Tampilkan postingan dengan label Cerpen anak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen anak. Tampilkan semua postingan


berkah kesabaran ulat

fiksi sd kelas 1

penunjang mata pelajaran ipa























oleh: Rustiani Widiasih, S.Pd.

SMA Negeri I Badegan

PONOROGO, JAWA TIMUR


berkah kesabaran ulat












di sebuah taman bunga
ada seekor burung
burung itu indah sekali
tetapi ia sombong
ia suka mengolok olok
1














suatu hari
burung bertemu ulat
ulat sedang makan daun
burung berkata pada ulat
makananmu menjijikkan





dan tidak enak
lihatlah aku ini
makananku madu
yang manis dan enak

2













ulat diam saja
ulat tidak marah
walau diolok olok burung
ia berdoa kepada Tuhan
agar bisa makan yang enak seperti burung
3












keesokan harinya
burung datang lagi
hai ulat kamu jelek sekali
tubuhmu penuh bulu
bulumu membuat gatal
lihatlah aku ini
4buluku indah
dan tidak membuat gatal









ulat tetap sabar
walau terus diolok olok
ia tahu tubuhnya tidak indah
ia tidak punya sayap
untuk terbang seperti burung


5















beberapa hari kemudian
ulat berubah bentuk
menjadi kepompong atau pupa


6

burung melihat perubahan si ulat










Burung pun berkata lihatlah aku ini
o o kamu berubah ya betapa enaknya
kamu semakin jelek saja aku bisa terbang bebas tubuhmu terbungkus kulit bisa makan sesukaku
kamu tidak bisa bergerak kata burung sambil terbang
juga tidak bisa makan meninggalkan pupa sendirian
7oh kasihan sekali kamu












pupa sedih
ia berdoa pada Tuhan
agar punya tubuh yang indah
yang bisa terbang bebas
dan makan madu yang manis
8seperti seekor burung











beberapa hari berikutnya
kulit pupa robek
pupa keluar dari kulitnya
pupa berubah lagi
doa pupa yang sabar didengar Tuhan
pupa menjadi kupu kupu yang cantik
sayapnya mengembang
9ia bisa terbang seperti burung












kupu kupu berterimakasih pada Tuhan
sekarang ia menjadi indah sekali
ia punya dua pasang sayap
sayapnya berwarna warni
ia juga punya antena
untuk mencium harum bunga
kupu kupu menghisap madu
10pada bunga yang mekar











suatu pagi
burung datang ke taman
ia kaget melihat pupa
apakah kamu pupa yang jelek itu tanya burung
ya saya dulu ulat
lalu menjadi pupa
11






sekarang menjadi kupu kupu












burung tidak menyangka
ulat yang jelek bisa berubah
menjadi kupu kupu yang indah
ia malu pada kupu kupu
dan juga menyesal
sudah mengolok oloknya
burung minta maaf pada kupu kupu
12ia janji tidak akan mengulangi lagi











kupu kupu memberi maaf
ia tidak benci pada burung
sekarang mereka berteman
burung dan kupu kupu
bersama sama terbang
dan menghisap madu bunga
di taman yang indah
13

CERITA ANAK

SURAT SRI LESTARI

Sahabatku Dita,

Aku senang sekali menerima suratmu. Ternyata, kamu masih ingat walau kita tidak menjadi teman sekelas lagi. Syukurlah suratmu bisa sampai di tanganku. Padahal, di amplop kamu hanya menulis : Untuk Sri Lestari di di tempat penampungan korban lumpur Sidoarjo. Itu karena, di sini akulah satu-satunya pemilik nama tersebut. Kabarku baik-baik saja. Begitu juga dengan keluargaku. Saat ini kami tinggal di tempat penampungan korban lumpur Pasar Baru. Kami tidur bersama-sama tanpa kamar. Untunglah Bapak bisa membeli kasur untuk tidur kami sekeluarga. Ada juga lho orang yang tidurnya beralas kardus dan tikar saja.

Di sini, di tempat penampungan ini aku harus sabar. Tidak ada yang tidak antri. Mandi, makan, dan buang air kecil pun harus antri. Selain itu, aku tidak merasa nyaman dan bebas. Ketika saya mau tidur, tetangga sebelah memutar radio keras sekali. Ketika orang lain tidur, saya tidak bisa bermain dan berbicara dengan keras pula.

Makan pun seadanya. Apa yang dimasak di dapur umum, itulah yang dimakan. Kalau belum kenyang, aku makan mie instant jika ada. Aku jarang membeli makanan karena bapak tidak punya banyak uang. Yang paling menyenangkan adalah jika ada orang yang mengajak kami makan bersama. Kadang-kadang orang-orang kaya datang ke sini membawa makanan. Mereka merayakan ulang tahun, melakukan bakti sosial atau sengaja ingin beramal. Saat seperti itulah saya bisa menikmati makan enak. Tidak hanya itu, sesekali ada juga kiriman dari orang kaya yang baik hati berupa makanan kecil dan kue-kue. Hem... nikmat benar aku memakannya.

Ada sekolah di tempat penampungan ini. Sekolahku sekarang tidak seperti sekolah kita dulu sebelum tertimbun lumpur. Dulu ada banyak buku di perpustakaan, meja dan kursi yang bagus serta gedung yang megah. Sekarang semuanya serba seadanya. Bahkan ada siswa kelas tertentu yang duduk di terpal yang digelar di lantai. Untungnya, saya tidak harus membayar biaya sekolah karena dibantu oleh para dermawan. Sehingga, bapak tidak harus repot memikirka biaya sekolah saya.

Aku senang ketika sekolahku mendapat kiriman buku-buku baru atau mendapat kunjungan mobil perpustakaan keliling. Hiburan kudapat dengan membaca cerita-cerita lucu atau detektif. Seru! Kadang-kadang juga ada kiriman CD film kartun atau lagu-lagu. Aku dan teman-teman melihatnya bersama-sama sepelang sekolah.

Selain itu, kadang juga ada bantuan berupa pakaian layak pakai, mukena, sarung, dan baju-baju baru. Ah.. Alangkah senang saya mendapatkannya. Sesekali ada juga kiriman berupa mainan dan selimut.

O ya, cita-cita kamu masih ingin menjadi seorang dokter? Sekarang aku berubah pikiran. Setelah adanya lumpur, aku tidak lagi bercita-cita menjadi dokter sepertimu. Dalam keadaan seperti ini, mana mungkin bapak bisa membayar sekolah dokter. Bapak tidak memiliki pekerjaan tetap sedangkan biaya sekolah dokter kan mahal. Aku bercita-cita menjadi orang kaya supaya bisa membeli rumah dan membantu orang miskin.

Kadang-kadang aku merasa sangat rindu kampung halaman. Di sana, kita dilahirkan, dibesarkan, bermain, bersekolah dan mengaji bersama. Ups! Aku ingat. Dulu, kita bermain di kolam ikan kakekmu. Kita memancing ikan lele bersama teman-teman. Sebelumnya, kita membagi tugas untuk membawa bahan pecel lele. Kamu yang membawa minyak goreng, aku membawa sambal, Sari membawa mentimun dan Dian yang menyediakan nasi putih. Lalu kita goreng lele itu di rumah Dian. Ingatkah kamu ketika kita membunuh lele-lele itu? He.. he... Dipukul, diinjak, dibanting, di sembelih tidak mati-mati. Akhirnya kita masukkan ke dalam air garam. Beberapa menit kemudian, lele pun mati kaku semua.

Kini tidak bisa lagi kita temukan semuanya. Kenangan yang indah itu telah hilang ditimbun lumpur. Tidak ada lagi yang bisa ditemukan di sana kecuali lautan lumpur. Sedih rasanya jika aku mengingat kenangan itu. Tapi, ... ah! Sedih tidak berguna. Semua sudah terjadi.

O ya. Salammu untuk teman-teman sudah saya sampaikan. Sari titip salam untukmu. Sedangkan Dian sekarang ikut bibinya di luar Jawa. Dulu ketika kau masih di sini ia masih memiliki ibu walau bapaknya telah meninggal. Sekarang, keduanya tiada. Ibunya juga telah meninggal dunia. Saya sedih melihat nasib Dian.

Hal itulah yang menguatkan dan memberi semangat hidupku. Dulu aku berpikir kalau aku adalah anak yang paling sial karena menjadi korban lumpur. Tetapi itu semua salah. Masih saja ada orang yang hidupnya tidak semujur aku.

Sekian dulu ya. Jika ada waktu datanglah ke sini. Jengguk kami semua. Itu sudah cukup untuk menguatkan hati kami.

Sahabatmu,

Sri Lestari

JILBAB UNTUK BU IFAH

Guru kelasku bernama bu Ifah. Ia baik dan sabar. Bu ifah memakai jilbab ketika mengajar. Namun jilbab yang ia pakai tidak sesuai dengan baju seragamnya. Pada hari senin dan selasa, baju bu Ifah berwarna coklat tua. Seharusnya jilbab bu ifah berwarna coklat muda atau coklat tua bermotif, namun bu ifah memakai jilbab warna kuning. Kadang-kadang jilbabnya berwarna hitam.

Pada hari Rabu dan Kamis, bu Ifah memakai baju warna kuning semacan seragan Pegawai Negeri kebanyakan. Seharusnya warna jilbab yang di pakai sesuai, namun yang di pakai adalah jibab warna hijau muda. Pada hari Jum’at, baju bu Ifah batik bermotif warna coklat dan putih. Menurutku, warna jilbab bu Ifah semestinya menyesuaikan dengan roknya, atau warna batiknya. Namun tidak demikian, bu Ifah memakai jilbab warna abu-abu. Sedangkan pada hari sabtu, bu Ifah memakai seragam pramuka. Nah... Ini baru serasi. Ia memakai jilbab untuk seragam pramuka.

