CERITA DARI ANAK SAMPUNG



Tidak Serapuh Batu Gamping dan Batu Kali
Cerpen: Rustiani Widiasih

            “Pulang sekolah nanti, setelah sholat dan makan kamu langsung menyusul ibu  di kali[1]. Ada pesanan grosok [2]satu rit besuk. Jangan lupa membawa palunya,” pesan ibuku saat aku berpamitan berangkat sekolah.
            “Iya, Bu,” jawabku singkat.
            Pesan seperti itu selalu aku terima saat aku berpamitan berangkat ke sekolah. Aku lalu menyusuri jalanan berbatu di desa Sampung. Kulihat dari kejauhan bapakku dan beberapa orang sudah melakukan pekerjaannya sebagai pencari batu gamping[3]. “Heh...,”aku mengambil napas panjang.  Ada perasaan tidak enak melihat begitu berat pekerjaan yang harus dilakukan bapak. Ia harus menggali, memukul, mengangkut batu gamping untuk mendapat uang beberapa puluh ribu. Kadang-kadang dia mencari batu kali dan pasir untuk tambahan penghasilan. Begitupun pekerjaan ibuku, jika sedang ada pesanan grosok seperti saat ini, ibu memecah batu kali yang besarnya segenggam menjadi batu grosok. Entah mengapa pasir, batu kali dan batu gamping tiada habis-habisnya walau setiap hari orang-orang Sampung mengambilnya. Mungkin begitulah Tuhan memberi rezeki pada hambaNya.
***
            Siang harinya sepulang sekolah, aku cepat-cepat pulang, sholat dan makan, lalu bersiap-siap menyusul ibu di tepi sungai. Setiba disana, aku melihat kakak dan ibuku duduk di bawah atap yang terbuat dari  blarak[4]. Mereka tampak lelah dan kepanasan. Memang, udara terasa sangat panas siang itu. Di sungai, aku melihat beberapa orang mencari pasir dan batu kali.  Tidak  memandang laki-laki atau perempuan dalam pekerjaan itu. Mereka menggambil batu lalu membawanya ke tepian sungai dan menatanya menjadi tumpukan yang rapi sekali. Sedikit demi sedikit pencari pasir menumpahkan hasil cariannya di tepian sungai hingga menjadi gundukan besar.
            Tumpukan batu menyambut kedatanganku.
“Ayu cepat, bantu kakakmu. Besuk grosoknya akan diambil oleh pemesannya,” kata ibu begitu aku duduk.
            Kakak diam saja tanpa bicara. Kakakku lebih tua lima tahun dariku. Setelah lulus SMP, dia tidak melanjutkan sekolah. Sehari-hari dia hanya mencari batu lalu memecahnya dengan palu.  Sebenarnya ibu dan bapak menyuruhnya sekolah, tetapi dia tidak mau. Katanya, sekolah itu sulit,  dan lebih enak mencari uang. Selain itu, kakak tahu benar keadaan orangtua yang pastinya sangat berat membayar biaya pendidikan yang mahal.
            Aku pun segera mengambil batu. Satu demi satu aku pecahkan batu sehingga menjadi grosok. Aku memukul dengan cepat sekali agar pekerjaan ini cepat selesai.
            “Aaaawwww,” pekikku terkejut.
Tanpa sengaja,  palu menghantam jari-jariku dengan keras.
            Kakak dan ibu terkejut.
            “Ada apa?” tanya ibuku.
            “Tangan saya terkena palu, Bu,” jawabku menahan rasa sakit.
            “Baru saja mulai, kamu sudah kerkena palu. Aku dan ibu sudah mulai sejak pagi tadi tapi  tidak ada masalah,” ucap kakakku.
            “Ya, Kak,  maunya cepat-cepat biar cepat selesai, eh malah terpukul.”
            “Makanya kalau bekerja jangan setengah hati,” kata kakaku lagi.
            “Ya, ya. Aku sungguh-sungguh.” Aku tidak tega melihat wajah ibu dan kakak yang begitu letih bekerja seharian, bagaimanapun aku harus membantunya.
            “Hati-hati,” pesan ibu.
Aku mengangguk, lalu kembali melanjutkan pekerjaanku. Walaupun jariku terasa sakit karena memar, tapi aku paksakan juga memecah batu. Sore harinya, barulah kami pulang walau belum selesai memecah batu semuanya. Ibu memperkirakan jumlah grosoknya sudah satu rit.
Setiba di rumah, hari sudah gelap. Aku melihat wajah bapakku tampak tua dan letih. Bapak telah berusaha keras dengan susah payah menghidupi kami sekeluarga. Bapak dan ibu membanting tulang agar kami dapat bertahan walau hidup sederhana. Bahkan bapak telah memberiku kesempatan untuk menuntut ilmu di bangku sekolah.
***
            “Tanganmu kenapa, Sri?” tanya Sulis saat melihat tanganku yang berwarna hitam kebiruan.
            “Kemarin tanganku terkena palu saat aku memecah batu,” jawabku.
“Kukuku juga pernah terkena palu, bahkan lepas. Ini bekasnya masih ada,” kata Sulis sambil menunjukkan jarinya yang tiada berkuku. “Tapi kejadian itu justru memberiku ilham,” ucap Sulis.
“Ilham apa?” tanya Dwi heran.
“Suatu saat nanti, aku ingin memiliki mesin selep batu. Seperti selep[5] kelapa, beras dan ketela itu, tetapi yang diselep  batu. Jadi, aku dan orangtuaku tidak perlu lagi memukul batu melainkan tinggal memasukkannya ke dalam alat itu dan keluarnya sudah menjadi grosok.”
“Bisa jadi yang keluar tepung batu,” sela Dwi.
“Ha...ha...ha...,” kami tertawa serentak.
“Idemu hebat, Lis. Orang-orang sini tidak lagi harus kepanasan dan duduk seharian sambil memecah batu,”  ucapku.
“Terus apa pekerjaan orang-orang nanti kalau sudah ada mesin selep batumu?” tanya Dwi.
“Ya, mereka bisa tetap menjadi pencari batu tetapi tidak perlu lagi memecahnya tinggal menggundang saya dan memberi saya upah,” jawab Sulis.
“Bisa jadi penghasilan orang-orang menurun karena harus membayar kamu,” protes Dwi.
“Tidak mahal kok. Harganya harus lebih murah dari pada memberi ongkos orang yang  memecah batu seharian dan lebih cepat lagi,” bela Sulis.
“Kalau aku, aku ingin menciptakan mesin yang bisa menggali, menggaruk dan mengangkut batu gamping sehingga bapak dan orang-orang sini tidak perlu  melakukan pekerjaan itu. Mereka tinggal menjualnya saja dan mendapatkan uang yang banyak karena dalam sehari mesin itu bisa menghasilkan batu gamping yang banyak.  Tangan mereka tidak  kasar dan kapalan[6]  lagi,” tuturku.
“Idemu juga hebat, Sri. Jadi kamu ingin menjadi penjual batu gamping seperti bapakmu? Apa kalian tidak bercita-cita menjadi guru, dokter, penulis, pegawai negeri atau apapun yang lebih baik dari orangtua kita?” sela Dwi.
“Ya tentu saja. Kalau orang tua kita mempunyai banyak uang kan bisa menyekolahkan kita sampai kuliah. Kalau terus-terusan pekerjaannya menjadi pemecah batu, bagaimana kita bisa sekolah yang tinggi?” bela Sulis.
“Tapi kapan cita-citamu itu terwujud?” tanya Dwi lagi.
“Ya, nanti dulu, masih lama. Sekarang aku masih mau sekolah dulu yang sungguh-sungguh. Aku mau belajar yang rajin agar nanti bisa merancang alat yang canggih sehingga desa kita menjadi penghasil batu kapur dan grosok yang besar,” tutur Sulis.
“Wah, masih lama dong, ha...ha...ha...,” kami pun tertawa mendengarnya.
“Kalau kamu, apa cita-citamu, Wi?” tanyaku pada Dewi.
“Aku ingin menjadi guru seperti bu Wahyu. Bu Wahyu cara mengajarnya enak sekali, aku betul-betul mengaguminya. Dia selalu memberi kita semangat sehingga aku tidak takut bercita-cita,” tutur Dwi penuh penghayatan.
Siang itu kami melangkah pulang dengan gembira. Rasa lelah sepulang sekolah kini telah sirna. Dalam hati kami masing-masing kini terbesit satu ketad yang kuat. Kami ingin belajar dengan sungguh-sungguh. Kami ingin sekolah yang tinggi, walau orang tua kami adalah tukang pencari batu gamping dan pemecah batu kali, tetapi kami tidak boleh berhenti bercita-cita. Kami harus bisa mewujudkan cita-cita kami. Kami tidak boleh menyerah pada keadaan. Kami yakin jika ada niat yang kuat pasti ada jalan. Kami tidak boleh berhenti berusaha memperbaiki kehidupan. Kami harus terus bekerja membantu orang tua dan belajar yang tekun. Kami tidak serapuh batu gamping dan batu sungai yang mudah dipecah. Tekad kami sekuat baja dan batu karang di lautan.
SELESAI


















