Tampilkan postingan dengan label CERPEN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label CERPEN. Tampilkan semua postingan

Pribadi Kuropsi Berakhir di Jeruji

Pribadi Kuropsi Berakhir di Jeruji

Cerpen Oleh: Rustiani Widiasih

“O… jadi Bapak  teman sekantornya Gianto?” ucap lelaki botak sambil menghembuskan asap rokok dari mulutnya.
“Betul. Kok Bapak kenal sama Pak Gianto?” jawab lelaki  bertubuh kurus yang duduk di pojok warung kopi pagi itu.”Saya dulu anak buahnya Pak.”
“Jelas saya kenal baik dengan Gianta. Lha wong saya ini tetangganya.”
“O…” jawab lelaki kurus sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. “Kasian beliau ya Pak.”
“Kasian anak dan istrinya juga. Semua jadi berantakan sekarang. Padahal Gianto itu merintis karirnya dari nol. Dia seorang anak buruh tani yang miskin.”
Obrolan dua orang yang tidak saling kenal itu menjadi sangat akrab karena masing-masing kenal dengan baik dengan seorang yang bernama Gianto.  Obrolan mereka di warung kopi itu sangat seru karena Gianto dan keluarganya  sedang menjadi buah bibir saat itu.
“Saya mengenal pak Gianto sejak sepuluh tahun yang lalu ketika Pak Gianto dimutasi sekantor dengan saya. Katanya sih,  dia memulai bekerja dari golongan paling bawah. Sedikit demi sedikit naik pangkat hingga menduduki jabatan,”  tutur lelaki krempeng setelah meneguk kopi.
 “Ya saya tatu itu. Gianto itu mau ditempatkan di mana saja, selalu bekerja dengan tekun, disiplin dan tertib. Dia juga disukai anak buahnya karena selalu menghormati siapa saja. Begitupun dalam keseharian di masyarakat, tindak tanduknya sopan dan santun.”
“Ya Pak betul itu. Saya sebagai anak buahnya merasakan kebaikannya.”
“Dulu, kehidupan Gianto dan anak istrinya selalu rukun dan bahagia.  Kehidupannya yang sederhana itulah yang membuat mereka  bahagia.”
“Sebenarnya apa sih pak penyebab awal sehingga keluarga pak Gianto bisa menjadi berantakan seperti sekarang ini? Bapak kan tetangganya, pasti tahu dong penyebabnya?”
“Oh… komplek sekali penyebabnya. Yang jelas setahuku semua berawal dari istrinya si Lina itu.”
“Memang ada apa dengan bu Lina?”
“Lina itu  selalu memuntut pada suaminya. Diberi uang berapapun tidak ada cukupnya. Makanya dia membuka usaha  pembayaran token listrik. Katanya sih biar dapat pemasukan tambahan. Katanya, usaha titu tidak membutuhkan banyak biaya dan dapat dilakukan di rumah saja. Setelah berembuk dengan suaminya, Gianto akhirnya  terwujudlah rencana untuk mendirikan Token Listrik di rumahnya.”
 “ Terus apa yang salah Pak?”
“Suatu pagi,   salah satu pelanggan yaitu bu RT bertamu di rumah Gianto. Dia mengatakan kalau pada hari sebelumnya ada seorang petugas PLN yang datang menagih bayaran  Listrik. Dia merasa tidak pernah terlambat dalam membayar listrik.”
“Terus?”
“Ya…Setelah ditanyakan,   Lina mengatakan kenyataan yang sebenarnya bahwa dia memang belum membayarkan uang listrik.  Kejadian itu didengar oleh seluruh warga kampung. Banyak yang mengatakan keluhannya ketika membayar listrik ke Lina. Lina sering mengambil uang  mengambil uang konsumen meskipun hanya seribu atau dua ribu  rupiah atau kurang dari itu. Misalkan total nilai pembayaran listrik  adalah 9.400 dan kita menyerahkan uang Rp 10.000, maka biasanya Lina  tidak memberikan kembaliannya dengan alasan tidak ada uang receh. Kadang uang kembalinya akan diberikan pada bulan berikutnya namun kenyatannya tidak pernah dibayarkan.”
“Hanya seperti itu alasannya pak?”
“Tidak. Uang kembalian itu  memang kecil, berapalah nilainya itu di zaman serba mahal ini. Kebanyakan konsumen tidak mempermasalahkan hal ini atau tidak ingin mencari rebut. Begitulah tipikal orang Indonesia, suka mengalah. Namun jika  jika dikumpulkan akan menjadi banyak juga. Banyak orang sudah mengeluhkan kejadian semacam ini, tetapi  Si Lina  biasanya tutup mata atau tidak mau tahu.”
“Kalau begitu mengapa  orang membayar listrik di tempatnya bu Lina?”
            “Sudah terlanjur dikoordinir sama dia. Sebenarnya banyak orang sudah mengira bahka perilaku  Lina mencurigakan. Setiap membayar listrik jika diminta struknya tidak diberikan. Katanya sudah diberikan kepada petugas. Jika ditanya berapa habisnya, dia selalu menjawab seratus ribu. Dan  dia menurut begitu saja. “
            “Memang gaji pak Gianto masih kurang ya pak sampai-sampai bu Lina harus membuat usaha sendiri?”
            “Wah… kalau itu saya tidak tahu pastinya. Yang jelas Lina dan Gianto memiliki tiga orang anak. Anak yang pertama duduk di bangku SMP, anak kedua dan ketiga masih duduk di bangku SD. Tentu saja tidak sedikit biaya harian yang diperlukan. Apalagi, Gianto hanyalah pejabat kecil.”
            “Biar pejabat kecil dia itu atasan saya lho pak” protes lelaki kurus. “Terus apa yang salah dengan bisnis bu Lina?
“Mungkin karena banyaknya keperluan hidup, Lina terbujuk hutang dengan jaminan kartu ATM suaminya.  Kata  petugas kridit, dengan ATM tidak perlu ada jaminan apapun dan uangnya  bisa langsung cair.  Namun celakanya, Lina tidak bermusyawarah dengan suami.  “
“Terus apa reksi pak Giantao?”
“Awalnya Gianto tidak tahu. Gianto tahu kalau sistrinyaberhutang dan kartu ATM sebagai jaminannya ketika ada seorang datang mengih hutang. Sebenarnya Lina ingin sekali menyimpan rahasia itu. Kenyataannya serapat-rapatnya dia menutupi rahasianya masih ketahuan juga.”
“Apa reaksi pak Gianto Pak?”
“Ya, pastilah Gianto marah. Terjadilah pertengkaran diantara keduanya. Suasana rumah menjadi  tidak damai. Keributan sering terjadi. Bahkan hampir setiap hari. Saya yang mendengarnya menjadi pusing mendengarnya. Akhirnya suatu hari  Lina tidak kuat lagi dan pergi meninggalkan rumah. Tidak jelas kemana perginya. Beberapa hari  Gianto mencari ke rumah saudara-saudaranya. Namun tidak ketemu juga. Gianto sangat sedih. Dia harus mengurus anak-anak dan ditambah lagi dia tidak memegang uang kala itu. “
“Apa bu Lina tidak pulang?”
“Setelah beberapa hari menghilang, Lina muncul juga.  Dia merasa  tidak nyaman lagi berada di kampungnya, Di a merasa semua orang selalu mengawasinya. Karena perasaan itu dia sering berdiam diri di rumah saja. Dia merasa malu pada bu RT yang uang listriknya diambil selama tiga bulan tidak dibayarkan.”
“Bapak tahu betul cerita pak Gianto dari A sampai Z ya?”
“Tidak hanya saya yang tahu. Semua orang di kampung juga tahu.”
“Terus  bu RTnya melaporkan bu Lina ke polisi ya pak?”
“Tidak.  Namun bu RT tidak mau tertipu lagi. Sekarang pembayaran listrik dia bayarkan di bank.  Bu RT kaget melihat angkah yang harus dia bayar. Biasanya dia membayar seratus ribu lewat bu Lina. Kini, dia hanya membayar  enam puluh ribu. Jadi selama bertahun-tahun dia membayar seratus ribu setiap bulannya. “ Semula bu RT ingin pergi menemui bu Lina untuk meminta tanggung jawabnya. Namun  dia mendapatkan kabar kalau  bu Lina telah pergi meninggalkan anak dan suaminya.  Kasian sekali. Anak-anak yang tidak tahu apa-apa ikut jadi korban. “
“APa bu RT melaporkan buLina kepada Polisi?”
            “Tidak. Akhirnya bu RT mengikhlaskan uangnya. Itu lebih baik daripada mendapatkan maslah baru dengan bu Lina. Semua diambil hikmahnya saja. Ya, begitulah. Kesemrawutan kehidupan Lina karena ulahnya sendiri. Ternyata korupsi dilakukan tidak hanya orang kaya . Yang  mempunyai proyek besar korupsinya juga besar. Yang  kecil proyeknya korupsinya jug kecil seperti Lina itu.”
            “Apa karena itu pula pak Gianto melakukan korupsi ya Pak?”
            “Mungkin saja. Sebenarnya Gianto orangnya jujur kok. Tidak mungkin kalau dia korupsi.”
“Anehnnya pak. Ketika pak Gianto diperiksa, tidak ada bukti transfer uang pada pak Gianto. Tidak ada nomor rekening yang pantas dicurigai. Tidak terbukti ada nama rekening Gianto dan juga keluarga yang ada unsur korupsinya.”
“Jelas tidak ada. Gianto tampaknya orang bersih dan jujur. Tidak ada model kuruptor”
“Walau tidak terbukti ada penyelewengan dana, pak Gianto tetap  dianggap salah karena dia menjalankan tender dengan cara yang salah.  Karena itu, Gianto tetap dimasukkan pada tahanan.”
“Kamu belum tahu kenyataan yang sebenarnya. Gianto ternyata juga manusia.  Pada saat  saya besuk, ada wanita muda yang cantik dan bersih menjenguk Gianto dalam penjara.
Saya terheran-heran  dan bertanya-tanya siapa wanita itu. Dengan jujur Gianto mengatakan bahwa dia adalah istri mudanya. Huh..”
“O,  ternyata Pak  Gianto juga manusia yang masih kena goda ya pak.”
“Ya. Lelaki itu godanya harta, tahta dan wanita. Rejeki itu jika dicari dengan cara yang benar akan memberikan   kebahagiaan. Sebaliknya jika mencarinya tidak benar akan menjadi sumber bencana, tidak berkah. Ya seperti kisah Gianto itu.”
            “Gara-gara uang semua jadi kacau ya pak.”
            “Ya. Memang uang yang berasal dari cara yang  tidak banar akan menjadi darah yang kotor. Makan uang panas akan menjadi perut panas, pikiran panas dan perilaku yang panas pula. Akhirnya Gianto seperti Si Kancil anak nakal yang  Suka mencuri timun Ayo lekas ditangkap Jangan diberi ampun. He.. he…” Ucap lelaki botak sambil bergegas keluar dari warung kopi. Sedangkan lelaki krempeng masih penasaran tentang kisah kehidupan keluarga mantan atasannya.

