Tampilkan postingan dengan label MENGAJAR. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label MENGAJAR. Tampilkan semua postingan

Kisah Nyata Mendidik dengan Hati



Mardadi, Kemari Aku Peluk.

            Setelah lama mencari alamat rumah siswa saya, ketemu juga akhirnya. Jauh memang. Namun seharusnya bukan karena itu Mardadi, siswa saya harus sering datang terlambat. Banyak juga siswa yang rumahnya lebih jauh dari Mardadi namun tidak pernah datang terlambat. Kali ini saya melaksanakan home visit sendiri saja. Saya  mengambil langkah ini tanpa prosedur sebagaimana mestinya. Biasanya saya bersama dengan guru BK  dengan sepengetahuan Kepala sekolah.  Kebetulan pagi itu saya sedang kosong jam jadi saya mempunyai waktu yang longgar untuk menangani siswa saya yang bermasalah.  Kebetulan lagi, kata guru BK hari ini Mardadi masuk sekolah. Saya ingin mengetahui keadaan keluarga Mardadi setelah  hari sebelumnya paman Mardadi menceritakan semua kisah Mardadi. Beliau memenuhi undanganku sebagai wali murid Mardadi. Saya merasa kasihan kepada Mardadi setelah mendengar kisah hidupnya. 
            “Biasanya jam segini Bu Yateni berada di ladang, bu” kata  seorang wanita paruh baya, tetatangga  Mardadi. “Dia baru pulang nanti bedhuk,” lanjut wanita itu.
            “Ladangnya jauh, bu?” tanya saya.
            “Tidak  juga kok. Pasti ibu, gurunya Dadi ya?” wanita itu balik bertanya.
            “Heh… sejak dulu anak itu  selalu membuat jengkel neneknya saja,” tutur wanita itu.
            “Ladang ibu Mardadi jauh apa tidak bu dari sini?” tany saya lagi.
            “Tidak kok. Eh… dia itu bukan ibunya Mardadi. Dia itu neneknya.”
            “Ya bu saya sudah tahu. Kemarin pamannya sudah bercerita kepada saya.”
            “Saya ingin bertemu neneknya Mardadi, Bu. Bisakah saya diantar ke ladang bu Yateni?”
            “Tidak usah ke ladang bu guru. Biar saya memanggil dia. Bu guru tunggu di sini saja,” ucap wanita itu lalu pergi meninggalkan saya di teras tumah Mardadi.
            Sepi. Saya duduk termangu sambil melihat keadaan rumah yang sangat sederhana itu. Ya, disinilah seorang Mardadi tinggal bersama neneknya yang dia anggap sebagai ibunya.
Saya menikmati saja penantianku ini. Menjadi wali kelas adalah sisi lain tugas guru yang penuh romantika. Setiap tahun saya mendapat tugas untuk menjadi wali kelas dengan berbagai macam persoalan. Pada tahun ini, saya menghadapi anak yang dibilang nakal.  Siapa lagi kalau buka Mardadi. Hampir semua guru mengeluhkan anak itu. Berbagai pelanggaran juga sering dilakukannya. Hampir setiap hari dia datang terlambat. Tidak memperhatikan penjelasan guru, tidur di kelas, dan tidak masuk tanpa ada keterangan sering dilakukan.
            Saya sebagai wali kelasnya kadang merasa jengkel. Karena poin pelanggaran Mardadi sudah banyak,  saya bersama guru BK memanggil orangtuanya.  Sehari kemuadian, datanglah wali Mardadi yang merupakan pamannya. Dari pamannya itulah saya mengetahui banyak hal tentang Mardadi.
            Begini kisahnya. Ibu Mardadi  ketika masih remaja pergi ke Jakarta untuk bekerja. Beberapa tahun berikutnya dia pulang dalam keadaan hamil entah dengan siapa.  Yang jelas yang menghamili tidak bertanggung jawab. Hingga akhirnya Mardadi lahir tanpa ayah. Oleh karenanya,  nenek dan kakek Mardadi menganggapnya sebagai anak. Dalam Akta kelahiran Mardadi  adalah anak dari orang yang sebenarnya adalahlah kakek dan neneknya. Mardadi  dibesarkan oleh kakek dan neneknya sehingga memanggil kakek dan neneknya dengan sebutan ibu dan bapak. 
            Namun sayang kakek Mardadi meninggal dunia ketika Mardadi masih kecil sehingga Mardadi diasuh oleh neneknya seorang diri. Sedangkan ibunya pergi lagi bekerja di kota dan tidak diketahui alamatnya. Sesekali saja dia pulang namun itu sangat jarang.
            Singkat cerita, Mardadi kini menjadi muridku. Dengan keadaan seperti itu, saya menjadi simpatik kepadanya. Saya yang dulunya memandangnya sebagai anak nakal kini berubah memandangnya sebagai anak yang kurang kasih sayang dan perhatian. Dia adalah anak yang merindukan sosok bapak. Apalagi kakek yang dijadikan bapaknya sudah meninggal. Oh… andai dia seorang perempuan, akan aku  peluk dia.
            Setelah agak lama saya menanti, akhirnya datanglah nenek Mardadi. Dia menyalamiku lalu membukakan pintu.  Keringatnya membasuh tubuhnya yang sudah tua.  Dia menyuruhku duduk. Saya lalu memperkenalkan diri dan menceritakan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan Mardadi di sekolah. Yang paling sering adalah datang terlamabat dan tidak masuk tanpa izin.
            “Setiap hari dia pulang pagi. Dia tidak pernah sehari saja tinggal di rumah. Dia lebih sering main dengan teman-temannya yang sudah bekerja menjaga Warnet. Jika saya tanya dari mana, dia selalu menjawab dari warnet, internetan begitu katanya. Dia tidak pernah berubah sejak dulu. Sedih rasanya,” tutur nenek Mardadi sambil menangis. Dia lalu mengusap air matanya dengan ujung kebayanya. Saya jadi ikut meneteskan air mata.“Bagaimana lagi bu cara menyadarkan Mardadi?” Tanya nenek itu.
            “Dia harus lebih sering berada di sekolah daripada di warnet. Saya meminta kerjasamanya untuk membangunkan Mardadi setiap pagi. Itu saja,” jawabku.     
            Mungkin hanya itu yang bisa dilakukan nenek itu.  Untuk memantau keberadaan Mardadi di luar rumah, tidak mungkin karena  ruang geraknya terbatas. Untuk memantau dengan HP juga tidak mungki karena dia tidak bisa mengoperasikann HP.
            Begitulah langkah saya untuk melibatkan orang tua atau wali murid. Setelah kujunganku ke rumah Mardadi, keesokan harinya saya memanggil Mardadi untuk berbicara berdua saja di ruang BK.
            “Poin pelanggaranmu sudah banyak. Jika telah memenuhi batas maksimal, kamu harus dikeluarkan. Sekarang kamu masih mempunyai kesempatan untuk bertahan asalkan tidak membuat poin pelanggaran lagi. Ingat sehari saja tidak masuk tanpa izin, berarti kamu sudah menabung poin sebanyak tiga. Kamu ingin sekolah atau tidak?” tanya saya.
            “Malas bu,” jawab Mardadi sekenanya.
            “Mengapa?”
            “Buat apa sekolah?”
            “Kamu harus mempunyai masa depan yang cerah.”
            “Percuma saja.”
