Tampilkan postingan dengan label Biografi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Biografi. Tampilkan semua postingan

Masa Lalu


KULIAH


Udara yang dingin di bulan Juni memaksaku untuk menghabiskan hari-hari di depan pawon (tungku api). Pawon adalah tempat yang paling istimewa bagi keluargaku. Setelah bangun tidur, hal yang pertama kali dilakukan ibu adalah menyalakan api di pawon. Setelah api menyala aku dan kedua adikku duduk di atas dingklik, tempat duduk kecil terbuat dari kayu. Kami api-api untuk menghangatkan tubuh.  Kami duduk mengitari pawon.
 Lalu ibu merebus air dengan kaleng bekas susu cair. Bekas tempat susu tersebut ditali dengan kawat di kedua sisinya. Kami menyebut kaleng tersebut dengan sebutan omplong.  Omplong itu lalu diberi air dan digantung tepat di atas api. Setelah mendidih aku dan kedua adikku yang telah menyediakan gelas berisi gula dan bubuk kopi antri air panas. Satu omplong bisa digunakan untuk dua gelas air. Biasanya kedua adikku dahulu yang mendapatkan giliran pertama. Setelah ibu menuangkan air mendidih ke dalam gelas kedua adikku, ibu mengisi air lagi. Setelah mendidih barulah aku mendapat giliran. Aku bertugas untuk menyediakan kopi untuk bapak. Ibu sendiri jarang minum kopi. Sesekali ia  meminta sedikit jatahku.
 Kami semua belum beranjak sebelum ibu memberi kami sarapan. Kami makan pagi seadanya kadang-kadang kami makan nasi tiwul dicampur nasi beras yang digoreng. Setelah ibu mengambilkan jatah bapak di piring, aku dan kedua adikku makan nasi di wajan. Aku membagi nasi goreng menjadi tiga bagian secara adil. Lalu kami mengadakan lomba makan, siapa yang paling cepat habis, dialah yang menang. Sedangkan yang paling akhir makannya bertugas untuk mencuci wajan.
Pada hari libur, kami menghabiskan waktu di depan pawon sampai kulit terasa panas. Kalau hari masuk, kami terus mandi dan berangkat sekolah. Kebetulan hari itu adalah hari libur. Setelah makan pagi,   aku dan kedua adikku yang semuanya perempuan  berdesakan berebut tempat yang paling hangat.
Bapak lebih suka duduk bersila di atas lincak yang berada tak jauh dari pawon. Dia memakai sarungnya untuk menghangatkan tubuh. Pada saat ini bapak sedang berpikir keras untuk menyiapkan biaya pendidikan kami. Aku telah lulus SMA. Adikku yang besar lulus SMP dan yang kecil lulus SD. Tidak ada sekolah SMA di desaku, jika akan melanjutkan ke SMA maka harus kos di luar kabupaten.
“Tidak lama lagi kamu harus kos di Ponorogo, Wik” kata bapak kepada adikku yang besar, Wiwik.
“Saya juga akan ikut Mbak Wiwik, Pak”  kata adikku yang kecil, Tutik. Dia akan masuk SMP.
“Kamu masih SMP. Kamu sekolah di Bandar saja” kata bapak sambil menggulung kertas papir yang telah diisi dengan tembakau dan cengkeh.
“Saya bagaimana, Pak?” tanyaku kepada bapak.
“Kamu berhenti sekolah dahulu. Tahun depan kamu baru melenjutkan kuliah”
Jawaban bapak tersebut sebenarnya sangat memukul hatiku. Rasanya ada seonggak beban di dadaku. Aku hanya diam mendengar keputusan bapak. Dalam hatiku aku menangis. Aku sangat ingin melanjutkan kuliah seperti yang dilakukan teman-temanku di kota Ponorogo. Mau tidak mau aku harus menerima keputusan bapak.  Aku harus tahu diri. Bapakku hanyalah seorang guru dan ibuku hanyalah seorang petani kecil. Butuh biaya yang tidak sedikit untuk membayar biaya pendidikan secara bersama-sama.
***
Sampai  tamat SMA, aku tinggal di kos.  Aku merasa tidak nyaman tinggal bersama ibu kos yang jahat. Sebenarnya aku sejak dahulu ingin tinggal di rumah sendiri. Di rumah gubuk sekalipun. Yang penting rumah itu berada di kota. Aku selalu menceritakan pengalaman yang tidak mengenakkan itu sehingga kedua orang tuaku bersemangat untuk memiliki sepetak tanah di kota Ponorogo.  Namun sampai aku lulus dari SMA BAKTI Ponorogo, harapan itu belum terwujud.
Kali ini kedua adikku akan belajar di Ponorogo. Kenyataan tersebut mendorong bapak untuk secepatnya memiliki tanah di kota. Padahal, keadaan ekonomi keluarga  cukup sulit. Walau demikian,  bapak yang sangat peduli kepada pendidikan mengadaikan SK gurunya untuk pinjam uang di Bank. Uang tersebut digunakan untuk membeli  tanah di Ponorogo.
 Kemudian pada sepetak tanah itu didirikan rumah kecil dari kayu jati yang dulunya merupakan warisan dari nenek buyut.  Dan,  berdirilah rumah kayu yang tidak lazim di Ponorogo. Jika orang melihatnya, seakan-akan mereka melihat rumah desa di perkotaan. Dengan demikian,  rumah kami ada dua yang satu di desa Bandar Pacitan dan yang satu lagi di Ponorogo.