SELESAI

Anak Pemecah Batu

Siang harinya sepulang sekolah, aku cepat makan, lalu bersiap-siap menyusul ibu di tepi sungai. Setiba disana, aku melihat kakak dan ibuku duduk di bawah atap yang terbuat dari  blarak[1]. Mereka tampak lelah dan kepanasan. Memang, udara terasa sangat panas siang itu. Di sungai, aku melihat beberapa orang mencari pasir dan batu kali.  Tidak  memandang laki-laki atau perempuan dalam pekerjaan itu. Mereka menggambil batu lalu membawanya ke tepian sungai dan menatanya menjadi tumpukan
yang rapi sekali. Sedikit demi sedikit pencari pasir menumpahkan hasil cariannya di tepian sungai hingga menjadi gundukan besar.
          Tumpukan batu menyambut kedatangannku.
“Ayu cepat, bantu kakakmu. Besuk grosoknya akan diambil oleh pemesannya,” kata ibu begitu aku duduk.
          Kakak diam saja tanpa bicara. Kakakku lebih tua lima tahun dariku. Setelah lulus SMP, dia tidak melanjutkan sekolah. Sehari-harinya dia mencari batu lalu memecahnya dengan palu.  Sebenarnya ibu dan bapak menyuruhnya sekolah, tetapi dia tidak mau. Katanya, sekolah itu sulit,  dan lebih enak mencari uang. Selain itu, kakak tahu benar keadaan orangtua yang pastinya sangat berat membayar biaya pendidikan di SMA.
          Aku pun segera mengambil batu-batu yang menumpuk itu. Satu demi satu aku pecahkan batu segingga menjadi grosok. Aku memukul dengan cepat sekali agar pekerjaan ini cepat selesai.
          “Aaaawwww,” pekikku terkejut. Tanpa sengaja,  palu menghantam jari-jariku dengan keras. Kakak dan ibu terkejut.
          “Ada apa?” tanya ibuku.
          “Tangan saya terkena palu, Bu,” jawabku menahan rasa takut.
          “Baru saja mulai, kamu sudah kerkena palu. Aku dan ibu sudah mulai sejak pagi tadi tapi  tidak ada masalah,” ucap kakakku.
          “Ya, Kak,  aku cepat-cepat biar cepat selesai, eh... malah terpukul.”
          “Makanya kalau bekerja jangan setengah hati,” kata kakakku lagi.
          “Ya, ya. Aku sungguh-sungguh.” Aku tidak tega melihat wajah ibu dan kakak yang begitu letih bekerja seharian, bagaimanapun aku harus membantunya.
          “Hati-hati,” pesan ibu. Aku mengangguk, lalu kembali melanjutkan pekerjaanku. Walaupun jariku terasa sakit karena memar, tapi aku paksakan juga memukul batu. Sore harinya, barulah kami pulang walau belum selesai memecah batu semuanya. Ibu memperkirakan jumlah grosoknya sudah satu rit.
***

[1] Blarak: daun kelapa

Anak pemecah Batu

Anak Pemecah Batu (bagian 1)

“P
ulang sekolah nanti, habis makan, kamu langsung menyusul ibu di Sungai. Ada pesanan grosok [1]satu rit besuk. Jangan lupa membawa palunya,” pesan ibuku saat aku berpamitan berangkat sekolah.
          “Iya, Bu,” jawabku singkat. Pesan seperti itu selalu aku terima saat aku berpamitan berangkat ke sekolah. Aku lalu menyusuri jalanan berbatu di desa Sampung. Kulihat dari kejauhan bapakku dan beberapa orang sudah melakukan pekerjaannya sebagai pencari batu gamping[2]. “Heh...,”aku mengambil napas panjang.  Ada perasaan tidak enak melihat begitu beratnya pekerjaan yang harus dilakukan bapak. Ia harus menggali, memukul, dan mengangkut batu gamping untuk mendapat beberapa puluh ribu. Kadang-kadang dia mencari batu kali dan pasir untuk tambahan penghasilan. Begitu pun pekerjaan ibuku. Jika sedang ada pesanan grosok seperti saat ini, ibu memukul batu kali yang besarnya segenggam menjadi batu grosok. Pasir, batu kali dan batu gamping tiada habis-habisnya walau setiap hari orang-orang Sampung menggambilnya. Mungkin begitulah Tuhan memberi rezeki pada hambaNya.
          ***


[1] Grosok: batu koral
[2] Gamping: kapur

CERPEN

CERPEN
                                                    Korban Cinta 

Cerpen: Rustiani Widiasih

Aku terbelalak mendengar tangisan Lucia yang ada di kamar sebelahku. Tangisan itu terasa janggal karena baru kali ini, aku mendengarnya. Aku mendekati kamar itu lalu masuk ke dalamnya.

