Anak Pemecah Batu

Siang harinya sepulang sekolah, aku cepat makan, lalu bersiap-siap menyusul ibu di tepi sungai. Setiba disana, aku melihat kakak dan ibuku duduk di bawah atap yang terbuat dari  blarak[1]. Mereka tampak lelah dan kepanasan. Memang, udara terasa sangat panas siang itu. Di sungai, aku melihat beberapa orang mencari pasir dan batu kali.  Tidak  memandang laki-laki atau perempuan dalam pekerjaan itu. Mereka menggambil batu lalu membawanya ke tepian sungai dan menatanya menjadi tumpukan
yang rapi sekali. Sedikit demi sedikit pencari pasir menumpahkan hasil cariannya di tepian sungai hingga menjadi gundukan besar.
          Tumpukan batu menyambut kedatangannku.
“Ayu cepat, bantu kakakmu. Besuk grosoknya akan diambil oleh pemesannya,” kata ibu begitu aku duduk.
          Kakak diam saja tanpa bicara. Kakakku lebih tua lima tahun dariku. Setelah lulus SMP, dia tidak melanjutkan sekolah. Sehari-harinya dia mencari batu lalu memecahnya dengan palu.  Sebenarnya ibu dan bapak menyuruhnya sekolah, tetapi dia tidak mau. Katanya, sekolah itu sulit,  dan lebih enak mencari uang. Selain itu, kakak tahu benar keadaan orangtua yang pastinya sangat berat membayar biaya pendidikan di SMA.
          Aku pun segera mengambil batu-batu yang menumpuk itu. Satu demi satu aku pecahkan batu segingga menjadi grosok. Aku memukul dengan cepat sekali agar pekerjaan ini cepat selesai.
          “Aaaawwww,” pekikku terkejut. Tanpa sengaja,  palu menghantam jari-jariku dengan keras. Kakak dan ibu terkejut.
          “Ada apa?” tanya ibuku.
          “Tangan saya terkena palu, Bu,” jawabku menahan rasa takut.
          “Baru saja mulai, kamu sudah kerkena palu. Aku dan ibu sudah mulai sejak pagi tadi tapi  tidak ada masalah,” ucap kakakku.
          “Ya, Kak,  aku cepat-cepat biar cepat selesai, eh... malah terpukul.”
          “Makanya kalau bekerja jangan setengah hati,” kata kakakku lagi.
          “Ya, ya. Aku sungguh-sungguh.” Aku tidak tega melihat wajah ibu dan kakak yang begitu letih bekerja seharian, bagaimanapun aku harus membantunya.
          “Hati-hati,” pesan ibu. Aku mengangguk, lalu kembali melanjutkan pekerjaanku. Walaupun jariku terasa sakit karena memar, tapi aku paksakan juga memukul batu. Sore harinya, barulah kami pulang walau belum selesai memecah batu semuanya. Ibu memperkirakan jumlah grosoknya sudah satu rit.
***

[1] Blarak: daun kelapa

Anak pemecah Batu

Anak Pemecah Batu (bagian 1)

“P
ulang sekolah nanti, habis makan, kamu langsung menyusul ibu di Sungai. Ada pesanan grosok [1]satu rit besuk. Jangan lupa membawa palunya,” pesan ibuku saat aku berpamitan berangkat sekolah.
          “Iya, Bu,” jawabku singkat. Pesan seperti itu selalu aku terima saat aku berpamitan berangkat ke sekolah. Aku lalu menyusuri jalanan berbatu di desa Sampung. Kulihat dari kejauhan bapakku dan beberapa orang sudah melakukan pekerjaannya sebagai pencari batu gamping[2]. “Heh...,”aku mengambil napas panjang.  Ada perasaan tidak enak melihat begitu beratnya pekerjaan yang harus dilakukan bapak. Ia harus menggali, memukul, dan mengangkut batu gamping untuk mendapat beberapa puluh ribu. Kadang-kadang dia mencari batu kali dan pasir untuk tambahan penghasilan. Begitu pun pekerjaan ibuku. Jika sedang ada pesanan grosok seperti saat ini, ibu memukul batu kali yang besarnya segenggam menjadi batu grosok. Pasir, batu kali dan batu gamping tiada habis-habisnya walau setiap hari orang-orang Sampung menggambilnya. Mungkin begitulah Tuhan memberi rezeki pada hambaNya.
          ***


