memenuhi ambisi cintamu yang tak mampu berpikir waras sehingga kamu melakukan perbuatan gila itu. “ Makian kekecewaan berkecamuk di dadaku tanpa kehadiran Lucia malam ini. Aku hanya bisa berdoa semoga Tuhan masih menolongmu Lucia, sehingga aku masih bisa melihat senyummu esok pagi.
***














Cintaku Perubahanku
Malam itu aku membiarkan angin malam merasuk ke tubuhku. Aku keliling kota tanpa arah dan tujuan. Hatiku penat, rasanya aku ingin menghabiskan hari-hariku dengan hura-hura belaka. Miras sekarang bukan hal terlarang bagiku, apalagi rokok, dia selalu menemaniku kemanapun aku pergi. Aku sering kali pamit berangkat sekolah kepada kedua orang tuaku. Tapi sebenarnya aku bukan ke sekolah melainkan aku nongkrong bersama teman-temanku, susah sekali begiku meninggalkan semua kegiatanku ini. Aku susah untuk sadar bahwa hidupku ini hanyalah bergantung kepada orang tua saja. Dalam seminggu aku tak pernah masuk tertib, Entah dua atau satu hari aku selalu meninggalkan sekolah demi bisa berkumpul dengan teman-teman untuk nongkrong. Ketika aku masuk sekolah yang ada hanya hujatan, cacakun dan masukan-masukan terhadap diriku. Aku merasa bosan dengan semua ini, hingga pada akhirnya wali kelasku Bu Satya memanggilku setelah pulang sekolah.
“Tunggu dulu Aku, Ibu mau berbicara denganmu ,“ kata Bu Satya.
“Ada apa, Bu?“
“Sudahlah pokonya kamu ikut Ibu sekarang,“ tegas Bu Satya.
Hari itu aku cerita semua kepada Bu Satya. Aku sedang banyak masalah, mulai dari keluarga yang selalu mementingkan urusannya masing-masing, hingga masalah cinta yang aku hadapi. Sebenarnya ada seorang cewek yang aku sukai dari dulu. Tapi daku merasa bahwa daku tidak pantas untuk cewek itu. Setelah dipanggil oleh Bu Satya, daku dimotivasi agar bisa jadi cowok yang bijaksana tak kenal putus asa dan selalu berusaha jadi yang terbaik.
Hari senin aku kelihatan rapi, bersih dan semangat mengikuti aktivitas disekolahnya. Ini aku lakukan hanya untuk merubah imageku, Aku rela mengikuti upacara dengan khitmat meski hari-hari sebelumnya tak pernah seperti itu. Banyak teman-temannya yang terheran-heran kepadaku yang terkenal dengan Alfanya, ternyata bisa jadi murid yang disiplin. Memang benar aku sedang jatuh cinta kepada salah satu teman sekelasnya. Temanku itu bernama Icha. Dia sangat rajin, pintar, dan menjadi salah satu peserta Olimpakude akuntasi tingkat kabupaten. Aku melihat prestasinya itu merasa malu.
“Apakah aku bisa mendapatkannya? Dia sempurna sekali bagiku. Sedangkan aku, aku hanyalah murid yang tidak seberapa pintar dan nakal pula,” kataku kepada Sinta, sahabat Icha suatu hari.
“Kamu bisa kok, Gus, asal kamu mau berusaha dan bertekat untuk berubah,“ Kata Sinta.
Hari demi hari kulewati dengan rasa semangat yang tinggi, aku selalu berusaha berubah jadi yang lebih baik. Aku merasa tidak mampu dipelajaran-pelajaran tertentu tetapi berkat rasa cintanya kepada Icha dan rasa semangat ingin berubah sangat kuat, aku mengisi hari-hari kosongnya dengan ikut les. Walaupun aku terkenal dengan kebadungannya tapi aku adalah seorang yang sangat pemalu bila harus menyatakan cinta, aku takut serta khawatir kalau seandainya aku menyatakan cinta tidak akan diterima.
Hari itu aku berencana untuk mengungkapkan isi hatiku. Ternyata pada hari itu pujaan hatiku tidak masuk. Hatiku kacau dan selalu bertanya-tanya ada apakah dengan Icha. Setelah aku bertanya kepada Sinta, ternyata Icha tidak masuk karena sakit dan dokter menyarankannya untuk istirahat beberapa hari.
Aku pun gelisah sambil menyimpan kata-kata romantis yang nantinya akan kupersembahkan untuk pujaan hatiku. Aku selalu membayangkan bahwa cintaku akan diterima oleh Icha dan bisa berpacaran dengannya. Setelah dua minggu Icha tidak masuk Aku pun terus mencari informasi-informasi tentang dirinya. Aku rasanya tidak sabar ingin cepat-cepat mengungkapkan rasa dihatiku. Tapi setelah aku lama menunggu dan lama menanti ternyata dia pindah sekolah di luar kota yang jauh lebih maju dan bertaraf internasional.
Aku merasa dunia yang begitu ramai ini begitu sunyi dan seakan apapun yang aku lakukan sia-sia. Akupun sadar banyak teman-teman yang peduli kepadaku dan masih banyak cita-cita yang belum tercapai. Kau adalah mimpi terindah bagiku meski engkau bukan tercipta untukku, Icha. Sejak saat itulah aku mulai jadi perokok, peminum dan pembolos.
***




Cinta Pertamaku
Hari itu aku kenal seorang gadis bernama Putri. Aku merasakan suatu rasa yang berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Apakah aku jatuh cinta padanya? Tidak, aku baru kenal dia. Tapi mengapa di saat aku ketemu dia, aku selalu malu, gugup dan salah tingkah? Aku mulai memberanikan diri mendekati Putri walau sebenarnya aku grogi sekali.
Sampai di rumah aku berfikir lagi tentang dia. Aku tidak bisa tidur karena memikirkan dia. Aku menuliskan perasaanku pada lembaran kertas.
Puisi cinta pertama
Akhirnya, masa-masa itu datang juga dalam hidupku.
saat pertama kali aku melihatmu dengan perasaan yang berbeda
Senyummu, rambutm, suaramu
membuatku terbayang-bayang setiap waktu
Jadi inikah cinta?
yang membuat orang rela mati untuknya
yang membuat orang rela minum racun serangga
yang membuat kisah Rome & Juliette abadi
ah, ternyata...
Jatuh cinta berbeda dengan jatuh dari pohon mangga
jatuh cinta tidak sama dengan jatuh dari sepeda
jatuh hati tidak seperti jatuh saat berlari.
***

Keesokan harinya, pulang sekolah kuberanikan diriku untuk memenuhi Putri. Di pertemuan kedua ini aku tetap saja nervoust dan salah tingkah. Ah, betapa malunya aku di depan teman-temanku bersikap seperti itu. Aku mulai berani memanggil, menyapa dan juga bertemu dengan dia.
Di sekolah, sekarang menjadi agendaku untuk menemui Putri kadang di kelas, di kantin di manapun berada. Setiap hari kutemui dia, walaupun kita ketemu tiap hari tapi kita juga belum puas, setelah sampai dirumah pun kita tetap aku sms dan telepon.
Dalam hati kecilku, aku berkata, “alangkah bahagianya jika aku bisa bersamanya. Dan juga dia merasa aman dan bahagia jika dia berada didekatku. Apakah dia bidadari yang dikirim dari langit untukku?”
Pada hari Santu, sekolah pulang pagi. AkKuberanika aku mengatakan kalau aku mencintai Putri, dan menanyakan apakah Putri mau jadi pacarku? Dia tidak bisa memberikan jawaban hari itu juga. Memang kelihatannya dia masih ragu untuk memberikan jawaban. Pada saat itu dia selalu mencoba mengalihkan perhatian dan dia masih ragu untuk menjawab. Dia meminta waktu untuk berfikir. Aku juga mengerti, ini bukan mainan. Tidak tanggung-tanggung, dia minta waktu seminggu lagi. Aku memberinya kesempatan. “Dalam waktu seminggu kamu pikirkan baik-baik, jangan sampai ragu karena ini masalah perasaan,” ucapku. “Iya mas, Aku janji hari Sabtu depan aku akan menjawab,” kata Putri.
Akhirnya setelah lama di sekolah kami memutuskan pulang. Setiap hari aku sekolah seperti biasa. Setelah pulang sekolah aku tidak bertemu dengannya karena dia ada les dan aku ikut bimbingan Ujian Nasional. Aku mencoba setia menantinya sampai hari Sabtu yang dia janjikan.
Dan hari yang aku tunggu-tunggu pun dating juga. Aku mengajak sahabatku untuk menemui Putri tetapi dia tidak mau katanya dia tidak suka kalau aku bersama Putri.
Dengan rasa nervoust aku menghampiri dia, tapi dia tidak langsung menjawab. Dia membuatku penasaran dulu. Dan setelah aku penasaran, akhirnya dengan tidak ragu Putri menjawab, “Tidak”.
Aku tidak siap dengan jawaban itu. Aku berharap begitu tinggi. Malu, sakit hati, hancur, bercampur jadi satu. Orang yang aku cintai tidak mencintaiku. Cinta pertamaku bertepuk sebelah tangan. Aku pulang dengan perasaan kecewa. Aku merasa tiada punya arti lagi. Perlu waktu bagiku untuk bisa mengobati sakit hati ini. Aku pun menemui sahabatku yang tadi menolak aku ajak menemui Putri.
“Sekarang kamu tahu sendiri mengapa aku tadi menolak kamu ajak. Aku melihat dia dengan mataku sendiri, Putri jalan dengan pria lain. Dia itu cewek matre. Bersyukurlah kamu ditolaknya karena dia hanya akan mempermainkan cowok dengan memeras uangnya. Pantas saja dia menolakmu karena kamu buka seleranya. Selera dia adalah cowok royal yang tak perlu setia,” tutur sahabatku.
Aku lega mendengarnya. Seketika rasa cintaku sirna. Ah, lebih baik focus pada ujian akhir daripada cinta yang akhirnya menyakitkan. Belum waktunya aku memikirkan cinta. Aku akan berpikir cita-cita terlebih dahulu.
***