            “Lebih baik saya tidak ada di dunia ini bu.”
            “Jangan berkata demikian.  Allah mempunyai rencana terhadapmu. Kamu harus bersyukur. Kamu mempunyai seorang ibu dan sekaligus nenek yang luar biasa. Dia bekerja karena kamu. Dia hidup hanya untuk kamu. Kamu adalah satu-satunya   yang dia pertaruhkan dalam hidupnya. Saya sudah mengetahui beliau dan latar belakangmu.”
            “Tapi dia menjengkelkan bu. Juweh orangnya. Cerewet, suka ngomel-ngomel. Saya tidak betah berada di rumah. Begitu di rumah yang saya dengar hanya omelan saja,” jawab Mardadi.
            “Andai kamu tidak mendengar omelan nenekmu, apakah kamu betah tinggal di rumah?”
            “Tidak tahu juga bu. Saya perlu teman.  Ketika saya berada di warnet bersama teman-teman, saya bisa melupakan tekanan hidup saya. Saya iri bu dengan teman-teman yang bisa memanggil bapak dan ibu. Saya tidak tahu  keduanya. Saya benci mereka. Tuhan tidak adil kepada saya. Tuhan pilih kasih. Tuhan membuat hidupku menderita.” Mardadi berkata dengan mata berkaca-kata. Andai  dia wanita, pasti aku akan peluk dia.
            “Hust! Kamu tidak boleh menyalahkan Tuhan. Mohon ampun kepadaNya. Istiqfar.  Kamu tidak bersykur kepadaNya.  Satu hal, kamu mempunyai seorang nenek yang sangat mencintaimu. Apa balasanmu? Bayangkan andai kamu tidak punya nenek lagi, betapa menyesalnya kamu karena selama hidupmu belum pernah membuat dia bahagia tetapi sebaliknya.  Saya ingin kamu mempunyai masa depan yang cerah. Kamu harus mempunyai kehidupan yang baik. Jika kamu sampai dikeluarkan, dan kamu tidak sekolah, apa yang bisa kamu kerjakan? Kehidupan seperti apa yang akan kamu lalui? Paling tidak kamu lulus SMA. Dua tiga tahun kedepan kamu harus menahan dirimu. Setelah itu terserah kamu mau apa.”
            Saya terus berkomunikasi dari hati ke hati dengan Mardadi.  Hubungan kami semakin akrab saja. Dia mulai terbuka dengan saya. Dia juga merasa betah di sekolah. Kami membuat komitmen  bahwa Mardadi harus lulus SMA. Saya menghukum Mardadi ketika membuat kesalahan dengan hukuman berupa shohat dan mengaji. Dengan demikian saya harap dia akan dekat kepada Allah. Dia mulai bisa menerima keadaannnya. Beberapa minggu dia tidak pernah terlambat. Setiap ada kesempatan saya berusaha sebisa saya untuk memotivasinya. Saya katakan kepadanya bahwa dia harus memiliki masa depan yang cerah walau latar belakangnya tidak menyenangkan.
Saya merasa lega dan optimis bahwa Mardadi kini telah berubah.  Saya berhasil menemaninya selama setahun di kelas X. Dia berhasil naik di kelas XI.  Di kelas XI dia mendapatkan wali kelas yang berbeda.  Walau bukan lagi wali kelas Mardadi,  aku masih saja terus menanyakan  dan memantaunya. Suatu hari, Mardadi tidak masuk sekolah lagi. Tidak semua guru bisa memahami dia seperti saya memahaminya. Banyak  guru suka menghukum dan memarahinya.  Salah satunya adalah wali kelasnya sendiri yang tidak  tahu latar belakang Mardadi. Rambut Mardadi yang dicat kemerahan dipangkas secara asal oleh wali kelas tersebut. Akibatnya, rambut Mardadi harus digundul karena tidak dapat diperbaiki. Mardadi menjadi malu. Saya sendiri merasa prihatin mendengar kejadian itu. Andai dia wanita, pasti aku peluk dia.   Setiap hari Mardadi harus menggunakan topi karena malu atas kepalanya yang gundul.
Rupanya hukuman untuk Mardadi tidak berhenti sampai di situ. Suatu hari Mardadi tidak mengerjakan tugas dari seorang guru. Karena takut dimarahi, dia tidak masuk pada jam pelajaran tersebut. Guru itu menyita tasnya. Tas itu dibawa ke ruang guru.
Setelah itu Mardadi tidak pernah mau sekolah lagi. Aku menanyakan kepada teman-temannya tentang keberadaan Mardadi. Mereka mengatakan kalau Mardadi tidak mau sekolah lagi. Sedih sekali rasanya. Aku sempat meneteskan air mata karena kesedihan yang mendalam. Tidak semua guru pahan akan keadaan anak didiknya.
Dalam keadaan sedih itu, aku membawa tas Mardadi ke ruang BK. Tentu saja tanpa sepengetahuan rekan guru lain. Aku hendak menitipkan tas itu kepada temannya agar diberikan kepada Mardadi.  Sebelum saya titipkan, aku membuka tas Mardadi. Satu persatu aku keluarkan isi tasnya. Ada sebuah topi kumal dan beberapa pulpen yang  tidak ada tutupnya. Ada beberapa buku tulis yang masih kosong dan buku LKS. Ada biodata yang belum sempat dia berikan kepada wali kelas dan yang membuatku menangis tersedu adalah beberapa sisa foto dia yang  aku minta ketika  kelas X untuk saya pasang di raportnya. Andai dia ada di depanku dan dia seorang wanita, pasti aku peluk dia.
Heh… Mardadi sudah keluar sekarang. Tidak ada yang bisa saya lakukan.  Paling tidak saya telah berhasil mengantarkan dia naik sampai kelas XI.  Itu sudah bagus bagi Mardadi.  Hanya doa yang bisa saya panjatkan. Semoga dia mempunyai masa depan yang cerah.
            Semua telah berlalu. Namun setidaknya ada hikmah yang bisa saya petih dari kisah Mardadi. Pertama,  Seseorang harus menjaga diri agar tidak terjadi hamil diluar nikah. Harus ada  ikatan perkawinan yang sah. Jika tidak, anak yang lahir seakan tidak diharapkan akan tumbuh menjadi anak yang kurang kasih sayang. Akibatnya anak cenderung mencari perhatian dengan tingkah kenakalan.
            Kedua, guru harus memahami latar belakang anak didiknya. Jika guru tidak mau melihat lalar belakang anak, akibatnya anak akan merasa tidak berguna.  Siapa lagi yang akan  peduli kepada anak seperti Mardadi kalau bukan guru? Gurulah salah satu yang  bisa memotivasi siswa sehingga siswa dengan latar belakang apapun bisa meraih masa depan yang cerah.
            Ketiga, dari segi anak sendiri.  Sebagai makhluk Tuhan, hendaknya menyadari bahwa seseorang ada di dunia ini adalah kehendak Tuhan.  Terlepas dari latar belakangnya, setiap manusia mempunyai tanggung jawab dalam kehidupan ini. Sayang sekali jika kesempatan hidup di dunia ini disia-siakan. Betapa indahnya jika anak dengan latar belakang seperti Mardadi bisa menjalani dan menciptakan kehidupan yang lebih baik.
            Begitulah hikmah dari kisah muridku si Mardadi. Anak nakal adalah anak yang kurang diperhatikan. Maka,  hendaknya anak seperti itu diberi perhatian khusus. Semoga menjadi pelajaran bagi kita semua. Mardadi butuh kasing sayang. Andai dia seorang wanita, aku akan bilang, “kemari aku peluk.”