[1] Grosok: batu koral
[2] Gamping: kapur

Membuka Pintu Imaginasi Anak


Membuka Pintu Imaginasi Anak

 Oleh: Rustiani Widiasih


                Sampai saat ini, masih teringat dengan jelas masa kecilku ketika aku diajak ibuk dan bapak pergi ke suatu tempat wisata. Aku pernak diajak ke Borobudur, Jakarta, dan Ponorogo. Memori kebersamaan dengan keluarga tersimpan sangat bagus sekali dalam ingatanku. Pergi ke suatu tempat menangannya tersimpan di memori jangka panjang. Tidak mudah terhapus oleh waktu.
                Ini membuatku juga berusaha untuk mengajak anak-anak ke tempat wisata jika ada kesempatan. Saya tidak pernah membuang kesempatan yang ada. Anak-anakku saya tunjukkan pantai, goa, gunung, danau dan tempat bermain. Seperti yang saya lakukan bersama rombongan Remaja Masjid ABA dan keluarga ke Trenggalek.
                Kami berkumpul di Masjid ABA sebelum waktu Subuh. Lalu kami melakukan shalat Subuh berjamaah. Dilanjutkan siraman rohani dan shalat sunah.
                Obyek wisata pertama kami adalah Goa Lowo. Setelah turun dari bus, kami harus berjalan beberapa kilo untuk mencapai obyek Goa.
               
                Kami beserta rombongan memasuki goa Lowo. Aku dan suami membagi tugas. Aku mengawasi anak perempuanku dan suami mengawasi anak laki kami.  Sebelum memasuki goa Ananda Azka masih senyum-senyum dan menikmati perjalanan. Dia banyak bertanya. Maklum, ini adalah pertama kalinya dia pergi ke Goa setelah dia bisa mengerti ini itu. Dulu dia pernah aku ajak namun masih terlalu kecil sehingga belum bisa bertanya ini dan itu.

                Semakin masuk, dia menjadi ketakutan. Dia ingin keluar. Aku berusaha untuk menghiburnya. Aku beritahu Goa ini adalah salah satu ciptaan Allah. Nanti dia juga akan melihat ciptaan Allah lainnya yaitu laut. Apapun yang saya katakan tidak bisa menanangkannya. Dia mengajak keluar.
                Berbeda sekali dengan anakku yang besar Fahri. Dia sangat menikmati perjalanan ini. Dia tidak memiliki rasa takut sedikitpun.




                Bapaknya jadi bisa menikmati perjalanan di Goa. Sedangkan saya terpaksa menuruti Azka. Saya keluar Goa sebelum tiba di bagian ujung. Tidak apalah... yang penting saya sudah bisa menunjukka kepada anak salah satu kebesaran Allah yang berupa Goa.
                Perjalanan kami lanjutkan ke Pantai Karanggoso. Ini adalah pantai yang sangat indah. Berpasir putih dan lembut, pantai ini sangat menarik dan menawan. Kali ini bagian suami yang mengajak bermain  Azka. Sedangkan Fahri sudah bisa bermain sendiri tanpa harus dijaga.
                Azka sangat menikmati bermain di pantai.
                Setelah puas bermain air, aku dan Azka naik perahu. Sungguh luar biasa kebesaran Allah ini. Aku tidak habis-habisnya bersyukur dan mengaggungkan allah atas ciptaanNya. Pastilah Azka akan terus mengingat pengalamannya ketika dia naik perahu.
                Perjalanan selanjutnya masih di pantai. Kali ini kami pergi ke pantai Prigi. Sejak duku pantai prigi terkenal dengan ikan pe nya. Saya juga tidak lupa membelikan oleh-oleh untuk orang-orang dekat dan tetangga.


