CERPEN
Korban Cinta
Cerpen:
Rustiani Widiasih
Aku terbelalak mendengar tangisan Lucia yang ada di
kamar sebelahku. Tangisan itu terasa janggal karena baru kali ini, aku
mendengarnya. Aku mendekati kamar itu lalu masuk ke dalamnya.
“Ada apa, Lusi?“ Aku bertanya sambil memegang
punggung Lucia dengan hati cemas. Lucia menutupi wajahnya yang merah dan sembab
karena linangan air mata. Pertanyaanku tidak tidak langsung dijawab, mulutnya
terkunci. Lucia masih mengusap-usap matanya. Wajahnya tampak layu seperti bunga
mawar yang tak terkena sinar matahari, pucat pasi tak bersemangat.
“Ada apa kok menangis?“ tanyaku lagi. “Ayo katakan
saja, barangkali aku bisa membantu,” lanjutku.
Lucia masih
saja tidak berkutik dari kesedihannya, Tiba-tiba Lucia bangkit dan menatapku.
“Tidak ada apa-apa.
Saya hanya kecapekan habis ada kegiatan olah raga di sekolah,“ kata
Lucia yang kemudian merebahkan tubuhnya
yang lemas lunglai ke atas kasur.
“Kalau begitu kamu istirahat saja dan minum obat
supaya lekas sembuh,“ kataku kemudian meninggalkan kamar itu.
***
Malam harinya, aku dan teman-teman satu kos
berkumpul di ruang tamu bersama ibu kos. Kami membicarakan masalah Lusia dan
menebak-nebak apa yang sebenarnya terjadi padanya karena dia hanya mengurung
diri di kamar sehari semalam.
Banyak yang
menanyakan kepadaku tentang kondisi aneh Lucia akhir-akhir ini. Aku
dianggap orang yang dekat dengan dia, tapi aku pun bungkam tidak tahu
permasalahannya. Aku hanya bisa berkata, “Saya tidak tahu, mungkin dia sedang
sakit”. Jawaban ini agak konyol karena meski Lucia sakit tapi tidak pernah
semuram ini.
Suatu sore sekitar jam setengah lima, tak sengaja
aku melihat Lucia keluar dari kamarnya dengan tergesa-gesa. Dia keluar
sendirian, pakai sepeda motor dengan baju lengan pendek serta celana jeans. Sepertinya
ada sesuatu yang penting dibalik kepergiannya itu. Setelah memastikan
kepergiannya, perlahan-lahan aku mulai mendekati kamar kosnya yang terlihat
tertutup.
Kelambu di jendela kamarnya tertutup rapat,tapi ada
celah yang bisa mengetahui keadaan kamarnya. Kulihat kamar itu melalui celah
kecil itu, ku dapati buku lembaran putih yang ada di atas mejanya. Aku ingin
mengetahui tulisan yang ada dilembaran itu, tapi mustahil aku dapat membaca
tulisan itu dengan jarak demikian jauh.
Kupaksakan mataku untuk dapat membacanya tetapi
semakin kupaksakan semakin sakit mata ini. Aku mulai mencari akal bagaimana aku
dapat membaca tulisan itu, siapa tahu setelah aku membaca tulisan itu aku dapat
memberi solusi terhadap masalah yang sedang dihadapinya. Tanganku terasa gatal
ingin mendobrak dan masuk ke kamarnya. Perlahan tapi pasti aku mulai meraba
gagang pintu lalu aku putar gagang itu. Deg, betapa kagetnya aku, kamar itu
ternyata tak terkunci.
“Ini adalah kesempatan,“ bisikku dalam hati. Aku
menengok ke kanan dan ke kiri khawatir ada teman kos yang melihat aksiku.
Setelah yakin aman, kakiku mulai melangkah memasuki kamar. Kubaca tulisan itu
dengan seksama tanpa aku menyentuh lembaran itu. Ternyata sebuah penyesalan
cinta. Cinta terbalas luka. Di lembaran itu terdapat kalimat
“Kalau dulu sudah tahu seperti ini jadinya, lebih
baik aku tak bertemu denganmu dan mengenalmu. Mengenalmu seperti mengenal hantu
yang membuatku selalu takut, cemas, khawatir dan jengkel. Perasaanku sudah
terlau dalam hingga sulit bagiku untuk melupakanmu. Tapi sikapmu yang seperti
itu, bermain api dibelakangku. Kau menduakan cintaku. Cinta sejati memang tidak
ada di dunia ini. Yang ada hanya cinta sekejap yang mudah hilang seiring
hembusan angin kencang di malam hari. Aku memang telah terbius dengan segala
ucapan dan janji-janji palsumu, janji sehidup semati. Tetapi itu semua
tinggallah janji-janji palsu yang tak tertepati. Seandainya dunia seisinya
digantikan dengan dirimu, aku masih mendambakanmu, tapi itu dulu. Sekarang,
jangankan dunia dan isinya, ditukar dengan kucing pun aku masih memilih kucing.
Aku merasa diriku adalah orang hina, tak ada gunanya aku hidup lagi. Aku sudah
bagaikan sampah. Kau tinggalkan diriku begitu saja tanpa merasa belas kasihan.
Kau nikmati aku setelah kau bosan, dengan sesuka hatimu kau pergi. Hari ini aku
rasakan kepedihan yang tak tersembuhkan. Jiwaku tersayat perih. “
Sekalipun tulisan yang aku baca di atas meja Lucia
tidak terlau banyak, hanya selembar namun isinya cukup menyentuh
perasaanku.Setelah membaca tulisan itu, aku bergegas keluar dari kamarnya
dengan kaki berjinjit. Ternyata patah hati adalah permasalahan yang dihadapi
Lucia. Aku yakin Lucia adalah anak yang cerdas tidak mungkin stress hanya
gara-gara cinta. Lucia diakui teman-temannya sebagai Lucia SMA yang cerdas,
apalagi dia Lucia yang cantik yang banyak bergaul dengan laki-laki. Aku yakin
pasti banyak laki-laki yang suka padanya.