Pengecut Cinta
Malam sudah larut dan hujan tak kunjung reda. Hanya sebungkus nasi padang dan seputung rokok yang aku beli dari hasilku ngamen hari ini, membuat diriku ini kuat menghadapi dinginnya malam, setelah seharian menahan lapar akhirnya dapat juga sesuap nasi sebagai pengganjal perut, aku buka sebungkus nasi padang ini!!! Semoga dengan sesuap nasi ini esok hari aku dapat lagi mencari nafkah lagi. “Ughu, ughu,” baru satu suap nasi padang ini aku telan terdesak ternggorokan. Teringat masa lalu membuat aku tidak nafsu untuk makan, sebagai gantinya aku menyalakan korek api dan kuhisap seputung rokok yang aku beli bersama nasi padang tadi.
Aku teringat kehidupanku di masa lalu, betapa kelamnya hidupku. Betapa jahatnya diriku. Aku teringat galaknya ayahku saat aku berbuat salah, teringat sapaan ibuku dengan senyuman saat aku baru pulang sekolah, teringat semuanya! Ah…semakin kau ingat, semakin sakit dan ingin rasanya berteriak sekencang mungkin. Sekarang semua itu sudah pergi. Itu aku anggap mimpi yang amatlah panjang sekarang. Namun bagaimanapun juga itu bukanlah mimpi, itu semua adalah kenyataan hidupku yang kelam.
Jika terus diingat betapa diriku ini sering sekali menyakiti mereka, dihadapan mereka aku sok jantan dan berani padahal diriku ini hanyalah seorang pengecut yang ujung-ujungnya merengek pada mereka jika butuh sesuatu, terutama kepada ibuku, sering aku membentaknya, mencaci-maki tapi ibu tak sekalipun marah padaku, dia hanya senyum, entah apa yang ada dipikirannya. Mungkin karena aku ini akan semata wayang dan oleh ibuku dimanjakan. Berbeda dengan ayahku karena dia seorang pensiunan militer. Dia sangat galak padaku. Aku dipukulinya karena mengambil uangnya atau sering pulang malam.
Pada waktu itu hari-hariku hanya aku hiasi dengan berfoya-foya bersama teman-teman. Setiap hari hanya kluyuran, nongkrong, main PS minum-minum, merokok dan apalah yang penting aku senang pada waktu itu, saat itu aku masih sekolah di kelas satu SMA. Mungkin pada masa-masa itulah diriku berada pada titik yang amar buruk, dan pada masa itu juga aku mulai mengenal dan menyukai lawanm jenis. Aku ingat namanya Ega temanku waktu kelas 1 SMP. Ah, Betapa indahnya saat itu. Tiap pualng sekolah ketemu ngobrol-ngobrol dan akhirnya akupun memberanikan diri menyatakan sayangku padanya, alangkah kaget dia menerima cintaku, cinta pertamaku..!
Walaupun jarang ketemu aku dan Ega berhubungan baik sekedar SMS ataupun telpon. Aku kangen sekali sama dia pada waktu itu, suatu malam akau mengajaknya bertemu dan jalan-jalan bersama-sama. Dengan perasaan yang senang aku bonceng dia dengan motor Mio yang dibelikan ayahku sebulan sebelumnya.
Aku ajak dia ke sebuah kafe yang kelihatannya sangat bagus, aku mengajaknya masuk ke kafe itu, kami ngobrol, bercanda, bermesra-mesra,an. Senang sekali pikiranku waktu itu, sampai aku khilaf dan melakukan perbuatan yang sangat buruk dengannya. Aku merusak kesuciannya. Saat itu waktu berlalu dengan cepat, aku sadar ketika Ega menangis di pelukanku, kuingat saat itu aku berkata padanya
“Ega…! Maafkan aku kumohon jangan kau katakan pada siapa-siapa apa yang kita lakukan tadi, simpan rahasia ini aku belum siap untuk menanggung semuanya.”
Saat itu aku sangat bingung, apa jadinya jika ada yang tahu hal ini, dengan tersedu-sedu Ega menjawab dengan suara lirih.
“Tidak Rendi…aku tidak akan mengatakan hal ini pada siapa-siapa. Inilah wujud rasa sayang yang aku berikan padamu”
Mendengar perkataannya itu aku hanya bisa tertegun dan menyesali apa yang aku lakukan padanya. Setelah kejadian itu aku merasa takut, malu, bingung, dan resah, takut jika terjadi sesuatu pada Ega. Aku mencoba menjalani hari dengan perasaan yang biasa agar tidak ada yang curiga namun hati ini masih gelisah.
Keesokan harinya aku bertemu dengannya, tak ada hal yang berada pada dirinya, dia tetap cantik dengan rambut sebahu yang terurai dengan bibir kecilnya dan sapaannya yang femilier, aku tenang melihat dia baik-baik saja. Aku dan Ega masih berhubungan seperti biasanya, tak ada yang berbeda, Bahkan, aku lupa jika aku pernah menodainya. Inilah mungkin yang namanya cinta sejati. Apapun namanya aku tetap sayang sama dia, seperti dia sayang padaku. Tiap minggu kami bertemu dia di rumahnya. Seperti itu hal yang aku jalani bersamanya.
Suatu hari Ega datang ke rumahku mungkin dia sangat rindu kepadaku. Aku ajak dia masuk ke rumahku tak seperti biasanya kami hanya mengobrol di teras samping rumah. Sebenarnya dia tidak mau tapi aku paksa karena dia ingin ku perkenalkan pada kedua orang tuaku. Di dalam rumah ada ibuku yang duduk di kursi dan ayahku yang tiduran di lantai sambil melihat TV. Kami masuk dan ibuku langsung menyapa Ega dengan ramah
“EH …ada temannya Rendi..! ayo nak silahkan masuk ….!!!”
Kami pun langsung duduk dan ngobrol bertiga, sedangkan ayahku yang lagi nonton berita tidak menoleh ke kami.
“Mah, sebenarnya aku ama Ega udah berpacaran sejak kelas tiga SMP, tapi aku tidak memberi tahu mama,” ucapku.
“Rendi, kenapa kamu tidak bilang dari dulu? Mama tidak melarang kalian berpacaran, tapi ingat tetep jada diri kamu dan sebagai cowoknya kamu harus menjaganya. Ingat jangan melakukan hal yang dilarang.” Tersentuh jantungku mendengar perkataan ibuku itu. Ega yang tadinya ceria menjadi muram dan takut. Aku mencoba mengalihkan perbincangan, namun tak kusangka Ega tidak kuat menahan beratnya masalah ini. Dia menangis dan langsung mmeluk ibuku yang duduk disampingnya. Aku hanya tertegun dan tidak dapat berbuat apa-apa.
Ibu bertanya kepada Ega namun Ega hanya menangis dan terus memeluk ibuku dengan erat. Melihat Ega yang menangis ayahku langsung bertanya padaku.
“Rendi apa yang telah kamu lakukan?”
Aku berada pada situasi yang sulit,. Jika aku mengakui apa jadinya diriku dihajar habis-habisan oleh ayahku. Jika tidak mengaku orang tuaka curiga kenapa Ega manangis seperti itu, aku sangat bingung pada waktu itu. Pikiranku kosong. Sambil menangis Ega mengakui apa yang diperbuatnya dengam diriku. Kulihat ibuku juga menangis, dan sekejap kepalan tangan ayahku mendarat diwajahku. Gelap serasa hari itu dan sampai saat ini luka akibat pukulan ayahku masih membekas di pelipis mataku.
Ega yang masih menangis tersedu-sedu meminta aku untuk mengantarnya pulang. Aku antar dia yang masih menangis tersedu-sedu itu., Setelah mengantarnya pulang, aku langsung masuk ke kamar. Aku melihat ibuku menangis. Aku langsung mengunci diri di kamar. Aku teringat sebotol vodka yang aku simpan sejak lulus dari SMP sisa dari pesta bersama temanku. Sesudah aku minum Vodka itu, sejenak masalah sirna lalu datang lagi lalu sirna lagi. Terbesit dalam pikiranku untuk bunuh diri, tapi aku mengurungkan niatku tersebut karena aku pengecut yang takut mati, anak manja yang merasa jantan dan dewasa.
Sekitar seminggu aku mengunci diri di kamar. Hari-hari hanya merenung berdiam diri dan memikirkan bagaimana keadaan Ega. Akhirnya aku memilih untuk pergi dari rumah dan hidup dijalan agar terbebas dari masalah yang berat ini. Mungkin apa yang ku lakukan ini salah, tapi ini yang kuanggap terbaik untukku. Sekarang aku menemukan apa yang namanya hidup mandiri. Betapa sulit mencari uang dan cari makan. Aku hidup di jalanan, tidur beratapkan langit berlantaikan bumi. Maafkan aku ayahku, maafkan aku mama, maafkan aku Ega . Aku akan kembali setelah aku berani menanggung perbuatanku.
***

