ANAK CAPER


MENGATASI ANAK CARI PERHATIAN DENGAN MEMBERI PERHATIAN

Oleh: Rustiani Widiasih

Menghadapi anak cari perhatian atau caper adalah sisi lain tugas yang melekat pada seorang guru. Ya, ketika seorang guru terjun ke kelas, guru tidak hanya menyampaikan materi pelajaran. Terlebih dari itu, guru harus juga  menghadapi berbagai karakter siswa yang beraneka ragam. Saya pun mengalaminya. Bahkan, hampir setiap tahun saya selalu menemukan siswa yang caper. Perlu waktu bagi saya untuk bisa mengatasi siswa yang caper. Semula saya merasa “risih” meladeni anak caper. Kini saya bisa mengatasinya dengan mudah.

Sikap Emosional Yang Menyesalkan

            Saya pernah mengatasi sikap siswa yang caper dengan cara yang ternyata tidak disukai siswa caper tersebut. Di kelas SMA yang saya ajar, terdapat seorang siswa caper. Sebut saja namanya Heru.  Setiap kali saya masuk kelas, Heru selalu membuat ulah. Suatu hari dia datang terlambat. Seharusnya dia segera masuk kelas begitu jam istirahat selesai. Namun, tampaknya dia  sengaja tidak segera masuk kelas. 

            Begitu dia masuk kelas dengan santainya, saya marah karena keterlambatannya ini bukan yang pertama kalinya. Saya merasa jengkel karena ulahnya menganggu siswa lain yang sedang serius belajar.  Untuk mengatasi caper Heru tersebut, saya justru melulunya (istilah Jawa, dalam bahasa Indonesia berarti memanjakam atau menuruti kemauan, atau tepatnya memberi lehih dari yang diminta). Saya mengatakan seperti ini:

 “Dari mana kamu, kok terlambat?” Heru menjawab dengan singkat, “Dari kantin, Bu.”

            “Apa sudah selesai makan? Kalau belum selesai boleh kok sekarang ke kantin lagi. Tidak apa-apa, kamu tidak akan saya hukum. Silakan saja. Besuk lagi kalau memang belum cukup waktumu istirahat, walaupun sudah bel masuk, teruskan saja beristirahat. Ini saya kasih uang untuk pergi ke kantin lagi. Jangan kembali sebelum pelajaran saya selesai!”

            “Tidak bu, saya ingin ikut pelajaran.”

            Dengan  “melulu” seperti itu,  Heru  terpakasa mengikuti pelajaran. Namun, setelah mulai pelajaran, dia tidak minat belajar. Hal tersebut terlihat dari keengganannya untuk mencatat dan mengerjakan latihan. Apalagi jika disuruh menulis jawabannya di papan tulis.  Sikapnya sungguh memancing emosi saya. Saya pun mengancam akan memberikan nilai di bawak KKM (Ketercapaian Ketuntasan Minimal). Dia sama sekali tidak takut atau khawatif dengan hal itu.

Guru siapa pun pasti akan marah jika menghadapi siswa seperti Heru. Kalau saya ibaratkan dalam istilah Jawa, dia ibarat “Di obong ora kobong, di guyur ora teles”. Maksudnya, setiap kata dan tindakan apa pun tidak bisa mengubahnya. Rupanya, Heru tidak hanya caper tetapi dia juga tidak memiliki motivasi untuk belajar. Permasalahannya semakin komplek.

Dalam keadaan emosi, saya berkata, “Kamu boleh tidak mengikuti pelajaran saya. Kalau kamu tidak ada di kelas ini, saya justru akan merasa senang karena tidak ada lagi yang akan membuat ulah dan menganggu pelajaran. Mulai sekarang kamu boleh tidak ikut palajaran saya. Mungkin memang tidak ada gunanya bagimu. Kalau kamu tetap ikut pelajaran saya, saya menganggap kamu tidak ada. Kamu memang lebih baik tidak ada daripada ada.” Setelah berkata seperti itu, bel ganti pelajaran berbunyi dan saya pun keluar kelas dengan menyimpan kejengkelan di hati.

            Begitu tiba di rumah, saya masih terbebani dengan apa yang dilakukan Rudi dan apa yang saya ucapkan padanya. Ada penyesalan yang sangat dalam hati saya. Betapa saya telah menyakiti hati seorang siswa.  Saya bertekad untuk mendekatinya dan meminta maaf keesokan harinya.

Mencari Alasan Siswa Caper

Hari berikutnya, saya memanggil Heru untuk meminta maaf. Saya tidak lagi dalam keadaan emosi. Secara personal saya berbicara dengan Heru di Ruang BK. Dengan tulus saya meminta maaf dan menyesali apa yang telah saya ucapkan. Ternyata Heru juga meminta maaf kepada saya. Benar juga kata orang,  tebing egoisme bisa luluh dengan kebesaran hari seseorang. Dengan sikap saya yang ramah dan tulus, Heru mau terbuka dengan saya. Saya bertanya dimana dia tinggal, berapa saudaranya, apa hobinya dan lain-lain. Saya juga menceritakan tentang saya dan keluarga saya. Dari percakapan itu timbullah ikatan emosional antaran guru dan siswanya. Percakapan kami menjadi hal yang sangat penting dalam hidup saya karena saya bisa mendengar penuturan, pendapat,dan pendangan dari segi siswa. Saya menjadi tahu bagaimana guru yang disengangi  siswa dan  tahu betapa mendesaknya saya untuk segera menghancurkan tembok egoisme saya sebagai guru.