Malam itu aku bisa tidur, bukan karena banyak nyamuk
tapi perasaan khawatirku. Lucia yang sejak sore tadi meninggalkan kamar belum
kembali hingga jam 9 malam. Aku mengalihkan perasaan khawatirku dengan
mendengarkan musik di hpku. Tiba-tiba gedoran pintu pagar memaksaku beranjak.
Di pintu pagar ada seorang wanita
berseragam putih, dia adalah perawat di puskesmas.
“Apa ini kos-kosannya Lucia? “ tanyanya.
“Benar, “ jawabku singkat.
“Saya hanya menyampaikan pesan bahwa Lucia sedang
dirawat dirumah sakit, sebelumnya kami menemukan dia tergeletak di depan
puskesmas kami,“ mendengar perkataan perempuan itu membuatku terhenyak.
“ Ada apa dengan Lucia, bu? “ tanyaku was-was.
Wanita itu menceritakan kalau Lucia mengalami luka yang serius di nadinya
karena telah mengeluarkan banyak darah. Menurutnya ada unsur kesengajaan yang
dilakukan korban untuk menyobek dengan benda tajam. Beberapa saat kemudian,
wanita itu meninggalkanku setelah memberi pesan penting itu, Aku tidak tahu
harus berbuat apa, membangunkan sersama teman kos, jelas tidak mungkin karena
semua sudah pasti tidur pulas. Mungkin besok pagi.
Yang pasti setelah mendengar berita itu aku hanya
terpaku dalam kamar dan menyesalkan perbuatan nekat yang dilakukan Lucia. “Kamu
adalah Lucia cantik, cerdas dan punya masa depan cerah, apa untungnya melakukan
itu Lucia, apa untungnya! Apa hanya
untuk memenuhi ambisi cintamu yang tak mampu berpikir waras sehingga kamu
melakukan perbuatan gila itu. “ Makian kekecewaan berkecamuk di dadaku tanpa
kehadiran Lucia malam ini. Aku hanya bisa berdoa semoga Tuhan masih menolongmu
Lucia, sehingga aku masih bisa melihat senyummu esok pagi.
***
PENCURI
HELM
Cerpen:
Rustiani Widiasih
“Uang yang ibu kasih kemarin sore
buat membayar buku dan SPP sudah kamu bayarkan, Rud? Tanya ibu Rudi. Rudi
terkejut mendegarnya. Rudi bingung mau menjawab apa, karena uang yang dikasih
oleh Ibunya sudah habis untuk mentraktir
teman-temannya di sebuah warung.
“Sudah kubayarkan, Bu,” jawab Rudi
dengan wajah yang tampak kebingungan. Rudi terpaksa bohong karena agar tidak di
marahi oleh Ibunya.
“Baguslah Rud, kalau sudah kau bayarkan. Ibu
tidak punya tanggungan lagi buat bayar
sekolah kamu,” sahut Ibu.
Rudi bingung memikirkan bagaimana cara Rudi untuk
membayar buku dan SPP. Tidak mungkin Rudi meminta uang ke teman-temannya yang sudah Rudi traktir di warung. Tidak mungkin juga Rudi meminta uang kepada
Ibunya. Ayahnya saja bekerja hanya sebagai tukang bangunan. Sedangkan Ibunya
hanya di rumah sebagai Ibu rumah tangga.
“Apa yang harus aku lakukan,
bagaimana aku bisa mendapatkan uang untuk membayar buku dan
SPP?” Rudi bingung dan mencari ide agar
mendapatkan uang. Rudi melihat sebuah motor dengan Helm yang tergantung di
Spion di pinggir jalan. Rudi menemukan ide. “Mengapa aku tak mencobanya?” katanya dalam hati. “Aku bisa
mencuri helmnya. Dengan itu aku bisa
mendapatkan uang untuk melunasi buku dan SPP. Bulan depan aku harus sudah
melulunasi pembayaran buku karena
merupakan persyaratan mengikuti semester.”
Rudi sangat berambisi dengan idenya
yang tidak baik itu. Suatu hari Rudi
berjalan di pinggir jalan. Rudi melihat
sebuah motor dan sebuah helm yang di gantungkan di spion. Situasi nampak
sepi, hanya beberapa orang saja yang lewat. Rudi menunggu waktu yang tepat untuk melakukan ambisinya
tadii. Ketika tidak nampak lagi orang yang lewat,
Rudi pun berlari dan mengambil helm yang tergantung di spion motor. Rudi terus berlari dengan helm
yang ada di tangannya. Rudi telah berhasil membawa Helm dan tak ada orang yang
melihatnya.
Di sebuah kebun Rudi berhenti
karena keadaannya sepi. Rudi nampak lelah setelah berlari-lari mencuri helm.
Rudi istirahat sejenak dengan nafas yang
lelah. Rudi mencari kantong plastik di tong sampah akhirnya dapat juga.
Helm pun di bungkus dengan kantong plastik tersebut. Lalu Rudi membawanya ke
pasar loak. Rudi menawarkan helm tersebut ke pedagang dan akhirnya pedagang itu
membelinya dengan harga Rp.150.000,00. Uang itu
masih kurang untuk membayar
karena tanggungan buku dan SPP nya sebesar Rp.300.000,00.
