Tampilkan postingan dengan label NOVEL. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label NOVEL. Tampilkan semua postingan

Novel Anak

ANAK-ANAK SD BUNGA PINUS
Hilangnya lembu Pak Marto mengejutkan semua orang. Bagaimana bisa lembu yang sedang digembala menghilang begitu saja? Padahal, telah diikat tali pengikat sapi itu pada sebatang pohon. Menurut Pak Karto, lembu tersebut hilang di gunung Kuniran. Lembu yang telah diikat itu ditinggalnya merumput di lereng-lereng gunung Kuniran. Ketika ia hendak pulang sore hariya, ia tidak mendapati sapinya. Ia mencari kesana-kemari namun tidak juga ditemukannya. Akhirnya ia pulang tanpa sapi.
Memang, pada musim kemarau ini semua orang di desa Tosari kesulitan mendapatkan makanan ternak. Salah satu tempat yang kelihatan hijau adalah di gunung Kuniran. Maka Pak Marto merumput dan menggembala di gunung tersebut walau jaraknya cukup jauh dari desanya.
***
Tanah di sekitar desa Tosari rengkah (pecah-pecah karena kekeringan). Tetanaman dan rerumputan mengering kecoklatan. Pohon-pohon Waru yang biasanya menghijau, kini meranggas karena daun-daunnya dipangkas orang-orang untuk pakan ternak. Sumber-sumber air kering kerontang. Salah satu sumber yang masih mengalir hanyanlah belik (sumber air di kolam kecil) di bawah pohon Beringin yang berada di ujung desa Tosari. Itu pun harus dibagi-bagi dengan banyak orang.
Keadaan yang demikian itu meresahkan semua orang. Banyak orang kesulitan mendapatkan pakan (makanan) ternak, mendapatkan air untuk keperluan sehari-hari apalagi untuk bercocok tanam. Padahal, air merupakan kebutuhan vital (penting) bagi masyarakat yang sebagian besar adalah petani dan peternak sapi dan kambing. Barangkali hanya Rusti saja yang menyukai musin kemarau. Gadis kecil itu selalu menikmati gemerlapnya langit di malam hari. Bintang-bintang yang bertaburan dan berkelap-kelip tak jemu-jemunya ia pandang setiap malam. Sebuah pemandangan yang tidak didapatinya pada musim penghujan.
Pada bulan purnama, ia menghabiskan malamnya di halaman rumah. Ia menggelar tikar lalu membuat api unggun dengan ranting-ranting dan daun-daun kering. Jika tidak ingin sendirian saja, ia memanggil teman-temannnya untuk bergabung. Kentongan yang menggantung di teras surau (Musholla) dipukulnya sebagai isyarat panggilan untuk teman-temannya. Setelah berkumpul, mereka bermain, bernyanyi dan bercerita tentang kisah-kisah lucu dan kadang cerita horor.
”Kamu tahu, ke mana hilangnya sapi pak Marto?” tanya Nunuk, si pembual ulung. Semua anak menggelengkan kepala. ”Sapi itu dicuri yang mbaurekso (menguasai) gunung Kuniran untuk dijadikan tumbal (tebusan). Kalian tahu, gunung Kuniran ada penunggunya. Yang menunggu adalah raksasa buto ijo (hantu raksasa yang menakutkan dan jahat menurut kepercayaan orang Jawa) Buto ijo makan sapi bahkan juga suka makan anak kecil seperti kita”.
”O... begitu ya?” ucap Trisno sambil menggeserkan tempat duduknya mendekati Rusti, Nunuk dan Tutut. Trisno, walau seorang laki-laki, sangatlah penakut.
”Dengar ya. Aku mendapatkan cerita ini dari Mbak Sri. Dia dapat cerita dari temannya” tutur Nunuk penuh percaya diri. ”Hi... menakutkan. Jangan sampai kita pergi ke gunung Kuniran bisa-bisa kita dimakan buto ijo” kata Tutut sambil melingkarkan tangannya ke pundak Rusti.Demikianlah keempat anak tersebut menghabiskan malamnya hingga salah satu dari orang tua mereka memanggil untuk segera pulang. Jika sudah begitu, mereka baru meninggalkan tempat. Rustilah yang pulang paling akhir. Ia menggulung tikarnya lalu mematikan api unggun dengan memercikkan air di atasnya. Rusti tidak penakut seperti ketiga temannya. Kadang-kadang ia juga diminta untuk mengantarkan Tutut yang sangat penakut sampai di depan rumahnya.
Pada musim kemarau, angin malam sangatlah dingin. Dinginnya sampai menusuk kulit.Angin bertiup sangat kencang. Kadang menimbulkan suara yang aneh. Juga muncul suara menakutkan dari pohon-pohon yang saling bergesekan. Rusti seringkali menyusul tidur di kamar ibu, bapak dan adikknya yang masih bayi. Jika ia tidur di kamarnya sendiri, ia merasa kedinginan. Ia menindih tubuh bapaknya sampai tergeser ke pinggir sehingga ia mempunyai tempat yang hangat di dekat adiknya. Pernah suatu hari tubuh bapaknya sampai terjatuh dari tempat tidur. Untungnya, bapaknynya tidak sadar dari tidurnya sampai pagi.
Pada pagi hari, Rusti dan ketiga temannya bertemu di belik bawah pohon beringin. Mereka tidak langsung mandi. Alasannya, masih banyak orang dewasa yang menggunakan belik itu. Namun alasan yang lebih kuat adalah karena mereka masih merasa kedinginan dan malas untuk segera mandi. Buktinya, walau orang dewasa telah selesai mandi dan mengambil air, mereka masih saja enggan untuk segera mandi.
Trisno masih berselimut sarung kesayangannya. Tutut menggunakan baju pijamanya, Nunuk dan Rusti mengalungkan handuk di pundaknya. Mereka duduk di atas batu besar yang terletak tidak jauh dari belik. Mereka segera mandi jika matahari sudah mulai terbit atau salah satu orang tua dari anak tersebut meneriaki agar segera mandi. Trisno diminta untuk mandi terlebih dahulu. Setelah selesai, Rusti, Tutut dan Nunuk mandi bersama-sama. Pulangnya, Rusti harus membawa pulang timba kecil berisi air. Ia membawakan air ibunya untuk memasak.
Setelah mandi, mereka berganti pakaian lalu makan pagi seadanya. Mereka berangkat ke sekolah bersama-sama menyusuri jalanan berdebu. Sepatu mereka yang baru saja dicuci tidak tampak bersih lagi. Debu menempel pada sepatu sehingga warnanya kecoklatan. Sesekali mereka menepuk-nepuk sepatunya sehingga debu berhamburan dibawa angin.
Anak-anak desa itu selalu ceria, mereka tidak begitu dibebani dengan urusan pelajaran sekolah atau pekerjaan rumah. Bagi mereka, dunianya adalah bermain dan bertualang. Keempat anak tersebut sebenarnya tidaklah lahir pada tahun yang sama. Trisno adalah anak yang paling tua. Ia pernah tinggal kelas pada kelas dua sehingga ia berada di kelas yang sama dengan Rusti, Nunuk dan Tutut. Tutut adalah anak termuda, Ia masuk SD pada usia lima tahun. Oleh karenaya ia menjadi anak yang penakut dan manja. Rusti dan Nunuk lahir pada tahun yang sama.
Mereka berempat menjadi sahabat yang saling melengkapi. Jika ada Tutut yang manja dan penakut, maka ada pula Rusti yang tomboi dan pemberani. Ada Nunuk si pembual dan juga ada Triso yang selalu percaya begitu saja pada ucapan orang.
Pagi itu adalah hari Senin, semua siswa SD Bunga Pinus harus melaksanakan upacara bendera. Anak-anak berbaris dengan rapi, namun anak-anak yang menghadap ke Timur sangatlah gelisah. Matanya terpejam-pejam. Tangnnya seringkali berada di atas mata seperti sedang menghormat. Mereka menghindari tajamnya sorot matahari. Keringat mengalir di dahi dari balik topi merah putihnya. Anak-anak yang berada di barisan belakang berlindung pada teman yang berada di depannya. Mereka menundukkan tubuhnya.
Pada saat acara amanat upacara, pimpinan upacara memberi aba-aba istirahan di tempat. Lalu Bapak kepala sekolah, selaku pemberi amanat meminta siswa untuk diam sejenak. Anak-anak diperkenankan untuk duduk.
”Anak-anakku siswa dan siswi SDN Bunga Pinus yang saya cintai, di pagi yang cerah ini saya mengajak anak-anak untuk menjaga kesehatan. Pada musim kemarau seperti ini, di mana sulit untuk mendapatkan air, biasanya akan timbul berbagai penyakit kulit. Oleh karena itu saya harap anak-anak tetap menjaga kebersihan. Selain itu, ada pengumuman untuk siswa kelas tiga. Mulai minggu depan, Ibu guru kalian, Ibu Katmiati tidak bisa mengajar kalian lagi karena akan purna tugas (pensiun). Sebagai gantinya nanti, kalian akan diajar oleh guru baru dari kota...” tutur bapak kepala sekolah.
Anak-anak kelas tiga, yaitu Rusti dan kawan-kawan saling memandang. Mereka merasa sedih. Selama ini bu Katmi mengajar mereka dengan sabar sekali. Ia tidak pernah memberi pekerjaan rumah kepada siswanya. Ia selalu megajar dengan santai.
Selesai upacara bendera selesai, seperti biasanya anak-anak berbaris di depan kelas terlebih dahulu menjadi dua barisan. Barisan kanan dan barisan kiri. Ketua kelas di kelas tiga adalah Rusti. Ia Memberikan aba-aba dengan tegas. ”Siap grak. Lencang kanan grak. Tegak grak. Jalan ditempat grak. Henti grak.” Begitulah dia memberi aba-aba. Lalu ia memandangi barisannya. Dia memandang barisan di sebelah kanan dan kiri. Lalu memutuskan barisan mana yang boleh masuk terlebih dahulu. Barisan yang boleh masuk adalah barisan yang lebih rapi. ”Barisan kanan, masuk dahulu”. Jika ia berkata demikian, satu per satu siswa di barisan kanan memasuki kelas, lalu disusul siswa pada barisan kiri.
Setelah masuk kelas, mereka duduk di tempat masing-masing. Tidak lama kemudian Ibu Katmiati masuk kelas. Lalu spontan Rusti memimpin teman-temannya berdoa. Setelah berdoa, Ibu guru mengucapkan salam lalu mengabsen siswa satu per satu. Demikianlah rutinitas (kebiasaan) yang setiap pagi dijalani tanpa bosan dan enggan.
Kelas mereka bercat putih. Namun kini warnanya menjadi kekuningan karena telah memudar. Di atas papan tulis terpasang gambar presiden dan wakilnya. Selain itu ada gambar-gambar pahlawan seperti R.A Kartini, Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol dan Jendral Sudirman. Wajah-wajah pahlawan itu tidak asing lagi bagi anak-anak. Pada pelajaran sejarah, Ibu Katmi selalu menceritakan kisah kepahlawanan mereka. Selain gambar pahlawan, di dinding dekat meja guru terpasang jadwal mata pelajaran dan jadwal piket harian. Anak-anak harus melaksanakan tugas piket seperti yang telah dijadwalkan. Tugas piket itu adalah menyapu lantai dan menghapus papan tulis.
Ibu Katmiati memang sudah terihat tua. Ada keriput di wajah dan tangannya. Rambutnya tercampur antara hitam dan putih. Giginya ada yang ompong. Jika sudah siang, suaranya menjadi parau walau lantang pada pagi harinya. ”Anak-anak yang saya cintai, hari ini adalah hari terakhir saya mengajar kalian. Ibu akan pensiun. Usia ibu sudah 60 tahun. Sudah waktunya ibu digantikan oleh guru muda. Pesan saya, nikmatilah masa anak-anak kalian. Teruslah bermain, bernyanyi dan bertualang. Karena itulah dunia kalian....” Ucap Ibu Katmi mengawali pelajaran pada waktu itu. Ia memang guru yang sangat peduli degan dunia anak-anak. Karena alasan itu pula ia tidak memberi beban yang sangat berat kepada anak-anak. Ketika ia mengajar, anak-anak selau menikmatinya. Ia menjelaskan dengan sederhana tetapi justru mudah dipahami oleh siswa. Kemampuan itulah yang membuat anak-anak tidak merasa sulit dalam menangkap pelajaran.
”Hari ini saya tidak akan mengajar. Saya hanya akan bercakap-cakap dengan kalian semua” lanjut bu Katmi.
”Hore....” teriak anak satu kelas.
”Ibu akan bertanya tentang hobi dan cita-cita kalian. Anak-anak harus punya masa depan yang cerah. Masa depan yang cerah itu awalnya dari cita-cita yang tinggi. Ayo sekarang katakan apa hobi anak-anak? Lalu saya akan memberitahu apa kira-kita profesi yang sesuai dengan hobi kalian ”
”Hobi saya bercerita, Bu” kata Nunuk si pembual dengan keras.
”Itu hobi yang bagus. Kamu bisa menjadi pendongeng, penyiar atau peceramah kelak”
”Dia pembual, Bu” kata Agus si pembuat onar.