A.   IDENTITAS PRIBADI
Nama                                                        : Rustiani Widiasih, S.Pd
Tempat/Tgl Lahir                                      : Pacitan, 2 Nopember 1977
Jenis Kelamin                                           : Perempuan
Nama Institusi                                           : SMAN I Badegan
Jabatan                                                     : Guru Bahasa Inggris
Alamat Institusi                                         : Jalan Ki Ageng Punuk No 2 Desa      
                                                                  Menang  Kec. Jambon  Kab. Ponorogo
Telp                                                           :  (0352) 751251
Alamat Rumah                                          : Jalan Imam Bonjol III/14 Ponorogo
No HP                                                       : 0852 353 90005
E-mail                                                        : rustianiwidiasih@yahoo.com
Pendidikan terakhir                                  : S-1 Pend. Bahasa Inggris  Unesa
                                                                
B.   PENGALAMAN
1.    Finalis Simposium Inovasi Pembelajaran Tingkat Nasional ke-2  Tahun 2004.
2.    Finalis Simposium Inovasi Pembelajaran Tingkat Nasional ke-3  Tahun 2005.
3.    Finalis Lomba Kreativitas Ilmiah Guru LIPI  Tahun 2006
4.    Juara II Guru Berprestasi Tingkat Kabupaten Ponorogo Tahun 2007
5.    10 Besar Lomba Megulas Karya Sastra (LMKS) Tahun 2007
6.    Finalis Lomba Keberhasilan Guru Tingkat Nasional Tahun 2008







[1] Kali: Sungai
[2] Grosok: batu koral
[3] Gamping: kapur
[4] Blarak: daun kelapa
[5] Selep: mesin selep
[6] Kapalan: tangan kasar dan menggeras bekas bekerja keras dengan alat tertentu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar