Mardadi, Kemari Aku Peluk.
Setelah lama mencari alamat rumah siswa saya, ketemu juga
akhirnya. Jauh memang. Namun
seharusnya bukan karena itu Mardadi, siswa
saya
harus sering datang terlambat. Banyak juga siswa yang rumahnya lebih jauh dari
Mardadi namun tidak pernah datang terlambat. Kali ini saya melaksanakan home visit sendiri saja. Saya mengambil langkah ini tanpa prosedur
sebagaimana mestinya. Biasanya saya bersama dengan guru BK dengan sepengetahuan Kepala sekolah. Kebetulan pagi itu saya sedang kosong jam
jadi saya mempunyai waktu yang longgar untuk menangani siswa saya yang bermasalah. Kebetulan lagi, kata guru BK hari ini Mardadi
masuk sekolah. Saya ingin mengetahui keadaan keluarga Mardadi setelah hari sebelumnya paman Mardadi menceritakan
semua kisah Mardadi. Beliau memenuhi undanganku sebagai wali murid Mardadi. Saya
merasa kasihan kepada Mardadi setelah
mendengar kisah hidupnya.
“Biasanya jam segini Bu Yateni berada di ladang, bu” kata
seorang wanita paruh baya, tetatangga Mardadi. “Dia baru pulang nanti bedhuk,” lanjut wanita itu.
“Ladangnya jauh, bu?” tanya saya.
“Tidak juga kok.
Pasti ibu, gurunya Dadi ya?” wanita itu balik bertanya.
“Heh… sejak dulu anak itu
selalu membuat jengkel neneknya saja,” tutur wanita itu.
“Ladang ibu Mardadi jauh apa tidak bu dari sini?” tany saya lagi.
“Tidak kok. Eh… dia itu bukan ibunya Mardadi. Dia itu
neneknya.”
“Ya bu saya sudah tahu. Kemarin pamannya sudah bercerita
kepada saya.”
“Saya ingin bertemu neneknya Mardadi, Bu. Bisakah saya
diantar ke ladang bu Yateni?”
“Tidak usah ke ladang
bu guru. Biar saya memanggil dia. Bu guru tunggu di sini saja,” ucap wanita itu
lalu pergi meninggalkan saya di
teras tumah Mardadi.
Sepi. Saya duduk termangu sambil melihat keadaan rumah
yang sangat sederhana itu. Ya, disinilah seorang Mardadi tinggal bersama
neneknya yang dia anggap sebagai ibunya.
Saya
menikmati saja penantianku
ini. Menjadi wali kelas adalah sisi lain tugas guru yang penuh romantika.
Setiap tahun saya mendapat tugas untuk menjadi wali kelas dengan berbagai macam
persoalan. Pada tahun ini, saya menghadapi anak yang dibilang nakal. Siapa lagi kalau buka Mardadi. Hampir semua
guru mengeluhkan anak itu. Berbagai pelanggaran juga sering dilakukannya. Hampir setiap
hari dia datang terlambat. Tidak
memperhatikan penjelasan guru, tidur di kelas, dan tidak masuk tanpa ada
keterangan sering dilakukan.
Saya sebagai wali kelasnya kadang merasa jengkel. Karena poin
pelanggaran Mardadi sudah banyak, saya
bersama guru BK memanggil orangtuanya.
Sehari kemuadian, datanglah wali Mardadi
yang merupakan pamannya. Dari pamannya itulah saya mengetahui banyak hal
tentang Mardadi.
Begini kisahnya. Ibu Mardadi ketika masih remaja pergi ke Jakarta untuk
bekerja. Beberapa tahun berikutnya dia pulang dalam keadaan hamil entah dengan
siapa. Yang jelas yang menghamili tidak
bertanggung jawab. Hingga akhirnya Mardadi lahir tanpa ayah. Oleh
karenanya, nenek dan kakek Mardadi menganggapnya
sebagai anak. Dalam Akta kelahiran Mardadi adalah anak dari orang yang sebenarnya
adalahlah kakek dan neneknya. Mardadi
dibesarkan oleh kakek dan neneknya sehingga memanggil kakek dan neneknya
dengan sebutan ibu dan bapak.
Namun sayang kakek Mardadi meninggal dunia ketika Mardadi
masih kecil sehingga Mardadi diasuh oleh neneknya seorang diri. Sedangkan ibunya pergi lagi
bekerja di kota dan tidak diketahui alamatnya. Sesekali saja dia pulang namun
itu sangat jarang.
Singkat cerita, Mardadi kini menjadi muridku. Dengan
keadaan seperti itu, saya menjadi simpatik kepadanya. Saya yang dulunya
memandangnya sebagai anak nakal kini berubah memandangnya sebagai anak yang
kurang kasih sayang dan perhatian. Dia adalah anak yang merindukan sosok bapak.
Apalagi kakek yang dijadikan bapaknya sudah meninggal. Oh… andai dia seorang
perempuan, akan aku peluk dia.
Setelah agak lama saya menanti, akhirnya datanglah nenek
Mardadi. Dia menyalamiku lalu membukakan pintu.