”Benarkah? Berarti pendongeng yang paling cocok untukmu, Nunuk. Karena mendongeng itu tidak harus benar-benar terjadi. Yang diceritakan boleh cerita rekaan”
”Hobi saya melakukan penjelajahan seperti di Pramuka itu, Bu” kata Rusti.
”Bagus. Besuk kamu bisa menjadi....”
”Mandor hutan, Bu” sela Agus lagi.”Ya. Agus benar. Selain itu, kau bisa menjadi penyelamat lingkungan. Beberapa tahun yang lalu ada seorang yang mendapatkan penghargaan Kalpataru dari Bapak Presiden karena berhasil menyelamatkan hutan dengan menanami pohon pinus”
”Kalau saya hobinya menyanyi, Bu” kata Tutut.
”Bagus. Kamu bisa menjai seorang penyanyi kelak. Lalu apa hobi kamu, Agus? Dari tadi kamu hanya mengomentari hobi temanmu”
”Aku ..... Aku.....” Agus tidak bisa menjawab karena dia belum memikirkan hobinya sendiri.
”Tidak punya hobi? Ibu kira kamu cocok untuk menjadi seorang komentator atau penilai”
”Betul....” teriak anak-anak membenarkan saran bu Katmi.
”Kalau kamu Trisno?” tanya bu Katmi melihat Trisno yang sejak awal hanya diam saja.
”Saya bingung, bu. Saya suka mendengarkan cerita teman-teman. Saya juga suka mendengarkan sandiwara radio. Saya juga suka mendengarkan lagu-lagu”
”Oh... Hobimu mendengarkan?”
”Dia bisa jadi dukun ya bu?” tanya Tutut
”Jangan menjadi dukun. Jadi saja penasihat spiritual atau paranormal. Menjadi pengacara juga bisa” tambah Agus si komentator.
Percakapan mereka sangat seru. Tidak lama kemudian bel istirahat berbunyi. Mereka beristirahat. Ada yang bermain di luar kelas, ada yang pergi ke warung Bu Siti, ada pula yang bergerombol di dalam kelas. Mereka yang bergerombol itu biasanya mendengarkan bualan Nunuk dengan cerita-cerita yang diciptakannya. Jika ada isu baru Nunuk selalu menceritakan kepada teman-teman. Anehnya, semua anak selalu senang mendengar ceritanya walau mereka tahu ceritanya itu kadang hanya dibuat-buat. Nunuk seperti mempunyai kekuatan untuk menarik perhatian teman-temannya.
Keterampilan Nunuk bercerita membuatnya memiliki banyak teman. Kerena, selain suka membual dia juga suka membicarakan kejelekan teman yang tidak sependapat dengannya. Topik yang sedang hangat dibahas pada waktu itu adalah tentang hilangnya sapi pak Marto.
Rusti dan Tutut tidak mau bergabung dengan gerombolan itu. Mereka selalu mendapatkan informasi terbaru karena rumahnya paling dekat dengan Nunuk sehingga semua informasi pasti sampai di telinga mereka paling awal. Trisno tidak bosan-bosannya mendengar cerita Nunuk walau berpuluh-puluh kali telah didengarnya. Ia benar-benar pendengar setia.
***
GURU BARU
Seorang lelaki memasuki ruang kelas tiga. Laki-laki itu masih muda. Bajunya sangat rapi. Rambutnya disisir dengan rapi pula. Begitu memasuki kelas, aroma harum tercium dari tubuhnya. Ia tampak segar dan gagah.Ia tersenyum dengan ramah memandangi para siswa. Senyum ramahnya membuat hati siswa menjadi berbunga-bunga.
“Selamat pagi, anak-anak?” ucap lelaki itu dengan suara yang merdu.
“Selamat pagi....” jawab anak-anak.
“Perkenalkan. Saya adalah guru baru kalian”
“O..... guru baru? Namanya siapa?” selidik Nunuk agar tidak ketinggalan info terbaru.
“Nama saya SIDIK PRAMONO” ucap pak guru sambil menuliskan namanya di papan tulis. “Panggil saja Pak Sidik.”
“Ya, Pak Sidik...” Anak –anak langsung mempraktikan.
Guru baru dan siswa-siswi kelas tiga itu lalu saling berkenalan. Pertemuan pertama mereka sangat mengesankan. Mereka langsung akrab seperti sudah pernah kenal sebelumnya. Anak-anak menganggap Pak Sidik tidak hanya sebagai seorang guru tetapi juga seorang kakak dan sahabat.