“Ada apa, Lusi?“ Aku bertanya sambil memegang punggung Lucia dengan hati cemas. Lucia menutupi wajahnya yang merah dan sembab karena linangan air mata. Pertanyaanku tidak tidak langsung dijawab, mulutnya terkunci. Lucia masih mengusap-usap matanya. Wajahnya tampak layu seperti bunga mawar yang tak terkena sinar matahari, pucat pasi tak bersemangat.

“Ada apa kok menangis?“ tanyaku lagi. “Ayo katakan saja, barangkali aku bisa membantu,” lanjutku.

 Lucia masih saja tidak berkutik dari kesedihannya, Tiba-tiba Lucia bangkit dan menatapku.

“Tidak ada apa-apa.  Saya hanya kecapekan habis ada kegiatan olah raga di sekolah,“ kata Lucia  yang kemudian merebahkan tubuhnya yang lemas lunglai ke atas kasur.

“Kalau begitu kamu istirahat saja dan minum obat supaya lekas sembuh,“  kataku  kemudian meninggalkan kamar itu.

***

Malam harinya, aku dan teman-teman satu kos berkumpul di ruang tamu bersama ibu kos. Kami membicarakan masalah Lusia dan menebak-nebak apa yang sebenarnya terjadi padanya karena dia hanya mengurung diri di kamar sehari semalam.

Banyak yang  menanyakan kepadaku tentang kondisi aneh Lucia akhir-akhir ini. Aku dianggap orang yang dekat dengan dia, tapi aku pun bungkam tidak tahu permasalahannya. Aku hanya bisa berkata, “Saya tidak tahu, mungkin dia sedang sakit”. Jawaban ini agak konyol karena meski Lucia sakit tapi tidak pernah semuram ini.

Suatu sore sekitar jam setengah lima, tak sengaja aku melihat Lucia keluar dari kamarnya dengan tergesa-gesa. Dia keluar sendirian, pakai sepeda motor dengan baju lengan pendek serta celana jeans. Sepertinya ada sesuatu yang penting dibalik kepergiannya itu. Setelah memastikan kepergiannya, perlahan-lahan aku mulai mendekati kamar kosnya yang terlihat tertutup.

Kelambu di jendela kamarnya tertutup rapat,tapi ada celah yang bisa mengetahui keadaan kamarnya. Kulihat kamar itu melalui celah kecil itu, ku dapati buku lembaran putih yang ada di atas mejanya. Aku ingin mengetahui tulisan yang ada dilembaran itu, tapi mustahil aku dapat membaca tulisan itu dengan jarak demikian jauh.

Kupaksakan mataku untuk dapat membacanya tetapi semakin kupaksakan semakin sakit mata ini. Aku mulai mencari akal bagaimana aku dapat membaca tulisan itu, siapa tahu setelah aku membaca tulisan itu aku dapat memberi solusi terhadap masalah yang sedang dihadapinya. Tanganku terasa gatal ingin mendobrak dan masuk ke kamarnya. Perlahan tapi pasti aku mulai meraba gagang pintu lalu aku putar gagang itu. Deg, betapa kagetnya aku, kamar itu ternyata tak terkunci.

“Ini adalah kesempatan,“ bisikku dalam hati. Aku menengok ke kanan dan ke kiri khawatir ada teman kos yang melihat aksiku. Setelah yakin aman, kakiku mulai melangkah memasuki kamar. Kubaca tulisan itu dengan seksama tanpa aku menyentuh lembaran itu. Ternyata sebuah penyesalan cinta. Cinta terbalas luka. Di lembaran itu terdapat kalimat

“Kalau dulu sudah tahu seperti ini jadinya, lebih baik aku tak bertemu denganmu dan mengenalmu. Mengenalmu seperti mengenal hantu yang membuatku selalu takut, cemas, khawatir dan jengkel. Perasaanku sudah terlau dalam hingga sulit bagiku untuk melupakanmu. Tapi sikapmu yang seperti itu, bermain api dibelakangku. Kau menduakan cintaku. Cinta sejati memang tidak ada di dunia ini. Yang ada hanya cinta sekejap yang mudah hilang seiring hembusan angin kencang di malam hari. Aku memang telah terbius dengan segala ucapan dan janji-janji palsumu, janji sehidup semati. Tetapi itu semua tinggallah janji-janji palsu yang tak tertepati. Seandainya dunia seisinya digantikan dengan dirimu, aku masih mendambakanmu, tapi itu dulu. Sekarang, jangankan dunia dan isinya, ditukar dengan kucing pun aku masih memilih kucing. Aku merasa diriku adalah orang hina, tak ada gunanya aku hidup lagi. Aku sudah bagaikan sampah. Kau tinggalkan diriku begitu saja tanpa merasa belas kasihan. Kau nikmati aku setelah kau bosan, dengan sesuka hatimu kau pergi. Hari ini aku rasakan kepedihan yang tak tersembuhkan. Jiwaku tersayat perih. “

Sekalipun tulisan yang aku baca di atas meja Lucia tidak terlau banyak, hanya selembar namun isinya cukup menyentuh perasaanku.Setelah membaca tulisan itu, aku bergegas keluar dari kamarnya dengan kaki berjinjit. Ternyata patah hati adalah permasalahan yang dihadapi Lucia. Aku yakin Lucia adalah anak yang cerdas tidak mungkin stress hanya gara-gara cinta. Lucia diakui teman-temannya sebagai Lucia SMA yang cerdas, apalagi dia Lucia yang cantik yang banyak bergaul dengan laki-laki. Aku yakin pasti banyak laki-laki yang suka padanya.

Malam itu aku bisa tidur, bukan karena banyak nyamuk tapi perasaan khawatirku. Lucia yang sejak sore tadi meninggalkan kamar belum kembali hingga jam 9 malam. Aku mengalihkan perasaan khawatirku dengan mendengarkan musik di hpku. Tiba-tiba gedoran pintu pagar memaksaku beranjak. Di pintu pagar ada  seorang wanita berseragam putih, dia adalah perawat di puskesmas.

“Apa ini kos-kosannya Lucia? “ tanyanya.

“Benar, “ jawabku singkat.

“Saya hanya menyampaikan pesan bahwa Lucia sedang dirawat dirumah sakit, sebelumnya kami menemukan dia tergeletak di depan puskesmas kami,“ mendengar perkataan perempuan itu membuatku terhenyak.