 Konsekuensi yang harus kami terima  dari langkah  bapak membeli tanah  tersebut adalah hidup dengan sangat pas-pasan. Mungkin tetanggaku berpikir kalau  bapak adalah orang yang berkecukupan sehingga bisa membeli sepetak tanah di kota. Mereka tidak tahu kalau untuk itu kami harus mengencangkan ikat pinggang yang sebenarnya sudah kencang sekali.
Dengan susah payah bapak mendirikan  rumah di kota. Sebenarnya itu sangat cocok untuk disebut sebagai gubuk  atau semacam warung kopi. Belum ada kamar mandi dan WC di rumah itu.  Pengadaan Kamar mandi dan WC itu menjadi beban pikiran bapak karena tidak lama lagi kedua adikku akan menempati rumah tersebut.
Seminggu kemudian, kedua adikku sudah harus mendaftarkan diri di sekolah baru. Ibu menunggui mereka berdua. Selain itu, ibu juga harus menyediakan makan bagi para tukang yang menyelesaikan pembuatan sumur. Sedangkan bapak harus mengantarkan kedua adikku ke sekolah karena mereka berdua belum pernah pergi ke kota.
 Dan aku? Aku diminta bapak untuk menunggu rumah di desa Bandar  Pacitan. Aku  detemani nenekku. Rumah nenek berjarah kira-kira satu kilo meter dengan rumahku. Waktu itu adalah saat untuk memanen jagung. Nenek mengajakku untuk memanennya sendiri daripada dipekerjakan kepada orang lain. Kata nenek itu semua dilakukan untuk penghematan. Nenek tahu betul keadaan ekonomi keluarga kami yang saat ini sedang membutuhkan uang yang sangat banyak.
Setiap pagi aku  dan nenek pergi ke tegalan, ladang jagung. Panas matahari membakar kulitku hingga kulitku yang sudah hitam kenjadi semakin kelam. Saya sama sekali tidak menghiraukannya. Saya dan nenek memetik jagung, lalu mengupas kulitnya, memisahkan butiran jagung dari bonggolnya, menjemur hingga akhirnya menjualnya. Setelah mendapatkan uang, aku  memberikannya kepada bapak untuk memenuhi kebutuhan di Ponorogo. Aku yang mengantar uang tersebut ke Ponorogo. Aku menyusul Bapak, Ibu dan  kedua adikku. Rumah Pacitan aku tinggalkan. Neneklah yang menungguinya.
 Sesampai di Ponorogo aku mememui teman SMAku. Namanya Sulis. Dia besuk akan daftar UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri) di Surabaya. Aku menanyakan semua persyaratannya. Lalu aku menyampaikan keinginanku untuk ikut temanku daftar UMPTN di Surabaya. Bapak tidak  melarangku karena ia mengira aku tidak akan diterima. Ia mengizinkan aku ikut daftar sebagai hadiah karena aku sudah mengurusi panen jagung dengan baik.
Dengan doa restu ibu, aku berangkat ke Surabaya. Aku tinggal bersama kakak Sulis. Aku tinggal beberapa hari hingga aku selesai mengikuti UMPTN. Setelah selesai aku pulang. Aku menunggu  hasil UMPTN dengan berharap penuh kepada Allah. Aku seringkali puasa senin-kamis. Aku mengikuti anjuran nenek. Katanya,  jika aku mempunyai cita-cita akau harus sering tirakat.
Suatu hari, seorang saudara datang ke rumah dengan membawa koran yang memuat hasil pengumuman UMPTN. Secara kebetulan juga aku membaca koran tersebut. Diluar dugaan semua orang terutama bapak,  aku diterima sebagai mahasiswa IKIP Surabaya jurusan Bahasa Inggris. Dan temanku Sulis diterima di IKIP Malang.  Aku senang bukan kepalang. Diterimanya aku di kampus itu adalah anugerah dari Allah. Mendengar berita tersebut bapak juga senang. Ia lupa kalau pada saat ini ia tidak memiliki uang untuk membayar biaya daftar ulang. Aku melihat bapak merenung suatu petang. Aku tahu bapak bingung dari mana lagi akan mendapatkan uang. Padahal, batas waktu seperti yang diumumkan pada koran tersebut paling akhir adalah besuk. Aku merasakan betapa sedihnya bapak waktu itu.
Dalam kesulitan ada  kemudahan. Mungkin begitulah yang aku alami. Ternyata putri teman bapak juga diterima di IKIP Surabaya. Teman bapak itu namanya adalah bapak Suwono. Sedangkan putranya adalah Ika. Ika diterima di jurusan Biologi. Pak Suwono datang ke rumah. Ia mengajak bapak untuk berangkat ke Surabaya bersama-sama. Bapak lalu menyampaikan keadaan yang sebenarnya dengan berat hati. Lalu bapak Suwono berjanji akan mencukupi terlebih dahulu semua biaya yang diperlukan.
Hatiku berbunga-bunga mendengarnya. Wajah bapak yang tadinya kusut juga tampak merekah seperti bunga layu yang terus merekah setelah disiram air. Kami berempat berangkat ke Surabaya. Aku meminta restu ibu dan kedua adikku. Kami pergi ke kampus IKIP Surabaya untuk yang pertama kalinya.
Tempat daftar  ulang adalah di  Kampus Ketintang IKIP Surabaya.  Setelah selesai daftar ulang kami langsung mencari tempat kos. Kebetulan ada selebaran yang menunjukkan tempat kos. Kami menuju alamat itu. Tepatnya adalah di gang Nirwana. Pak Suwono memesan satu kamar untuk aku dan Ika.  Setelah itu kami pulang. Masih ada beberapa hari untuk  mempersiapkan diri menjalani Masa Orientasi Mahasiswa Baru.