Rudi pulang dengan membawa uang
hasil curiannya. Rudi sedikit takut karena dosa. Namun Rudi tetap yakin dengan
caranya mendapatkan uang tersebut. “Akhirnya aku bisa mendapatkan uang untuk
membayar tanggungan buku dan SPP, meskipun masih dapat setengah dari uang yang
harus saya bayar,” batin Rudi.
Suatu hari waktu pulang sekolah
Rudi berjalan di pinggir jalan, berharap ada mangsa untuk ia curi. Keadaan terlihat agak ramai, Rudi menunggu sepinya
orang. Begitu keadaanpun mulai sepi perlahan-lahan Rudi mendekati sebuah motor
dan memegang Helmnya. Saat Rudi mau lari membawa helm tersebut, muncullah
seorang Bapak yang melihat Rudi mencuri. Lalu Bapak itu memegang tangan Rudi, dan Rudi pun tak bisa berlari.
“Hei, kenapa kau mencuri? Maling… maling…” teriak
bapak itu. Tidak lama kemudian, muncullah orang –orang mengerumuni Rudi. Salah
satunya ada pemilih helm yang akan dicuru Rudi. Orang itu langsung menjotos
wajag Rudi hingga darah mengalir dari lubang hidungnya. Bahkan orang itu akan
menjotosnya sekali lagi ke muka Rudi. Untunglah bapak yang tadi memergoki Rudi
menahan tangan pemilik helm.
“Apa seperti itu yang diajarkan Bapak dan Ibu
gurumu di sekolah?” tanya pemilik helm.
“Bukan pak, aku mencuri karena aku butuh uang untuk membayar buku dan
SPP di sekolah. Sebenarnya uang untuk membayar buku sudah di beri sama ibuku, tetapi uangnya sudah
habis untuk mentraktir teman-temanku,” ucap Rudi gugup.
“Apa tidak ada cara lain selain
mencuri? Kenapa kamu tidak berkata jujur saja kepada orang tuamu kalau uang
untuk membayar buku dan SPP sudah habis buat traktir temanmu?” tanya seorang
perempuan yang ikut melihat kejadian pencurian itu.
“Saya takut di marahi orang
tuaku” jawab Rudi gemetaran. Ia takut
sekali. Ternyata berbuat kesalahan membuat hati tidak tenteram.
”Sebaiknya kau jujur kepada orang
tuamu jangan mencuri seperti ini. Untung kau curi helmku, kalau kamu mencuri
helm orang lain, bisa-bisa kau di pukuli sampai babak belur dan di laporkan ke kantor polisi. Kau bisa di
hukum karenanya. Jangan kau ulangi lagi ya. Sudah pulang sana dan bilang kepada
orang tuamu.” Rudi pun bergegas pergi dengan rasa malu. Mukanya terasa perih
sekali.
Sampai di rumah, ia langsung masuk
kamar. Ia membersihkan luka di wajahnya dan berusaha menutupi lebam di mukanya
namun tetap saja tidak bisa karena pipi kirinya agak bengkak. Rudi masih ragu
untuk mengatakan kepada Ibunya tentang apa yang pernah dia lakukan.
Malam harinya, saat Ibunya sedang
duduk di depan Televisi bersama ayahnya, Rudi menghampiri mereka. Dia menceritakan apa yang telah di alaminya.
”Buk, Pak, maafkan Rudi ya? Rudi
telah menghabiskan uang yang Ibu beri untuk membayar buku dan SPP,” kata Rudi
sambil menunduk.
“Ada apa dengan wajahmu?” tanya
ibunya begitu mengetahui lebam di pipi Rudi.
“Apa? Lalu uangnya kamu buat apa?” tanya ayah
dengan wajah marah.
”Uangnya sudah habis buat traktir
teman-teman kemarin.”
Ayah mulai marah dan Rudi takut
dengan kemarahan ayahnya. Akhirnya ibu
Rudi menenangkan kemarahan ayah dan di
bicarakan dengan baik-baik Rudi di nasehati ibu agar tidak mengulanginya lagi.
“Lalu kenapa wajahmu?” tanya ibu
lagi.
“Tadi aku menabrak tembok, Bu,”
ucap Rudi berbohong.
Rudi tidak menceritakan kalau ia
telah mencuri helm. Rudi takut akan kemarahan Bapak dan ibunya. Kejadian yang
pernah dia alami dijadikannya sebagai
pengalaman terbaik. Ia berjanji dalam hati untuk tidak mengulangi kejadian yang
pernah ia alami. Pelajaran hidup yang ia alami benar-benar telah member
pelajaran dan pembalasan yang setimpal. Ia juga menerima hukuman dari orang
tuanya yaitu tidak mendapatkan uang saku selama satu bulan.
***
Menerima Apa Adanya
Cerpen: Rustiani Widiasih
Aku berbeda
sekali dengan kakakku. Tak ada yang mirip sama sekali padahal kami saudara
kandung. Kakakku cantik, matanya besar, tubuhnya tinggi semampai, kulitnya
bersih, rambutnya hitam panjang dan orangnya lemah lembut. Sedangkan aku?
Tubuhku kurus, hitam, mata sipit dan yang paling aku benci suaraku keras
sekali.
Ini Hari pertamaku masuk SMA. Seorang guru masuk
kelas lalu menyuruh para siswa
berkenalan. Sialnya, aku mendapat giliran yang pertama. Aku pun mulai
memperkenalkan diri. “Nama saya Lusiana,” kataku dengan suara keras. Semua anak
menahan tawa melihatku. Aku jadi tidak nyaman melihat tatapan mata mereka.
“Blacky.” Sapa seorang anak laki-laki yang
duduk di bangku paling depan begitu aku akan kembali ke tempat dudukku.
“Apa? Kamu memanggilku?” sahutku dengan suara keras
dan kesal. Semua mata tertuju padaku, sepertinya mereka heran. Anak itu lalu
ditunjuk guru untuk memperkenalkan dirinya. Ternyata namanya adalah Dendi Setia
Wibawa.
“Wow keren sekali namanya, tapi tidak dengan
orangnya,” aku menyindirnya. Dia hanya tertawa, seperti tak merasa kalau dia
sedang aku sindir.
Ketika bel istirahat berdering. Aku dan Vania, teman
sebangkuku yang juga teman SMPku, tinggal di dalam kelas saja. Kami sedang
malas keluar. Sambil berlalu di depanku, Dendi mengucap, “Hai hitam” kepadaku
lalu keluar kelas.
“Van, memangnya penampilanku sangat aneh ya?”
tanyaku pada Vania.
“Tidak
kok, tidak aneh. Tapi kamu
beda dengan yang lain.”
“Yah, itu sih sama aja.”
“Sebenarnya kamu manis kok,” kata Vania meyakinkanku.
Olokan Dendi
itu begitu menyinggungku. Ini tidak pertama kalinya, dulu aku pernah dijuluki
“anak tiri” oleh anak-anak yang benci denganku. Aku juga pernah dibedakan
dengan kakakku, aku mendengar bisik-bisik
teman, “Adik sama kakak kok beda banget ya?” mendengarnya rasanya aku sakit hati. Ingin
rasanya aku menangis. “Bu, ibu dulu ngidam apa sih, kok sampai lahir anak kayak
aku? Apa aku bukan anakmu?” kataku ingin menangis.
“Ya ampun Lusia jangan bilang seperti itu, kamu anak
Ibumu. Dia tidak membeda-bedakan kamu
kan?” ucap Vania menenangkanku.
***
Sepulang sekolah, aku langsung masuk kamar. Kamarku
terasa hening, udara dari jendela terasa dingin, ingin rasanya aku berteriak.
Aku lalu mengaca, “Ya Allah apakah aku
manusia terjelek dan teraneh di dunia ini? Mengapa tak ada yang mau menghargai
penampilanku? Aku harus merubah
penampilanku,” kataku dalam hati. “Uang tabunganku akan aku gunakan untuk
membeli pemutih kulit. Setelah berganti pakaian, aku pergi ke salon kecantikan
dan membeli beberapa kosmetik pemutih, lulur, dan kosmetik pemutih lainnya.
Kakak dan ibuku heran dengan apa yang aku lakukan karena biasanya sebelum berganti pakaian aku langsung menuju
meja makan.
Setelah membeli apa yang aku perlukan, aku langsung
mandi. Aku pakai lulur pemutih yang tadi
kubeli. Uh… baunya tidak enak, tapi aku paksakan demi kulitku. Malam
harinya kulitku terasa gatal sekali. Pagi harinya kulitku memerah, aku tak bisa
keluar kamar, karena takut Ibu memarahiku.
Jam 06.30 aku
belum keluar kamar juga. Ibu mulai memangil-manggilku. Akhirnya kuputuskan
untuk keluar kamar.
“Bu, hari ini
aku tidak masuk sekolah ya?”
“Kenapa Lusia, kamu sakit ?” tanya ibu cemas.
“Lihat, wajah, tangan dan kakiku Bu!” kataku sambil
membuka lengan bajuku.
“Kenapa ini Lusia, kamu alergi makanan apa?”
“Penjelasannya nanti saja bu. Ayo Ibu antar aku ke
dokter kulit sekarang,” kataku merengek. Akhirnya aku diantar ke dokter kulit.
Dokter menjelaskan kalau aku alergi kosmetik.
Kulitku sangat sensitif terhadap kosmetika pemutih. “O… jadi kamu memakai
kosmetik pemutih, buat apa Lusia?” tanya Ibu tegas.
“Aku ingin kulitku putih seperti Kak Reni Bu! Aku
malu kalau jalan sama Kak Reni!”
“Kenapa malu? Tuhan menciptakan orang bebeda-beda,
kita tinggal menerima saja apa yang telah dibuat-Nya”.
“Benar juga bu, tapi aku tak berfikir seperti itu.
Aku hanya mencari jalan pintas. Ini semua gara-gara aku terlalu sensitif dengan
omongan orang,” sahutku dengan nada lemas. Di rumah aku banyak bercerita pada
Ibu dan Kak Reni tentang Dendi yang mengolok-olokku.
***
Setelah beberapa hari tidak masuk sekolah, hari ini
aku sudah boleh bersekolah. Aku mulai hariku dengan senyuman.
“Sudah sembuh Lusia? Kamu benar alergi kosmetik ya?
Kok bisa sih?” tanya Vania.
“Iya Van, mungkin pada saat itu emosiku memuncak
jadi aku langsung membeli pemutih kulit
tanpa tahu akibatnya!”
“Kalau sudah tahu begitu, besok-besok jangan
diulangi lagi, ya. Aku kangen sama kamu yang dulu. Dulu kamu anak yang ceria, cuek sama apa yang
orang omongkan,” ketus Vania.
“Aku juga Van, sekarang aku berjanji. Aku akan
menjadi diriku sendiri”.
“Nah begitu. Biar saja luarnya seperti apa yang
penting punya inner beauty .“Eh, terus bagaimana dengan ucapan-ucapan
Dendi?”
“Ku anggap seperti angin lalu. Aku do’akan semoga
dia sadar.”
“Amien…” ucapku dan Vania serentak seperti paduan
suara.