****


Dari Kurikulum 13 (K 13) ke KTSP atau sebaliknya , tidak masalah!


    Setelah membaca berita di koran yang memberitakan bahwa untuk sekolah yang baru menerapkan K 13 semester ini, pada semester 2 akan kembali pada KTSP, beragam reaksi para guru. Ada yang senang ada yang kecewa, ada yang biasa-biasa saja.
     Saya pribadi jujur semula terheran-heran. Beberapa waktu sebelumnya saya sudah menanyakan kabar akan dihapusnya K 13. Pihak Pusbangprodik waktu itu menjawab bahwa tidak ada wacana untuk menghapus K 13. Saya lalu mencari informasi kesana-kemari (maksudnya membaca di web). Ahhasil, saya mendapat jawaban dari sumber berikut :l http://www.riaupos.co/58791-berita-menteri-anis-resmi-hentikan-kurikulum-2013.html
   
     Meskipun, dihentikan, namun Anis Baswedan mengatakan kurikulum akan diperbaiki dan dikembangkan melalui sekolah-sekolah yang sudah tiga semester menerapkan K13.
     "Proses penyempurnaan K 13 tidak berhenti, akan diperbaiki dan dikembangkan, serta dikembangkan disekolah-sekolah percontohan yang selama ini telah menggunakan K 13 selama 3 semester terakhir," Kata Anis, kepada wartawan, saat Konfrensi Pers, di Kemendikbud, Jumat (5/12) seperti yang dilansir INDOPOS (Grup JPNN).
     Anis mengatakan pengambilan keputusan ini berdasarkan fakta bahwa sebagian besar sekolah belum siap melaksanakan kurikulum 2013, karena beberapa hal, diantaranya kesiapan buku, sistem penilaian, penataran guru, pendampingan guru dan pelatihan kepala sekolah. kendati, akan mengembalikan kurikulum ke 2006 katanya,  keputusan ini tidak akan merubah prinsip dasar yang terkandung dalam K13, menurutnya ada banyak kesamaan prinsip antara kurikulum 2006 dan K 13, diantaranya, konsep  penilaian  otentik dan pembelajaran tematik terpadu.
    "Jadi, kepada guru dan kepala sekolah tidak usah khawatir, silakan kembangkan metode pembelajaran dalam kelas. kami berharap guru kreatif, menciptakan terobosan- terobosan dalam mengajar," ujarnya.
     Anis menggarisbawahi bagi sekolah yang baru melaksanakan K 13, satu semester agar segera kembali ke kurikulum 2006, sementara,  yang sudah menerapkan tiga semester akan dijadikan sekolah percontohan dalam  pengembangan penerapan K 13 dengan bimbingan dan panduaan dari dikbud.
     "Namun, Kalau ada yang sudah jalan 3 semester, kemudian  tidak siap melanjutkan silakan untuk mengajukan diri untuk mendapatkan pengecualian," ujarnya.
     Penerapan kurikulum K 13 disejumlah sekolah nasional, lanjutnya akan terus dikembangkan dan tidak akan dihentikan, sekolah-sekolah ini kedepannya, akan menjadi percontohan metode pengembangan K 13.
     "Yang sudah menerapkan K 13, ada sekira 6.221 dari sekira 200 ribu lebih sekolah, diantaranya SD 2598 sekolah, SMP 1437 sekolah, SMA 1165 sekolah dan SMK 1021 sekolah, jadi sekolah-sekolag ini, akan menjadi percontohan kedepannya," kata Anis.
     Selain itu, untuk memantapkan penerapan kurikulum k 13, Kemendikbud akan mengembalikan tugas pengembangan K 13 kepada pusat kurikulum dan perbukuan, tidak lagi ditangani oleh tim Ad hock yang bekerja jangka pendek.
     "Jadi, Orientasinya kepada sekolah percontohan dan pengembangan kesekolah lain. Proses bertahap. Konsentrasi kepada kepala sekolah dan guru, training pelatihan, termasuk kepada sekolah yang belum terapkan K 13. Penerapan kurikulum bukan berhenti. Sebagai bagian persiapan, dan akan di pantau oleh tim kemdikbud," ujarnya.
      Sebagai bagian dari pemantapan penerapan kurikulum 2013, Anis juga menyinggung tentang buku yang menjadi panduan penerapan. Anis mengatakan buku yang sudah dicetak dan yang sudah disalurkan kesekolah-sekolah untuk disimpan, sampai guru-guru siap melaksanakan K 13. Dan yang belum dicetak dan belum tandatangan kontrak untuk tidak melanjutkan lagi.
      Nah, terkait penetapan penghentian pelaksanaan K 13, Kemendikbud hari ini (kemarin, red (5/12(), akan mengirimkan surat kepada  seluruh kepala sekolah, untuk kembali menerapkan kurikulum 2006.(jpnn)at jawaban bahwa ternyata 
Setelah membaca informasi tersebut, saya akan mengambil langkah berikut:
  1. Saya akan menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran pada semester 2 sesuai KTSP karena saya sudah siapkan sesuai dengan K-13.
  2.  Apapun kurikulumnya, saya tidak akan surut semangat. Mengajar adalah panggilan jiwa saya. Saya akan terus menanamkan nilai luhur pada siswa saya. 
  3. Saya berusaha tidak menjadi guru yang senantiasa menuntut. Rekan saya suka menuntut hak saja. Semoga saya bisa melakukan kewajiban saya sebagai seorang guru dengan baik.
  4. Saya akan terus  memotivasi dan menginspirasi siswa saya  dengan tindakan saya.
Semoga saya termasuk orang yang  mudah beradaptasi dan menerima setiap kebijakan. Semoga saya bisa amanah. Semoga saya bisa mempersiapkan diri dalam berbagai perubahan. Amiiin. Jadi, mau pakai K 13 atau KTSP, saya akan terus mengajar dengan hati.