Warna jilbab bu Ifah yang tidak sesuai itu sungguh mengangguku. Aku gemas melihatnya. Apa alasan bu Ifah tidak menyesuaikan warna jilbabnya aku tidak tahu. Mungkinkah bu Ifah tidak mengetahui warna apa yang cocok untuk bajunya? Mungkin juga karena bu Ifah tergesa-gesa dan tidak punya cukup waktu. Entahlah!

Aku ingin sekali mengatakan hal itu pada bu Ifah. Tapi..., apakah aku sopan mengatakannya? Bagaimana kalau marah? Beberapa hari ini aku memikirkan cara agar bu Ifah memakai jilbab dengan warna yang serasi. Aku bahkan membayangkan penampilan bu Ifah jika jilbabnya serasi dengan baju. Alangkah cantiknya!

Suatu siang, aku bertanya pada ibu tentang harga sebuah jilbab. Ternyata, harganya tidak mahal amat. Jika aku sedikit berhemat dengan mengurangi uang jajan, beberapa minggu aku bisa membeli sebuah jilbab. Aku ingin sekali membeli jilbab untuk bu Ifah walau belum tahu bagaimana cara memberikannya. Jika uangku telah terkumpul akan ku beli jilbab warna coklat untuk seragam hari Senin dan Selasa.

Setiap hari saya menyisihkan uang jajan. Aku membawa air minum dari rumah sehingga tidak perlu membeli di sekolah. Selain itu, aku makan pagi di rumah. Padahal, biasanya aku lebih senang makan pagi di kantin bersama teman-teman ketika istirahat. Dengan demikian, kadang uang sakuku tidak berkurang.

Setelah dua minggu, terkumpullah uangku untuk membeli sebuah jilbab. Aku merahasiakan apa yang ku lakukan ini pada ibu dan teman-teman. Semoga saja tidak ada yang mengetahuinya. Lalu, aku pergi ke toko jilbab. Kebetulan sekali letak toko tersebut ku lewati setiap hari sepulang sekolah. Di sana aku melihat jilbab warna coklat dengan motif bunga. Indah sekali! Tampaknya cocok untuk baju seragan bu Ifah pada hari Senin dan Selasa. Jilbab itu aku bungkus dengan rapi lalu ku masukkan ke dalam tas.

Setelah itu, aku kini bingung bagaimana cara memberikannya? Kapan saat yang tepat agar tidak ada yang mengetahui? Ups! Kebetulan sekali besuk adalah hai Senin. Jika aku berhasil memberikan jilbab itu, pasti bu Ifah akan memakainya pada hari Selasa.

Keesokan harinya aku memberanikan diriku untuk memberikan jilbab yang sudah ku beli dengan uangku sendiri. Aku sudah siap jika bu Ifah akan memarahiku. Sewaktu istirahat, aku memasukkan bungkusan jilbab itu ke dalam buku LKS sehingga tidak ada yang mengetahui apa yang ke bawa. Aku menuju kantor. Ku lihat dari jauh, di dalam ada guru lain. Lalu aku menanti beberapa saat.

Tidak lama kemudian bu Ifah keluar dari kantor.

”Bu Ifah...”, panggilku. Bu ifah menghentikan langkahnya. Aku mendekat, ”Bu, Ini untuk Bu Ifah”, kataku sambil menyerahkan sebuah bungkusan.

”Apa ini?”

”Di buka di rumah saja, Bu”

”Terimakasih”

Aku lalu pergi meninggalkan bu Ifah dan bergabung dengan teman-teman di kantin. Ya... kali ini aku makan pagi di kantin. Lega rasanya sudah memberikan jilbab itu. Namun aku juga cemas kalau-kalau bu Ifah tidak suka. Harapanku, semoga bu Ifah mau memakainya besuk.

Pada hari Selasa..., Bu Ifah memakai jilbab yang kuberikan! Bu Ifah tidak marah tetapi justru tampak senang. Kini bajunya tampak serasi dengan jilbabnya. Ia lebih anggun dan cantik! Ternyata serasi itu tidak harus mahal. Yang penting cocok! Bu Ifah tersenyun kepadaku aku pun demikian.

”Tumben, Bu Ifah pakai jilbab yang cocok dengan bajunya”, bisik Dewi yang duduk di sampingku. Aku hanya mengangguk sambil tersenyun puas. ”Siapa dulu dong yang memilihkan jilbab?”, batinku.

Sejak itu, bu Ifah selalu mamakai jilbab yang warnanya cocok dengan baju yang sedang di pakai.Mungkinkah itu karena aku telah memberi jilbab kepadanya? Entahlah!

**********************