Bersambung....

Dengan cambuk dan Pil pahit, aku bisa berlari kencang dan sehat

Dengan cambuk dan Pil pahit, aku bisa berlari kencang dan sehat 

Oleh: Rustiani Widiasih
      Peran seorang  kepala sekolah sangatlah penting dalam kehidupan saya. Sejak menjadi seorang guru, saya dipimpin oleh dua orang kepala sekolah yang keduanya telah mengantarkan saya melewati perjungan panjang meraih salah satu cita-cita saya. Cara pandang mereka sangat berbeda ibarat langit dan bumi. Tetapi justru perbedaan itulah yang menjadikan saya kuat. Betapa tidak, kepala sekolah saya yang satu telah memberikan motivasi,  optimisme, tekad yang kuat, semangat dan kepercayaan diri. Sedangkan kepala sekolah yang satunya lagi telah memberiku obat yang pahit dan menyehatkan; cambuk yang bisa memacu saya berlari kencang; dan perasaan teraniaya yang membuat doa-doaku terkabulkan. Tampa mereka berdua entah apa aku bisa mewujudkan cita-citaku atau tidak.
***
Sebelum saya menjadi seorang guru PNS, saya adalah guru di sekolah swasta yang termasuk favorit di kota saya. Sekolah tersebut dipimpin oleh seorang kepala sekolah yang sangat peduli terhadap pendidikan, terhadap peningkatan kualitas guru, dan prestasi seorang guru. Oleh karenanya kepala sekolah tersebut menyediakan anggaran pinjaman lunak bagi siapapun guru yang ada di sekolah tersebut untuk melakukan studi lanjut di jenjang S2. Beliau yakin bahwa  anak-anak akan lebih baik diajar oleh  guru-guru yang memiliki kualitas yang baik pula. Selain mendorong para guru untuk berprestasi, dan meningkatkan kompetensinya, beliau sendiri juga memberikan contoh kepada anak buahnya. Beliau telah menyelesaikan kuliah S3nya di sebuah Kampus Negeri yang memiliki reputasi baik di pulau Jawa. Mungkin tidak banyak kepala sekolah SMA yang pendidikannya sampai S3.
Setiap ada pembinaan, kata-kata yang terucap adalah motivasi dan motivasi untuk lebih maju. Saya pun selalu dimotivasi untuk melanjutkan pendidikan selagi saya masih muda. Namun sayang, pada waktu itu  belum memungkinkan bagi saya untuk kuliah karena masih memiliki anak kecil. Walau demikian, saya memiliki tekad untuk menempuhnya kelak jika keadaan telah memungkinkan.
Selanjutnya saya diangkat menjadi guru PNS di  sebuah sekolah Negeri di wilayah kecamatan. Sekolah tersebut dipimpin oleh seorang kepala sekolah yang memiliki pemikiran jauh berbeda dari kepala sekolah saya sebelumnya. Setelah SK PNS turun, saya berniat melanjutkan studi saya di Universitas Sebelas Maret. Pertama, saya harus mengisi blangko pendaftaran dimana salah satu syaratnya adalah adanya persetujuan kepala sekolah untuk melanjutkan kuliah. Pada saat saya meminta tanda tangan, beliau bertanya tentang  jadwal kuliahku. Saya pun menjawab kalau harinya adalah Minggu dan Senin. Dia keberatan kalau saya harus kuliah pada hari Senin karena hari Senin adalah hari wajib masuk semua guru dan karyawan. Lalu saya membela diri kalau saya hanya butuh waktu satu tahun untuk dikosongkan pada hari Senin. Untuk selanjutnya, hari Senin adalah hari yang istimewa bagiku karena hari Senin rupanya merupakan hari istimewa pula bagi bapak kepala sekolah. Akhirnya dengan berat hati sang Kepala sekolah memberikan tanda tangan dengan catatan saya harus mengorbankan kuliah jika sewaktu-waktu ada pembinaan penting.  Saya juga harus tetap mengajar 24 Jam. Saya menerima semua persyaratan itu dengan  senang hati.
Saya pun menikmati kesempatanku untuk meng-update ilmu di bangku kuliah. Betapa bahagia bisa menempuh pendidikan. Sungguh saya merasakan ilmu yang begitu luasnya dan merasa ilmuku yang begitu sempitnya.  Apa yang saya pelajari adalah apa yang saya perlukan karena saya mengambil jurusan yang liniar dengan pendidikan sebelumnya. Saya harus mengerjakan setiap tugas yang diberikan oleh dosen. Saya harus presentasi, harus mengumpulkan ini dan itu. Selain itu saya juga harus berperan sebagai ibu rumah tangga di rumah dan sebagai guru di sekolah tanpa mengurangi peranku sedikitpun. Namun semua itu bisa saya lalui dengan baik walau penuh perjuangan.