BTK dan EPP


 Oleh: Rustiani Widiasih

Menjadi guru bahasa Inggris di sekolah pinggiran adalah tantangan bagi saya. Sejak SMP, Sebagian besar murid saya menganggap bahasa Inggris adalah pelajaran  sulit sehingga mereka tidak memiliki rasa suka terhadap bahasa Inggris. Menurut siswa, alasan paling mendasar yang membuat bahasa Inggris itu sulit adalah ketidakpahaman mereka terhadap teks atau ucapan bahasa Inggris. Itu semua disebabkan minimnya simpanan kosakata pada memori mereka. Memang, kosakata memegang peranan penting dalam penguasaan Bahasa Inggris karena pada dasarnya ucapan, kalimat dan teks adalah kumpulan dari kosakata.

Jarangnya menggunakan bahasa Inggris dalam kehidupan sehari-hari juga menjadikan  siswa minim kosakata.  Bahasa sehari-hari yang digunakan siswa adalah bahasa daerah (Jawa) sedangkan bahasa kedua adalah bahasa Indonesia. Bahasa Inggris bagi siswa saya adalah benar-benar bahasa asing (foreign language).  Ini sangat jauh berbeda dengan negara yang menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua (second language) misalnya Malaysia dimana bahasa Inggris digunakan berdampingan dengan bahasa Melayu.  Sedangkan kebanyakan siswa di Indonesia, Bahasa daerah digunakan berdampingan dengan bahasa Indonesia.

Selain itu,  siswa hanya belajar bahasa Inggris di sekolah saja. Apalagi, saat ini jam untuk pelajaran bahasa Inggris berkurang dari empat jam perminggu menjadi dua jam saja per minggu. Para siswa di sekolah saya juga jarang ada yang ikut les bahasa Inggris. Maka dari itu,  harapan untuk berbahasa Inggris  hanyalah di sekolah.

Adanya pendapat siswa bahwa bahasa bahasa Inggris adalah pelajaran yang sulit, membuat kebanyakan siswa tidak menyukai Bahasa Inggris. Akibatnya, minat mereka terhadap bahasa Inggris rendah. Jika rasa senang terhadap bahasa Inggris saja tidak mempunyai, apalagi kemauan untuk belajar. Padahal,  Menurut Yusmansyah (2008: 44)  tanpa rasa senang akan sulit bertahan dalam belajar terutama jika menghadapi bagian-bagian yang sulit dicerna. Dua hal yaitu merasa sulit dan merasa tidak suka seakan menjadi alasan terpenting bagi siswa saya dalam mempelajari bahasa Inggris. Jika sudah demikan, pastilah kemampuan berbahasa Inggris siswa juga rendah.

Itulah yang menjadikan penulis tertantang untuk  menemukan cara  dan terus memotivasi agar para siswa berubah  dari merasa sulit menjadi merasa mudah dan dari tidak suka menjadi suka terhadap bahasa Inggris sehingga kemampuan berbahasa Inggris siswa meningkat.  Hal itu sesuai dengan pendapat Rais (2009:69) bahwa kunci sukses pekerjaan  guru adalah kemampuan dalam memotivasi siswa untuk terus meningkatkan prestasinya. Tanpa motivasi, semudah apapun pelajaran yang dihadapi, siswa tidak akan pernah mau untuk mempelajarinya. Guru harus membuat siswa senang terhadap pelajaran tersebut.  

     Karena itu, penulis  harus mampu membuat siswa merasa senang terhadap bahasa Inggris dan juga memiliki motivasi instrinsik untuk belajar bahasa Inggris. Penulis yakin bahwa tanpa kedua hal diatas maka tujuan pembalajaran tidak akan tercapai.