Keringatnya membasuh tubuhnya yang sudah tua. Dia
menyuruhku duduk. Saya lalu memperkenalkan diri dan menceritakan pelanggaran-pelanggaran
yang dilakukan Mardadi di sekolah.
Yang paling sering adalah datang terlamabat dan tidak masuk tanpa izin.
“Setiap hari dia pulang pagi. Dia tidak pernah sehari
saja tinggal di rumah. Dia lebih sering main dengan teman-temannya yang sudah
bekerja menjaga Warnet. Jika saya tanya
dari mana, dia selalu menjawab dari warnet, internetan begitu katanya. Dia
tidak pernah berubah sejak dulu. Sedih rasanya,” tutur nenek Mardadi sambil
menangis. Dia lalu mengusap air matanya dengan ujung kebayanya. Saya jadi ikut
meneteskan air mata.“Bagaimana lagi bu cara menyadarkan Mardadi?” Tanya nenek
itu.
“Dia harus lebih sering berada di sekolah daripada di
warnet. Saya meminta kerjasamanya untuk membangunkan Mardadi setiap pagi. Itu
saja,” jawabku.
Mungkin
hanya itu yang bisa dilakukan
nenek itu. Untuk memantau keberadaan
Mardadi di luar rumah, tidak mungkin karena
ruang geraknya terbatas. Untuk memantau dengan HP juga tidak mungki
karena dia tidak bisa mengoperasikann HP.
Begitulah langkah saya untuk melibatkan orang tua atau
wali murid. Setelah kujunganku ke rumah Mardadi, keesokan harinya saya
memanggil Mardadi untuk berbicara berdua saja di ruang BK.
“Poin pelanggaranmu sudah banyak. Jika telah memenuhi
batas maksimal, kamu harus dikeluarkan. Sekarang kamu masih mempunyai kesempatan untuk
bertahan asalkan tidak membuat poin pelanggaran lagi. Ingat sehari saja tidak
masuk tanpa izin, berarti kamu sudah menabung poin sebanyak tiga. Kamu ingin sekolah
atau tidak?” tanya saya.
“Malas bu,” jawab Mardadi sekenanya.
“Mengapa?”
“Buat apa sekolah?”
“Kamu harus mempunyai masa depan yang cerah.”
“Percuma saja.”
“Lebih baik saya tidak
ada di dunia ini bu.”
“Jangan berkata demikian.
Allah mempunyai rencana terhadapmu. Kamu harus bersyukur. Kamu mempunyai
seorang ibu dan sekaligus nenek yang luar biasa. Dia bekerja karena kamu. Dia hidup
hanya untuk kamu. Kamu adalah satu-satunya yang
dia pertaruhkan dalam hidupnya. Saya sudah mengetahui beliau dan latar
belakangmu.”
“Tapi dia menjengkelkan bu. Juweh orangnya. Cerewet, suka ngomel-ngomel. Saya tidak betah
berada di rumah. Begitu di rumah yang saya dengar hanya omelan saja,” jawab
Mardadi.
“Andai kamu tidak mendengar omelan nenekmu, apakah kamu
betah tinggal di rumah?”
“Tidak tahu juga bu. Saya perlu teman. Ketika saya berada di warnet bersama teman-teman,
saya bisa melupakan tekanan hidup
saya. Saya iri bu dengan teman-teman yang bisa memanggil
bapak dan ibu. Saya tidak tahu keduanya.
Saya benci mereka. Tuhan tidak adil kepada
saya.
Tuhan pilih kasih. Tuhan membuat hidupku menderita.” Mardadi berkata dengan
mata berkaca-kata. Andai dia wanita,
pasti aku akan peluk dia.
“Hust! Kamu tidak boleh menyalahkan Tuhan. Mohon ampun
kepadaNya. Istiqfar. Kamu tidak bersykur
kepadaNya. Satu hal, kamu mempunyai
seorang nenek yang sangat mencintaimu. Apa balasanmu? Bayangkan andai kamu
tidak punya nenek lagi, betapa menyesalnya kamu karena selama hidupmu belum
pernah membuat dia bahagia tetapi sebaliknya.
Saya ingin kamu mempunyai masa depan yang cerah. Kamu harus mempunyai
kehidupan yang baik. Jika kamu sampai dikeluarkan, dan kamu tidak sekolah, apa
yang bisa kamu kerjakan? Kehidupan seperti apa yang akan kamu lalui? Paling
tidak kamu lulus SMA. Dua tiga tahun kedepan kamu harus menahan dirimu. Setelah
itu terserah kamu mau apa.”
Saya terus berkomunikasi dari hati ke hati dengan
Mardadi. Hubungan kami semakin akrab
saja. Dia mulai terbuka dengan saya. Dia juga merasa betah di sekolah. Kami
membuat komitmen bahwa Mardadi harus
lulus SMA. Saya menghukum Mardadi ketika membuat kesalahan dengan hukuman
berupa shohat dan mengaji. Dengan demikian saya harap dia akan dekat kepada
Allah. Dia mulai bisa menerima keadaannnya. Beberapa minggu dia tidak pernah terlambat. Setiap ada kesempatan saya
berusaha sebisa saya untuk memotivasinya. Saya katakan kepadanya bahwa dia
harus memiliki masa depan yang cerah walau latar belakangnya tidak
menyenangkan.