Permasalahan muncul ketika saya mengurus surat izin belajar. Saya harus meminta surat rekomendasi dari Kepala sekolah untuk mencari surat izin dari dinas pendidikan dan dari Bupati. Ketika saya menghadap, saya pikir dia akan langsung memberiku tanda tangan begitu saja. Ternyata tidak demikian. Sungguh diluar dugaan. Dia bertanya lagi kapan jadwalku kuliah. Saya menjawab, hari Minggu dan Senin. Lalu dia mengatakan seperti apa yang pernah dikatakan sebelumnya bahwa hari senin adalah hari wajib masuk pada guru dan karyawan. “Hari senin harus mengikuti upacara bendera. Jika setiap Senin diadakan pembinaan, berapa kali kamu tidak ikut pembinaan? Saya keberatan jika nantinya ada pengawas yang mengetahui kalau ada guru yang tidak pernah masuk pada hari Senin,” begitu  yang dikatakan beliau.  Dan masih banyak lagi kata-kata yang lain. Saya tidak siap pada waktu itu untuk mendengarkan kemarahannya. Tidak terpikirkan olehku sebelumnya untuk mendapatkan omelan yang menyakitkan.  Dengan berat hari diapun memberikan  tanda tangan.
Selepas dari Runag kepala sekolah, saya ibarat bunga yang kekeringan, loyo dan lemas. Namun, saya sekali lagi menganggap ini sebagai cambuk yang membuatku berlari dan berlari begitu kencang. Susah untuk berbicara dengan Beliau. Apapun yang saya ucapkan pasti salah. Dalam perjalanan pulang, apa yang diucapkan masih terngiang di telinga. Saya merasa ada batu terjal yang harus saya lalui untuk mencapai cita-cita saya ini. Sungguh tidak mudah untuk melaluinya.
Saya teringat dongeng pengantar tidur yang diberikan ibuku sewaktu kecil. Dikatakan ibuku, dahulu ada tiga anak yang berusaha untuk mengambil air suci di hutan. Air tersebut bisa mengobati ibu mereka yang sakit. Anak pertama, gagal karena dia tidak kuat mendengar suara-suara yang mengerikan di hutan. Anak kedua juga gagal pula karena tidak kuat mendengar suara-suara bujukan dan rayuan di hutan. Anak ketiga menutup telinganya dengan kapas sehingga dia tidak mendengar apa-apa.Tujuannya satu yaitu ingin mengambil air suci. Akhirnya dia berhasil mendapatkan air suci karena dia tidak mendengarkan bisikan-bisikan dan gangguan dari luar. Intinya, kita hendaknya menutup telingga terhadap kata-kata yang bersifat menjatuhkan mental kita. Kata-kata itu hanya menciptakan mental block pada diri kita. Cerita ibuku tersebut aku terapkan dalam kehidupan saya jika mendapatkan ucapan-ucapan yang bisa melemahkan mental dan semangat dalam melakukan suatu kebaikan.
      Kata bijak berikut agaknya sangat cocok untuk saya.
          Akhirnya saya bisa mendapatkan surat izin belajar dari Bupati Ponorogo. Satu  copy surat tersebut saya berikan kepada kepala sekolah.  Setelah satu tahun berlalu, saya masuk pada semester ketiga. Pada semester ketiga, tidak ada kuliah lagi, tinggal penelitian dan penulisan thesis. Oleh karenanya, saya bersedia untuk dijadwal pada hari Senin.  Namun dalam perjalanan, saya masih harus ke kampus lagi untuk beberapa urusan pada hari Senin. Terpaksa saya izin dengan surat tanpa menghadap ke kepala sekolah.
          Saya fokus untuk bisa menyelesaikan thesis secepatnya. Saya memaksimalkan kerja saya. Pagi hari saya mengajar, siangnya saya berangkat ke Solo untuk menemui dosen pembimbing. Salah satu dosen pembimbing thesis saya lebih senang ditemui di rumah beliau dan yang satunya lagi justru bersedia membimbing di kampus saja. Hal ini membuat saya harus berangkat ke kampus pagi untuk menemui dosen yang satu dan sore hari untuk menemui dosen yang satunya lagi. Setelah bimbingan seperti itu, saya sampai rumah lagi sudah larut malam.
