KULIAH
Udara yang dingin di bulan Juni memaksaku untuk
menghabiskan hari-hari di depan pawon (tungku api). Pawon adalah tempat yang
paling istimewa bagi keluargaku. Setelah bangun tidur, hal yang pertama kali
dilakukan ibu adalah menyalakan api di pawon. Setelah api menyala aku dan kedua
adikku duduk di atas dingklik, tempat
duduk kecil terbuat dari kayu. Kami api-api
untuk menghangatkan tubuh. Kami duduk
mengitari pawon.
Lalu ibu merebus
air dengan kaleng bekas susu cair. Bekas tempat susu tersebut ditali dengan
kawat di kedua sisinya. Kami menyebut kaleng tersebut dengan sebutan
omplong. Omplong itu lalu diberi air dan
digantung tepat di atas api. Setelah mendidih aku dan kedua adikku yang telah
menyediakan gelas berisi gula dan bubuk kopi antri air panas. Satu omplong bisa
digunakan untuk dua gelas air. Biasanya kedua adikku dahulu yang mendapatkan
giliran pertama. Setelah ibu menuangkan air mendidih ke dalam gelas kedua
adikku, ibu mengisi air lagi. Setelah mendidih barulah aku mendapat giliran. Aku
bertugas untuk menyediakan kopi untuk bapak. Ibu sendiri jarang minum kopi.
Sesekali ia meminta sedikit jatahku.
Kami semua belum
beranjak sebelum ibu memberi kami sarapan. Kami makan pagi seadanya
kadang-kadang kami makan nasi tiwul dicampur nasi beras yang digoreng. Setelah ibu
mengambilkan jatah bapak di piring, aku dan kedua adikku makan nasi di wajan.
Aku membagi nasi goreng menjadi tiga bagian secara adil. Lalu kami mengadakan
lomba makan, siapa yang paling cepat habis, dialah yang menang. Sedangkan yang
paling akhir makannya bertugas untuk mencuci wajan.
Pada hari libur, kami menghabiskan waktu di depan pawon
sampai kulit terasa panas. Kalau hari masuk, kami terus mandi dan berangkat
sekolah. Kebetulan hari itu adalah hari libur. Setelah makan pagi, aku dan kedua adikku yang semuanya
perempuan berdesakan berebut tempat yang
paling hangat.
Bapak lebih suka duduk bersila di atas lincak yang berada tak jauh dari pawon.
Dia memakai sarungnya untuk menghangatkan tubuh. Pada saat ini bapak sedang berpikir
keras untuk menyiapkan biaya pendidikan kami. Aku telah lulus SMA. Adikku yang
besar lulus SMP dan yang kecil lulus SD. Tidak ada sekolah SMA di desaku, jika
akan melanjutkan ke SMA maka harus kos di luar kabupaten.
“Tidak lama lagi kamu harus kos di Ponorogo, Wik” kata
bapak kepada adikku yang besar, Wiwik.
“Saya juga akan ikut Mbak Wiwik, Pak” kata adikku yang kecil, Tutik. Dia akan masuk
SMP.
“Kamu masih SMP. Kamu sekolah di Bandar saja” kata bapak
sambil menggulung kertas papir yang telah diisi dengan tembakau dan cengkeh.
“Saya bagaimana, Pak?” tanyaku kepada bapak.
“Kamu berhenti sekolah dahulu. Tahun depan kamu baru
melenjutkan kuliah”
Jawaban bapak tersebut sebenarnya sangat memukul hatiku.
Rasanya ada seonggak beban di dadaku. Aku hanya diam mendengar keputusan bapak.
Dalam hatiku aku menangis. Aku sangat ingin melanjutkan kuliah seperti yang dilakukan
teman-temanku di kota
Ponorogo. Mau tidak mau aku harus menerima keputusan bapak. Aku harus tahu diri. Bapakku hanyalah seorang
guru dan ibuku hanyalah seorang petani kecil. Butuh biaya yang tidak sedikit
untuk membayar biaya pendidikan secara bersama-sama.
***
Sampai tamat SMA,
aku tinggal di kos. Aku merasa tidak
nyaman tinggal bersama ibu kos yang jahat. Sebenarnya aku sejak dahulu ingin
tinggal di rumah sendiri. Di rumah gubuk sekalipun. Yang penting rumah itu
berada di kota.
Aku selalu menceritakan pengalaman yang tidak mengenakkan itu sehingga kedua
orang tuaku bersemangat untuk memiliki sepetak tanah di kota Ponorogo. Namun sampai aku lulus dari SMA BAKTI
Ponorogo, harapan itu belum terwujud.
Kali ini kedua adikku akan belajar di Ponorogo.
Kenyataan tersebut mendorong bapak untuk secepatnya memiliki tanah di kota. Padahal, keadaan
ekonomi keluarga cukup sulit. Walau
demikian, bapak yang sangat peduli
kepada pendidikan mengadaikan SK gurunya untuk pinjam uang di Bank. Uang
tersebut digunakan untuk membeli tanah
di Ponorogo.
Kemudian pada
sepetak tanah itu didirikan rumah kecil dari kayu jati yang dulunya merupakan
warisan dari nenek buyut. Dan, berdirilah rumah kayu yang tidak lazim di
Ponorogo. Jika orang melihatnya, seakan-akan mereka melihat rumah desa di
perkotaan. Dengan demikian, rumah kami
ada dua yang satu di desa Bandar Pacitan dan yang satu lagi di Ponorogo.
Konsekuensi yang
harus kami terima dari langkah bapak membeli tanah tersebut adalah hidup dengan sangat pas-pasan.