Saya
merasa lega dan optimis bahwa Mardadi kini telah berubah. Saya berhasil menemaninya selama setahun di
kelas X. Dia berhasil naik di kelas
XI. Di
kelas XI dia mendapatkan wali kelas yang
berbeda. Walau bukan lagi wali kelas
Mardadi, aku masih saja terus
menanyakan dan memantaunya. Suatu hari,
Mardadi tidak masuk sekolah lagi. Tidak semua guru bisa memahami dia seperti
saya memahaminya. Banyak guru suka
menghukum dan memarahinya. Salah satunya
adalah wali kelasnya sendiri yang tidak
tahu latar belakang Mardadi. Rambut Mardadi yang dicat kemerahan
dipangkas secara asal oleh wali kelas tersebut. Akibatnya, rambut Mardadi harus
digundul karena tidak dapat diperbaiki. Mardadi menjadi malu. Saya sendiri
merasa prihatin mendengar kejadian itu. Andai dia wanita, pasti aku peluk
dia. Setiap hari Mardadi harus menggunakan topi
karena malu atas kepalanya yang gundul.
Rupanya
hukuman untuk Mardadi tidak berhenti sampai di situ. Suatu hari Mardadi tidak
mengerjakan tugas dari seorang guru. Karena takut dimarahi, dia tidak masuk
pada jam pelajaran tersebut. Guru itu menyita tasnya. Tas itu dibawa ke ruang
guru.
Setelah
itu Mardadi tidak pernah mau sekolah lagi. Aku menanyakan kepada teman-temannya
tentang keberadaan Mardadi. Mereka mengatakan kalau Mardadi tidak mau sekolah
lagi. Sedih sekali rasanya. Aku sempat meneteskan air mata karena kesedihan
yang mendalam. Tidak semua guru pahan akan keadaan anak didiknya.
Dalam
keadaan sedih itu, aku membawa tas Mardadi ke ruang BK. Tentu saja tanpa
sepengetahuan rekan guru lain. Aku hendak menitipkan tas itu kepada temannya
agar diberikan kepada Mardadi. Sebelum
saya titipkan, aku membuka tas Mardadi. Satu persatu aku keluarkan isi tasnya.
Ada sebuah
topi kumal dan
beberapa pulpen yang tidak ada tutupnya. Ada beberapa buku tulis yang
masih kosong dan buku LKS. Ada biodata yang belum sempat dia berikan kepada
wali kelas dan yang membuatku menangis tersedu adalah beberapa sisa foto dia
yang aku minta ketika kelas X untuk saya pasang di raportnya. Andai
dia ada di depanku dan dia seorang wanita, pasti aku peluk dia.
Heh…
Mardadi sudah keluar sekarang. Tidak ada yang bisa saya lakukan. Paling tidak saya telah berhasil mengantarkan
dia naik sampai kelas XI. Itu
sudah bagus bagi Mardadi. Hanya doa yang bisa saya panjatkan. Semoga dia
mempunyai masa depan yang cerah.
Semua telah
berlalu. Namun setidaknya ada hikmah yang bisa saya petih dari kisah Mardadi. Pertama, Seseorang harus menjaga diri agar tidak
terjadi hamil diluar nikah. Harus ada ikatan
perkawinan yang sah. Jika tidak, anak
yang lahir seakan tidak diharapkan akan tumbuh menjadi anak yang kurang kasih sayang.
Akibatnya anak cenderung mencari perhatian dengan tingkah kenakalan.
Kedua, guru harus memahami latar belakang anak didiknya. Jika guru tidak mau
melihat lalar belakang anak, akibatnya anak akan merasa tidak berguna. Siapa lagi yang akan peduli kepada anak seperti Mardadi kalau bukan
guru? Gurulah salah satu yang bisa
memotivasi siswa sehingga siswa dengan latar belakang apapun bisa meraih masa
depan yang cerah.
Ketiga, dari segi anak sendiri. Sebagai makhluk Tuhan, hendaknya menyadari bahwa seseorang ada di dunia ini adalah
kehendak Tuhan. Terlepas dari latar belakangnya, setiap manusia
mempunyai tanggung jawab dalam kehidupan ini. Sayang sekali jika kesempatan
hidup di dunia ini disia-siakan. Betapa indahnya jika anak dengan latar
belakang seperti Mardadi bisa menjalani dan menciptakan kehidupan yang lebih
baik.
Begitulah hikmah dari kisah muridku si Mardadi. Anak nakal
adalah anak yang kurang diperhatikan. Maka,
hendaknya anak seperti itu diberi perhatian khusus. Semoga menjadi
pelajaran bagi kita semua. Mardadi butuh kasing sayang. Andai dia seorang
wanita, aku akan bilang, “kemari aku peluk.”
****