                Begitulah perjalan kami pada hari Minggu tanggal 25 Agustus 2013. Semoga aku bisa menyenangkan anak-anak. Sehingga, pintu imaginasi dan  kreativitas anakku akan terbuka lebar. Nantinya bisa menjadi anak-anak yang cemerlang. Amin.
***

Pengumuman Verifikasi Peserta LKIG 2013

Berikut ini hasil makalah yang diverifikasi:
Berdasarkan informasi dari panitia, para finalis akan diumumkan pada tangal 18 September 2013.
http://kompetisi.lipi.go.id/lkig21/

Masa Lalu


KULIAH


Udara yang dingin di bulan Juni memaksaku untuk menghabiskan hari-hari di depan pawon (tungku api). Pawon adalah tempat yang paling istimewa bagi keluargaku. Setelah bangun tidur, hal yang pertama kali dilakukan ibu adalah menyalakan api di pawon. Setelah api menyala aku dan kedua adikku duduk di atas dingklik, tempat duduk kecil terbuat dari kayu. Kami api-api untuk menghangatkan tubuh.  Kami duduk mengitari pawon.
 Lalu ibu merebus air dengan kaleng bekas susu cair. Bekas tempat susu tersebut ditali dengan kawat di kedua sisinya. Kami menyebut kaleng tersebut dengan sebutan omplong.  Omplong itu lalu diberi air dan digantung tepat di atas api. Setelah mendidih aku dan kedua adikku yang telah menyediakan gelas berisi gula dan bubuk kopi antri air panas. Satu omplong bisa digunakan untuk dua gelas air. Biasanya kedua adikku dahulu yang mendapatkan giliran pertama. Setelah ibu menuangkan air mendidih ke dalam gelas kedua adikku, ibu mengisi air lagi. Setelah mendidih barulah aku mendapat giliran. Aku bertugas untuk menyediakan kopi untuk bapak. Ibu sendiri jarang minum kopi. Sesekali ia  meminta sedikit jatahku.
 Kami semua belum beranjak sebelum ibu memberi kami sarapan. Kami makan pagi seadanya kadang-kadang kami makan nasi tiwul dicampur nasi beras yang digoreng. Setelah ibu mengambilkan jatah bapak di piring, aku dan kedua adikku makan nasi di wajan. Aku membagi nasi goreng menjadi tiga bagian secara adil. Lalu kami mengadakan lomba makan, siapa yang paling cepat habis, dialah yang menang. Sedangkan yang paling akhir makannya bertugas untuk mencuci wajan.
Pada hari libur, kami menghabiskan waktu di depan pawon sampai kulit terasa panas. Kalau hari masuk, kami terus mandi dan berangkat sekolah. Kebetulan hari itu adalah hari libur. Setelah makan pagi,   aku dan kedua adikku yang semuanya perempuan  berdesakan berebut tempat yang paling hangat.
Bapak lebih suka duduk bersila di atas lincak yang berada tak jauh dari pawon. Dia memakai sarungnya untuk menghangatkan tubuh. Pada saat ini bapak sedang berpikir keras untuk menyiapkan biaya pendidikan kami. Aku telah lulus SMA. Adikku yang besar lulus SMP dan yang kecil lulus SD. Tidak ada sekolah SMA di desaku, jika akan melanjutkan ke SMA maka harus kos di luar kabupaten.
“Tidak lama lagi kamu harus kos di Ponorogo, Wik” kata bapak kepada adikku yang besar, Wiwik.
“Saya juga akan ikut Mbak Wiwik, Pak”  kata adikku yang kecil, Tutik. Dia akan masuk SMP.
“Kamu masih SMP. Kamu sekolah di Bandar saja” kata bapak sambil menggulung kertas papir yang telah diisi dengan tembakau dan cengkeh.
“Saya bagaimana, Pak?” tanyaku kepada bapak.
“Kamu berhenti sekolah dahulu. Tahun depan kamu baru melenjutkan kuliah”
Jawaban bapak tersebut sebenarnya sangat memukul hatiku. Rasanya ada seonggak beban di dadaku. Aku hanya diam mendengar keputusan bapak. Dalam hatiku aku menangis. Aku sangat ingin melanjutkan kuliah seperti yang dilakukan teman-temanku di kota Ponorogo. Mau tidak mau aku harus menerima keputusan bapak.  Aku harus tahu diri. Bapakku hanyalah seorang guru dan ibuku hanyalah seorang petani kecil. Butuh biaya yang tidak sedikit untuk membayar biaya pendidikan secara bersama-sama.
***
Sampai  tamat SMA, aku tinggal di kos.  Aku merasa tidak nyaman tinggal bersama ibu kos yang jahat. Sebenarnya aku sejak dahulu ingin tinggal di rumah sendiri. Di rumah gubuk sekalipun. Yang penting rumah itu berada di kota. Aku selalu menceritakan pengalaman yang tidak mengenakkan itu sehingga kedua orang tuaku bersemangat untuk memiliki sepetak tanah di kota Ponorogo.  Namun sampai aku lulus dari SMA BAKTI Ponorogo, harapan itu belum terwujud.
Kali ini kedua adikku akan belajar di Ponorogo. Kenyataan tersebut mendorong bapak untuk secepatnya memiliki tanah di kota. Padahal, keadaan ekonomi keluarga  cukup sulit. Walau demikian,  bapak yang sangat peduli kepada pendidikan mengadaikan SK gurunya untuk pinjam uang di Bank. Uang tersebut digunakan untuk membeli  tanah di Ponorogo.
 Kemudian pada sepetak tanah itu didirikan rumah kecil dari kayu jati yang dulunya merupakan warisan dari nenek buyut.  Dan,  berdirilah rumah kayu yang tidak lazim di Ponorogo. Jika orang melihatnya, seakan-akan mereka melihat rumah desa di perkotaan. Dengan demikian,  rumah kami ada dua yang satu di desa Bandar Pacitan dan yang satu lagi di Ponorogo.
 Konsekuensi yang harus kami terima  dari langkah  bapak membeli tanah  tersebut adalah hidup dengan sangat pas-pasan. Mungkin tetanggaku berpikir kalau  bapak adalah orang yang berkecukupan sehingga bisa membeli sepetak tanah di kota. Mereka tidak tahu kalau untuk itu kami harus mengencangkan ikat pinggang yang sebenarnya sudah kencang sekali.
Dengan susah payah bapak mendirikan  rumah di kota. Sebenarnya itu sangat cocok untuk disebut sebagai gubuk  atau semacam warung kopi. Belum ada kamar mandi dan WC di rumah itu.  Pengadaan Kamar mandi dan WC itu menjadi beban pikiran bapak karena tidak lama lagi kedua adikku akan menempati rumah tersebut.
Seminggu kemudian, kedua adikku sudah harus mendaftarkan diri di sekolah baru. Ibu menunggui mereka berdua. Selain itu, ibu juga harus menyediakan makan bagi para tukang yang menyelesaikan pembuatan sumur. Sedangkan bapak harus mengantarkan kedua adikku ke sekolah karena mereka berdua belum pernah pergi ke kota.
 Dan aku? Aku diminta bapak untuk menunggu rumah di desa Bandar  Pacitan. Aku  detemani nenekku. Rumah nenek berjarah kira-kira satu kilo meter dengan rumahku. Waktu itu adalah saat untuk memanen jagung. Nenek mengajakku untuk memanennya sendiri daripada dipekerjakan kepada orang lain. Kata nenek itu semua dilakukan untuk penghematan. Nenek tahu betul keadaan ekonomi keluarga kami yang saat ini sedang membutuhkan uang yang sangat banyak.
Setiap pagi aku  dan nenek pergi ke tegalan, ladang jagung. Panas matahari membakar kulitku hingga kulitku yang sudah hitam kenjadi semakin kelam. Saya sama sekali tidak menghiraukannya. Saya dan nenek memetik jagung, lalu mengupas kulitnya, memisahkan butiran jagung dari bonggolnya, menjemur hingga akhirnya menjualnya. Setelah mendapatkan uang, aku  memberikannya kepada bapak untuk memenuhi kebutuhan di Ponorogo. Aku yang mengantar uang tersebut ke Ponorogo. Aku menyusul Bapak, Ibu dan  kedua adikku. Rumah Pacitan aku tinggalkan. Neneklah yang menungguinya.
 Sesampai di Ponorogo aku mememui teman SMAku. Namanya Sulis. Dia besuk akan daftar UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri) di Surabaya. Aku menanyakan semua persyaratannya. Lalu aku menyampaikan keinginanku untuk ikut temanku daftar UMPTN di Surabaya. Bapak tidak  melarangku karena ia mengira aku tidak akan diterima. Ia mengizinkan aku ikut daftar sebagai hadiah karena aku sudah mengurusi panen jagung dengan baik.
Dengan doa restu ibu, aku berangkat ke Surabaya. Aku tinggal bersama kakak Sulis. Aku tinggal beberapa hari hingga aku selesai mengikuti UMPTN. Setelah selesai aku pulang. Aku menunggu  hasil UMPTN dengan berharap penuh kepada Allah. Aku seringkali puasa senin-kamis. Aku mengikuti anjuran nenek. Katanya,  jika aku mempunyai cita-cita akau harus sering tirakat.
Suatu hari, seorang saudara datang ke rumah dengan membawa koran yang memuat hasil pengumuman UMPTN. Secara kebetulan juga aku membaca koran tersebut. Diluar dugaan semua orang terutama bapak,  aku diterima sebagai mahasiswa IKIP Surabaya jurusan Bahasa Inggris. Dan temanku Sulis diterima di IKIP Malang.  Aku senang bukan kepalang. Diterimanya aku di kampus itu adalah anugerah dari Allah. Mendengar berita tersebut bapak juga senang. Ia lupa kalau pada saat ini ia tidak memiliki uang untuk membayar biaya daftar ulang. Aku melihat bapak merenung suatu petang. Aku tahu bapak bingung dari mana lagi akan mendapatkan uang. Padahal, batas waktu seperti yang diumumkan pada koran tersebut paling akhir adalah besuk. Aku merasakan betapa sedihnya bapak waktu itu.
Dalam kesulitan ada  kemudahan. Mungkin begitulah yang aku alami. Ternyata putri teman bapak juga diterima di IKIP Surabaya. Teman bapak itu namanya adalah bapak Suwono. Sedangkan putranya adalah Ika. Ika diterima di jurusan Biologi. Pak Suwono datang ke rumah. Ia mengajak bapak untuk berangkat ke Surabaya bersama-sama. Bapak lalu menyampaikan keadaan yang sebenarnya dengan berat hati. Lalu bapak Suwono berjanji akan mencukupi terlebih dahulu semua biaya yang diperlukan.
Hatiku berbunga-bunga mendengarnya. Wajah bapak yang tadinya kusut juga tampak merekah seperti bunga layu yang terus merekah setelah disiram air. Kami berempat berangkat ke Surabaya. Aku meminta restu ibu dan kedua adikku. Kami pergi ke kampus IKIP Surabaya untuk yang pertama kalinya.
Tempat daftar  ulang adalah di  Kampus Ketintang IKIP Surabaya.  Setelah selesai daftar ulang kami langsung mencari tempat kos. Kebetulan ada selebaran yang menunjukkan tempat kos. Kami menuju alamat itu. Tepatnya adalah di gang Nirwana. Pak Suwono memesan satu kamar untuk aku dan Ika.  Setelah itu kami pulang. Masih ada beberapa hari untuk  mempersiapkan diri menjalani Masa Orientasi Mahasiswa Baru.