Untuk dapat membuat siswa senang terhadap materi yang diajarkan, saya berupaya membuat siswa senang kepada gurunya. Hal tersebut sesuai dengan pendapat  Hakim, yang mengatakan bahwa ketidaksenangan terhadap guru atau dosen akan menyebabkan siswa/mahasiswa tidak menyukai pula pelajaran yang diajarkan (2005: 59).

Selain itu siswa juga harus dimotivasi untuk memiliki motivasi instrinsik. Motivasi ini akan memberikan dampak yang besar terhadap hasil belajar. Menurut pendapat Hakim (2005: 29-30),  Bila seseorang  siswa/mahasiswa melakukan aktivitas belajar karena dodorong oleh motif intrinsik, siswa atau mahasiswa tersebut akan dapat belajar dengan inisiatif sendiri tanpa harus didorong oleh orang lain seperti orang tua, guru atau dosen. Dengan kata lain, motivasi instrinsik itu akan memungkinkan seorang siswa/mahasiswa bersikap mandiri  dalam melaksanakann aktivitas belajar.

Dengan pijakan pendapat tersebut,  saya menciptakan BTK (Bank Tabungan Kosakata) dan EPP (English Plus Point).  Bank kebanyakan adalah tempat untuk menabung uang. Namun, Bank Tabungan Kosakata  ala penulis adalah tempat  menabung kosakata. Dengan adanya Bank Tabungan Kosakata, siswa akan terus berupaya untuk menambah perbendaharaan kosakatanya. Disini siswa tidak hanya menabung kata-kata saja, melainkan phrasa dan kalimat baru.

            Sedangkan EPP (English Plus Point) adalah penilaian atau pemberian point terhadap  kegiatan apa saja yang bisa mengembangkan kemampuan berbahasa Inggris siswa. Ini adalah wujud penghargaan kepada siswa yang telah melakukan suatu persiapan dan latihan.  Dalam hal ini, siswa akan merasa apa yang dilakukannya sangat berharga.

Menjadi Guru adalah Pilihan


Mempersiapkan bahan ajar

     Mungkin aku adalah orang yang beruntung karena aku mempunyai hobi yang sekaligus menjadi profesiku.  Mengapa saya katakan demikian? Karena banyak teman yang menjadi seorang guru karena terpaksa dan bukan menjadi pilihan sejak awal. Sehingga menjalani profesi guru hanya sebatas bekerja untuk mencari uang dengan cara mengajar.
      Aku sering mendengar guru mengeluh karena anak didiknya tidak memperhatikan penjelasannya. Ada pula yang siswanya tidak merespon terhadap apa yang dikatakannya. Kalo aku tidak demikian. Jika saya mengajar, anak-anak aku fokuskan dulu pikirannya. Aku beri motivasi sehingga mereka merasa butuh ilmu yang aku sampaikan. Dampaknya, anak-anak memperhatikan saya.
     Ada teman saya yang sering mengeluh jika mendapati anak-anak yang nakal. Bahkan dia sering menghukum anak, memarahi anak, mengolok-olok anak didik dan juga bersikap sinis terhadap anak nakal. Dia tidak mau memberikan pengarahan, melakukan pendekatan, mengajak berbicara atau melakukan home visit agar tahu benar keadaan keluarganya. Aku tidak demikian. Aku sangat memperhatikan anak didik saya terutama anak yang wali kelasnya adalah saya.  Pernah dulu saya mempunyai anak yang sangat nakal. Semua guru selalu mengeluh kepada saya akan kenakalannya. Lalu saya dekati ternyata dia adalah anak yang membutuhkan perhatian. Maka saya memperhatikannya. Dia berhasil naik kelas. Namun wali kelas yang baru kurang mempedulikannya sehingga dia kini keluar.
      

   Mengajar adalah hobiku

  Saya berusaha untuk menjadi guru inspiratif seperti bu Muslimah yang bisa melahirkan anak yang pandai seperti Andrea Hirata. Pada tahun 2008 saya pernah mendapatkan kesempatan bertemu dengan bu Mus pada acara HUT GURU di Istora senayan.  Pada kesempatan itu bu Mus berpesan kepada saya, "Jadilah guru yang inspiratif karena guru akan dikenang siswanya sepanjag masa". Semoga. Amiin.