***
Face book
Cerpen:
Rustiani Widiasih
Rere adalah
teman Santi yang sangat menggilai Facebook. Sedangkan Santi sama sekali
tidak mengerti tentang Facebook. Rere adalah anak orang berada sehingga semua
kebutuhannya terpenuhi, termasuk akses internet di rumahnya, dia bisa on line Facebook kapan pun ia mau.
Kebalikannya dengan Santi, dia anak dari seorang yang sangat sederhana, tidak
ada akses internet dirumahnya. Santi tidak pernah bermain dengan internet jika
tidak ada pelajaran TIK di kelasnya.
Rere selalu memegang dan memandangi hand phone yang
di bawanya. Terlintas di benak Santi, sebenarnya apa yang sedang dilakukan Rere
dengan Hand phonenya sehingga senyum-senyum sendiri. Santi semakin penasaran,
”Kamu sedang apa, Re? tanya Santi dengan melirik hand phone ditangan Rere.
Santi melihat tulisan FACEBOOK di hand phone Rere. Lalu dia tahu apa
yang sedang dikerjakan sahabatnya itu.
Tidak jarang Santi melihat
teman-temanya memegang hand phone dan chatting menggunakan Facebook,tapi ia
tidak berani bertanya bagaimana cara membuat
dan menggunakan Facebook itu. Ia takut teman-taman
menertawakannya, karena ia terlau gaptek
untuk anak zaman sekarang. Ia tidak pernah berhenti berfikir, apa manfaat
Facebook itu sehingga banyak temannya yang menggilai Facebook dan seperti tiada
hari tanpa Facebook.
Santi semakin penasaran dan
penasaran. Ia menganggap dirinya adalah anak paling gaptek, seorang anak zaman
sekarang yang tidak mengerti tentang teknologi yang semakin canggih. Hari itu,
Santi yang biasa maju kedepan kelas dan mengerjakan soal matematika di depan
kelas,hari itu dia mendadak menjadi siswa yang bodoh. Sama sekali tidak bisa
mengerjakan soal yang diberikan oleh gurunya.
“Kamu kenapa Santi? Sakit?” tanya Rere dengan
menyentuh pundaknya. Rere heran, mengapa
hari itu sahabat baiknya itu menjadi aneh dan tidak seperti biasanya. Seperti
bukan Santi yang Rere kenal. Santi hanya menggelenkan kepalanya. Rere semakin
bingung dan tidak tau apa yang harus ia lakukan. Sampai jam pulang sekolah
Santi masih tetap murung dan merasa minder. Rere berusaha mengajak Santi
membicarakan palajaran yang dibahas di kelasnaya tadi siang tapi Santi hanya
menggelengkan kepala dan tidak berkata sepatah kata pun.
Sepulang sekolah, Santi
menhembuskan nafas panjangnya dan melangkah meninggalkan gerbang sekolah. Ia
naik angkutan umum langganannya.
Sepanjang perjalanan pulang, Santi terus memandang ke luar jendela. Ia
berfikir, kalau dirinya benar-benar gaptek
dan sama sekali tidak mengerti Facebook seperti teman-temannya. Sampai di
rumahnya, ia masuk ke dalam kamar dan membanting tas sekolahnya di tempat
tidur. Ia duduk di tempat tidur sederhananya dan mencoba untuk menenangkan
pikirannya.
“Santi, makanlah dulu,” teriak ibu. Tidak
ada jawaban dari kamar Santi. Santi tidak mempedulikan ajakan ibunya untuk
segera makan siang. Ibunya penasaran
mengapa anaknya tidak seperti itu. Langkah kaki terdengar menuju kamar Santi.
Ibu membuka pintu kamar Santi yang tidak tertutup dengan rapat. Ia mendapati
Santi sedang duduk di atas tempat tidur. Ibunya mendekat dan mengelus
rambutnya.
”Ada apa? Mengapa kamu terlihat
murung? Apa kamu sakit?” tanya ibunya penasaran. Cukup lama Santi diam tanpa
menjawab pertanyan ibunya. ”Aku capek, Bu,” bentak Santi. Ibunya terpaku dengan
ucapan anaknya, ia tak menyangka anaknya bisa berkata sekasar itu. Ibu
meninggalkan kamar Santi. Santi menyesal telah berkata kasar kepada ibunya.
Segera ia bangkit dan mengganti
pakaiannya. Ia berjalan keluar rumah dan berniat untuk pergi ke warnet. ia
ingin tahu seperti apa Facebook yang
sangat digandrungi Rere dan teman-temannya. Di warnet, ia mencoba membuka web
Facebook. Ia bingung karena ia tidak mempunyai alamat Facebook. Ia diam dan
termangu di depan komputer. Ia tidak begitu mengerti komputer dan internet.
Setengah jam ia buang waktu dengan sia-sia di warnet itu. Ia beranjak dari
komputernya dan segera membayar di kasir. Ia pulang dengan wajah kecewa karena
tidak mendapatkan apa-apa hari itu.
Sampai ia di rumah, ia duduk di
ruang tamu sederhana di rumahnya. Ibunya menghampiri dan bertanya pada Santi.
”Dari mana kamu?. Kekesalan Santi
mulai reda dan mau menjawab pertanyaan ibunya.
”Dari warnet, Bu. Bu, Santi iri
pada teman-teman Santi. Mereka punya komputer dan jaringan internet di rumah
mereka,” ucap Santi. Ibunya kaget dan mengelus dadanya. Ibunya bingung dan
tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia tidak mempunyai cukup uang untuk memebelikan
komputer. Ia hanya buruh cuci dan suaminya hanya seorang petani yang
penghasilannya tidak seberapa. Penghasilan mereka hanya cukup untuk makan
sehari-hari dan uang saku Santi. Jika Santi tidak mendapat beasiswa, mungkin
Santi tidak bisa bersekolah sampai jenjang SMA.