Berdasarkan kesimpulan saya dari kasus Heru,  sifat caper disebabkan oleh berbagai hal. Pertama, siswa yang caper sebenarnya ingin diperhatikan oleh guru. Dia mencari perhatian agar mendapatkan perhatian lebih dari gurunya. Anak dengan jenis ini biasanya melakukan tingkah laku, ucapan ataupun gaya yang bisa menarik perhatian guru sehingga guru memperhatikannya. Bisa jadi, bagi guru yang tidak menyadari keadaan emosianal anak, caper dianggap sebagai sifat yang menjengkelkan karena guru tentu saja tidak bisa mengistimewakan salah satu siswanya.

            Alasan kedua anak bersikap caper adalah kerena ingin memperkenalkan dirinya. Dia ingin dikenal gurunya. Sebenarnya  anak seperti itu ingin kenal lebih dekat dengan gurunya karena beberapa alasan misalnya, guru tersebut memiliki kelebihan dibandingkan dengan guru lain atau guru tersebut memiliki kemiripan watak, sifat, atau wajah dengan sosok yang dikagumi siswa dalam hidupnya. Dan alasan inilah rupanya yang menyebabkan Heru ingin saya perhatikan lebih karena menurutnya saya seperti guru wali kelasnya dulu ketika dia masih di SMP.

Memperbaiki Hubungan

Hubungan yang baik antara guru dan siswa merupakan dasar dari proses pembelajaran yang menyenangkan. Apabila hubungan antara guru dan siswa tertanggu dan tidak baik, proses pembelajaran yang menyenangkan tidak tercapai. Alasan itulah yang mengharuskan saya memperbaiki hubungan dengan Heru. Saya berusaha buntuk menjadi guru yang guru memiliki kerpibadian yang positif, bersikap ramah, penyayang, sabar, ikhlas, dan sikap pisitif lainnya. Sikap tersebut jika dimasukkan dalam diri seseorang akan memancarkan  pesona yang menyenangkan (charming).

Saya mendapatkan banyak masukan dari Heru bahwa guru harus mengetahui keadaan emosional anak didiknya. Guru harus menyadari bahwa setiap anak adalah individu unik yang perlu mendapatkan perhatian. Sikap cari perhatian anak harus diatasi dengan memberi perhatian pada anak. Sejak saat itu, saya memanfaatkan  sikap caper siswa untuk menghidupkan suasana kelas. Anak caper akan senang jika dia dijadikan subjek sebagai contoh oleh guru. Dia akan senang jika namanya disebut oleh guru. Dia merasa istimewa jika guru menyebutkan namanya.

Sukadi* mengutip pendapat Norman Vincent peale dalam bukunya “berpikir apositif” bahwa:   Suara yang paling indah bagi seseorang  adalah   apabila namanya dikenal dan  disebut orang lain  dengan benar.

Jika guru mengenali siswa, maka siswa akan menyayangi guru. Mereka merasa senang karena  dikenal guru dan akan bergairah belajar. Sebaliknya, jika guru memanggil dengan sebutan yang tidak disukai siswa, siswa akan merasa sakit hati. Untuk itulah saya  harus selalu mengabsen siswa setiap kali  saya masuk kelas. Ini saya lakukan agar siswa merasa berarti keberadaanya di kelas. 

Tidak Mencela Siswa

Satu lagi, siswa merasa tidak nyaman  apabila dirinya dicela atau keburukannya dikomentari, apalagi di depan umum. Tanpa saya sadari, ternyata apa yang saya ucapkan dalam keadaan emosi kepada Heru menimbulkan dampak negatif. Menurut Sukadi*  ada beberapa keburukan  yang dapat ditimbulkan dari sikap dan perilaku guru yang suka mencela dan mengomentari keburukan siswanya di depan umum, yakni:

1.      Siswa merasa malu karena aibnya diberitahukan kepada orang lain

2.      Siswa menjadi minder atau merasa tertekan secara kejiwaan karena aibnya diketahui orang lain

3.      Siswa tidak hormat dan tidak respek  kepada guru yang suka mencela dan mengomentari keburukannya dirinya

4.      Siswa bisa bersikap dendam kepada guru

5.      Prestasi siswa mundur karena memikirkan dirinya yang sering dicela dan di komentari keburuknnya

6.      Siswa dapat berputus asa atau putus sekolah karena merasa tidak nyaman berada di sekolah

7.      Siswa tidak memiliki motivasi untuk belajar karena merasa dirinya sudah jelek seperti yang dikatekan oleh gurunya

Apa yang dirasakan siswa  dalam hatinya  akan bertahan lama sehingga mempengaruhi mentalitasnya. Betapa besarnya bahaya mencela atau mengomentari hal buruk dari siswa! Saya berusaha  untuk menghindari dan meninggalkan perilaku ini sejak mengetahui dampak tersebut.

Akhir Yang Menyenangkan

Pengalaman saya mengatasi Heru sungguh berarti bagi saya dalam menangani anak caper selanjutnya. Saya menyadari, anak caper tidak bisa dibiarkan begitu saja. Guru harus memberikan perhatian kepada anak caper. Guru tidak hanya bertugas mengajar saja tanpa mau peduli dengan keadaan siswa selain dalam proses belajar mengajar berlangsung.

Guru yang tidak mau peduli kepada siswanya menyebabkan tekanan psikologis bagi meraka. siswa merasa kurang diakui atau kurang diperhatikan oleh gurunya sehingga bisa jadi siswa mencari-cari  perhatian  dari gurunya karena merasa existensi dirinya kurang diakui. Jadi, cara paling efektif untuk mengatasi anak cari perhatian adalah dengan memberinya perhatian. Setuju?

*Sukadi. 2010. Guru Malas, Guru Rajin, Ramuan Ajaib Untuk Menjadi Guru yang Menyenangkan. Bandung: MQS Publishing.



********



















Tidak ada komentar:

Posting Komentar