Penyesalan Cinta
Di pojok kamar yang gelap, hanya bercahaya remang-remang, aku duduk dengan rasa takut dan khawatir. Khawatir dengan apa yang akan aku alami. Sedih, menyesal, takut, hina. Semua itu yang aku rasakan saat ini. Hidupku sekarang gelap. Cahaya yang dulu terang yang bisa membawa ke tujuan sudah aku padamkan dengan tanganku sendiri. Itu kebodohanku.
Pelan-pelan kubuka hasil tespek yang aku lakukan barusan dengan penuh harap semoga hasilnya negative. Dag..dig…dug, jantungku serasa mau copot. Ternyata hasilnya positif. Segera ku telfon Raka dan bicara apa yang aku alami saat ini.
“ Hallo, Raka. Ka, Bagaimana ini?”
“ Apanya yang gimana? Bicara yang jelas, jangan sambil menangis.“
“Bagaimana aku tidak menangis. Aku hamil. Aku harus gimana?”
“ Apa? Kamu hamil Syila?”
“Ya aku hamil. Sejak dulu aku sudah bilang jangan tapi kamu memaksa aku terus. Sekarang jadi begini berantakan semua. Pokoknya kamu harus bertanggung jawab.”
”Tenang sayang, tenang. Aku tanggung jawab.”
“Tut….tut….tut,” telepon langsung di matikan Raka. Aku bingung harus cerita sama siapa. Tidak mungkin aku cerita sama mama karena dia akan kaget dan sedih. Kepalaku rasanya pusing sekali, perutku mual rasanya ingin muntah. Tak bisa apa-apa aku kecuali menunggu kabar dari Raka.
Aku merasa menyesal tapi semua sudah terlanjur. Tiada guna aku menyesali.. Aku segera memilih baju, karena jika aku pakai pakaian yang biasa aku pakai itu sudah tidak muat. Bentuk badanku sudah mulai berubah terlebih lagi perutku suadah mulai buncit. Orang pasti akan curiga jika aku berpakaian ketat. Aku pilih ham longgar warna krem dan celana jeans lengkap dengan sepatu flat. Kurasa sudah cukup menutupi, segera aku ambil jaket hp dan tas. Aku menuju menanti Raka menjemputku untuk membicarakan masalah kami.Setiba di suatu rumah, aku di kenalkan dengan seseorang wanita umur 30 puluhan yang amat sangat cantik. Aku kira itu kakaknya tapi ternyata itu tantenya.
“Tante sudah tau apa yang terjadi dengan kalian. Seharusnya kalian bisa menjaga diri dan fokus dengan cita-cita kalian. Bukan malah seperti ini,” dia diam sejenak menghela nafas, kemudian berbicara lagi, ”tapi semua sudah terlanjur jalan keluarga hanya satu. Kamu untuk sementara harus berhenti sekolah. Kalian berdua harus dinikahkan.” Aku shok dengan kata-kata itu.
“Aku tidak mau berhenti sekolah. Lebih baik kandunganya ini digugurkan saja, “’kataku.
“Tidak. Janin yang tak berdosa harus tetep di pertahankan. Aku yang akan merawatnya,” bentak tante itu dengan keras
”Tapi tante bagaimana dengan sekolahku? Aku masih SMA kelas dua. Tidak mungkin aku berhenti. Apa kata guruku, dan bagaiman dengan orang tuaku? ”
Dia berjanji akan membicarakan masalah ini dengan Ibuku. dan aku hanya harus menjaga janin ini dia berkata jika setelah melahirkan aku akan ikut kejar paket C. Bayiku akan di rawat olehnya sampai aku dan Raka siap merawat anak. Akhirnya aku setuju dengan jalan yang di beriakan tante Raka. Setelah itu Raka mengantarku pulang. Sampai di rumah, aku rebahkan badanku di kasur. Kamarku terlihat berantakan. Pakaian berserakan di mana- mana.
Tanpa sepengetahuan ibuku, sudah tiga hari aku tidak masuk sekolah. Aku malu dan takut jika nanti ada yang curiga tentang kehamilanku. Pikiran melayang-melayang memikirkan kesiapanku untuk sekolah besok. Keesokan harinya tepat pukul tujuh, aku sampai di sekolah. Ratusan siswa memandangku dari atas sampai bawah. Aku jadi salah tingkah karenanya. Segera aku berlari menuju kelas. Dengan nafas terengah-engah, aku sandarkan badanku di kursi paling pojok belakang. Temanku sekelas mencoba bertanya alfaku. Aku jawab saja aku baru sembuh dari sakit. Untung mereka percaya dengan alasanku.
“Kamu di panggil guru BK,’’ tiba-tiba temanku berteriak memberi tahu. Aku menuju ruang BK. Di sana aku ditanya macam-macam. Setelah guru Bk selesai bicara aku meminta surat pindah karena aku sudah tidak tahan dan malu jika nanti ada orang yang tahu.
***
Aku meratapi andai aku tidak melakukan hal itu, andai aku fokus pada sekolahku, pasti aku tak akan seperti ini. Harusnya aku masih bisa bermain dengan temen-temenku. Aku rindu bersama-sama mereka. Hanya penyesalan yang aku terima. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku pasrah pada orang tua, bagiamana mereka mengambil keputusan yang terbaik untkku.
***