***
Kehadiran pak Sidik di SDN Bunga Pinus memberi warna yang berbeda. Semula, anak-anak tidak pernah senam pagi sebelum pelajaran dimulai. Pak Sidik mengajari senam Kesegaran Jasmani yang diiringi dengan musik. Hal itu membuat anak-anak gembira. Mereka menirukan setiap gerakan yang dicontohkan Pak Sidik. Dalam waktu satu minggu mereka sudah hafal gerakan senam. Tidak hanya itu, pada sore hari anak-anak yang berminat diajak latihan baris berbaris, pramuka dan juga berbagai jenis olah raga. Sekolah menjadi ramai sepanjang hari. Anak-anak menjadi termotivasi untuk selalu pergi ke sekolah. Mereka bisa menemukan pengalaman dan hal-hal baru.
Suatu hari Pak Sidik bertanya pada anak-anak didiknya.
“Apakah kalian merasa nyaman berada di kelas ini?”
“Senang Pak, tetapi kadang-kadang sedih juga karena kelasnya berdebu. Saya suka bersin-bersin jika terkena debu” ucap Tutut dengan manja.
“Huh dasar anak manja” olok Agus.
“Baiklah. Kalau bagitu bagaimana kalau kita besuk membersihkan kelas kita. Kebetulan besuk hari Minggu. Kita akan membuat kelas ini menjadi kelas yang indah dan nyaman, bagaiman?”
“Setuju....”
“Besuk bawalah peralatan untuk membersihkan kelas ini. Ada yang membawa ember, lap, kuas cat, sapu, kemucing dan peralatan lain yang kalian punya”
“Baik, Pak....”
Keesokan harinya anak-anak bersemangat pergi ke sekolah. Pak Sidik datang paling awal. Lalu Rusti dan ketiga sahabatnya datang menyusul karena rumah mereka paling dekat dengan sekolah. Tidak lama kemudian anak-anak lain datang satu per satu. Setelah lengkap mulailah pak Sidik memberi pengarahan.
“Selamat pagi semua!”
“Pagi, Pak....”
“Sudah mandi? “
“Belum, pak. Beliknya masih digunakan orang dewasa untuk mencuci” ucap Rusti.
“Ya, pak. Karena sekarang mahal air, hari minggu bonus tidak mandi” kata Nunuk.
“Ya saya tahu. Kalian belum mandi itu lebih baik karena kita akan terkena kotoran dan debu. Setelah selesai bersih-bersih baru kita mandi. Mari kita awali saja kegiatan kita dengan bacaan Basmallah. Semoga semua bisa lancar”
“Bismillahhirrahmannirrahim”
“Pertama mari kita pindahkan meja dan kursi ini keluar. Satu meja dianggat oleh empat anak. Satu kursi dianggap oleh dua anak. Cari pasangan masing-masing”
Dengan penuh semangat anak-anak memindahkan meja dan kursi keluar kelas. Suara mereka ramai sekali.
“Bagus anak-anak. Kaian bisa melakukan tugas dengan baik. Sekarang kita bagi tugas. Siswa yang membawa ember, menggambil air di belik. Siswa yang membawa kuas, mengecat dinding. Nanti saya ajari cara mengecat yang benar. Siswa yang membawa kemuceng, membersihkan jendela. Siswa yang membawa sapu, menyapu lantai. Siswa yang membawa kain pel, menanti temannya yang sedang mengambil air, lalu mengepel lantai. Kerjakan tugas masing-masing dengan baik. Ada yang ditanyakan?”
“Pak, saya membawa sabit. Karena setelah kerja bakti saya akan merumput. Apa yang bisa saya kerjakan?” tanya Trisno ketakutan.
“Kebetulan sekali ada yang membawa sabit. Ambillah pelepah pisang. Nanti bisa digunakan untuk membersihkan lantai”
Lalu anak-anak menjalankan tugas masing-masing dengan baik. Kebetulan Pak Kebon muncul saat itu sehingga bisa membantu mengecat dinding bagian atas.Beberapa jam kemudian ruang kelas tiga menjadi bersih dan tampak baru. Warna dinding yang semula kekuningan, kini dicat dengan warna biru muda yang cerah. Lantai berdebu telah berganti menjadi lantai yang bersih. Kaca-kaca jendela menjadi mengkilap dan bersih.
Kerja bakti selesai ketika matahari tepat di atas kepala. Sebelum pulang, Pak Sidik memberikan pengarahan kepada siswa.
“Saya mengucapkan terimakasih kepada kalian semua. Kalian sudah bekerja dengan hebat. Luar biasa. Kelas kita telah bersih sekarang. Namun, kerja kita belum selesai. Kita harus menjaga agar kelas ini selalu bersih. Untuk itu, mulai besuk kita sepakat untuk melepas sepatu ketika akan masuk kelas. Besuk kita akan membuat tempat sepatu dari pohon bambu. Oh ya. Masih ada satu hal lagi. Selain, menciptakan kelas yang bersih, kita juga akan menciptakan kelas yang indah. Kita bisa menempatkan vas bunga di atas meja guru. Untuk itu, pada mata pelajaran keterampilan nanti akan saya ajarkan keterampilan membuat bunga dari bahan-bahan yang bisa ditemukan di sekitar kita. Sekarang, karena hari sudah siang. Kalian boleh pulang. Sampai jumpa besuk pagi”
“Sampai jumpa, Pak...” jawab anak-anak serempak.
***
Pada bulan September, persediaan air semakin menipis. Udara sangat panas pada siang hari dan sangat dingin pada malam hari. Tanah kering berdebu dan terbang di bawa angin ke dedaunan dan rumah-rumah. Kulit manusia mengering dan telapak kaki menjadi pecah-pecah. Hal seperti itu juga terjadi pada kulit anak-anak SDN Bunga Pinus. Pak Sidik yang sangat perhatian itu sangat prihatin dengan keadaan tersebut. Ia tidak tega menyaksikan kulit siswa-siswinya bersisik, kotor dan dekil.
Suatu hari pak Sidik meminta anak-anak untuk membawa beberapa bahan seperti parutan kelapa, sabun mandi dan minyak kelapa. Semula anak-anak tidak mengerti untuk apa bahan-bahan itu. Namun anak-anak tidak pernah membantah ucapan pak Sidik karena mereka dipastikan akan mendapakan hal-hal yang baru.
Ternyata benar, anak-anak diberi penjelasan tentang kulit manusia.
“Kulit manusia sama seperti tumbuhan. Kulit juga membutuhkan makanan. Jika tidak, kulit menjadi kering dan pecah-pecah. Apalagi, pada musim kemarau seperti sekarang ini, dimana angin berhembus dengan kencang sehingga kulit menjadi kering. Selain itu, banyaknya debu yang menempel pada kulit juga menyebabkan kulit menjadi kotor. Oleh karena itu kulit kalian semua menjadi kering dan bersisik”
Anak-anak lalu melihat kulit masing-masing. Mereka malu melihatnya. Ada yang melingkarkan kakinya, ada yang menarik kaos kakinya dan ada pula yang menunduk.
“Kali ini saya akan mengajarkan pada kalian bagaimana cara merawat kulit. Sebenarnya ada cream khusus untuk kulit seperti hand body ini” kata pak Sidik sambil menunjukkan sebuah hand body kepada anak-anak.
“Oh kalau seperti itu kakakku juga punya pak” ucap Nunuk dengan bangga.
“Bagus. Itu bisa kau pakai setiap pagi. Jika tidak punya, bahan-bahan seperti yang telah engkau bawa yaitu minyak kelapa, kelapa yang sudah diparut dan sabun mandi bisa dipakai. Jika kalian membawa minyak kelapa, ambil minya secukupnya lalu oleskan pada lengan tangan dan kaki. Jika kalian membawa parutan kelapa, gosokkan pada kaki dan tangan, lalu bersihkan sisanya. Jika membawa sabun mandi, begini caranya. Basahi sabun dengan air, lalu gossokkan pada kaki dan kulit. Jangan dibilas dengan air. Nanti akan mengering sendiri. Di dalam sabun ada pelembabnya sehingga kaki kalian tidak akan bersisik”
“Wah.... Betul sekali, Pak. Kaki saya menjadi bersih” kata Rusti yang telah mengoleskan minyak kelapa ke kaki dan tangannya.
“Kaki saya jadi mengkilat!” ucap Trisno kegirangan setelah mengoleskan parutan kelapa ke kaki dan tangannya.
“Wow... harum....” ucap Nunuk sambil mencium tangannya karena ia mengoleskan sabun pada kaki dan tanggannya.
“Kalian sudah tahu bagaimana cara merawat kulit. Lakukan itu setiap hari sebelum sekolah”
“Ya Bapak.....”
***