“ Ada apa dengan Lucia, bu? “ tanyaku was-was. Wanita itu menceritakan kalau Lucia mengalami luka yang serius di nadinya karena telah mengeluarkan banyak darah. Menurutnya ada unsur kesengajaan yang dilakukan korban untuk menyobek dengan benda tajam. Beberapa saat kemudian, wanita itu meninggalkanku setelah memberi pesan penting itu, Aku tidak tahu harus berbuat apa, membangunkan sersama teman kos, jelas tidak mungkin karena semua sudah pasti tidur pulas. Mungkin besok pagi.

Yang pasti setelah mendengar berita itu aku hanya terpaku dalam kamar dan menyesalkan perbuatan nekat yang dilakukan Lucia. “Kamu adalah Lucia cantik, cerdas dan punya masa depan cerah, apa untungnya melakukan itu Lucia, apa untungnya!  Apa hanya untuk memenuhi ambisi cintamu yang tak mampu berpikir waras sehingga kamu melakukan perbuatan gila itu. “ Makian kekecewaan berkecamuk di dadaku tanpa kehadiran Lucia malam ini. Aku hanya bisa berdoa semoga Tuhan masih menolongmu Lucia, sehingga aku masih bisa melihat senyummu esok pagi.

***

PENCURI HELM

Cerpen: Rustiani Widiasih

“Uang yang ibu kasih kemarin sore buat membayar buku dan SPP sudah kamu bayarkan, Rud? Tanya ibu Rudi. Rudi terkejut mendegarnya. Rudi bingung mau menjawab apa, karena uang yang dikasih oleh  Ibunya sudah habis untuk mentraktir teman-temannya di sebuah warung.

“Sudah kubayarkan, Bu,” jawab Rudi dengan wajah yang tampak kebingungan. Rudi terpaksa bohong karena agar tidak di marahi oleh Ibunya.

 “Baguslah Rud, kalau sudah kau bayarkan. Ibu tidak punya tanggungan lagi buat bayar   sekolah kamu,” sahut Ibu.

            Rudi  bingung memikirkan bagaimana cara Rudi untuk membayar buku dan SPP. Tidak mungkin Rudi meminta uang ke teman-temannya  yang sudah Rudi traktir di warung.  Tidak mungkin juga Rudi meminta uang kepada Ibunya. Ayahnya saja bekerja hanya sebagai tukang bangunan. Sedangkan Ibunya hanya di rumah sebagai Ibu rumah tangga.

“Apa yang harus aku lakukan, bagaimana  aku  bisa mendapatkan uang untuk membayar buku dan SPP?”  Rudi bingung dan mencari ide agar mendapatkan uang. Rudi melihat sebuah motor dengan Helm yang tergantung di Spion di pinggir jalan. Rudi menemukan ide. “Mengapa aku tak  mencobanya?” katanya dalam hati. “Aku bisa mencuri helmnya. Dengan itu  aku bisa mendapatkan uang untuk melunasi buku dan SPP. Bulan depan aku harus sudah melulunasi pembayaran buku  karena merupakan persyaratan mengikuti semester.”

Rudi sangat berambisi dengan idenya yang  tidak baik itu. Suatu hari Rudi berjalan di pinggir jalan. Rudi melihat  sebuah motor dan sebuah helm yang di gantungkan di spion. Situasi nampak sepi, hanya beberapa orang saja yang lewat. Rudi menunggu  waktu yang tepat untuk melakukan ambisinya tadii.  Ketika  tidak nampak lagi orang  yang lewat,  Rudi pun berlari dan mengambil helm yang tergantung di  spion motor. Rudi terus berlari dengan helm yang ada di tangannya. Rudi telah berhasil membawa Helm dan tak ada orang yang melihatnya.

Di sebuah kebun Rudi berhenti karena keadaannya sepi. Rudi nampak lelah setelah berlari-lari mencuri helm. Rudi istirahat sejenak dengan nafas yang  lelah. Rudi mencari kantong plastik di tong sampah akhirnya dapat juga. Helm pun di bungkus dengan kantong plastik tersebut. Lalu Rudi membawanya ke pasar loak. Rudi menawarkan helm tersebut ke pedagang dan akhirnya pedagang itu membelinya dengan harga Rp.150.000,00. Uang itu  masih kurang untuk membayar  karena tanggungan buku dan SPP nya sebesar Rp.300.000,00.

Rudi pulang dengan membawa uang hasil curiannya. Rudi sedikit takut karena dosa. Namun Rudi tetap yakin dengan caranya mendapatkan uang tersebut. “Akhirnya aku bisa mendapatkan uang untuk membayar tanggungan buku dan SPP, meskipun masih dapat setengah dari uang yang harus saya bayar,” batin Rudi.

Suatu hari waktu pulang sekolah Rudi berjalan di pinggir jalan, berharap ada mangsa untuk ia curi. Keadaan  terlihat agak ramai, Rudi menunggu sepinya orang. Begitu keadaanpun mulai sepi perlahan-lahan Rudi mendekati sebuah motor dan memegang Helmnya. Saat Rudi mau lari membawa helm tersebut, muncullah seorang Bapak yang melihat Rudi mencuri. Lalu Bapak itu memegang  tangan Rudi, dan Rudi pun tak bisa  berlari.

“Hei,  kenapa kau mencuri? Maling… maling…” teriak bapak itu. Tidak lama kemudian, muncullah orang –orang mengerumuni Rudi. Salah satunya ada pemilih helm yang akan dicuru Rudi. Orang itu langsung menjotos wajag Rudi hingga darah mengalir dari lubang hidungnya. Bahkan orang itu akan menjotosnya sekali lagi ke muka Rudi. Untunglah bapak yang tadi memergoki Rudi menahan tangan pemilik helm.

 “Apa seperti itu yang diajarkan Bapak dan Ibu gurumu di sekolah?” tanya pemilik helm.

“Bukan pak, aku mencuri  karena aku butuh uang untuk membayar buku dan SPP di sekolah. Sebenarnya uang untuk membayar buku sudah  di beri sama ibuku, tetapi uangnya sudah habis untuk mentraktir teman-temanku,” ucap Rudi gugup.

“Apa tidak ada cara lain selain mencuri? Kenapa kamu tidak berkata jujur saja kepada orang tuamu kalau uang untuk membayar buku dan SPP sudah habis buat traktir temanmu?” tanya seorang perempuan yang ikut melihat kejadian pencurian itu.

“Saya takut di marahi orang tuaku”  jawab Rudi gemetaran. Ia takut sekali. Ternyata berbuat kesalahan membuat hati tidak tenteram.

”Sebaiknya kau jujur kepada orang tuamu jangan mencuri seperti ini. Untung kau curi helmku, kalau kamu mencuri helm orang lain, bisa-bisa kau di pukuli sampai babak belur dan  di laporkan ke kantor polisi. Kau bisa di hukum karenanya. Jangan kau ulangi lagi ya. Sudah pulang sana dan bilang kepada orang tuamu.” Rudi pun bergegas pergi dengan rasa malu. Mukanya terasa perih sekali.

Sampai di rumah, ia langsung masuk kamar. Ia membersihkan luka di wajahnya dan berusaha menutupi lebam di mukanya namun tetap saja tidak bisa karena pipi kirinya agak bengkak. Rudi masih ragu untuk mengatakan kepada Ibunya tentang apa yang pernah dia lakukan.