“Dapat uang dari mana untuk membeli
komputer? Untuk makan sehari-hari saja sangat
pas-pasan, “ jawab ibunya.
Sore itu ayah Santi pulang dari
sawah dan melihat isterinya sedang duduk termenung di ruang tamu. Ayahnya
menanyakan apa yang terjadi. Ibunya
menceritakan apa yang telah terjadi dengan anak semata wayang mereka. Ayah
Santi terkejut mendengar cerita dari isterinya. Sangat mustahil bisa membelikan
anaknya komputer.
Malamnya Santi mendengar percakapan
kedua orang tuanya yang bingung mencari jalan untuk membelikan komputer
anaknya. Santi sedih mendengarnya karena mereka akan menggadaikan sertifikat
agar dapat uang demi menuruti kemauan anak Santi. Santi tahu itu adalah
satu-satunya harta yang dimiliki orang tuanya. Santi menyesal telah membuat
orang tuanya bingung. Ia mencoba menerima segala sesuatu yang telah ia miliki,
termasuk hidupnya yang sederhana. Lalu Santi keluar kamar. Ia mengatakan agar
orang tuanya tidak perlu bingung menuruti permintaannya. Apa yang dia mita
hanyalah ungkapan emosinya sesaat karena pengaruh apa yang dia lihat dari
teman-temannya. Keinginan yang menggebu kini telah hilang setelah tahu betul
keadaan keluarganya.
Keesokan harinya, di sepanjang
perjalanan menuju sekolah, Santi tidak
membiarkan senyumnya terlepas dari bibirnya. Sampai di dalam kelas, ia bertemu
dengan sahabatnya Rere. Seperti biasanya, Rere selalu memegang dan memandangi
handphone yang di bawanya. Kali ini ia
berani mengajukan pertanyaan yang selalu ia pendam sendiri. “Re, bagaiman sih cara
untuk punya facebook?” tanya Santi dengan melirik hand phone yang Rere bawa.
“Masa kamu belum punya facebook?”
Tanya Rere lalu dia menjelaskan caranya sambil menunjukkan tampilan FB di HP.
Santi menceritakan semua yang telah ia alami kemarin. Santi merasa lega dan
saat itu karena bisa belajar dengan
Rere. Rere sama sekali tidak menertawakan Santi saat Santi bertanya. Justru
Rere mau mengajari Santi. Santi senang karena Rere mau mengajari Santi tentang
internet dan facebook.
Lalu Rere membuatkan alamat email
untuk Santi dan mendaftarkan nya di facebook menggunakan Hpnya. Santi tidak
lagi merasa menjadi anak paling gaptek
di sekolahnya.
“Terima kasih Rere,” ucap Santi.
“It’s OK, Santi. Andai sejak dulu
kamu bertanya padaku pasti aku jelaskan. Datanglah ke rumahku kapan saja,” kata Rere.
Siang itu, pulang sekolah Rere
mengajak kerumah Rere untuk mengajari Santi menggunakan facebook. Santi
bersyukur atas kehidupannya. Ia mempunyai
sahabat yang baik seperti Rere. Ia tidak harus punya komputer dan jaringan
internet sendiri untuk bisa berfacebook. Yang penting ia membuka diri, bertanya
pada yang bisa dan tidak malu belajar. Masalah computer dan internet, ia bisa
rental di warnet. Benar saja kata teman-temannya, hari gini tidak kenal
facebook? Apa kata dunia?
Penyesalan
Cinta
Cerpen:
Rustiani Widiasih
Di pojok kamar yang gelap, hanya bercahaya
remang-remang, aku duduk dengan rasa takut dan khawatir. Khawatir dengan
apa yang akan aku alami. Sedih, menyesal, takut, hina. Semua itu yang aku
rasakan saat ini. Hidupku sekarang gelap. Cahaya yang dulu terang yang bisa
membawa ke tujuan sudah aku padamkan dengan tanganku sendiri. Itu kebodohanku.
Pelan-pelan kubuka hasil tespek yang aku lakukan barusan dengan
penuh harap semoga hasilnya negatif. Dag..dig…dug, jantungku serasa mau copot. Ternyata hasilnya
positif. Segera ku menelepun Raka dan
bicara apa yang aku alami saat ini.
“
Hallo, Raka. Ka, Bagaimana ini?”
“ Apanya yang bagaimana? Bicara yang
jelas, jangan sambil
menangis.“
“Bagaimana aku tidak menangis. Aku hamil.
Aku harus gimana?”
“ Apa? Kamu hamil Syila?”
“Ya aku hamil. Sejak dulu aku sudah bilang
jangan tapi kamu memaksa aku terus. Sekarang jadi begini berantakan semua.
Pokoknya kamu harus bertanggung jawab.”
”Tenang sayang, tenang. Aku tanggung
jawab.”
“Tut….tut….tut,” telepon langsung di matikan Raka. Aku bingung harus cerita
sama siapa. Tidak mungkin aku cerita sama ibu karena dia akan kaget dan sedih.
Kepalaku rasanya pusing sekali, perutku mual rasanya ingin muntah. Tak bisa
apa-apa aku kecuali menunggu kabar dari Raka.