Bersambung....

Kisah Inspiratif Dalam Cerpen Anak

Komenter Anda

Pengiriman Naskah Lomba Kreativitas Ilmiah Guru (LKIG 21)

Pengiriman Naskah LKIG 21

Oleh: Rustiani  W

      Ini adalah kali pertamanya satahuku LIPI mengahruskan naskah dikirim secara on-line. Bagi saya ini ada keuntungan dan kelebihannya. Keuuntungannya adalah tidak usah mencetak naskah dan mengirimkan lewat pos. Ini jelas lebih menghemat biaya. Namun, ada beberapa kerugiannya yaitu: posting naskahnya memerlukan waktu yang agak lama juga. Apalagi jenis naskah yang dikirim harus dengan ZIP atau JPG dengan besar yang telah ditentukan. 
      Pengalaman saya, saya harus beberapa kali posting dan gagal karena harus menyusutkan jumlah tulisan. Tetapi itu semua bisa diatasi. Akhirnya saya sudah mendapatkan nomor regeitrasi, namun sayangnya saya lupa pasword. Inilah yang menjadi masalah. Sudah ada peringatan untuk mengingat pasword, namun saya lupa. Akibatnya saya tidak bisa memastikan apakah posting saya berhasil atau tidak. 
       Untuk itu, terpaksa saya harus mengirimkan lewat pos agar saya bisa merasa nyaman. Sayang sekali kan njika naskah saya gagal dikirim. Makanya saya mengingatkan kawan yang mengirimkan naskah on line harap dicatat paswordnya. Jangan seperti saya. Saya terpaksa mengirim lewat pos. Semoga ini menjadi pengalaman untuk kita semua. Selamat berkarya.

***