 Pada malam hari setelah semua anak-anak tidur, saya kadang mengerjakan thesis sampai pagi. Dan paginya saya harus mengajar lagi. Itu saya lakukan berkali-kali. Karena tidak sekali waktu dosen langsung menyetujui tulisanku. Saya harus merevisi dan merevisi lagi. Kadang-kadang saya hanya mengirim thesis saja untuk dibaca dosen. Baru setelah dua atau tiga hari dosen selesai membaca dan saya mengambilnya. Selanjutnya saya merevisi sesuai dengan anjuran dosen. Sampai-sampai saya sakit kecapekan. Walau saya sudah meminum vitamin, namun rupanya istirahat sangat diperlukan oleh tubuh saya. Untungnya suami dan anak-anak bisa memahami apa yang harus saya lalukan. Itu sudah menjadi bekal yang cukup bagiku. Setelah perjuangan yang panjang, akhirnya kedua dosen memberikan ACC untuk ujian thesis.
          Masalah timbul lagi. Puncaknya adalah pada saat saya harus mendaftarkan diri untuk mengikuti ujian thesis. Ini adalah saat yang tidak mungkin saya lupakan dalam hidupku. Hari itu hari Senin. Sekali lagi, hari senin adalah hari istimewa. Saya berencana untuk menghadap kepala sekolah untuk izin tidak mengajar karena akan mendaftarkan diri mengikuti ujian thesis. Ternyata Beliau tidak hadir. Saya meminta izin kepada Wakasek Kurikulum tetapi dia tidak berhak  memberikan izin. Saya disarankan untuk menelepon kepala sekolah. Sebelum menelepon saya berusaha untuk menyusun kata-kata yang tepat dan benar agar tidak sampai memuat kepala sekolah marah. Ternyata beliau saat itu sedang berada di rumah sakit mengantar cucunya berobat. Saya diminta untuk menantinya. Saya lama sekali menanti. Pukul sepuluh pagi beliau belum juga datang. Padahal untuk sampai di kampus saya harus menempuh perjalanan selama 4 jam di atas bus. Sementara banyak sekali yang harus saya lakukan di kampus untuk melengkapi semua persyaratan ujian, diantaranya saya harus mengapload abstrak, menyerahkan daftar nilai, meminta surat keterangan bebas tanggunagn perpustakaan, serta menyerahkan lembar persetujuan dosen penguji.
          Saya sangat gelisah menanti kehadiran kepala sekolah yang tidak kunjung datang. Pada saat itu, saya duduk di depan ruang kepala sekolah. Tiba-tiba temanku yang mengetahui kegelisahanku mendekat. Saya menceritakan apa yang saya alami. Dia memberikan kekuatan kepada saya dan menyarankankan saya untuk berangkat saja ke Solo dan tidak usah menanti kepala sekolah. Saya tidak berani karena beliau meminta saya untuk menantinya sampai beliau datang. Air mata saya sampai tak tertahankan lagi. Teman saya tadi menjadi marah kepada kepala sekolah yang mempersulit izin anak buahnya. Saya pada posisi yang sulit. Jika saya tidak segera berangkat, saya akan terlambat untuk mengikuti ujian  pada semester ketiga. Jika saya menanti kepala sekolah, tidak bisa dipastikan beliau akan datang pukul berapa. Jika saya tidak meminta izin beliau, pastilah saya kena marah lagi.
          Setelah jam 10.30, kepala seolah baru datang. Saya langsung mengadap dan meminta izin. Dia marah-marah besar karena saya terlalu sering izin.  Dikatakannya, “Guru SMA tidak perlu kuliah S2. Tidak ada Undang-Undang yang mengatakan demikian. Jika mau kuliah, cari kampus yang toleran.” Selanjutnya setelah berkata demikian beliau membacakan surat izin belajar saya. Tertulis di surat tersebut salah satunya adalah tidak meninggalkan tugas kedinasan. Saya berusaha untuk mebela diri dengan mengatakan kalau saya izin karena ada kepentingan seperti tadi beliau juga ada kepentingan ke rumah sakit. Mendengar pembelaan saya, dia semakin marah besar. Dia katakan, “Beda urusannya. Izin menikah, melahirkan, sakit, dan ada saudara yang meninggal dunia itu sangat wajar. Tetapi jika izin untuk urusan di luar itu, harus dipertimbangkan.” Akhirnya saya disuruh memilih antara melakukan kawajiban mengajar atau mengurusi urusan di luar kewajiban mengajar. Bukannya saya tidak mau mengajar, itu sudah menjadi panggilan jiwa saya, namun saya tidak punya  waktu waktu lagi.  Saya pun keluar dari ruang kepala sekolah dan segera meninggalkan sekolah. Di dalam perjalanan, air mata saya tidak dapat dibendung lagi. Saya tidak habis pikir ada kepala sekolah seperti itu. Saya ingin sekali menghormatinya selayaknya orang  tua yang pantas dihormati  dan mendoakannya sebagaimana nasihat dari buku yang saya baca, tetapi kenapa  pada saat itu saya justru berdoa agar beliau segera pensiun? Saya berusaha untuk menenangkan diri dan melupakan apa yang beliau ucapkan.
          Pukul 11.30 saya masih di terminal Ponorogo. Padahal saya perlu waktu 4 jam di atas bus. Saya berharap agar Allah memberikan saya pertolongan sehingga saya masih bisa mendaftarkan diri untuk mengikuti ujian thesis pada semester ketiga. Jika sampai saya terlambat, saya harus membayar lagi karena telah masuk semester keempat.
          Akhirnya saya sampai juga di kampus. Kantor sudah akan tutup.Aku tidak tahu apakah aku bisa selesai mengurus persyaratan atau tidak. Di sepanjang jalan aku menfaatkan waktu untuk istirahat. Aku tiba di kampus sudah pukul 2.30 sore. Aku langsung mengurus kwitansi pembayaran semester 3. Lalu aku dikasih tahu untuk menyetorkan CD abstrak. Sayangnya aku tidak membawa CD. Aku pun harus pergi ke KOPMA yang jaraknya lumayan jauh dari kampusku. Untungnya, aku  bisa bareng seseorang untuk tiba di KOPMA. Aku memindahkan abstarak dari laptop ke flash dish lalu ke CD.  Untungnya lagi, ada seseorang ibu yang baik hati mau mengantarkanku  kembali ke kampus pasca.  Jika tidak, aku harus berjalan cukup jauh dan kantornya pastilah akan segera tutup. Aku lalu menyerahkan CD ke puskom. Namun ternyata aku lupa untuk menterjemahkan judul thesisku dalam bahasa Indonesia. Aku harus membaikinya. Setelah itu aku Segera pergi ke perpus untuk mendapatkan surat bebas tanggungan perpus.
            Tugasku selanjutnya adalah meminta tanda tangan dari dosen pembimbingku sebagai  bukti bahwa saya telah menyelesaikan thesis saya. Aku lalu mendapat kabar  dari temanku kalau dosen pembimbingku  tidak bisa dihubungi. Aku pun memtuskan untuk pergi ke rumahnya.  Untungnya lagi, ada temanku yang juga ingin menemui dosen tersebut. Perjalananku lewat jalur barat mengobati rasa rinduku. Dulu saya dan teman-teman sekotaku selau bersama-sama menelusuru jalan itu. Kami singgah di masjid untuk  memesan siomay atau makanan yang dijual di sana. Lumayan bisa untuk mengobati rasa lapar kami. Akhirnya, hari itu aku dapat mengapload abstarak dan mendapat tanda tangan dari pak dosen pembimbingku. Sungguh banyak urusan yang masih harus aku selesaikan. Namun aku lega karena walau tiba di kampus sudah sore aku bisa mendaftar untuk ujian thesis.
        Hari telah larut malam ketika aku tiba di rumah. Capek dan lelah tetapi esok aku harus bangun pagi untuk melaksanakan kewajianku mengajar.
      Alhamdulillah... Doa orang teraniaya dikabulkan Allah. Saya masih bisa mendaftarkan diri. Ini berarti saya bisa menyelesaikan kuliah pada tiga semester. Terbayar sudah semua perjuanganku.
          Saya telah menyelesaikan kuliahku di UNS tahun 2012 lalu. Salah satu pemicu saya bisa menyelesaikan kuliah adalah dari Bapak Kepala Sekolahku. Oleh karenanya saya berterima kasih atas semua yang diperlakukan  Beliau kepada saya.  Saya ibarat sapi  atau kuda yang dicambuk sehingga saya bisa berlari sangat kencang. Dia juga ibarat memberikan pil  pahit yang setelah kutelan,  saya merasa sehat dan kuat. Selain itu, saya juga merasa teraniaya sehingga Allah  mengabulkan doa saya. Dan bahkan tidak hanya kepala sekolah yang telah memberi saya cambukan melainkan rekan sesama guru juga. Berkat cambukan merekalah kini saya belajar untuk menjadi orang yang tahan banting. Maka, jangan hiraukan ucapan negatif orang, sebaliknya manfaatkan suara-suara miring orang lain untuk menambah kekuatan dalam berjuang.
      Jika kita  ingin meraih suatu cita-cita, dan ada penghalang yang menghadang,  kita terus berusaha, berusaha,  dan berusaha. Suatu saat pasti kita akan berhasil.   Justru kita bisa tumbuh apabila kita mendapati suatu tantangan yang berat. Kalau digambarkan mungkin seperti gambar berikut:

     Akhir kata, semoga kawan-kawan bisa belajar dari kisah ini. Untuk mencapai suatu cita-cita memang perlu pengorbanan dan perjuangan mengatasi segala rintangan. Rintangan yang menghambat bisa jadi tidak dari dalam diri sendiri memainkan dari faktor luar. Salah satu misalnya adalah dari teman ataupun kepala sekolah.  Jika memiliki atasan atau teman yang menghambat cita-cita kita, justru sebenarnya itu bisa kita menfatatkan sebagai energi positif yang akan memicu kita segera meraih cita-cita.
***

Tentang saya

Rustiani Widiasih

         Nama saya Rustiani Widiasih. Lahir di Pacitan pada tanggal 2 Nopember 1977.  Saya berasal dari sebuah desa di Kabupaten Pacitan tepatnya desa Bandar. Bagiku, desa kelahiran saya adalah tempat yang selalu saya rindukan dan juga tempat yang membuat saya bersedih karena selalu mengingatkan pada bapakku yang telah tiada. 
       Saya dibesarkan oleh orang tua yang sangat luar biasa. Bapak saya adalah seorang guru sejati. Mengapa saya bilang begitu? Karena bapak saya menjadi seorang guru dimanapun beliau berada.Di kantor, di sekolah, di masyarakat, di masjid, di keluarga besarnya dan dimanapun berada, beliau sangat diperlukan orang banyak karena pemikirannya yang cerdas, dewasa dan solusif. Aku bangga kepada bapakku. Bapak sangat mencintai profesinya dan juga dunia pendidikan. Bahkan, bapak meninggal pada saat menjalankan profesinya.
      Ibuku bagi prang lain adalah orang biasa saja. Dia hanya seorang ibu rumah tangga dengan pendidikan yang rendah karena SD saja tidak lulus. Namun bagiku, ibu adalah segalanya. Ibu mempunyai rasa asih atau penyayang kepada siapa saja terutama orang yang kekurangan. Ibu mempunyai banyak teman orang yang kekurangan. Orang-orang itu sungguh setia kepada ibu. Mereka dengan ringan tangan membantu ibu bekerja di ladang karena ibu sangat pengertian kepada mereka. Jika mereka pulang dari bekerja dirumah ibu, ibu selalu membawakan barang-barang apa saja yang mereka perlukan mulai dari kopi, beras, ataupun bumbu dapur.
  Semoga aku mewarisi kebaikan  kedua orang tuaku. Ibu mengajari aku akan arti kasih sayang. Ibu menginginkan aku menyadi prang yang penyayang kepada siapa saja. Dan karena itu ibu memberi nama WIDIASIH. Tentang namaku itu, ibu beeharap agar aku memiliki rasa kasih sayang kepada sesama. Dan begitulah kiranya. Aku sangat dekat dengan orang-orang yang berkekurangan. aku juga hobi berbagi dengan orang fakir. Aku sama sekali tidak butuh yanga namanya pujian atau pamrih. Aku mempunyai kepuasan betin tersendiri jika aku bisa berbagi dengan orang  fakir. Aku bercita-cita untuk bisa memberikan pekejaan kepada orang-orang itu. Jika lebaran tiba, aku rela tidak membeli pakaian dan segala kebutuhan dalam rangka menunjang penampilan demi bisa berbagi dengan mereka. Bahkan aku rela berhutang untuk berbagi. Kadang aku berdoa agar Allah menjadikan saya lantaran untuk memberikan RezekiNya kepada orang fakir.


         

       Itulah saya. Hobi saya adalah membaca, menulis dan mengajar. Saya menyukai ketiga hal tersebut. Saya berprofesi sebagai seorang guru.  Menjadi guru bukanlah suatu kebetulan. Menurut saya, itu adalah pilihan profesi dari Allah. Saya  menikah dengan Anton Kristianotoni dan dikaruniai 2 anak (Fahri Ahmad Fadhillah dan Azka Farhanta).
      Dua buah hati saya sangat istimewa. Saya mendidik anak saya agar menjadi anak yang berjiwa wirausaha, mandiri, dan sederhana.  Saya sekata dengan suami untuk mendidik anak-anak dengan memberikan bekali agama yang cukup sejak anak-anak. Maka, anak-anak saya saya sekolahkan di sekolah berbasis agama. Pendidikan beragama dan ketaan beribadah adalah suatu hal yang sangat penting bagi kami untuk anak-anak. Kami mengakuai bahwa ilmu keagamaan kami sangat sedikit  dan kami meminta bantuan pendidikan di sekolah untuk menanamkan pendidikan agama.
      Kami juga ingin menanamkan jiwa kewirausahaan kepada anak-anak. Mengapa? Jika mereka memiliki jiwa wirausaha, mereka dapat mempertahankan hidup dalam kondisi apapun. Sejak anak-anak, aku telah memperkenalkan pekerjaan berbasis wirausaha kepada anak-anak. Hasilnya? Alhamdulillah anakku yang besar sudah bisa menghsilkan uang sendiri dari berbagai usaha yaitu mengambar, berjualan dan lainnya.
     Kami juga mendidik anak-anak menjadi orang yang sederhana. Saya menamamkan pada diri anak-anak saya untuk menjadi orang yang kaya raya. Namun mereka harus sederhana. Mengapa harus kaya? Agar bisa berbuat banyak untuk membantu orang-orang yang membutuhkan pertolongan, agar bisa mnyekolahkan anak yang tidak mampu dan lain-lain. Tentang pentingnya kesederhanaan? Banyak sekali. Pada dasarnya Allah juga menyukai kesederhanaan bukan kemewahan. Orang-orang juga lebih senang jika melihat orang lain tampak sederhana daripada mewah. Kemewahan hanya akan membuat orang merasa iri, berburuk sangaka dan juga rendah diri. Aku mempunyai kisah tersendiri akan hal itu. Kelak akan aku tulis secara khusus akan hal itu.

     Aku dan suami sangat kompak dalam mendidik anak. Untuk anak, pemikiran kami hampir sama. Jika ada rezeki, kami mengajar anak-anak untuk  pergi ke tempat pariwisata. Aku memperkenalkan berbagai tempat wisata seperti pantai, telaga, gunung, tempat perbelanjaaan, goa, dan lain-lian. Bagi kami itu adalah hal yang sangat penting. Mengapa? Karena dengan itu kami berusaha untuk membukakan pintu kreativitas mereka.
     Pada awalnya, aku menganggap mengajar adalah hal yang sangat biasa dalam hidupku. Aku sering mengajar hanya sekedar mengajar. Bahkan, aku sering mengajar dan berharap bel segera berbunyi untuk istirahat atau pulang. Lala-lama, aku menikmati mengajar. 




     Aku selalu berkikir untuk menemukan teknik, metode dan terategi mengajar yang menarik bagi siswa saya. Dulu aku menemukan teknik mengajar hanya sekedar untuk keperluan lomba. Kini aku menemukan metode dan teknik pembelajaran untuk tujuan inovasi pembelajaran dan juga untuk meningkatkan kemudahan belajar bagi siswa. Setelah berhasil lalu aku tulis dan aku ikutlan lomba.
     Aku sering ditunji untuk menjadi MC. Sebenarnya aku tidak tahu apakah cukup baik dalam menjadi MC atau tidak. Namun semua tawaran yang diberikan kepadaku selalu aku terima.gi semua tawaran itu ada sarana untuk belajar. Aku yakin semakin sering aku menjadi MC, akan semakin bagus saja. Setiap  kali ditunjuk utuk menjadi MC, aku belajar dan terus belajar.

  Sebagai seorang guru, aku harus berhasil mengantarkan anak-anak meraih prestasi dan tentunya ku sendiri harus berprestasi. Tentang hal itu akan aku tulis pada kisah selanjutnya. Saya akan ceritakan pengalanmu menjadi:


1. Finalis Simposium Inovasi Pembelajaran Nasional Tahun 2004
2. Finalis Simpsium Inovasi pembelajaran Nasional Tahun 2005
3. Finalis Lomba Kreativitas Ilmiah Guru LIPI Tahun 2006
4. 10 Basar Lomba Mengulas karya sastra Depdiknas Tahun 2007
5. Juara 2 Guru berprestasi Tingkat Kabuaten Ponorogo Tahun 2007
6. Finalis Lomba Keberhasilan Guru Nasional Tahun 2008.
7. Finalis Lomba Kreativitas Ilmiah Guru LIPI Tahun 2012
8.Juaran harapan I Lomba Menulis Artikel Pendidikan Kabupatan Ponorogo Tahun 2013
9.10 Besar Lomba Menulis Marikel Pendidikan majalah Dinamika tahun 2013
10. Nominasi Best Practice Guru dalam Pembelajaran tahun 2014
11. Juara 3 Lomba Kreativitas Guru Tingkat Nasional Tahun 2014

   Sedangkan keberhasilanku dalam membimbing siswa adalah sebagai berikut:

  1. Juara 3 Lomba Cerpen IKIP PGRI Madiun
  2. Finalis Lomba Karya Tulis Lingkungan Hidup Tahun 2006 Depdiknas
  3. Finalis Lomba Karya Ilmiah Bidang IPA di Universitas Ahmad Dahlan
  4. Juara 2 Lomba Inovasi Pangan Tingkat SMA Se- Jawa Timur di Universitas Jember
  5. Team Mading Tebaik Pelajar Se- Ponorogo oleh Radio Romansa FM
  6. Juara Harapan 2 Lomba “English General Knowlwdge” di Unmuh Ponorogo.
  7.    Juara 3 Sayembara Cipta Puisi STKIP Ponorogo tahun 2013
  8. Finalis Lomba Karya Tulis Ilmiah Teknik Fisika ITS tahun 2014
  9. Juara harapan 1 Story telling  di STAIN Ponorogo tahun 2014
  10. Juara harapan 1 olimpiade bahasa Inggris  di STAIN Ponorogotahun 2014
  11. Juara Harapan 3 Speed Reading Contest di STKIP Ponorogo tahun 2014
  12. Juara 1 Lomba Menulis Artikel STKIP Ponorogo tahun 2014
  13. Juara 1 Lomba Menulis Cerpen STKIP Ponorogo tahun 2014
  14. Juara 2 Lomba Menulis Cerpen STKIP Ponorogo Tahun 2014


 Begitulah sekilas tentang RUSTIANI WIDIASIH. Belajar, Mengajar dan Berkarya adalah Mottoku. Salam kenal parapembaca!