KENAKALAN ANAK SEKOLAH
Seperti biasa sesampainya di sekolah anak abu-abu putih bergerombol di satu meja dengan menghadap satu buku yang berisi jawaban dari PR mereka. Setelah hampir selesai 2 anak pemalas baru datang yaitu Bagus, dan Yudi. Seperti orang yang tak bersalah tanpa sepatah katapun mereka langsung meletakkan tas lalu menggambil buku dan ikut-ikutan gabung sama teman-teman yang lain. Belpun berbunyi tanda pelajaran dimulai.
“Ssst Pak Ali datang,” kata Candra.
Langsung saja anak abu-abu putih itu beranjak ketempatnya masing-masing.
Pak Ali adalah salah satu guru yang paling di takuti sama anak-anak 1 sekolahan.
“Assalamualaikum wr.wb” sapa Pak Ali.
“Wallaikumsalam wr.wb” jawab anak-anak dengan kompak.
Ketua kelas memimpin do’a. Pelajaran siap untuk di mulai.
“Anak-anak, ada PR tidak?” kata Pak Ali sambil beranjak memeriksa tugas anak-anak.
“Ada Pak!” jawab salah satu murid terpandai dan terajin di kelas tapi agak usil. Mawar namanya dia salah satu murid kebanggaan guru-guru karena selalu mendapat juara 1 pararel, tapi sayangnya dia agak dibenci sama teman-teman sekelas karena dia pelit tidak mau memberi contekan kepada teman-temannya. Dia juga ember, suka mengadu sama bapak dan ibu guru.
“Sekarang dibuka PRnya, jangan ada yang memegang pulpen satu pun!” suruh Pak Ali. Pak Ali mulai mengecek tugas dan kerapian anak-anak. Tidak ada yang berani berkutik satupun termasuk Candra, Bagus,dan Yudi karena guru yang satu ini sangat tegas dan disiplin tapi agak humoris.
“Mas, kenapa bajunya tidak di masukkan?” kata Pak Ali kepada Heri salah satu murid yang jarang memasukkan baju karena karena bajunya sengaja dibuat penek.
“Maaf Pak, keluar sendiri,” jawab Heri sedikit mengeluarkan keringat dingin.
“Sini saya jewer dari pada dosa.”
“Kok bisa dosa Pak? tanya Candra bingung. Pertanyaan ini juga menjadi tanda tanya buat anak-anak sekelas.
“Ya dosa, kan melanggar perjanjian yang sudah kalian sepakati dan tanda tangani,” kata Pak Ali sambil tersenyum.“Waktu pendaftaran kalian tanda tangan di atas materai yang ada huruf 6000 kan?” tanya Pak Ali.
“Iya pak…?” kata anak-anak masih dengan wajah linglung.
“Itulah perjanjiannya. Kalian sudah tanda tangani berarti kalian harus patuh dengan peraturan yang telah kalian sepakati bersama,”
“Ha.. ha…,” jawab anak-anak dengan kompak. Kontan saja anak-anak sekelas tertawa terbahak-bahak setelah wajah mereka di penui tanda tanya dan kelinglungan.
Setelah wajah mereka sudah agak santai, ternyata ketegangan masih berlanjut. Pak Ali melanjutkan pengecekkannya lagi. Ternyata masih ada saja masalah yang ada di kelas ini. Kelas ini sangat terkenal di sekolahan dengan kekompakan, kemalasan dan kenakalannya. Pak Ali melihat bukunya Bagus, ternyata tugasnya belum selesai.
“Mas, kenapa tugasnya belum selesai?” tanya Pak Ali kepada Bagus dengan wajah yang mulai galak.
“Maaf Pak, tidak bisa,” jawab Bagus sedikit gemeteran.
“Tidak bisa apa telat nyonteknya? Kebanyakan alas an. Maju ke depan. Nyanyikan satu lagu kebangsaan dan satu lagu jawa,” suruh pak Ali. Mau tidak mau, bisa tidak bisa, Bagus maju. Masih ada satu anak lagi yang belum mengerjakan tugas. Yang ini lebih parah karena tidak mengerjakan PR sama sekali. Yudi namanya.
“Mas, ini kenapa bukunya masih bersih. Ini pelecehan namanya,” kata Pak Ali mulai naik darah. “Kamu mengarang sejarah bapakku dua lembar folio bergaris penuh. Dikumpulkan besok.” Kalau Yudi ini, orangnya santai.
“Mas, kenapa nggak segera nyanyi?” tata Pak Ali sambil membuka buku
catatannya.
“Tidak hafal, Pak,” jawab Bagus sambil menundukkan kepala.
“Kamu orang Indonesia apa bukan? Massa lagu kebangsaan sendiri tidak hafal?” Saya kasih tiga kali kesempatan kalau tetap tidak bisa, saya suruh nyanyi kelas lain atau di kantor.
Bagus semakin deg-degan dan menerus mengeluarkan keringat dingin. Bagus benar-benar tidak bisa akhirnya Pak Ali memberi keringanan untuk dinyanyikan minggu depan dan harus hafal. Setelah itu, pelajaran pun dimulai.
* * *

Bel istirahat berbunyi, pak Ali segera mengakhiri materinya. Perut anak-anak keroncongan mereka bergerombol ke kantin untuk menyantap bakso, soto,dan gorengannya mbok E. Bel tanda masuk berbunyi mereka belum sempat menghabiskan makanan .
“Eh, teman-teman tunggu aku,” kata Yudi masih menyantap pentholl bakso. Mereka bergegas beranjak pergi, karena tidak sempat minum, sehingga ada yang tersedak, kepedasan, dan ada juga yang masih ngunyah makanan sambil jalan.
“Ayo cepat, Bu Asti sudah keluar dari kantor,” kata Heri. Mereka mempercepat lagkahnya.
“Akhirnya kita dulu yang sampai kelas,” kata Bagus kepedasan.
“Ya iya lah kita dulu yang sampai kelas. Bu Asti kan bawa badan dan pantatnya aja susah, gimana mau cepat,” jawab Yudi tertawa terbahak-bahak dan teman satu kelas juga ikut tertawa juga.
“Ssst, bu Asti dating, ” kata Gadis bohong. Anak-anak kembali duduk di bangku masing-masing. Setelah di tunggu agak lama Bu Asti tidak datang-datang, setetah dilihat ternyata Bu Asti masih di jalan sekitar tiga meter lagi.
“Hhh Gadis kambuh lagi dech penyakitnya.” Kata Tyas.
“He, maaf ya, ” kata Gadis meringis. Akhirnya Bu Asti sampai di kelas juga. Pelajaran di mulai. Setelah panjang lebar Bu Asti menjelaskan, ternyata Yudi dan Bagus tidur di kelas .
“Bu, Yudi dan Bagus tidur,” kata Gadis mengacungkan tangan.
“Hu …,” Sahut teman-teman sekelas.
“Yudi bangun, “ kata Bu Asti sambil menggoyangkan badan Yudi. Akhirnya Yudi terbangun juga.
“Huahaha…,” teman sekelas menertawakan Yudi yang seperti orang linglung.
“Sekarang kamu kekamar mandi cuci muka. Cepat,” suruh Bu Asti kepada Yudi. Setelah di tunggu lama Yudi tidak muncul-muncul. Karena takut kenapa-kenapa bu Asti menyuruh Candra untuk melihat Yudi di kamar mandi. Candra beranjak pergi, dia mencari Yudi di kamar mandi tapi tidak ada. Terdengar suara Yudi di kantin sedang bercanda bersama mbok E. Candra kembali ke kelas tanpa Yudi.
“ Mana Yudi, Can?” Tanya Bu Asti .
“Dia di kantin bu,” jelas Candra seperti apa yang dia lihat
“Ya sudahlah mungkin dia begitu maunya. Biar saya catat saja perbuatannya di buku poin pelanggaran,” jawab Bu Asti.
“Anak-anak, dengarkanlah. Saya berpesan pada kalian yang ada di kelas, jangan kau contoh perbuatan temanmu tadi. Yangan bangga dengan kenakalan. Banggalah dengan prestasi. Coba siapa yang senag jika ada anak yang nakal? Sadarlah. Belajar yang betul. Perbaiki sikap, perilaku dan tutur kata. Saya yakin kalian akan jadi anak yang berhasil kelak jika kamu memiliki keterampilan dan nilai afektif yang baik. Pikirkanlah,” tutur bu Asti menyadarkan anak-anak.
***