Malam harinya, saat Ibunya sedang duduk di depan Televisi bersama ayahnya, Rudi menghampiri mereka.  Dia menceritakan apa yang telah di alaminya.

”Buk, Pak, maafkan Rudi ya? Rudi telah menghabiskan uang yang Ibu beri untuk membayar buku dan SPP,” kata Rudi sambil menunduk.

“Ada apa dengan wajahmu?” tanya ibunya begitu mengetahui lebam di pipi Rudi.

 “Apa? Lalu uangnya kamu buat apa?” tanya ayah dengan wajah  marah.

”Uangnya sudah habis buat traktir teman-teman kemarin.”

Ayah mulai marah dan Rudi takut dengan kemarahan ayahnya. Akhirnya  ibu Rudi  menenangkan kemarahan ayah dan di bicarakan dengan baik-baik Rudi di nasehati ibu agar tidak mengulanginya lagi.

“Lalu kenapa wajahmu?” tanya ibu lagi.

“Tadi aku menabrak tembok, Bu,” ucap Rudi berbohong.

Rudi tidak menceritakan kalau ia telah mencuri helm. Rudi takut akan kemarahan Bapak dan ibunya. Kejadian yang pernah dia alami dijadikannya  sebagai pengalaman terbaik. Ia berjanji dalam hati untuk tidak mengulangi kejadian yang pernah ia alami. Pelajaran hidup yang ia alami benar-benar telah member pelajaran dan pembalasan yang setimpal. Ia juga menerima hukuman dari orang tuanya yaitu tidak mendapatkan uang saku selama satu bulan.



***

Menerima Apa Adanya

Cerpen: Rustiani Widiasih

  Aku berbeda sekali dengan kakakku. Tak ada yang mirip sama sekali padahal kami saudara kandung. Kakakku cantik, matanya besar, tubuhnya tinggi semampai, kulitnya bersih, rambutnya hitam panjang dan orangnya lemah lembut. Sedangkan aku? Tubuhku kurus, hitam, mata sipit dan yang paling aku benci suaraku keras sekali.

Ini Hari pertamaku masuk SMA. Seorang guru masuk kelas lalu menyuruh para siswa  berkenalan. Sialnya, aku mendapat giliran yang pertama. Aku pun mulai memperkenalkan diri. “Nama saya Lusiana,” kataku dengan suara keras. Semua anak menahan tawa melihatku. Aku jadi tidak nyaman melihat tatapan mata mereka.

Blacky.” Sapa seorang anak laki-laki yang duduk di bangku paling depan begitu aku akan kembali ke tempat dudukku.

“Apa? Kamu memanggilku?” sahutku dengan suara keras dan kesal. Semua mata tertuju padaku, sepertinya mereka heran. Anak itu lalu ditunjuk guru untuk memperkenalkan dirinya. Ternyata namanya adalah Dendi Setia Wibawa.

“Wow keren sekali namanya, tapi tidak dengan orangnya,” aku menyindirnya. Dia hanya tertawa, seperti tak merasa kalau dia sedang aku sindir.

Ketika bel istirahat berdering. Aku dan Vania, teman sebangkuku yang juga teman SMPku, tinggal di dalam kelas saja. Kami sedang malas keluar. Sambil berlalu di depanku, Dendi mengucap, “Hai hitam” kepadaku lalu keluar kelas.

“Van, memangnya penampilanku sangat aneh ya?” tanyaku pada Vania.

“Tidak  kok,  tidak aneh.  Tapi kamu  beda dengan yang lain.”

“Yah, itu sih sama aja.”

“Sebenarnya kamu manis kok,”  kata Vania meyakinkanku.

 Olokan Dendi itu begitu menyinggungku. Ini tidak pertama kalinya, dulu aku pernah dijuluki “anak tiri” oleh anak-anak yang benci denganku. Aku juga pernah dibedakan dengan kakakku, aku mendengar bisik-bisik  teman, “Adik sama kakak kok beda banget ya?”  mendengarnya rasanya aku sakit hati. Ingin rasanya aku menangis. “Bu, ibu dulu ngidam apa sih, kok sampai lahir anak kayak aku? Apa aku bukan anakmu?” kataku ingin menangis.

“Ya ampun Lusia jangan bilang seperti itu, kamu anak Ibumu. Dia tidak  membeda-bedakan kamu kan?” ucap Vania menenangkanku.

***

Sepulang sekolah, aku langsung masuk kamar. Kamarku terasa hening, udara dari jendela terasa dingin, ingin rasanya aku berteriak. Aku lalu  mengaca, “Ya Allah apakah aku manusia terjelek dan teraneh di dunia ini? Mengapa tak ada yang mau menghargai penampilanku?  Aku harus merubah penampilanku,” kataku dalam hati. “Uang tabunganku akan aku gunakan untuk membeli pemutih kulit. Setelah berganti pakaian, aku pergi ke salon kecantikan dan membeli beberapa kosmetik pemutih, lulur, dan kosmetik pemutih lainnya. Kakak dan ibuku heran dengan apa yang aku lakukan karena biasanya   sebelum berganti pakaian aku langsung menuju meja makan.

Setelah membeli apa yang aku perlukan, aku langsung mandi. Aku pakai lulur pemutih yang tadi  kubeli. Uh… baunya tidak enak, tapi aku paksakan demi kulitku. Malam harinya kulitku terasa gatal sekali. Pagi harinya kulitku memerah, aku tak bisa keluar kamar, karena takut Ibu memarahiku.

Jam 06.30  aku belum keluar kamar juga. Ibu mulai memangil-manggilku. Akhirnya kuputuskan untuk keluar kamar.

 “Bu, hari ini aku tidak masuk sekolah ya?”

“Kenapa Lusia, kamu sakit ?” tanya ibu cemas.

“Lihat, wajah, tangan dan kakiku Bu!” kataku sambil membuka lengan bajuku.

“Kenapa ini Lusia, kamu alergi makanan apa?”

“Penjelasannya nanti saja bu. Ayo Ibu antar aku ke dokter kulit sekarang,” kataku merengek. Akhirnya aku diantar ke dokter kulit.

Dokter menjelaskan kalau aku alergi kosmetik. Kulitku sangat sensitif terhadap kosmetika pemutih. “O… jadi kamu memakai kosmetik pemutih, buat apa Lusia?” tanya Ibu tegas.

“Aku ingin kulitku putih seperti Kak Reni Bu! Aku malu kalau jalan sama Kak Reni!”

“Kenapa malu? Tuhan menciptakan orang bebeda-beda, kita tinggal menerima saja apa yang telah dibuat-Nya”.

“Benar juga bu, tapi aku tak berfikir seperti itu. Aku hanya mencari jalan pintas. Ini semua gara-gara aku terlalu sensitif dengan omongan orang,” sahutku dengan nada lemas. Di rumah aku banyak bercerita pada Ibu dan Kak Reni tentang Dendi yang mengolok-olokku.

***

Setelah beberapa hari tidak masuk sekolah, hari ini aku sudah boleh bersekolah. Aku mulai hariku dengan senyuman.

“Sudah sembuh Lusia? Kamu benar alergi kosmetik ya? Kok bisa sih?” tanya Vania.

“Iya Van, mungkin pada saat itu emosiku memuncak jadi aku langsung membeli pemutih kulit  tanpa tahu akibatnya!”

“Kalau sudah tahu begitu, besok-besok jangan diulangi lagi, ya. Aku kangen sama kamu yang dulu. Dulu  kamu anak yang ceria, cuek sama apa yang orang omongkan,”  ketus Vania.