Aku merasa menyesal tapi semua sudah
terlanjur. Tiada guna aku menyesali.. Aku segera memilih baju, karena jika aku
pakai pakaian yang biasa aku pakai itu sudah tidak muat. Bentuk badanku sudah mulai berubah
terlebih lagi perutku suadah mulai buncit. Orang pasti akan curiga jika aku
berpakaian ketat. Aku pilih ham longgar
warna krem dan celana jeans lengkap dengan sepatu flat. Kurasa sudah cukup
menutupi, segera aku ambil jaket hp dan tas. Aku menuju menanti Raka menjemputku untuk membicarakan
masalah kami.Setiba di suatu rumah, aku
di kenalkan dengan seseorang wanita umur 30 puluhan yang amat sangat cantik.
Aku kira itu kakaknya tapi ternyata itu tantenya.
“Tante sudah tau apa yang terjadi dengan
kalian. Seharusnya kalian bisa menjaga diri dan fokus dengan cita-cita kalian.
Bukan malah seperti ini,” dia diam sejenak menghela nafas, kemudian berbicara
lagi, ”tapi semua sudah terlanjur jalan keluarga hanya satu. Kamu untuk
sementara harus berhenti sekolah. Kalian berdua harus dinikahkan.” Aku shok
dengan kata-kata itu.
“Aku tidak mau berhenti sekolah. Lebih
baik kandunganya ini digugurkan saja, “’kataku.
“Tidak. Janin yang tak berdosa harus tetep di pertahankan. Aku yang akan
merawatnya,” bentak tante itu dengan keras
”Tapi tante bagaimana dengan sekolahku?
Aku masih SMA kelas dua. Tidak mungkin aku berhenti. Apa kata guruku, dan
bagaiman dengan orang tuaku? ”
Dia berjanji akan membicarakan
masalah ini dengan Ibuku. Aku hanya harus menjaga janin ini. Dia mengatakan
setelah melahirkan aku bisa ikut Kejar Paket C.
Bayiku akan dirawat olehnya sampai aku dan Raka siap merawat anak.
Akhirnya aku setuju dengan jalan yang di beriakan tante Raka. Setelah itu Raka
mengantarku pulang. Sampai di rumah, aku rebahkan badanku di kasur kamarku yang
berantakan. Dan pakaian berserakan di
mana- mana.
Tanpa sepengetahuan ibuku, sudah tiga
hari aku tidak masuk sekolah. Aku malu
dan takut jika nanti ada yang curiga tentang kehamilanku. Pikiran
melayang-melayang memikirkan kesiapanku untuk sekolah besok. Keesokan harinya
tepat pukul tujuh, aku sampai di sekolah.
Ratusan siswa memandangku dari atas sampai bawah. Aku jadi salah tingkah
karenanya. Segera aku berlari menuju
kelas. Dengan nafas terengah-engah, aku sandarkan badanku di kursi paling pojok
belakang. Temanku sekelas mencoba bertanya alfaku. Aku jawab saja aku baru
sembuh dari sakit. Untung mereka percaya dengan alasanku.
“Kamu di
panggil guru BK,’’ tiba-tiba temanku berteriak memberi tahu. Aku menuju ruang
BK. Di sana aku ditanya macam-macam. Setelah guru Bk selesai bicara aku meminta
surat pindah karena aku sudah tidak tahan dan malu jika nanti ada orang yang
tahu.
***
Aku meratapi andai aku tidak melakukan hal itu, andai aku fokus pada sekolahku, pasti aku tak
akan seperti ini. Harusnya aku masih bisa bermain dengan temen-temenku. Aku
rindu bersama-sama mereka. Hanya penyesalan yang aku terima. Aku tidak tahu apa
yang harus aku lakukan. Aku pasrah pada orang tua, bagiamana mereka mengambil
keputusan yang terbaik untkku.
***
Merantau
Cerpen: Rustiani Widiasih
Aku benci dengan kehidupan ini, aku benci dengan
kehidupanku. Kenapa aku dilahirkan dari keluarga miskin? Keluarga yang penuh dengan kekurangan
sehingga aku tidak bisa melanjutkan kuliah seperihalnya teman-temannku. Aku capek dengan hidupku yang tanpa
pekerjaan. Tapi apalah yang bisa dilakukan lulusan SMA sepertiku? Kata-kata itu selalu aku lontarkan. Namaku Nisa, aku hidup dengan penuh kekurangan di
sebuah desa yang terpencil. Bisa lulus SMA
merupakan perjuangan yang luar biasa dalam keluargaku. Aku hidup bersama
bapak, ibu tiri, dan adikku tiri.
Bapak sangat sayang padaku sehingga seringkali dia
mengekangku karena tidak ingin aku kenapa-napa.
Dari kecil aku hidup bersama bapakku, ibu kandungku meninggal karena
sebuah kecelakaan ketika umurku 5 tahun.
Suatu
saat bapakku menikah lagi dengan perempuan lain yang sudah mempunyai anak. Aku
tidak bisa berbuat apa-apa ketika bapakku memutuskan untuk menikah lagi.
Pada dasarnya ibu tiriku baik, tapi aku selalu berpikiran
negatif
karena image ibu tiri selalu jahat.
Aku tahu sebenarnya dia telah menganggapku sebagai anak, tapi tetap saja aku
tidak bisa menganggapnya sebagai ibu. Tiada yang bisa mengantikan almarhumah
ibuku. Karena ibu tiriku telah menganggap aku sebagai anaknya sendiri, aku sering dimarahi, dan disuruh-suruh. Aku menganggap diriku sebagai seorang pembantu layaknya.
Sampai-sampai aku ingin pergi dari rumahku. Terkadang aku juga sering berantem
sama adik tiriku.