PENCURI HELM
“Uang yang ibu kasih kemarin sore buat membayar buku dan SPP sudah kamu bayarkan, Rud? Rudi terkejut mendegarnya. Rudi bingung mau menjawab apa, karena uang yang dikasih oleh Ibunya sudah habis untuk mentraktir temen-temennya tadi malam di sebuah warung.
“Sudah kubayarkan, Bu,” jawab Rudi dengan wajah yang tampak kebingungan. Rudi terpaksa bohong karena agar tidak di marahi oleh Ibunya.
“Baguslah Rud, kalau sudah kau bayarkan. Ibu tidak punya tanggungan lagi buat bayar sekolah kamu,” sahut Ibu.
Rudi bingung memikirkan bagaimana cara Rudi untuk membayar buku dan SPP tersebut, tidak mungkin Rudi meminta uang ke teman-temannya yang sudah Rudi traktir di warung. Tidak mungkin juga Rudi meminta uang kepada Ibunya. Ayahnya saja bekerja hanya sebagai tukang bangunan. Sedangkan Ibunya hanya di rumah sebagai Ibu rumah tangga.
“Apa yang harus aku lakukan, bagaimana aku bisa mendapatkan uang untuk bayar buku dan SPP?” Rudi bingung dan mencari ide agar mendapatkan uang. Dia minum secangkir kopi sambil memandang orang lewat di depan rumahnya. Di satu Rudi melihat sebuah motor dengan Helm yang tergantung di Spion. Rudi menemukan ide. “Mengapa aku tak mencobanya?” katanya dalam hati. “Aku bisa mencuri helmnya. Dengan itu aku bisa mendapatkan uang untuk melunasi buku dan SPP. Bulan depan harus sudah melulunasi pembayaran buku karena merupakan persyaratan mengikuti semester.”
Rudi sangat ambisi dengan idenya yang tidak baik itu. Suatu hari Rudi berjalan di pinggir jalan. Rudi melihat sebuah motor dan sebuah helm yang di gantungkan di spion. Situasi nampak sepi, hanya bebrapa orang saja yang lewat. Rudi menunggu waktu yang tepat untuk melakukan ambisinya tadii. Ketika tidak nampak lagi orang yang lewat, Rudi pun berlari dan mengambil helm yang tergantung di spion motor. Rudi terus berlari dengan helm yang ada di tangannya. Rudi telah berhasil membawa Helm dan tak ada orang yang melihatnya.
Di sebuah kebun Rudi berhenti karena keadaannya sudah sepi. Rudi nampak lelah setelah berlari-lari mencuri helm. Rudi istirahat sejenak dengan nafas yang lelah. Rudi mencari kantong plastik di tong sampah akhirnya dapat juga. Helm pun di bungkus dengan kantong plastik tersebut. Lalu Rudi membawanya ke pasar loak. Rudi menawarkan helm tersebut ke pedagang dan akhirnya pedagang itu membelinya dengan harga Rp.150.000,00. Uang itu masih kurang untuk membayar karena tanggungan buku dan SPP nya sebesar Rp.300.000,00.
Rudi pulang dengan membawa uang hasil curiannya. Rudi sedikit takut akan karena dosa. Namun Rudi tetap ambisi dengan caranya mendapatkan uang tersebut. “Akhirnya aku bisa mendapatkan uang untuk membayar tanggungan buku dan SPP, meskipun masih dapat setengah dari uang yang harus saya bayar,” batin Rudi.
Suatu hari waktu pulang sekolah Rudi berjalan di pinggir jalan, berharap ada mangsa untuk Ia curi. Keadaan terlihat agak ramai, namun Rudi masih menunggu sepinya orang. Dan keadaanpun mulai sepi perlahan-lahan Rudi mendekati sebuah motor dan memegang Helmnya. Saat Rudi mau lari membawa helm tersebut muncullah seorang Bapak yang melihat Rudi mencuri. Lalu Bapak itu memegang tangan Rudi, dan Rudi pun tak bisa lari.
“Hei, kenapa kau mencuri? Apa seperti itu yang diajarkan Bapak dan Ibu gurumu di sekolah?” Rudi mencoba menjelaskan kepada Bapak yang menangkap Rudi tersebut.
“Bukan pak, aku mencuri karena aku butuh uang untuk membayar buku dan SPP di sekolah. Sebenarnya uang untuk membayar buku sudah di beri sama Ibuku, tetapi uangnya sudah habis buat traktir teman-temanku,” ucap Rudi gugup.
“Apa tidak ada cara lain selain mencuri? Kenapa kamu tidak berkata jujur saja kepada orang tuamu kalau uang untuk membayar buku dan SPP sudah habis buat traktir temanmu?”
“Saya takut di marahi orang tuaku. Apa lagi ibu” jawab Rudi.
”Sebaiknya kau jujur kepada orang tuamu jangan mencuri seperti ini. Untung hanya aku yang tau, kalau warga yang tau bisa-bisa kau di pukuli sampai babak belur dan di laporkan ke kantor polisi. Kau bisa di hokum karenanya. Jangan kau ulangi lagi ya. Sudah pulang sana dan bilang kepada orang tuamu.” Rudi pun bergegas pergi dengan rasa malu. Namun Rudi masih ragu untuk bilang kepada Ibunya.
Rudi mencoba bilang kepada Ibunya, namun setelah Rudi pulang sekolah Ibunya tidak ada. Ibunya di rumah tetangganya yang mengadakan acara pernikahan.
Waktu malam, saat Ibunya sedang duduk di kursi bersama Ayahnya. Rudi menghampirinya dan menceritakan apa yang telah di alaminya.
”Buk, Pak, maafkan Rudi ya? Rudi telah menghabiskan uang yang Ibu beri untuk membayar buku dan SPP,” kata Rudi.
“Apa? Lalu uangnya kamu buat apa?” tanya Ibu dengan wajah marah.
”Uangnya sudah habis buat traktir teman-temean kemarin.”
Ibu mulai marah dan Rudi takut dengan kemarahan Ibunya. Akhirnya Ayahnya menenangkan kemarahan Ibunya dan di bicarakan dengan baik-baik Rudi di nasehati ayahnya agar tidak mengulanginya lagi.
Rudi tidak menceritakan kalau ia telah mencuri helm. Rudi takut akan kemarahan Bapak dan ibunya. Kejadian yang pernah dia alami dijadikannya sebagai pengalaman.Ia berjanji dalam hati untuk tidak mengulangi kejadian yang sebelumnya telah di alaminya.

***








Menyesal
Hari ini adalah hari pengumuman kelulusan. Semua pengumuman kelulusan SMA jatuh ada hari ini. Perasaanku sangat kacau dan penasaran. Teman-teman juga merasa sama. Ternyata setelah papan pengumumannya di pasang aku berhasil lulus. Teman-temanku ku juga banyak yang lulus tapi kami semua kasihan kepada teman-teman yang nasibnya belum beruntung. Kami semua ikut sedih dan memberikan semangat.
Sebelum pulang kami berkumpul-kumpul dulu dengan teman-teman dan membicarakan masalah kelulusan.
“Gimana, kalau kita ikut konfoy bersama-sama teman-teman yang lain”,ujar Asif
“emm..gimana ya…boleh aja kog” kata Riva
Aku diam mendengar percakapan mereka. aku tak ingin ikut-ikutan dan dimarahi ayah. Aku sudah mengira pasti mereka akan mengajak aku juga. Ternyata itu semua benar terjadi. Setelah semua teman-teman plang Asti mengajakku dan membujukkan untuk ikut. Tapi aku belum menjawabnya.
Setelah itu aku pulang dan membawa kabar gembira ini kepada keluargaku. Mereka juga kelihatan sangat senang. Tapi ayah berpesan kepadaku untuk jangan ikut-ikutan teman-teman yang ikut konfoy yang mengganggu ketentraman orang lain. Dan itu akan merugikan diri sendiri.
Keesokan harinya, ayah juga menasehati aku lagi muntuk tidak ikut konfoy. Aku hanya berkata iya setelah ayah berangkat kerja, dan semua keluargaku tidak ada dirumah.
Tiba-tiba Asti datang kerumahku dan mengajakku untuk ikut dengannya. Aku bingung sekali. Dia terus membujukkan dan akhirnya akupun jadi ikut. Padahal disisi lain, ayahku tidak menyetujui. Dan akupun jadi berangkat bersamanya. Kami berkumpul disuatu tempat dan mulailah semua itu.
Sebenarnya aku merasa sangat takut, tapi aku hilangkan semua pikiran itu. Semua seragam sekolah dicoret-coret menggunakan pilox, kecuali aku karena aku tidak mau dan tidak memakai seragam sekolah. Rambutnya pun juga ikut di semprot dengan menggunakan warna yang berbeda-beda. Semua kenalpotnya di buat-buat agar suaranya menjadi keras. Anak ceweknyapun Cuma hanya sedikit, kurang dari sepuluh anak yang ikut. Tapi cowoknya banyak banget, malah paling-paling sekitar 50 lebih
Berputar-putar lewat jalan raya dan mengganggu pengguna jalan yang lain. Malah ada beberapa dari kami yang dikejar-kejar oleh polisi. Untung mereka semua tidak tertangkap. Kalau sampai tertangkap waduh bahaya banget.
Dari pagi sekitar jam 08.00 sampai siang sekitar Jam 13.00, aku belum makan apa-apa. Dan dari pagi belum sarapan. Kalau hanya arak-arakan nggak jelas dijalan raya rasanya sangat laper banget.