“Aku juga Van, sekarang aku berjanji. Aku akan menjadi diriku sendiri”.

“Nah begitu. Biar saja luarnya seperti apa yang penting punya inner beauty .“Eh, terus bagaimana dengan ucapan-ucapan Dendi?”

“Ku anggap seperti angin lalu. Aku do’akan semoga dia sadar.”

“Amien…” ucapku dan Vania serentak seperti paduan suara.

***

Face book

Cerpen: Rustiani Widiasih

  Rere adalah teman Santi yang sangat menggilai Facebook. Sedangkan Santi sama sekali tidak mengerti tentang Facebook. Rere adalah anak orang berada sehingga semua kebutuhannya terpenuhi, termasuk akses internet di rumahnya, dia bisa on line Facebook kapan pun ia mau. Kebalikannya dengan Santi, dia anak dari seorang yang sangat sederhana, tidak ada akses internet dirumahnya. Santi tidak pernah bermain dengan internet jika tidak ada pelajaran TIK di kelasnya.

Rere selalu memegang dan memandangi hand phone yang di bawanya. Terlintas di benak Santi, sebenarnya apa yang sedang dilakukan Rere dengan Hand phonenya sehingga senyum-senyum sendiri. Santi semakin penasaran, ”Kamu sedang apa, Re? tanya Santi dengan melirik hand phone ditangan Rere. Santi melihat tulisan FACEBOOK di hand phone Rere. Lalu dia tahu apa yang sedang dikerjakan sahabatnya itu.

Tidak jarang Santi melihat teman-temanya memegang hand phone dan chatting menggunakan Facebook,tapi ia tidak berani bertanya bagaimana cara membuat   dan menggunakan Facebook itu. Ia takut teman-taman menertawakannya, karena ia terlau gaptek untuk anak zaman sekarang. Ia tidak pernah berhenti berfikir, apa manfaat Facebook itu sehingga banyak temannya yang menggilai Facebook dan seperti tiada hari tanpa Facebook.

Santi semakin penasaran dan penasaran. Ia menganggap dirinya adalah anak paling gaptek, seorang anak  zaman sekarang yang tidak mengerti tentang teknologi yang semakin canggih. Hari itu, Santi yang biasa maju kedepan kelas dan mengerjakan soal matematika di depan kelas,hari itu dia mendadak menjadi siswa yang bodoh. Sama sekali tidak bisa mengerjakan soal yang diberikan oleh gurunya.

 “Kamu kenapa Santi? Sakit?” tanya Rere dengan menyentuh pundaknya. Rere  heran, mengapa hari itu sahabat baiknya itu menjadi aneh dan tidak seperti biasanya. Seperti bukan Santi yang Rere kenal. Santi hanya menggelenkan kepalanya. Rere semakin bingung dan tidak tau apa yang harus ia lakukan. Sampai jam pulang sekolah Santi masih tetap murung dan merasa minder. Rere berusaha mengajak Santi membicarakan palajaran yang dibahas di kelasnaya tadi siang tapi Santi hanya menggelengkan kepala dan tidak berkata sepatah kata pun.

Sepulang sekolah, Santi menhembuskan nafas panjangnya dan melangkah meninggalkan gerbang sekolah. Ia naik  angkutan umum langganannya. Sepanjang perjalanan pulang, Santi terus memandang ke luar jendela. Ia berfikir, kalau dirinya benar-benar gaptek dan sama sekali tidak mengerti Facebook seperti teman-temannya. Sampai di rumahnya, ia masuk ke dalam kamar dan membanting tas sekolahnya di tempat tidur. Ia duduk di tempat tidur sederhananya dan mencoba untuk menenangkan pikirannya.

     “Santi, makanlah dulu,” teriak ibu. Tidak ada jawaban dari kamar Santi. Santi tidak mempedulikan ajakan ibunya untuk segera makan siang. Ibunya  penasaran mengapa anaknya tidak seperti itu. Langkah kaki terdengar menuju kamar Santi. Ibu membuka pintu kamar Santi yang tidak tertutup dengan rapat. Ia mendapati Santi sedang duduk di atas tempat tidur. Ibunya mendekat dan mengelus rambutnya.

            ”Ada apa? Mengapa kamu terlihat murung? Apa kamu sakit?” tanya ibunya penasaran. Cukup lama Santi diam tanpa menjawab pertanyan ibunya. ”Aku capek, Bu,” bentak Santi. Ibunya terpaku dengan ucapan anaknya, ia tak menyangka anaknya bisa berkata sekasar itu. Ibu meninggalkan kamar Santi. Santi menyesal telah berkata kasar kepada ibunya.

Segera ia bangkit dan mengganti pakaiannya. Ia berjalan keluar rumah dan berniat untuk pergi ke warnet. ia ingin tahu seperti apa Facebook  yang sangat digandrungi Rere dan teman-temannya. Di warnet, ia mencoba membuka web Facebook. Ia bingung karena ia tidak mempunyai alamat Facebook. Ia diam dan termangu di depan komputer. Ia tidak begitu mengerti komputer dan internet. Setengah jam ia buang waktu dengan sia-sia di warnet itu. Ia beranjak dari komputernya dan segera membayar di kasir. Ia pulang dengan wajah kecewa karena tidak mendapatkan apa-apa hari itu.

Sampai ia di rumah, ia duduk di ruang tamu sederhana di rumahnya. Ibunya menghampiri dan bertanya pada Santi.

”Dari mana kamu?. Kekesalan Santi mulai reda dan mau menjawab pertanyaan ibunya.

”Dari warnet, Bu. Bu, Santi iri pada teman-teman Santi. Mereka punya komputer dan jaringan internet di rumah mereka,” ucap Santi. Ibunya kaget dan mengelus dadanya. Ibunya bingung dan tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia tidak mempunyai cukup uang untuk memebelikan komputer. Ia hanya buruh cuci dan suaminya hanya seorang petani yang penghasilannya tidak seberapa. Penghasilan mereka hanya cukup untuk makan sehari-hari dan uang saku Santi. Jika Santi tidak mendapat beasiswa, mungkin Santi tidak bisa bersekolah sampai jenjang SMA.

“Dapat uang dari mana untuk membeli komputer? Untuk makan sehari-hari saja sangat  pas-pasan, “ jawab ibunya.

Sore itu ayah Santi pulang dari sawah dan melihat isterinya sedang duduk termenung di ruang tamu. Ayahnya menanyakan apa yang terjadi.  Ibunya menceritakan apa yang telah terjadi dengan anak semata wayang mereka. Ayah Santi terkejut mendengar cerita dari isterinya. Sangat mustahil bisa membelikan anaknya komputer.

Malamnya Santi mendengar percakapan kedua orang tuanya yang bingung mencari jalan untuk membelikan komputer anaknya. Santi sedih mendengarnya karena mereka akan menggadaikan sertifikat agar dapat uang demi menuruti kemauan anak Santi. Santi tahu itu adalah satu-satunya harta yang dimiliki orang tuanya. Santi menyesal telah membuat orang tuanya bingung. Ia mencoba menerima segala sesuatu yang telah ia miliki, termasuk hidupnya yang sederhana. Lalu Santi keluar kamar. Ia mengatakan agar orang tuanya tidak perlu bingung menuruti permintaannya. Apa yang dia mita hanyalah ungkapan emosinya sesaat karena pengaruh apa yang dia lihat dari teman-temannya. Keinginan yang menggebu kini telah hilang setelah tahu betul keadaan keluarganya.