Pada suatu pagi aku menemui bapakku untuk menceritakan apa yang ada dalam pikiranku. “Aku ingin menjadi seperti orang yang lain, hidup layak dan enak. Aku ingin mencari
pekerjaan pak, aku ingin ke Surabaya. Ada teman yang menawariku menjadi pelayan di sebuah toko besar. Aku mohon pak, izinkan aku,” kataku pada bapak. Bapak hanya diam aku bilang seperti
itu.
“Pak, apa gunanya bapak menyekolahkanku sampai SMA? Dengan
susah bapak bapak mencari uang untuk membayar uang sekolahku. Aku ingin merubah kehidupan kita pak,” tuturku. Aku
pernah mendapatkan petuah dari guruku kalau daerah yang ditempati tidak
memungkinkan lagi untuk memperbaiki kehidupan, lebih baik hijrah saja.
“Nisa,
bapak bukannya tidak mengizinkan kamu pergi, tapi bapak
belum tega melepaskan kamu. Di Kota itu kejam,
Nis. Sangat berbeda dengan di kampung kita ini, bapak tidak tega.”
“ Aku sudah
nggak betah di rumah ini,” sahutku.
“Tidak betah
kenapa?”
Aku hanya bisa diam ketika bapak bilang seperti itu.
Mataku berkaca-kaca, lalu bapakku sambil berkata, “Sudahlah
Nis, bapak mengizinkan kamu pergi”.
“Benar
bapak mengizinkan aku pergi?”
“Ya,
tapi kamu harus hati-hati disana.
Jaga dirimu baik-baik. “
Tiba-tiba ibu tiri ku datang menghampiri aku dan bapak.
“Eh, ada apa ini?” Aku
dan bapak hanya diam melihat dengan tak
acuh. Lalu ibu tiriku dengan suara yang keras kembali bertanya
lagi, “Ada apa ini?” Lalu bapak menjawab pertanyaan ibu.
“Begini bu, Nisa ingin ke Surabaya mencari pekerjaan. Dengan memotong pembicaraan bapak ibu
menjawab “O, begitu. Baguslah itu,” jawab ibu.
"Nisa masih
belum punya pengalaman kerja bu? Bagaimana kalau di sana nanti
kenapa-napa?” Bapak berbicara dengan suara keras. Aku hanya diam, bapak selalu membelaku
seperti itu.
“Kamu sudah besar,
sudah lulus SMA. Sudah waktunya kamu keluar dari
rumah, mencari pengalaman dan peghasilan. Aku mendukung niatmu, bukan karena
aku senang kamu pergi dari kami, tetapi agar kamu bisa hidup mandiri untuk masa
depanmu. Bekerjalah untuk dirimu sendiri. Tabung uangmu agar kelak bisa
digunakan untuk modal usaha.”
Ucapan ibuku semakin menguatkan niatku untuk pergi.
Ternyata ibu tiriku baik hatinya. Jika
aku rasa-rasakan apa yang diucapkan ibu memang benar, namun karena dia ibu
tiriku perasaanku menjadi sensitif sekali.
Suatu hari, tibalah saatnya aku
meninggalkan bapak
dan semuaya. Aku berangkat ke kota dengan
niat yang tulus dengan tekat yang kuat aku mencari pekerjaan. Aku berpamitan
dengan bapak dan ibuku juga adikku.
“Pak aku pergi ya, aga kesehatan bapak, aku janji akan pulang dengan membawa hasil. Nisa ingin membahagiakan bapak.”
Bapak menangis karena tidak tega melihatku. Aku
berpamitan dengan ibu tiriku,
“Bu jaga bapak ya?”
“Sudahlah berangkat saja, mantapkan lagkahmu, jemputlah
masa depanmu,” kata ibu.
Aku segera mengambil tas dan barang-barang yang akan
aku bawa. Perlahan langkahku menjauh dari mereka. Aku dan temanku yang
sudah menanti sejak tadi, pergi menuju
terminal dengan air mata yang berlinang. Setiba di terminal kami mencari bus jurusan ke kota
Surabaya. Bus sudah menanti
kami. Kami langsung masuk ke dalam
bus dan berdoa agar kami selamat sampai tujuan. Bus pun berjalan meninggalkan
terminal.
***
Setelah delapan jam perjalanan
sampailah kami
di kota Surabaya. Kami turun dari bus. Aku pasti
bingung jika tidak ada teman yang mengantarku ke kota ini. Kendaraan berlalu-lalang silih berganti tiada henti,
begitu banyak orang berkeliaran. Aku tidak tahu mana arah utara dan selatan.
Aku sempat ragu tentang langkah yang aku ambil. Temanku mengajakku berjalan
menuju tempat bus kota. Terbesit dalam
pikiranku, kenapa aku nekat banget ke kota
ini? Mau kerja apa aku ini?
Tapi aku tidak boleh menyesal, aku harus menjemput masa
depanku. Hatiku tidak akan mati walau dikota ini aku sengsara. Aku harus bisa berhasil.
***
“Kebetulan sekali,
saya memang sedang mencari karyawan. Siapa nama mu?” tanya bos pemilik minimarket
kepadaku. “Namaku Nisa bu, “ jawabku.
Lalu Ibu tadi meminta temanku untuk mengantarku ke kamarnya untuk istirahat. Aku
akan mulai bekerja keesokan harinya.
Akhirnya aku dapat kerja juga. Sesudah beberapa hari aku kerja, aku menelepon bapakku
di desa.
Aku kabarkan kalau aku sudah dapat
kerjaan dan aku dalam keadaan sehat. Aku akan
mengirimkan bayaranku ke desa dan sisanya akan aku tabung untuk modal usaha.
Ya, dengan merantau ini, semoga aku berani bercita-cita dan memperbaiki
kehidupan.
***