Kebimbangan Cinta

Kau tak berjudul. Semua yang kau lakukan, semua menggangguku. Sebab untuk mengerti diriku saja tak bisa. Semua yang kuinginkan sudah tak ku inginkan lagi. Ah haruskah ini terjadi. Gemetar rasanya aku menggenggam handphone ini. Dan haruskah berakhir malam ini. Tidakkah ada cara lain yang lebih baik. Aku harus bisa memperbaikinya. Tiada kata menyerah.
Pagi buta aku berangkat dengan langkah berat. Berjalan ke sumur ilmu untuk menimbanya. Aku terhenti dan terhalang oleh sebuah batu, haruskah aku menyingkirkannya, atau mengukirkannya, dan meletakkannya di sumur untuk memperindah sumur. Ah penuh keraguan. Sampailah aku. Di gerbang perubah atmosfer. Kumasuki kelas yang rapuh diluar, tapi kuat didalam. Yang terjajar rapi didalamnya bangku dan meja yang bersih. Tersentak dan kaget “Ah”. Dia duduk manis tanpa rasa bersalah melihatku memasuk ruang yang sepi. Kuletakkan bebatuan bersama gusarnya hatiku. Haruskah aku mengatakannya, atau dian tanpa penyelesaian. Kukumpulkan semua keberanianku untuk ini. Semua kupertaruhkan demi kepastian. Melangkah menuju cahaya, dan meredupkan gelap. Mendatanginya dan menyapa “Hai, pagi cantik” dengan gusar. “Pagi juga” membalas dengan senyum manisnya yang meluluhkan ketegangan sesaat.
“Aku mau ngomong sama kamu”
“Ngomong soal apa?”
“Soal....soal hubungan kita”
Sekejap suasana berubah menjadi dingin.
“O...” dia hanya tertunduk.
“Tak perlu berbasa basi, sebenarnya kamu masih sayang gak sama aku?”
Tersentak terdiam, tak mampu berkata.
“Aku menunggu”
“Sebenarnya....” ia berkata lalu diam.
“Sebenarnya apa?”
“Aku ...aku udah gak sayang lagi sama kamu”
Semua hilang seketika. Semua beban-beban, kenangan-kenangan indah. Tinggalkan ruang kosong yang hampa.
“Kenapa kamu gak bilang dari dulu?”
“Sebenarnya aku sudah mau bilang sama kamu, tapi aku takut untuk mengatakannya”
Aku berfikir sejenak. Apa yang harus kukatakan. Akhirnya kuputuskan dengan penuh kesabaran.
“Ya udah gak apa-apa aku tahu semua in pasti terjadi, lebih baik kita jadi teman, teman selamanya.
Mulailah aku mengerti, bahwa aku tidak bisa mengukir batu untuk membuatnya indah. Aku hanya bisa membuat kokoh sumur dengan batu itu. Dan mengambil air dengan rasa tenang.
Sejak saat itu semua berlalu begitu cepat. Tiada yang sanggup menghentikan cepatnya waktu. Tak seorangpun. Bahkan aku sendiri. Sampai suatu ketika, aku merasakan getaran yang lama tak kurasakan. Seorang anak pindahan dari sekolah lain membuat hatikumerasakan rasa yang tak pernah kurasakan selama ini. Rasa ini berbeda, lebih besar dari sebelumnya. Setiap ia berkata membuat semua jadi indah, setiap ia tersenyum membuat tenang dan sejuk pikiran. Ada apa ini? Kenapa bisa begini?.
Aku tak mau terjerumus untuk kedua kalinya. Aku mengerti betapa pedih rasanya. Lebih baik aku pergi dan menjauh. Tapi ia tidak membiarkannya, setiap aku menjauh ia semakin mendekat. Aku berpikir sejenak. Kenapa akuseperti ini aku harus kuat. Walaupun harus jatuh berkali-kali akan tetap aku lakukan demi cinta sejati.
***








HARAPAN DI BAWAH TIANG BENDERA
Keringat mengalir deras di tubuhnya yang hitam. Butiran-butiran putih tersebut menggelinding seperti air hujan yang terhempas pada batu hitam mengkilat. Terik matahari tidak dipedulikannya, hatinya yang hangus lebih tersiksa dari tubuhnya yang kini bermandikan panas matahari. Seandainya ia perempuan, pasti ia juga akan menangis, tapi ia laki-laki. Laki-laki yang sudah biasa terhempas, disudutkan keadaan, di tikam kenyataan yang pahit. Perjuangannya tiga tahun ini berujung pada kecewaan yang sangat menggoncangkan jiwanya. Dua buah kata berbunyi “Tidak Lulus” yang tertulis di kertas pengumuman kemarin menghanyutkan puing-puing harapannya selama ini.
Dua kata tersebut menari-nari dengan lincah dikepalanya, selincah tangannya mengayunkan cangkul di lahan miring tempat ia menanam tanaman muda sejak tiga tahun yang lalu. Ia dilahirkan di sebuah perkampungan kecil di daerah Biting, tempat ia bersekolah. Secara ekonomi, orang tuanya yang bekerja sebagai petani harian tidak mampu untuk membiayai sekolahnya, tambah lagi kedua orang tuanya menganggap pendidikan hanyalah formalitas untuk orang-orang berada saja.
“Sekolah pun ujung-ujungnya bakal jadi petani juga,” nasehat yang mumpuni dari emaknya ketika ia mengemasi beberapa helai pakaian ke dalam kardus mie. Dalam hati ia yakin dengan pendidikan ia bisa merobah nasibnya dan Tuhan pasti memeluk mimpi orang-orang yang bermimpi seperti kata Andrea Hirata pada buku Laskar Pelangi yang telah ia baca di perpustakaan sekolah. Maka berangkatlah ia pagi itu dengan tatapan lusuh bapaknya yang sudah tua jadi petani di sawah orang.
Otaknya memang pas-pasan, kalau tidak boleh dibilang bodoh. Tapi semangatnya dalam mengikuti pelajaran sangat tinggi.
Suatu hari, datang juga seorang sales dari toko buku di Jawa Timur ke sekolah mereka untuk menawarkan buku-buku pelajaran yang beragam seperti yang dimiliki anak-anak sekolah di kota. Dugaan si sales tidak meleset, tak satu pun bukunya yang laku. Saprianto dan beberapa kawannya yang rata-rata anak petani hariannya hanya bisa menelan liur untuk memiliki buku tersebut.
Dengan segala keterbatasan akhirnya sampai juga ia di ujung perjuangan. Ujian Nasional (UN) diselenggarakan untuk pertama kalinya di sekolah tersebut. Kepsek dan majelis guru menyadari betul persiapan sekolah mereka untuk menghadapi UN. Guru-guru yang jauh dari standar kompetensi dan murid-murid yang tidak jenius karena dari kecil memang selalu kurang gizi.
Menjelang tengah hari, Saprianto masih melayangkan cangkulnya. Tak peduli keringat yang mengucur dari tubuhnya. Ia terhenti ketika ujung cangkulnya membentur sesuatu. “Nah ini dia,” bisiknya dalam hati, katika ia yakin menemukan akar pondasi utama dari ruang guru yang dipisahkan oleh gang sempit dari ruang kelas.
“Ene opo, Sap..” sambut bang regar berbahasa Jawa ketika Saprianto sampai di depan bengkel, maksudnya menyambut tamu beramah-tamah tapi kedengaran lucu karena logat bataknya tak bisa lepas dari lidanya.
“Rental pompa airnya lagi, bang!”
“Berapa jam?”
“Hitung-hitungan kali ia abang ini, besok pagi kuantar lagi, sekarang sudah setengah hari. Hitungnya setengah hari jugalah bang....”
“Oke...” jawab bang Regar sambil berjalan ke belakang mengambil mesin pompa air mereka kabota, Sap sudah sering merental mesin di situ untuk tanaman-tanamannya Sap membawa mesin dengan gerobak dorong. Sampai di bekas galianya tadi ia mengambil linggis. Sebenarnya ia sudah letih tapi ia paksa juga menghantamkan linggis ke podasi yang ia gali tadi. Setelah pondasi utama hancur ia mengalirkan air dari sungai kecil di belakang sekolah yang kira-kira 10 meter di bawah sana.mesin pompa berkekuatan 25 pk ini menaikkan air dengan enteng. Sap mengalirkan ke saluran-saluran hati akan mengekspos kegagalan mereka.
Tidak lama berselang ia tersenyum bangga. Bagian belakang bangunan sekolah mulai condong ke arah sungai, ia membiarkan mesin terus memompakan air berkekuatan Atmosfir kecamatan Bitingdinaungi mendung, tak lama kemudia hujan turun dengan lebat disertai petir sambar menyambar. Ia tersenyum makin lebar, gemuruh bangunan runtuh terdengar. Perlahan bangunan sekolahnya runtuh ke arah sungai.
Ia berlari-lari kegirangan di halaman sekolah, kemudian bersandardi tiang bendera yang benderanya ia biarkan juga basah ku-yup seperti hatinya dan teman-teman sekelasnya, yang setiap senin melakukan upacara bendera dengan khidmat.
“Wartawan pasti akan segera berdatangan dan mewawancaraiku ,” pikirannya dalam hati. “ini adalah moment yang tepat. Saat diwawancarai nanti aku akan berkirim sa-lam kepada menteri Pendidikan Nasional. Pak Menteri pasti akan senang dapat salam dariku di hari pendidikan Nasional yang akan diperingati beberapa hari lagi.” Senyuman makin manis demi teringat jawaban-jawaban yang akan diberikannya kepada wartawan.
Ia membayangkan ketika nanti ia melihat dirinya di TV, maka semua pejabat pemerintah dan semua orang di seluruh Indonesia, bahkan dunia, akan tertawa keras sejadi-jadinya.