Keesokan harinya, di sepanjang perjalanan menuju  sekolah, Santi tidak membiarkan senyumnya terlepas dari bibirnya. Sampai di dalam kelas, ia bertemu dengan sahabatnya Rere. Seperti biasanya, Rere selalu memegang dan memandangi handphone  yang di bawanya. Kali ini ia berani mengajukan pertanyaan yang selalu ia pendam sendiri. “Re, bagaiman sih cara untuk punya facebook?” tanya Santi dengan melirik hand phone yang Rere bawa.

“Masa kamu belum punya facebook?” Tanya Rere lalu dia menjelaskan caranya sambil menunjukkan tampilan FB di HP. Santi menceritakan semua yang telah ia alami kemarin. Santi merasa lega dan saat itu karena  bisa belajar dengan Rere. Rere sama sekali tidak menertawakan Santi saat Santi bertanya. Justru Rere mau mengajari Santi. Santi senang karena Rere mau mengajari Santi tentang internet dan facebook.

Lalu Rere membuatkan alamat email untuk Santi dan mendaftarkan nya di facebook menggunakan Hpnya. Santi tidak lagi merasa menjadi anak paling gaptek di sekolahnya.

 “Terima kasih Rere,” ucap Santi.

“It’s OK, Santi. Andai sejak dulu kamu bertanya padaku pasti aku jelaskan. Datanglah ke rumahku kapan saja,”  kata Rere.

Siang itu, pulang sekolah Rere mengajak kerumah Rere untuk mengajari Santi menggunakan facebook. Santi bersyukur atas kehidupannya. Ia mempunyai  sahabat yang baik seperti Rere. Ia tidak harus punya komputer dan jaringan internet sendiri untuk bisa berfacebook. Yang penting ia membuka diri, bertanya pada yang bisa dan tidak malu belajar. Masalah computer dan internet, ia bisa rental di warnet. Benar saja kata teman-temannya, hari gini tidak kenal facebook? Apa kata dunia?

Penyesalan Cinta

Cerpen: Rustiani Widiasih

Di pojok kamar yang gelap, hanya bercahaya remang-remang, aku duduk dengan rasa takut dan khawatir. Khawatir dengan  apa yang akan aku alami. Sedih, menyesal, takut, hina. Semua itu yang aku rasakan saat ini. Hidupku sekarang gelap. Cahaya yang dulu terang yang bisa membawa ke tujuan sudah aku padamkan dengan tanganku sendiri. Itu kebodohanku.

            Pelan-pelan kubuka hasil tespek  yang aku  lakukan barusan dengan penuh harap semoga hasilnya negatif. Dag..dig…dug,  jantungku serasa mau copot. Ternyata hasilnya positif. Segera ku menelepun  Raka dan bicara apa yang aku alami saat ini.

 “ Hallo, Raka. Ka, Bagaimana ini?”

“ Apanya yang bagaimana? Bicara yang jelas,  jangan sambil   menangis.“

“Bagaimana aku tidak menangis. Aku hamil. Aku harus gimana?”

“ Apa? Kamu hamil Syila?”

“Ya aku hamil. Sejak dulu aku sudah bilang jangan tapi kamu memaksa aku terus. Sekarang jadi begini berantakan semua. Pokoknya kamu harus bertanggung jawab.”

”Tenang sayang, tenang. Aku tanggung jawab.”

            “Tut….tut….tut,” telepon langsung di matikan Raka. Aku bingung harus cerita sama siapa. Tidak mungkin aku cerita sama ibu karena dia akan kaget dan sedih. Kepalaku rasanya pusing sekali, perutku mual rasanya ingin muntah. Tak bisa apa-apa aku kecuali menunggu kabar dari Raka.

Aku merasa menyesal tapi semua sudah terlanjur. Tiada guna aku menyesali.. Aku segera memilih baju, karena jika aku pakai pakaian  yang biasa aku pakai itu sudah tidak muat.  Bentuk badanku  sudah mulai berubah terlebih lagi perutku suadah mulai buncit. Orang pasti akan curiga jika aku berpakaian ketat. Aku  pilih ham longgar warna krem dan celana jeans lengkap dengan sepatu flat. Kurasa sudah cukup menutupi, segera aku ambil jaket hp dan tas. Aku menuju  menanti Raka menjemputku untuk membicarakan masalah kami.Setiba di suatu rumah,  aku di kenalkan dengan seseorang wanita umur 30 puluhan yang amat sangat cantik. Aku kira itu kakaknya tapi ternyata itu tantenya.

“Tante sudah tau apa yang terjadi dengan kalian. Seharusnya kalian bisa menjaga diri dan fokus dengan cita-cita kalian. Bukan malah seperti ini,” dia diam sejenak menghela nafas, kemudian berbicara lagi, ”tapi semua sudah terlanjur jalan keluarga hanya satu. Kamu untuk sementara harus berhenti sekolah. Kalian berdua harus dinikahkan.” Aku shok dengan kata-kata itu.

“Aku tidak mau berhenti sekolah. Lebih baik kandunganya ini digugurkan saja, “’kataku.

“Tidak. Janin yang tak berdosa  harus tetep di pertahankan. Aku yang akan merawatnya,” bentak tante itu dengan keras

”Tapi tante bagaimana dengan sekolahku? Aku masih SMA kelas dua. Tidak mungkin aku berhenti. Apa kata guruku, dan bagaiman dengan orang tuaku? ”

Dia berjanji akan membicarakan masalah ini dengan Ibuku. Aku hanya harus menjaga janin ini. Dia mengatakan setelah melahirkan aku bisa ikut Kejar Paket C.  Bayiku akan dirawat olehnya sampai aku  dan Raka siap merawat anak. Akhirnya aku setuju dengan jalan yang di beriakan tante Raka. Setelah itu Raka mengantarku pulang. Sampai di rumah, aku rebahkan badanku di kasur kamarku yang berantakan. Dan pakaian  berserakan di mana- mana.

Tanpa sepengetahuan ibuku, sudah tiga hari  aku tidak masuk sekolah. Aku malu dan takut jika nanti ada yang curiga tentang kehamilanku. Pikiran melayang-melayang memikirkan kesiapanku untuk sekolah besok. Keesokan harinya tepat pukul tujuh, aku sampai di sekolah.  Ratusan siswa memandangku dari atas sampai bawah. Aku jadi salah tingkah karenanya.  Segera aku berlari menuju kelas. Dengan nafas terengah-engah, aku sandarkan badanku di kursi paling pojok belakang. Temanku sekelas mencoba bertanya alfaku. Aku jawab saja aku baru sembuh dari sakit. Untung mereka percaya dengan alasanku.

            “Kamu di panggil guru BK,’’ tiba-tiba temanku berteriak memberi tahu. Aku menuju ruang BK. Di sana aku ditanya macam-macam. Setelah guru Bk selesai bicara aku meminta surat pindah karena aku sudah tidak tahan dan malu jika nanti ada orang yang tahu.

***

  Aku meratapi andai aku tidak melakukan hal itu,  andai aku fokus pada sekolahku, pasti aku tak akan seperti ini. Harusnya aku masih bisa bermain dengan temen-temenku. Aku rindu bersama-sama mereka. Hanya penyesalan yang aku terima. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku pasrah pada orang tua, bagiamana mereka mengambil keputusan yang terbaik untkku.

***

Merantau

Cerpen: Rustiani Widiasih

Aku benci dengan kehidupan ini, aku benci dengan kehidupanku. Kenapa aku dilahirkan dari keluarga miskin? Keluarga yang penuh dengan kekurangan sehingga aku tidak bisa melanjutkan kuliah seperihalnya teman-temannku. Aku capek dengan hidupku yang tanpa pekerjaan. Tapi apalah yang bisa dilakukan lulusan SMA sepertiku? Kata-kata itu selalu aku lontarkan. Namaku Nisa, aku hidup dengan penuh kekurangan di sebuah desa yang terpencil. Bisa lulus SMA  merupakan perjuangan yang luar biasa dalam keluargaku. Aku hidup bersama bapak, ibu tiri, dan adikku tiri.

Bapak sangat sayang padaku sehingga seringkali dia mengekangku karena tidak ingin aku kenapa-napa.  Dari kecil aku hidup bersama bapakku, ibu kandungku meninggal karena sebuah kecelakaan ketika umurku 5 tahun.  Suatu saat bapakku menikah lagi dengan perempuan lain yang sudah mempunyai anak. Aku

tidak bisa berbuat apa-apa ketika bapakku memutuskan untuk menikah lagi.

Pada dasarnya ibu tiriku baik, tapi aku selalu berpikiran negatif karena image ibu tiri selalu jahat. Aku tahu sebenarnya dia telah menganggapku sebagai anak, tapi tetap saja aku tidak bisa menganggapnya sebagai ibu. Tiada yang bisa mengantikan almarhumah ibuku. Karena ibu tiriku telah menganggap aku sebagai anaknya sendiri, aku sering dimarahi, dan disuruh-suruh. Aku menganggap diriku sebagai seorang pembantu layaknya. Sampai-sampai aku ingin pergi dari rumahku. Terkadang aku juga sering berantem sama adik tiriku.

Pada suatu pagi aku menemui bapakku untuk menceritakan apa yang ada dalam pikiranku. “Aku ingin menjadi seperti orang yang lain, hidup layak dan enak. Aku ingin mencari pekerjaan pak, aku ingin ke Surabaya. Ada teman yang menawariku menjadi pelayan di sebuah toko besar. Aku mohon pak, izinkan aku,” kataku pada bapak. Bapak hanya diam aku bilang seperti itu.

“Pak, apa gunanya bapak menyekolahkanku sampai SMA? Dengan susah bapak bapak mencari uang untuk membayar uang sekolahku. Aku ingin merubah kehidupan kita pak,” tuturku. Aku pernah mendapatkan petuah dari guruku kalau daerah yang ditempati tidak memungkinkan lagi untuk memperbaiki kehidupan, lebih baik hijrah saja.

Nisa, bapak bukannya tidak mengizinkan kamu pergi, tapi bapak belum tega melepaskan kamu. Di Kota itu kejam, Nis. Sangat  berbeda dengan di kampung kita ini, bapak tidak tega.

Aku sudah nggak betah di rumah ini, sahutku.

Tidak betah kenapa?”

 Aku hanya bisa diam ketika bapak bilang seperti itu. Mataku berkaca-kaca, lalu bapakku sambil berkata, “Sudahlah Nis, bapak mengizinkan kamu pergi”.

Benar bapak mengizinkan aku pergi?”

“Ya, tapi kamu harus hati-hati disana. Jaga dirimu baik-baik.

Tiba-tiba ibu tiri ku datang menghampiri aku dan bapak.

Eh, ada apa ini?”  Aku dan bapak hanya diam  melihat dengan tak acuh. Lalu ibu tiriku dengan suara yang keras kembali bertanya lagi,  Ada apa ini?” Lalu bapak menjawab pertanyaan ibu.

“Begini bu, Nisa ingin ke Surabaya mencari pekerjaan. Dengan memotong pembicaraan bapak ibu menjawab “O, begitu. Baguslah itu,” jawab ibu.

 "Nisa masih belum punya pengalaman kerja bu? Bagaimana kalau di sana nanti  kenapa-napa?” Bapak berbicara dengan suara keras. Aku hanya diam, bapak selalu membelaku seperti itu.

 “Kamu sudah besar, sudah lulus SMA. Sudah waktunya kamu keluar dari rumah, mencari pengalaman dan peghasilan. Aku mendukung niatmu, bukan karena aku senang kamu pergi dari kami, tetapi agar kamu bisa hidup mandiri untuk masa depanmu. Bekerjalah untuk dirimu sendiri. Tabung uangmu agar kelak bisa digunakan untuk modal usaha.”

Ucapan ibuku semakin menguatkan niatku untuk  pergi. Ternyata ibu tiriku baik hatinya.  Jika aku rasa-rasakan apa yang diucapkan ibu memang benar, namun karena dia ibu tiriku perasaanku menjadi sensitif sekali.

Suatu hari, tibalah saatnya aku meninggalkan bapak dan semuaya. Aku berangkat ke kota dengan niat yang tulus dengan tekat yang kuat aku mencari pekerjaan. Aku berpamitan dengan bapak dan ibuku juga adikku.

“Pak aku pergi ya, aga kesehatan bapak, aku janji  akan pulang dengan membawa hasil.  Nisa ingin membahagiakan bapak.Bapak menangis karena tidak tega melihatku. Aku berpamitan dengan ibu tiriku,

“Bu jaga bapak ya?”

“Sudahlah berangkat saja, mantapkan lagkahmu, jemputlah masa depanmu,” kata ibu.

Aku segera mengambil tas dan barang-barang yang akan aku bawa. Perlahan langkahku menjauh dari mereka. Aku dan temanku yang sudah  menanti sejak tadi,  pergi menuju terminal dengan air mata yang berlinang. Setiba di terminal kami mencari bus jurusan ke kota Surabaya. Bus sudah menanti kami. Kami langsung masuk ke dalam bus dan berdoa agar kami selamat sampai tujuan. Bus pun berjalan meninggalkan terminal.

***

Setelah delapan  jam perjalanan sampailah kami di kota Surabaya. Kami turun dari bus. Aku pasti  bingung jika tidak ada teman yang mengantarku ke kota ini. Kendaraan berlalu-lalang silih berganti tiada henti, begitu banyak orang berkeliaran. Aku tidak tahu mana arah utara dan selatan. Aku sempat ragu tentang langkah yang aku ambil. Temanku mengajakku berjalan menuju tempat bus kota. Terbesit dalam pikiranku, kenapa aku nekat banget ke kota ini? Mau kerja apa aku ini? Tapi aku tidak boleh menyesal, aku harus menjemput masa depanku. Hatiku tidak akan mati walau dikota ini aku sengsara. Aku harus bisa berhasil.

***

“Kebetulan sekali, saya memang sedang mencari  karyawan. Siapa nama mu?” tanya bos pemilik minimarket kepadaku. “Namaku Nisa bu, “ jawabku. Lalu Ibu tadi meminta temanku untuk mengantarku ke kamarnya untuk istirahat. Aku akan mulai bekerja keesokan harinya.

Akhirnya aku dapat kerja juga. Sesudah beberapa hari aku kerja, aku menelepon bapakku di desa. Aku kabarkan kalau  aku sudah dapat kerjaan dan aku dalam keadaan sehat. Aku akan mengirimkan bayaranku ke desa dan sisanya akan aku tabung untuk modal usaha. Ya, dengan merantau ini, semoga aku berani bercita-cita dan memperbaiki kehidupan.

***