Mungkin tetanggaku berpikir kalau bapak
adalah orang yang berkecukupan sehingga bisa membeli sepetak tanah di kota. Mereka tidak tahu
kalau untuk itu kami harus mengencangkan ikat pinggang yang sebenarnya sudah
kencang sekali.
Dengan susah payah bapak mendirikan rumah di kota. Sebenarnya itu sangat cocok untuk
disebut sebagai gubuk atau semacam
warung kopi. Belum ada kamar mandi dan WC di rumah itu. Pengadaan Kamar mandi dan WC itu menjadi beban
pikiran bapak karena tidak lama lagi kedua adikku akan menempati rumah tersebut.
Seminggu kemudian, kedua adikku sudah harus mendaftarkan
diri di sekolah baru. Ibu menunggui mereka berdua. Selain itu, ibu juga harus
menyediakan makan bagi para tukang yang menyelesaikan pembuatan sumur.
Sedangkan bapak harus mengantarkan kedua adikku ke sekolah karena mereka berdua
belum pernah pergi ke kota.
Dan aku? Aku
diminta bapak untuk menunggu rumah di desa Bandar Pacitan. Aku detemani nenekku. Rumah nenek berjarah
kira-kira satu kilo meter dengan rumahku. Waktu itu adalah saat untuk memanen
jagung. Nenek mengajakku untuk memanennya sendiri daripada dipekerjakan kepada
orang lain. Kata nenek itu semua dilakukan untuk penghematan. Nenek tahu betul
keadaan ekonomi keluarga kami yang saat ini sedang membutuhkan uang yang sangat
banyak.
Setiap pagi aku dan nenek pergi ke tegalan, ladang jagung.
Panas matahari membakar kulitku hingga kulitku yang sudah hitam kenjadi semakin
kelam. Saya sama sekali tidak menghiraukannya. Saya dan nenek memetik jagung,
lalu mengupas kulitnya, memisahkan butiran jagung dari bonggolnya, menjemur
hingga akhirnya menjualnya. Setelah mendapatkan uang, aku memberikannya kepada bapak untuk memenuhi
kebutuhan di Ponorogo. Aku yang mengantar uang tersebut ke Ponorogo. Aku
menyusul Bapak, Ibu dan kedua adikku.
Rumah Pacitan aku tinggalkan. Neneklah yang menungguinya.
Sesampai di
Ponorogo aku mememui teman SMAku. Namanya Sulis. Dia besuk akan daftar UMPTN
(Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri) di Surabaya. Aku menanyakan semua
persyaratannya. Lalu aku menyampaikan keinginanku untuk ikut temanku daftar
UMPTN di Surabaya. Bapak tidak melarangku karena ia mengira aku tidak akan
diterima. Ia mengizinkan aku ikut daftar sebagai hadiah karena aku sudah
mengurusi panen jagung dengan baik.
Dengan doa restu ibu, aku berangkat ke Surabaya. Aku tinggal bersama kakak Sulis.
Aku tinggal beberapa hari hingga aku selesai mengikuti UMPTN. Setelah selesai
aku pulang. Aku menunggu hasil UMPTN
dengan berharap penuh kepada Allah. Aku seringkali puasa senin-kamis. Aku
mengikuti anjuran nenek. Katanya, jika
aku mempunyai cita-cita akau harus sering tirakat.
Suatu hari, seorang saudara datang ke rumah dengan
membawa koran yang memuat hasil pengumuman UMPTN. Secara kebetulan juga aku
membaca koran tersebut. Diluar dugaan semua orang terutama bapak, aku diterima sebagai mahasiswa IKIP Surabaya
jurusan Bahasa Inggris. Dan temanku Sulis diterima di IKIP Malang. Aku senang bukan kepalang. Diterimanya aku di
kampus itu adalah anugerah dari Allah. Mendengar berita tersebut bapak juga
senang. Ia lupa kalau pada saat ini ia tidak memiliki uang untuk membayar biaya
daftar ulang. Aku melihat bapak merenung suatu petang. Aku tahu bapak bingung
dari mana lagi akan mendapatkan uang. Padahal, batas waktu seperti yang
diumumkan pada koran tersebut paling akhir adalah besuk. Aku merasakan betapa
sedihnya bapak waktu itu.
Dalam kesulitan ada kemudahan. Mungkin begitulah yang aku alami.
Ternyata putri teman bapak juga diterima di IKIP Surabaya. Teman bapak itu namanya adalah
bapak Suwono. Sedangkan putranya adalah Ika. Ika diterima di jurusan Biologi.
Pak Suwono datang ke rumah. Ia mengajak bapak untuk berangkat ke Surabaya bersama-sama.
Bapak lalu menyampaikan keadaan yang sebenarnya dengan berat hati. Lalu bapak
Suwono berjanji akan mencukupi terlebih dahulu semua biaya yang diperlukan.
Hatiku berbunga-bunga mendengarnya. Wajah bapak yang
tadinya kusut juga tampak merekah seperti bunga layu yang terus merekah setelah
disiram air. Kami berempat berangkat ke Surabaya.
Aku meminta restu ibu dan kedua adikku. Kami pergi ke kampus IKIP Surabaya
untuk yang pertama kalinya.
Tempat daftar
ulang adalah di Kampus Ketintang
IKIP Surabaya. Setelah selesai daftar ulang kami langsung
mencari tempat kos. Kebetulan ada selebaran yang menunjukkan tempat kos. Kami
menuju alamat itu. Tepatnya adalah di gang Nirwana. Pak Suwono memesan satu
kamar untuk aku dan Ika. Setelah itu
kami pulang. Masih ada beberapa hari untuk
mempersiapkan diri menjalani Masa Orientasi Mahasiswa Baru.
Bersambung....
Aku tidak pernah menyesali masa laluku
BalasHapus