IMPIAN WIDYA
Jam menunjukkan pukul 13.30 alarm tanda pulang sekolah pun berdering. Akhirnya rutinitasku disekolah telah usai. Siang itu sangat panas, matahari serasa ada diatas ubun-ubunku. Kendaraan berlalu lalang silih berganti. Itu adalah jam sibuk orang-orang yang berdomisili di Kota Reog itu. Sebuah kota kecil yang menjaci tumpuan hidup segelintir orang. Keramaian itu tak terlalu aku hiraukan. Yang ada dibenakku hanyalah keinginan untuk cepat sampai rumah, mengisi perutku dengan sepiring nasi berlaukkan rica-rica kesukaanku.
Lelah, haus dan lapar. Sering terlintas di dalam benakku, kenapa sih setiap orang rela menghabiskan separuh waktu dalam hari-harinya untuk bersekolah? Harus bangun pagi, bertemu guru kiler, mendapat tugas, menerima pelajaran yang tak kesemuanya dapat diterima dan diolah oleh otak, pulangnyapun harus berpanas-panasan ditambah lagi dengan rasa capek. Sekolah kadang lebih dari sekedar tuntutan. Aku juga bingung apa mereka tak merasa bosan, atau mungkin lelah? Hanya selembar ijazah dan nilai-nilai yang menjadi tolak ukur kemampuan seseorang yang diunduh. Apa di dunia ini telah tercipta hukum karma yang mewajibkan siapa saja untuk bersekolah. Kebanyakan orang yakin kalau bersekolah itu untuk menambah ilmu dan pengetahuan serta untuk meraih cita-cita yang digantungkan setinggi langit. Tapi aku yakin itu bukan 100 % yang melatar belakangi mereka untuk tetap menjalani kegiatan seperti sekolah. Ah, Entahlah aku masih belum menemukan jawaban dari teka-teki yang aku buat sendiri. Toh nyatanya aku seorang Widya adalah salah satu dari mereka yang juga tertuntut untuk tetap bersekolah.
Kuhentikan laju motorku di dekat gerobak yang bertuliskan “Es Degan Pak Mulyana”. Aku tidak bisa menahan dahagaku. Segera ku memesan segelas es degan, tenggorokanku yang telah kering karena haus segera terobati. Aku sering membeli es degan pada Pak Mul selain segar dan enak. Disitulah aku dapat menikmati suasana kota Reog saat siang hari.
“Pak, es degan seperti biasanya, ” kataku.
“Baik , Mbak. Tumben siang ini gak sama temannya,” tanya Pak Mul sedikit basa basi.
“Nggak Pak! Kebetulan saya tadi pulang duluan. Panas banget Pak Kota Ponorogo sekarang seperti di Jakarta saja. Macet, panas, dan ramai,” ucapku. mengeluh.
Tak beberapa lama segelas es degan telah dipegang oleh kedua tanganku. Dahaga yang tadi kurasa sekarang telah sedikit berkurang. Pandanganku yang tadinya konsen dengan kendaraan yang berlalu lalang didepanku, kini teralihkan dengan pemandangan yang membuatku miris. Seorang ibu paruh baya, usianya mungkin sekitar 40 tahunan compang camping, kulitnya hitam kelam karena tersorot terik matahari, rambutnya kusam terlihat tak terawat. Ia berdiri tak jauh dari palang lampu merah. Sesekali langkahnya yang melenggang menyambangi mobil dan motor yang berhenti di lampu merah.
“Minta buk, minta pak!”
“Minta mbak, minta mas?”
Kata-kata itu yang kudengar dari bibirnya, seraya mengulurkan tangannya. Ku amati setiap gerak geriknya. Seperti ada batu yang mengganjal ditenggorokanku hatiku sakit seperti teriris. Jika itu adalah ibuku, apa yang akan aku lakukan dan bagaimana mirisnya perasaanku. Tuhan syukurlah ku ucapkan dalam setiap hembusan nafasku. Betapa tak adilnya aku pada diriku sendiri, aku tak pernah mengungkap rasa syukur dan aku tak pernah menunjukkan sikap terima kasih kepada orang tua yang telah berjuang demi aku. Aku malu pada diriku sendiri, makan, tidur, sekolah, menghambur-hamburkan uang untuk beli alat kosmetik untuk memoles paras cantik, itu pun sering terucap kalimat-kalimat rengekan dan mengeluh.
***
Hari telah malam, tapi sulit mataku untuk terpejam. Tubuhku masih meringkuk diatas ranjang. Wajah kedua orang yang kutemui tadi siang sering menggangu benakku. Ternyata aku dalah gadis yang beruntung masih memiliki anggota keluarga lengkap, meski kami bukanlah orang kaya, tapi hidup kami berkecukupan. Orang tua ku juga sangat menyayangiku. Ku dengar suara pintu kamarku yang terbuka. Sosok wanita menghampiriku. Ia adalah ibuku.
“Kay, kamu belum tidur? Ini sudah malam, besok kamu kan harus bersekolah,” kata ibu.
“Belum, bu! Widya masih belum bias tidur.” Kata Widya dengan logat manja. Teringat kasih sayang ibu, aku berjanji akan membuat ibu bagga dan bahagia.
Hari demi hari kujadikan pelajaran hidupku. Ambisius sangat kuat akan hasrat untuk menjadi siswa yang pandai dan membanggakan orang tua. Satu lagi harapanku yang dapat menjadi penyemangat hidupku aku ingin suatu saat nanti jika aku jadi orang sukses, aku ingin menciptakan lapangan pekerjaan sehingga tidak banyak pengemis dan pengamen jalanan seperti saat ini.
***














CINTA Vs PRESTASI

Detik-detik perpisahan akan tiba. Hari ini hari terakhit aku belajar di SMA. Yang tersisa hanya ujian 3 hari lagi. Ujian yang akan menentukan lulus tidaknya aku dibangku terakhir SMA ini. Tiga hari yang masih memiliki kejelasan tentang apa yang akan mewarnainya.
Tiga hari yang akan menciptakan kebahagiaan sekaligus kesedihan dalam setiap hati pelajar. Bahagia karena mereka tidak harus dibebani dengan pelajaran-pelajaran yang cukup melelahkan dan membingungkan. Sekaligus juga sedih karena sekian lama berteman semua harus berpisah satu sama lainnya.
Sudah tiga tahun aku menghabiskan masa-masa sekolahku di SMA ini. Aku selalu menghabiskan waktu pagi hariku disini. Perubahan demi perubahan aku saksikan dan rasakan. Kenangan terukir sejalan dengan perjalanan waktu. Suka duka tercetak abadi dan menjadi bayangan di setiap langkah.
Tapi, setelah melewati ujian akhir yang akan berlangsung selama empat hari semua itu akan menjadi kenangan. Aku harus beradaptasi dengan gedung beru tempat melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, teman baru, sistem baru, pastinya semua serba baru dan tidak pernah aku jalani sebelumnya.
Sedih memang, tepi apa yang dapat aku lakukan? Tidak ada yang dapat ku perbuat. Semua ini memang harus ku jalani. Bukan aku saja, semua orang harus menjalaninya, semua pelajar harus menunggu waktu saja. Tapi aku masih belum siap dengan semua ini. Aku tidak ingin secepat ini berpisah dengan teman-teman dan guruku. Masih banyak yang belum ku selesaikan. Aku masih banyak menyisakan musuh-musuh di sekolahku. Aku ingin berteman kembali dengan mereka. Aku tidak ingin menyisakan musuh. Bagaimana pun mereka tetap teman, teman yang mungkin akan saling membutuhkan di kemudian hari.
Apa aku masih memiliki kesempatan berteman dengan mereka? Apa statusku masih musuh mereka di detik-detik akhir sekolah? Aku ingin mengubahnya. Semua musuh menjadi teman. Biarlah masa lalu terkubur kisah-kisah bahagia di detik-detik terakhir.
Cinta sebuah kata yang tidak mungkin bisa terlepas dari kehidupan remaja. Satu kata yang akan datang mengunjung hati remaja. Hanya saja apakah meraka akan menangkapnya atau melepaskannya terbang ke lain hati.
Aku sadar. Perasaan cinta telah membutakan semuanya. Semua yang aku kerjakan. Sejak cinta datang semua telah berubah. Tapi ku tak kuasa menolaknya. Aku ingin merasakan. Aku ingin menikmatinya. Aku ingin menjalaninya layaknya teman-teman di sekitarku.
Aku juga ingin membagi perasaan pada seseorang saat aku mengalami masalah. Aku juga ingin punya seseorang yang menemaniku saat aku kesepian dan merasa sendiri. Salahkah aku mejalani yang namanya cinta dimasa-masa remaja ini? Mangapa aku tidak pernah mendapatkan keinginanku? Mengapa cintaku selalu gugur tanpa sekalupun mekar? Mangapa? Salahkah aku?
Biarlah, semua berlalu. Waktu tidak akan pernah bisa diputar kembali.sesalpun tak akan pernah ada gunanya lagi. Semua telah pergi dan terukir di perjalanan hidupku. Tapi kini masih tersisa sebuah cinta di detik-detik terakhir masa SMAku.
Pohon yang ada dihadapanku? Pohon yang akan mekar atau akan gugur? Beberapa bulan lalu aku pernah diberi kesempatan sejenak merasakan manis pahit cinta ini. Banyak pengunjung yang berusaha mengusirku dari pohon cinta ini. Setelah cinta ini mekar, selalu saja ada yang datang memetik atau menggugurkan daunnya. Kini yang masih tersisa antara aku dan cinta ini, hanya sehelai daun di sebuah ranting tipis. Hanya ini yang masih tersisa dan dapat kupertahankan. Apakah dia akan tumbuh subur atau daun satu-satunya akan rontok juga? Biarlah waktu yang menjawab semuanya.
Semua yang aku inginkan tidak mungkin terpenuhi, tapi aku harus tetap berusaha menggapainya walau sekecil apapun harapannya. Sekecil apapun itu, asalkan berusaha masih mungkin menjadi nyata. Aku ingin merasakan cinta abadi yang dirasakan insan lain. Cinta yang selalu dibangga-banggakan dan dipamerkan, tapi kapankah itu akan terjadi? Biarlah, aku akan tetap menantinya. Cinta pastilah datang.
Aku sadar, perpisahan bukanlah akhir dari segalanya. Perpisahan dan pertemuan adalah suatu hal yang akan hadir di tengah-tengah kehidupan. Kita siap atau tidak menghadapinya.
Kini perpisahan sudah didepan mata. Pertemuan di satu gedung hanya tersisa empat hari lagi sewaktu ujian. Setelah itu, semua akan berlalu. Aku akan menjalani hidup sendiri yang lainnya akan menjalani hidup sesuai dengan jalannya masing-masing. Semua akan berjalan di jalan pilihannya masing-masing. Sedih jika dipikirkan, tapi ini harus dijalani.
Benar kata orang. Masa-masa yang paling bahagia dan patut dikenang adalah masa-masa SMA. SMA adalah merupakan masa dimana kita berada diperalihan sifat, dari anak-anak menuju dewasa. Di sini aku tidak dibebankan segala sesuatunya, yang dituntut hanya belajar dan bermain.
Tiga tahun semasa SMA merupakan saat dimana kita mencari jati diri menuju masa depan. Saat dimana hidup kita dipertahankan. Jika kita tidak pandai menjaga diri, salah bergaul kita pasti terjerumus. Disini semua hal akan kita jalani. Suka dan duka sangat terasa dan akan menyimpan sejuta kenangan yang tak akan terlupakan.
Detik-detik terakhir akan segera tiba. Aku masih bingung apa yang harus aku lakukan agar detik-detik terakhir ini tidak terbuang sia-sia. Tiga tahun aku diberikan kesempatan tapi yang aku simpan dan ukir hanya cinta, cinta dan cinta buka prestsi, kejuaraan atau penghargaan. Tidak ada yang kusimpan selain cinta.
Kali ini aku diberi kesempatan 3 hari lagi mengukir kenangan. Hanya 3 hari, aku masih bingung. Apa yang harus aku lakukan agar 3 hari ini bisa terkenang cukup indah tanpa kata cinta. Aku harus menjauhkan perasaan cintaku selama 3 hari agar bisa mengukir kisah bahagia.
Tapi, masalah cinta, aku hanya diberi kesempatan empat hari saja, tidak lebih. Hanya empat hari. Jika dalam empat hari aku gagal mendapatkan cinta, kesempatanku mendapatkan impianku selama ini akan semakin berkurang.
Aku ingin mendapatkan cinta, cinta dari Dewi tapi aku juga ingin mengukir prestasi. Mana yang harus kupilih? Cinta atau prestasi? Tidak aku tidak bisa memilih dua-duanya, karena itu sama saja dengan melepas keduanya. Maka aku putuskan saja aku akan fokus pada prestasi saja, aku focus pada ujian nasional, bukan yang lain.
***












Maraih Cita
Mentari pagi membangunkanku yang tertidur pulas di balik selimut tebal. Kelembutan sinarnya memancar hingga sudut kamar tidurku. Hawa dingin mulai merasuk ke dalam tulang-tulang rusukku. Aku tersadar kalau hari ini bukan hari yang biasa bagiku. Hari ini aku harus berangkat ke kota pahlawan untuk menunaikan tugas baruku yaitu kuliah. Berjuta perasaan mendera jiwaku. Senang karena telah masuk ke jenjang yang lebih tinggi setelah lulus dari SMA dan sedih karena harus kuliah di tempat yang jauh dan harus berpisah dengan Ibu untuk beberapa waktu meskipun tak lama.
Baru kali ini aku terpisah jauh dari orang tuaku. Aku terharu karena memang aku dapat masuk kuliah melalui PMDK pada jurusan yang aku cita-citakan. Kesempatan ini aku dapatkan tidak. Semudah membalikkan telapak tangan. Aku harus belajar dengan giat sehingga nilai rapotku baik dari kelas satu sampai kelas tiga. Ibuku sangat bangga padaku.
Aku segera lari ke kamar mandi dan bersiap-siap untuk barangkat ke Surabaya. Senyum kesedihan terpancar di raut wajah cantik ibuku saat kuucapkan kata – kata .
”Bu, Putri berangkat dulu ya,” kataku sambil mencium tangan lembut ibuku dengan penuh kasih sayang. Lalu keningku pun dapat ciuman manis ibuku.
”Hati-hati ya. Ibu doakan semoga kamu mendapat kemudahan dalam menuntut ilmu. Ibu cuma bisa mendoakan kamu. Jangan lupa makan dan jaga diri baik-baik di sana.”
Dengan pelukan yang hangat kurasakan kesedihan yang teramat dalam pada diri ibuku. Namun apa boleh buat. Aku harus tetap berangkat demi cita-cita yang selama ini aku impikan. Berat hati aku melangkahkan kakiku keluar rumah sambil berpamitan pada ibuku. Jerit tangis hatiku merintih-rintih. Tapi aku berusaha sekuat hati menerima semua ini dengan penuh ketegaran. Aku akan menjemput cita-citaku. Aku akan mengukir kenangan di bangku kuliah. Aku harus berhasil.
Tiba-tiba aku teringat puisi yang aku buat semalam. Dengan penuh cucuran air mata, kumainkan tanganku. Kugoreskan sedikit demi sedikit tinta yang ada di penaku. Kuukir kata demi kata sampai menjadi untaian kata.
Perpisahan ini adalah luka Luka yang menusuk kalbu
Kepahitan batin
Sesaknya napas …..
Menjadi manis dengan hadirnya kenangan
Perpisahan ini adalah luka
Biarlah semua mengalir
Hanya air mata manis
Yang mampu menenangkan
Jiwa yang terguncang
Aku akan pergi
Mengukur kenangan lagi
Untuk masa depan nanti
Kata-kataku itu, memotivasiku untuk yakin dan mantap untuk berangkat menaiki jenjang pendidikan di bangku kuliah. Aku akan mengembara mencari ilmu.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar