BUMI REOG

1
PERJALANAN KE BUMI REOG

Malam itu cerah sekali. Secerah hatiku saat itu. Bagaimana tidak? Sekolahku libur dua hari. Satu hari pada hari minggu dan pada hari seninnya tanggal merah. Aku sekeluarga akan pergi ke Ponorogo. Kami akan menghadiri undangan pernikahan saudara ibu. Aku belum pernah pergi ke kota itu. Senang sekali bisa datang ke kota yang dikenal dengan julukan kota reog. Kata guruku, Ponorogo adalah tempat lahirnya kesenian reog
Ibu menyediakan tas besar untuk tempat oleh-oleh dan baju. Aku memasukkan pakaian beberapa potong.
“Sarung, handuk, baju ganti …, apa lagi ya bu?” tanyaku agar aku tidak lupa membawa barang yang aku butuhkan dalam bepergian.
“Jangan lupa membawa jaket!” seru ibu. “Sekarang kamu tidur saja. Besuk pagi-pagi kita harus berangkat”
Aku sudah berusaha untuk tidur, namun mata ini sulit sekali dipejamkan. Entah mengapa jika akan bepergian, aku selalu tidak dapat tidur. Ingin rasanya segera berangkat karena aku penasaran melihat keunikan kota itu.
***
“Bangun…!” teriak ibu. “Cepat mandi! Kita akan segera berangkat”
Aku lekas bangun dan mandi. Setelah makan pagi, minum susu dan minum obat anti mabuk, kami pun berangkat. Rumahku dekat dengan terminal Jayabaya, tempat persinggahan angkot ke berbagai tempat di Surabaya.
Bapak membawa tas besar, ibu menjinjing tas tangan dan aku menyandang rangselku. Di dalamnya ada minuman dan makanan kecil serta dompet berisi uang receh. Uang itu untuk pengamen, pengemis dan orang yang minta dana untuk pembangunan masjid. Walau uang ratusan rupiah, itu akan sangat berarti bagi mereka.
“Memberikan uang walau seratus rupiah, berarti sudah berbuat suatu kebaikan yaitu membantu orang lain yang memerlukan. Satu hal yang penting adalah rasa ikhlas. Jika tidak memiliki rasa ikhlas maka akan sia-sia saja tindakan itu. Bahkan jika memberinya sambil ngomel-ngomel bisa jadi tidak kebaikan yang di dapat tetapi justru kejelekan.” Begitu penjelasan bapak kepadaku.
Lalu kami naik lyn JB warna orange. Angkot tidak berangkat sebelum penuh dengan penumpang. Begitu kami naik lyn, ada seorang anak kecil mengamen. Anak itu kira-kira seusia denganku. Kalau ia sekolah mungkin kelas empat. Dia membawa botol minuman kemasan yang berisi kerikil. Bajunya lusuh dan kotor. Kulitnya hitam dan dekil. Tampak sekali badannya terbakar matahari.
Dia mengocok botol itu. Lalu terdengar suara yang unik. Sebuah lagu ia nyanyikan.
“A a a a …. Ok. Bilang saja OK. Aku mau jawaban. Cukup satu jawaban. Aa….aa…..aa OK,” ucap anak pengamen itu menirukan lagu T2. Setelah itu ia menyodorkan gelas bekas air mineral kepada semua penumpang.
“Terimakasih…… terimakasih,” kata anak itu begitu ada orang memasukkan uang receh ke dalam gelasnya.
Udara di Surabaya sangat panas. Berkali-kali bapak mengusap keringat di wajahnya. Sepagi ini Surabaya sudah macet. Aku harus sabar ketika di atas lyn. Tidak saja udara yang panas tetapi juga kemacetan yang aku hadapi.
Aku memandang hilir mudik kendaraan, lalu lalang orang-orang memalaui jendela angkot. Sungguh padat dan penuh! Kota Surabaya yang luas tampak sempit sekali karena beratus-ratus kendaraan memadati jalan raya. Tampak olehku: bus, truk tronton, kontainer, angkot, kendaraan pribadi, sepeda motor dan pejalan kaki melintas silih berganti.
Setelah kira-kira setengah jam, aku tiba di terminal Bungurasih. Kami turun di tempat penurunan penumpang. Bapak mengangkat tas besar sambil menunjukkan arah. Aku mengikutinya bersama ibu. Kami menuju loket pembelian karcis. Setelah itu kami masuk ke tempat bus yang akan berangkat. Di Tempat tunggu, aku lihat kursi berjajar–jajar. Di atasnya banyak orang duduk. Diantaranya ada yang tidur, ada yang membaca koran, melihat televisi dan ada pula yang termenung.
Seseorang berpakaian seragam merah bata menarik tas bapak dengan paksa. Aku kaget sekali. Bapak pun menarik tasnya. Sesaat orang itu tarik-menarik dengan bapak. Bapak berhasil menarik tasnya.
“Mau ke mana, Pak?” tanya orang itu setelah melepaskan tas bapak. Bapak tidak menjawab. Kami dikerubuni banyak orang. Rupanya orang-orang itu berebut penumpang. Itulah cara mencari penumpang yang mereka dilakukan.
“Saya sudah berjanji dengan seseorang.” Kata bapak. Aku tahu bapak bohong untuk menghindari orang-orang itu.
Kami mendekati bus. Aku melihat berjajar-jajar bus ke segala tujuan. Di atas bus itu terpasang tulisan berisi tujuan bus yang akan dituju. Dari sebelah kiri, aku mambaca: Malang, Ponorogo/Pacitan, Magetan, Trenggalek, Solo/Jokja, Jember, Bali, Banyuwangi dan juga kota-kota di luar pulau Jawa.
Tulisan itu membantu memudahkan orang-orang mencari bus mana yang akan dinaiki. Andai saja tidak ada calo atau orang-orang seperti yang aku temui tadi, pastilah penumpang lebih tenang dan nyaman. Tetapi aturan yang bagus itu dirusak orang demi mendapatkan uang.
Aku berjalan mengikuti bapak mendekati bus Jaya jurusan Ponorogo. Bus itu berwarna putih dan biru. Ada gambar reog Ponorogo menghiasi dinding luar bus. Memang, reog sangat identik dengan Ponorogo dan Ponorogo identik dengan reog. Di bagian belakang tertulis: Bus Patas AC Tarif Biasa.
“Mari, Pak. Patas, AC tarif biasa. Langsung berangkat” ucap seseorang yang memakai seragam sama dengan orang yang merebut tas bapak tadi. Bapak pun menaikkan aku ke dalam bus, disusul ibu. Lalu bapak masuk tanpa membawa tas besar. Rupanya tas itu dititipkan di bagasi.
Ces… Dingin! Udara terasa segar begitu memasuki bus. Aku tidak lagi kepanasan. Kami duduk di kursi dengan tiga tempat duduk. Letaknya nomor tiga dari depan.
“Bismillah,” ucap bapak. Dengan spontan aku pun mengucapkannya. Bus segera melaju. Nyaman rasanya duduk di atas bus AC. Begitu bus berangkat, dua orang lelaki berdiri di depan. Mereka adalah pengamen. Salah satu orang yang berambut gondrong membawa gitar. Sedangkan satu orang lainnya membawa tipung. Orang itu rambutnya pendek dan di cat warna pirang. Celananya compang-camping. Dengan samar-samar dia menyanyikan lagu ST 12. Sesekali ia harus tergoyang ke depan dan ke belakang saat bus direm mendadak.
“Putuskan saja pacarmu. Jangan kau menolak cintaku. Jangan kau hiraukan pacarmu. Putuskan saja pacarmu. Lalu bilang I love you padaku….” Begitu orang itu bernyanyi. Setelah selesai menyanyikan dua lagu, orang berambut panjang pembawa gitar tadi berkata:
“Demikian lagu dari anak jalanan. Terima kasih atas partisipasinya. Bagi yang menyumbang seratus saya doakan selamat, yang menyumbang lima ratus saya doakan kaya raya. Bagi yang menyumbang seribu saya doakan masuk surga. Bagi yang tidak memberi, saya doakan semoga celaka.”
Begitu mendengar ucapan orang itu, kulihat orang yang duduk di bangku sebelahku merogoh sakunya. Pengamen yang berambut panjang itu menyodorkan wadah terbuat dari plastik pada penumpang. Aku memasukkan sekeping uang limaratus ke dalamnya. “Terimakasih,” ucap pengamen itu.
Tidak lama kemudian, muncullah seorang laki-laki lain membawa sebuah kardus. Orang itu membagi-bagikan suatu barang kepada penumpang. Ternyata barang tersebut adalah sebungkus permen jahe dan permen asam.
“Penyegar mulut, Penyegar mulut. Anti mabuk. Beli dua dapat tiga. Beli satu cukup seribu rupiah.” Begitu kata orang tadi. Setelah selesai membagikan permen tersebut ke seluruh penumpang, ia ke depan lagi.
“Bu, aku boleh mengambil permen ini?” tanyaku.
“Boleh. Tapi harus membayar dulu”
Orang itu lalu mengambil permen yang tidak dibeli dan menerima uang orang yang membelinya. Begitulah cara orang mencari uang. Ia menggunakan kesempatan dan pandai membaca peluang.
Sesaat suasana hening. Ibu dan bapak tertidur. Lalu seorang kenet bus memutar CD berisi lagu-lagu berbahasa Jawa. Lagu itu dinyanyikan oleh Waljinah juga oleh Didi Kempot. Pandanganku kuarahkan keluar jendela. Aku melihat pemandangan di luar bus sambil membaca tulisan-tulisan yang ada di pertokoan atau gapura untuk mengetahui sampai di mana perjalanan saya.
Begitu tiba di Mojokerto, aku mencium bau terasi yang sangat menyengat. Rupanya itu adalah aroma dari suatu pabrik. Tiba-tiba aku mengantuk. Tidak lama kemudian mataku terpejam. Aku pun tertidur.
Duk! Aku terantuk kaca jendela sehingga terbangun dari tidur. Begitu kubuka mataku, ternyata aku sudah sampai di kota Jombang. Bus berhenti di terminal bus. Berduyun-duyun pedagang asongan menaiki bus yang kutumpangi. Ramai sekali. Ada pedagang asongan berjualan aneka dagangan dalan sebuah kotak yang kedua ujung kanan dan kiri diikat dengan seutas tali. Lalu tali itu dikalungkan pada leher. Kotak itu berisi minuman, permen, tisyu, rokok dan makanan ringan. Ada juga yang berjualan tahu Sumedang, berjualan minuman dingin serta berjualan buah yang siap makan.
Hem….. Aku tergiur untuk membeli macam-macam dagangan itu. Tapi ibu hanya memperbolehkan aku membeli buah. Katanya, buah sehat dan tidak beresiko. Sedangkan makanan dan minuman lain belum tentu sehat. Apalagi minuman kemasan botol yang tidak bisa dijamin kebersihan dan keasliannya.
Untuk urusan itu aku menurut pada ibu saja. Dulu aku pernah jajan sembarangan di sekolah. Aku membeli jajan yang dilarang ibu. Akibatnya, aku terkena radang tenggorokan. Badanku panas sekali sehingga tiga hari tidak masuk sekolah.
Pernah juga aku membeli minuman es yang berwarna merah. Menggiurkan sekali tampaknya. Panas-panas sepulang sekolah pastilah segar jika aku meminumnya. Benar juga. Rasanya segar dan nikmat. Rasa panas dan haus seketika hilang. Pada malam harinya, badanku panas lagi. Radang tenggorokanku kumat. Semula aku berbohong pada ibu kalau aku telah membeli es sepulang sekolah. Lama-lama aku mengakui kesalahannku. Sejak itu aku benar-benar kapok. Aku tidak mau sakit lagi karena salah makan dan minum.
Bus terus melaju. Beberapa daerah aku lewati. Kertosono, Nganjuk, Saradan dan Madiun. Setelah lima jam berada di atas bus, akhirnya aku tiba di kabupaten Ponorogo. Begitu masuk di kabupaten Ponorogo, aku melihat sebuah gapura reog. Di atasnya tertulis: Selamat Datang. Kabupaten Ponorogo terletak di sebelah selatan Kota Madiun, dan berada di jalur Madiun-Pacitan. Dari sebelah barat Kabupaten Ponorogo berbatasan dengan Kabupaten Wonogiri Jawa Tengah.
Udara di Ponorogo tidak sepanas di kota Surabaya. Udara terasa sejuk dan nyaman. Begitu tiba di terminal Selo Aji, kami turun. Bapak menghubungi seseorang dengan HPnya. Tidak lama kemudian, seorang laki-laki datang menemui kami. Kami bersalam-salaman. Ibu memanggil orang itu dengan sebutan Pakdhe Raji. Sedangkan aku memanggilnya Mbah. Kata ibu, putri mbah Raji itulah yang akan menikah.
Kata ibu, putri mbah Raji itu dulunya sudah memiliki calon suami tetapi hubungannya tidak direstui orang tua karena ada mitos yang mengatakan kalau orang Golan tidak bolih menikah dengan orang Mirah. Kini putri mbah Raji akan menikah bukan dengan orang Mirah.
Mbah Raji mengajak kami mendekati sebuah mobil berwarna merah. Di dalam mobil tersebut ada seorang sopir dan seorang anak seusiaku.
“Mas Dion…” ucap ibu sambil mengulurkan tangannya. “Apa kabar Mas? Lama tidak ketemu!”
“Alhamdulillah kabar baik, dik Susi” kata sopir yang ternyata namanya Dion. “He… Jagoannya sudah besar nih. Siapa namanya?” Tanyanya padaku.
“Fahri” jawabku singkat.
“Kenalkan. Ini anak Pakdhe” kata pakdhe Dion.
“Andika” ucap anak semurku tadi.
“Fahri” ucapku sambil bersalaman. “Kelas berapa?” tanyaku.
“Empat”
“Sama”
Kami langsung akrab karena kebetulan kami tinggal di kelas yang sama. Selama di dalam mobil kami bercakap-cakap. Tidak terasa kami sudah sampai di rumah Mbah Raji.
Rumah mbah Raji terletak di Sukorejo kabupaten Ponorogo. Tepatnya berada di sebelah barat kota Ponorogo. Rumah mbah Raji ramai sekali. Banyak orang sibuk mempersiapkan resepsi pernikahan. Di halaman rumah itu terpasang terob. Begitu masuk, ada dua pohon pisang menghiasi pintu masuk. Tampak olehku pelaminan yang sangat indah. Ada air mancur di depan pelaminan itu. Bunga-bunga menghiasi sekelilingnya. Baunya wangi semerbak. Musik diputar begitu kerasnya sehingga ketika berbicara kami harus sedikit berteriak.
***





2
REOG PONOROGO

Ibu membantu mempersiapkan makanan dan snack untuk para tamu. Aku dan bapak pergi ke rumah Andika. Rumah Andika tidak jauh dari rumah Mbah Raji. Aku tidak menyia-siakan kesempatan baik ini. Selagi ada di Ponorogo, aku ingin sekali melihat Reog secara langsung. Pakdhe Dion bersedia mengantarku berkeliling Ponorogo dengan mobilnya.
Aku, bapak dan Andika mengikuti Pakdhe Dion. Kami berputar-putar di kota Ponorogo. Satu hal yang kurasa unik di kota ini adalah adannya bundaran di setiap perempatan jalan. Di bundaran itu berdiri kokoh sebuah patung para pemeran reog dan juga pemegang piala Adipura.
Kata pakdhe, adanya bundaran di setiap perempatan itu digagas oleh bupati Ponorogo Markum Singodimejo. Setiap bupati yang menjabat di Ponorogo memiliki cirikhas sendiri-sendiri. Ada juga bupati yang menyarankan warganya membangun patung reog atau gapura reog di setiap ujung jalan. Saya melihat sendiri bangunan itu di pintu masuk gang atau pintu masuk jalan. Adanya pemandangan itu membuat Ponorogo semakin khas dan unik.
Setelah beberapa lama berputar-putar, kami diajak ke sebuah gedung kesenian. Namanya adalah Padepokan Reog. Di sana ada latihan tari Reog. Menurut pakdhe, latihan itu dilakukan untuk persiapan mengikuti Festival Reog yang dilaksanakan setiap tahun.
Luar biasa! Sekelompok orang memainkan peran masing-masing dengan penuh kesungguhan sehingga latihan itu seperti pementasan yang sesungguhnya. Semua gerakannya sangat indah. Pantaslah kalau Malaysia pernah mengakui Reog tersebut sebagai miliknya. Padahal, Reog Ponorogo merupakan seni tradisional asli Ponorogo. Keberadaannya kini tidak hanya dijumpai di Ponorogo saja. Reog sudah terkenal hingga ke manca Negara.
Aku mengagumi kesenian reog itu. Betapa hebat nenek moyang yang telah menciptakan kesenian itu. Pastilah mereka memiliki nilai seni yang tinggi. Mereka bukan orang biasa-biasa saja. Bagaimana mungkin orang biasa bisa menciptakan kesenian yang terpadu antara musik, gerakan dan perlengkapan yang luar biasa.
Di pedepokan Reog itu, kami duduk di tempat yang memang sengaja diperuntukkan untuk para penonton. Di sebelah bapak, ada seorang yang barpakaian serba hitam, pakaian warok. Rupanya ia adalah pimpinan kelompok reog yang sedang latihan itu. Orang itu bercerita banyak hal tentang Reog.
“Aku heran, mengapa Malaysia mengakui reog Ponorogo? Padahal, saya lihat sendiri upaya pelestarian Reog di Ponorogo sangat luar biasa. Bagaimana ceritanya tentang pengakuan reog itu, Pak?” tanya bapak pada bapak berpakaian warok itu.
“Orang Ponorogo sangat kecewa saat mendengar kabar dari situs internet milik Kementeria Malaysia. Di situ Malaysia mengklaim bahwa tarian Barongan yang mirip dengan kesenian reog Ponorogo tersebut adalah milik Malaysia.
Padahal, Pemerintah Kabupaten Ponorogo telah mendaftarkan tarian reog Ponorogo sebagai hak cipta milik kabupaten Ponorogo tercatat dengan nomor 026377 tertanggal 11 Februari 2004 dan diketahui langsung oleh menteri hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia” tutur bapak itu dengan geram setelah ditanya bapak tentang pengakuan reog Ponorogo oleh Malaysia.
“Malaysia mengaku kesenian reog adalah miliknya padahal untuk memiliki peralatan tersebut mereka membeli dari ponorogo. Mana mungkin Malaysia memiliki kesenian reog dan tidak mampu membuat peralatannya sendiri?” lanjut orang yang memakai baju warok tadi.
“Bagaimana Bapak tahu kalau Malaysia mendapatkan Reog dari Ponorogo?” Tanya bapak.
”Saya sebagai pemerhati reog sempat melakukan pengecekan ke beberapa perajin reog di Ponorogo dan hasilnya para pengrajin mengaku mendapatkan pesanan dari Malaysia.” Jawab bapak itu sambil menyalakan rokoknya. “Kamu bukan orang Ponorogo?” tanyanya pada Bapak.
“Saya dari Surabaya, Pak. Kebetulan kami berkunjung ke rumah saudara sekalian ingin melihat pertunjukan reog” jawab bapak.
“Apa yang hebat dari pertunjukan reog menurutmu, Nak? Tanyanya padaku.
“Orang yang ada di dalam reog itu, Kek” jawabku.
“O itu. Pembawa barongan itu disebut pembarong. Tugasnya sebagai pemanggul dadak merak”
“Barapa berat reog itu?” tanyaku penasaran melihat seorang pembarong memikul reog sebesar itu.
“Kira-kira 40 sampai 50 kilo”
“Ha…. Kok kuat? Ia kan sambil menari-nari?” tanyaku lagi.
“Pembarong, harus memiliki kekuatan ekstra. Dia harus mempunyai kekuatan rahang yang baik, untuk menahan gigitan beban darak merak, sebentuk kepala harimau dihiasi ratusan helai bulu-bulu burung merak setinggi dua meter selama masa pertunjukan.
Tidak hanya itu, kadang-kadang seorang pembarong juga memangkul manusia di atas kepala harimau bahkan juga memangkul barongan dengan berat yang sama dengan barongan yang telah dipangkulnya. Jadi jika barongan rata-rata seberat 40 kg ditambah satu barongan lagi menjai seberat 80 kg. Belum lagi, dalam adegan reog Ponorogo ada atraksi jungkir balik, Oleh karenanya seorang pembarong harus memiliki kekuatan yang luar biasa”
“Hebat sekali” kataku sambil menggelengkan kepala.
“Apa ada unsur lain yang menguatkan para pembarong?” Tanya bapak.
“Ada. Instrumen pengiringnya, yaitu: kempul, ketuk, kenong, genggam, ketipung, angklung dan terutama salompret, menyuarakan nada slendro dan pelog. Alunan nadanya penuh dengan nuansa unik, menggairahkan dan penuh semangat. Itu bisa membuat pembarong bersemangat.”
“Apa benar ada yang menggunakan kekuatan supranatural pada pementasan Reog Ponorogo?” Tanya Pakdhe Dion.
“Seorang pembarong pun harus dilengkapi dengan sesuatu yang disebut kalangan pembarong dengan wahyu. Wahyu inilah yang diyakini para pembarong sebagai sesuatu yang amat penting dalam hidup mereka. Tapi… seiring dengan berkembangnya zaman, kini telah banyak lahir pembarong muda, yang telah meninggalkan hal-hal yang berbau mistis. Mereka lebih rasional.
Seorang pembarong, harus tahu persis teori untuk menarikan dadak merak. Bila tidak, gerakan seorang pembarong bisa terhambat dan mengakibatkan cedera. Setiap gerakan semisal mengibaskan barongan ada aturan bagaimana posisi kaki, gerakan leher serta tangannya. Biasanya seorang pembarong tampil pada usia muda dan segar. Menjelang usia 40-an tahun, biasanya kekuatan fisik seorang pembarong, mulai termakan dan perlahan dia akan meninggalkan profesinya.
Saat ini, banyak pembarong tidak menggunakan kekuatan supranatural dalam pementasan. Namun sebenarnya kekuatan gaib adalah elemen spiritual yang menjadi nafas dari kesenian ini. Sama halnya dengan warok, kini pun persepsi pembarong digeser. Lebih banyak dilakukan dengan pendekatan rasional dengan latihan fisik yang teratur dan terarah.” jelasnya panjang lebar.
“Siapa saja tokoh dalam tari reog itu, Kek? tanyaku lagi.
“Satu kelompok Reog terdiri dari dua warok tua, sejumlah warok muda, pembarong dan penari Bujang Ganong dan Prabu Kelono Suwandono. Jumlahnya berkisar antara 20 hingga 30-an orang. Peran sentral berada pada tangan warok dan pembarongnya. Ini saya tunjukkan ketentuan penampilan reog untuk festifal yang akan datang.” Kakek itu menunjukkan brosur pada bapak. Aku pun melihatnya. Berikut ini adalah tabel Unsur-unsur dalam penampilan Reog Ponorogo yang tertulis pada brosur kakek itu.
No
Tugas
Jumlah Minimal
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Warok tua
Penari warok
Penari Jathilan
Penari Bujangganom
Penari Kelonosewandono
Pembarong
Pengrawit dan Penyenggak / Vokal
2 orang
10 orang
4 orang
1 orang
1 orang
2 orang
14 orang


Jumlah Minimal
32 orang

( Sumber:Dinas Pariwisata dan Seni Budaya Kabupaten Ponorogo)
Selain itu, disebutkan juga peralatan gamelan Instrumen pengiringnya, yaitu:
1. Satu buah kendang yang bentuknya bulat panjang.
2. Satu buah trompet/ peniup.
3. Dua buah ketug atau kenong
4. Satu buah tipung
5. Dua buang angkung
6. Satu buah kempul
7. Satu buah Gayor untuk bergantung ketuk, kenong dan kempul.
Adapun Pelaku-pelaku di dalam penampilan Reog adalah sebagai berikut:
1. Prabu Klonosewandono.
Pelakunya berpakaian seperti Prabu Bolodewo dalam pewayangannya dan memakai topeng Klonosewandono yang bermuka merah. Alat-alat yang harus dilengkapi adalah celana panjang cinde warna merah, Kain panjang atau jarit parang barong warna putih, stagen cinde warna merah, uncal, sampur merah dan kuning. Ulur merah, cakep warna merah, keris Blagkrok, Topeng, binggel dan pecut Samandiman.
2. Pujangganom atau Pujanggo Anom. Pelakunya memakai topeng Pujangganom yang matanya melotot, hidunnya besar dan rambutnya terurai menkutkan.
3. Singobarong, yaitu nama seekor raja harimau yang gagah perkasa, berambut gimbal, diatasnya bediri seekor Raja Merak yang amat elok rupawan yang sedang mengembangkan bulu sayap dan ekornya. Barongan dan dhadak merak.adalah dua buah benda yang masing-masing bisa dipisahkan. Kalau dua benda itu disatukan benda itu menjadi Reog yang beratnya mencapai 40 kg.
4. Pembarong adalah seorang laki-laki dewasa yang menjalankan barongan dan dhadak merak. Pakaian yang dipakai pembarong adalah: celana panjang gombyok, embong gombyok, sabuk/ epek timang hitam, stagen, cakep hitam, dan baju kimpleng merah. Seorang pembrong haruslah kuat. Biasanya badan seorang pembarong sangatlah kekar dan tangguh. Selain itu juga harus memiliki kekuatan rahang yang baik untuk menahan gigitan beban Reog.
5. Warok tua yaitu orang yang setia dan taat pada kepercayaannya. Warok tua adalah tokoh pengayom, sedangkan warok muda adalah warok yang masih dalam taraf menuntut ilmu.
6. Jathilan yaitu kuda kepang yang menggambarkan prajurit berkuda. Pada zaman dahulu yang menaiki kuda kepang adalah laki-laki yang belum dewasa dan bagus parasnya. Sebenarnya jathil adalah bakal warok atau bila gagal akan disebut sebagai jathilan atau pria yang dianggap seperti wanita, sekalipun berkelamin pria. Tetapi pada zaman sekarang sudah tidak pernah ada laki-laki yang menjadi jathil melainkan wanita .
7. Potrodjoyo dan Potrothole, yaitu dua orang yang memakai topeng berlainan. Gerakannya lucu. Dagelan ini tidak merupakan syarat wajib dalam penampilan Reog. Ini hanya sebagai pengisi waktu jika ada waktu luang dalam penampilan reog.
Keseluruhan unsur diatas merupakan pelaku-pelaku yang merupakan satu unit kesenian Reog Ponorogo.
Setelah selesai membaca seluruh brosur itu, bapak mengembalikannya pada kakek tadi. Namun tiba-tiba kakek itu menitikkan air mata.
“Kenapa bapak menangis?” Tanya Pakdhe Dion.
“Aku teringat almarhum Bapak Heru Subeno, Mbah Darwi dan Mbah Wo Kucing. Ponorogo telah kehilangan pakar dan pemerhati reog. Perjuangan dan peran serta mereka dalam pelestarian kesenian reog sangat luar biasa. Cita-cita luhurnya untuk melestarikan reog akan terus dikenang oleh masyarakat sampai kapan pun. Sebelum meninggal, bapak Heru Subeno menjadi pelatih pada paguyupan Reog perwakilan Kecamatan Kota. Beberapa bulan latihan dilakukan dengan kerja keras.
Hasilnya, baru sekali dalam sejarah Ponorogo menjadi pemenang pertama dalam festival Reog. Sebenarnya masih banyak cita-cita yang akan diraihnya. Tapi…. Kehendak yang Kuasa lain. Tuhan telah memanggilnya.” Kakek itu berhenti berbicara. Ia mengusap air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Ia lalu menyalami dan meninggalkan kami.
Aku pun tercengang mendengar cerita kakek itu. Betapa sedih kehilangan orang yang sangat diperlukan. Tapi aku yakin reog di Ponorogo tidak akan pernah punah. Anak-anak seusia Andika sudah memiliki rasa cinta pada reog. Aku melihat sendiri bagaimana anak-anak sudah mencintai reog sejak kecil. Seakan-akan jiwa reog sudah mendarah daging bagi masyarakat Ponorogo.
“Kapan saja ada pementasan reog di Ponorogo, Pakdhe?” tanyaku pada pakdhe.
“Sering ada pementasan reog di Ponorogo. Reog biasanya dipentaskan dalam beberapa peristiwa. Misalnya, pernikahan, khitanan, hari-hari besar Nasional, pada festival reog, hari jadi Ponorogo masih banyak lagi.”
“Bagaimana urut-urutan tarian reog?” tanyaku lagi.
“Tarian Reog Ponorogo terdiri dari beberapa rangkaian 2 sampai 3 tarian pembukaan. Tarian pertama dibawakan oleh 6-8 pria gagah berani dengan pakaian serba hitam. Muka mereka dipoles warna merah. Para penari ini menggambarkan sosok singa yang pemberani.
Berikutnya adalah tarian yang dibawakan oleh 6-8 gadis yang menaiki kuda. Pada reog tradisionil, penari ini biasanya diperankan oleh penari laki-laki yang berpakaian wanita. Tarian ini dinamakan tari jaran kepang, yang harus dibedakan dengan seni tari lain yaitu tari kuda lumping. Tarian pembukaan lainnya jika ada biasanya berupa tarian oleh anak kecil yang membawakan adegan lucu.
Setelah tarian pembukaan selesai, baru ditampilkan adegan inti yang isinya bergantung kondisi dimana seni reog ditampilkan. Jika berhubungan dengan pernikahan maka yang ditampilkan adalah adegan percintaan. Untuk hajatan khitanan atau sunatan, biasanya cerita pendekar,
Terkadang seorang pemain yang sedang pentas dapat digantikan oleh pemain lain bila pemain tersebut kelelahan. Yang lebih dipentingkan dalam pementasan seni reog adalah memberikan kepuasan kepada penontonnya.
Adapun adegan terakhir adalah singa barong, dimana pelaku memakai topeng berbentuk kepala singa dengan mahkota yang terbuat dari bulu burung merak.” tutur pakdhe panjang lebar.
Setelah semua pertunjukan selesai dan semua pemeran sudah melakukan latihan, kami meninggalkan Padepokan Reog. Selanjutnya, pakdhe Dion mengantar kami ke rumah bapak bapak Sarbani.
***
Bapak Sarbani adalah pengrajin reog yang tinggal di jalan Jola-joli nomor 90 Tambakbayan Ponorogo. Aku ingin melihat pembuatan reog dari dekat.
Dari depan rumah bapak Sarbani, orang bisa menebak kalau pemilik rumah itu adalah seorang pengrajin reog karena ada sebuah reog di teras rumah. Selain itu berbagai peralatan tampak berserakan di sana-sini. Bapak Sarbani orangnya ramah dan baik. Beliau mempersilahkan kami dengan ramah. Usianya lima puluhan tahun Setelah memperkenalkan diri, kami pun bertanya banyak hal soal proses pembuatan Reog.
“Sejak kapan bapak menekuni usaha sebagai pengrajin reog ini?” tanya bapak mengawali pembicaraan.
“Sejak tahun 1957. Awalnya saya melihat teman saya membuat reog. Kemudian saya mencoba mengembangkan usaha sendiri.”
“Adakah Negara lain yang memesan reog kepada Bapak?” tanyaku.
“Ada”
“Malaysia ya pak?”
“Salah satunya Malaysia. Ada juga dari Amerika dan Siria”
“Berapa lama waktu yang diperlukan untuk membuat sebuah reog?” Tanya bapak.
“Pembuatan satu unit Reog memerlukan waktu paling cepat 2 bulan ditambah beberapa hari untuk memberikan tambahan monte dan manik-manik. Kerangka Reog bisa diselesaikan dalam waktu 15 hari. Pembuatan kepala harimau diselesaikan oleh pekerja perempuan dalam waktu 20 hari. Kerangka burung 5 hari dan kerangka arya pitulimo selama 15 hari.
Waktu yang paling lama adalah pada saat pembuatan rangka yang terbuat dari kayu dhadap, bambu, rotan dan benang. Pemasangan rangka bisa mencapai 15 hari. Setelah membuat rangka, barulah melakukan pemasangan bulu merak yang memakan waktu hingga sepekan” jelas bapak Sarbani.
“Dari mana mendapatkan bulu meraknya? Bukankah di Indonesia merak adalah hewan yang dilindungi?” Tanya Andika.
“Ya memang. Tapi saya masih bisa mendapatkan dari Cepu, Bojonegoro, Surabaya, Situbondo dan bahkan dari Sumatera. Kadang juga harus diimpor langsung dari India dan Malaysia.”
“Berapa jumlah bulu yang diperlukan untuk sebuah reog?” tanyaku.
“Satu unit Reog memerlukan 2 juta biji bulu merak. Satu putaran sebanyak 160 bulu, 100 merak dan 1 dada harganya Rp. 1,5 - 2,5 juta tergantung besar dan kecilnya.”
“Wah banyak sekali! Lalu kepala harimaunya didapat dari mana? Bukankah harimau juga hewan yang dilindungi?” tanyaku lagi.
“Untuk kepala harimau, harga satu kulit harimau yang baik adalah berasal dari Sumatra harganya adalah 17 sampai 18 juta. Tapi itu jarang ada. Kalau ada harganya terlalu mahal. Oleh karena itu, kepala harimau kadang dibuat tidak asli dari kulit harimau.”
“Mata barongan itu dari apa bahannya?” Tanya Andika.
“Biji matanya terbuat dari kaca atau kelereng,” jawab pak Sarbani singkat.
“Lalu rambut barongan itu dari rambut apa?” tanyaku sambil menunjuk reog yang dipajang di dinding.
“Rambut itu didapat dari ekor kuda. Kadang-kadang dari ekor sapi juga. Dengan adanya rambut itu kepal harimau tampak hidup dan gagah”
“Wou… Ternyata membuat reog sungguh rumit dan mahal bahannya. Kalau sudah jadi, berapa harga sebuah reog?” tanyaku.
. “Jika sudah jadi satu unit Reog, harga jualnya per unit mencapai 45 sampai 50 juta”
Begitulah kami bertanya jawab dengan bapak Sarbani yang memiliki 12 orang karyawan. Setelah puas mengetahui banyak hal tentang pembuatan reog kami berpamitan.
***
Pakdhe mengajak kami singgah ke rumah temannya. Katanya, temannya itu adalah seorang pembarong. Rupanya Pakdhe tahu benar kalau saya sangat penasaran dengan pembarong sang membawa dadak merak yang beratnya 50 kilo itu.
“Tidak sulit mendapatkan seorang pembarong di Ponorogo ini, nak Fahri,” katanya. “Setiap kecamatan dipastikan memiliki paguyuban Reog”
“Apa pekerjaan pembarong itu, Pakdhe?” tanyaku.
“Biasanya para pembarong memiliki pekerjaan lain yang bisa digunakan untuk menopang perekonomian keluarga. Mereka ada yang jadi seorang guru, pegawai, petani dan wiraswasta. Sama saja dengan orang kebanyakan”
“Mengapa mereka menjadi pembarong?” Tanyaku.
“Seseorang menjadi seorang pembarong karena beberapa hal. Diantaranya adalah karena mendapatkan wahyu. Wahyu didapatkan karena ada garis keturunan seorang pembarong. Namun tidak setiap pembarong mendapatkan wahyu. Banyak juga yang menjadi pembarong karena keinginannya untuk melestarikan kesenian Reog. Kalau teman Pakdhe, menjadi pembarong karena memiliki jiwa seni untuk mementaskan Reog. O ya, ada juga yang menjadi pembarong karena hobi. Alasan menjadi seorang pembarong itu bermacam-macam” tutur pakdhe.
Kami tiba di rumah teman Pakdhe. Namanya adalah bapak Tubi. Tubuhnya kekar dan lehernya besar. Giginya kuat dan putih. Tampak sekali kalau bapak Tubi rajin merawatnya.
Pakdhe memperkenalkan kami pada pak Tubi. Dengan ramah ia mempersilakan duduk. Kami pun berbincang-bincang dengan santai di teras rumahnya sambil melihat tanaman hias yang beraneka warna bunganya. Di depan rumahnya juga ada sebuah kolam kecil yang ada air mancurnya. Aku menilai selera seni pak Tubi ini sangat besar.
“Sejak kapan Bapak menjadi pembarong?” tanyaku.
“Sejak saya masih remaja”
“Apa tugas pembarong itu?”
“Tugasnya adalah menggigit dan memangkul Barongan Reog Seberat 50-60 kg dalam pementasan reog”
“Digigit?”
“Ya. Pembarong, harus memiliki kekuatan ekstra. Dia harus mempunyai kekuatan rahang dan gigi”
“Apakah semua orang bisa menjadi pembarong?” Tanya Andika.
“Siapa saja bisa menjadi pembarong asalkan memiliki persyaratan tertentu”
“Apa saja?”
“Memiliki kepedulian terhadap kelangsungan Kesenian Roeg Ponorogo, memiliki jiwa seni, memiliki kesenangan terhadap kesenian Reog Ponorogo, memiliki dorongan dari dalam hati nurani untuk menjadi seniman Reog, mau berlatih dengan tekun dan bersungguh-sungguh, memiliki rahang yang kuat, memiliki gigi-gigi yang kuat dan yang juga memiliki tubuh yang kuat.”
“Wah berat juga ya? Pada saat akan tampil, apa yang Bapak persiapkan?”
“Mempersiapkan diri dengan baik paling tidak dua hari sebelum tampil. Saya harus menyusun tenaga dengan banyak istirahat. Juga, minum Jamu dan menjaga gigi dengan baik. Untuk itu saya mengurangi makanan yang terlalu panas atau terlalu dingin. Menjaga stamina tubuh agar tatap fit dan berenergi. Begitulah.” Jelas pak Tubi.
Sebenarnya kami masih mau berbicara banyak hal tentang pembarong, namun Pak Tubi harus melatih tari reog di aloon-aloon. Setiap malam bulan purnama ada pementasan reog di aloon-aloon. Yang menampilkan reog dijadwal oleh pemerintah daerah secara bergantian. Kebetulan pak Tubi menjadi pemimpin paguyupan reog yang akan mengisi pementasan malan bulam purnama mendatang. Kami pun berpamitan pulang.
***
Semakin mengetahui banyak hal tentang Reog Ponorogo, saya merasa semakin penasaran untuk mengetahui lebih banyak lagi.
“Bagaimana sebenarnya sejarah asal mula reog itu, Pakdhe?” tanyaku.
“Wah kalau masalah sejarah reog, banyak versinya. Saya sempat membaca sejarahnya dari internet tepatnya di Wikipedia. Dikatakan di situ, pada dasarnya ada lima versi cerita populer yang berkembang di masyarakat tentang asal-usul Reog dan Warok. Salah satu cerita yang paling terkenal adalah cerita tentang pemberontakan Ki Ageng Kutu,
Ki Ageng Kutu murka akan pengaruh kuat dari pihak rekan Cina rajanya dalam pemerintahan dan prilaku raja yang korup, ia pun melihat bahwa kekuasaan Kerajaan Majapahit akan berakhir. Ia lalu meninggalkan sang raja dan mendirikan perguruan dimana ia mengajar anak-anak muda seni bela diri, ilmu kekebalan diri, dan ilmu kesempurnaan dengan harapan bahwa anak-anak muda ini akan menjadi bibit dari kebangkitan lagi kerajaan Majapahit kelak. Sadar bahwa pasukannya terlalu kecil untuk melawan pasukan kerajaan maka pesan politis Ki Ageng Kutu disampaikan melalui pertunjukan seni Reog, yang merupakan "sindiran" kepada Raja Bra Kertabumi dan kerajaannya. Pagelaran Reog menjadi cara Ki Ageng Kutu membangun perlawanan masyarakat lokal menggunakan kepopuleran Reog.
Dalam pertunjukan Reog ditampilkan topeng berbentuk kepala singa yang dikenal sebagai "Singa Barong", raja hutan, yang menjadi simbol untuk Kertabumi, dan diatasnya ditancapkan bulu-bulu merak hingga menyerupai kipas raksasa yang menyimbolkan pengaruh kuat para rekan Cinanya yang mengatur dari atas segala gerak-geriknya.
Jatilan, yang diperankan oleh kelompok penari gemblak yang menunggangi kuda-kudaan menjadi simbol kekuatan pasukan Kerajaan Majapahit yang menjadi perbandingan kontras dengan kekuatan warok, yang berada dibalik topeng badut merah yang menjadi simbol untuk Ki Ageng Kutu, sendirian dan menopang berat topeng singabarong yang mencapai lebih dari 50kg hanya dengan menggunakan giginya.
Populernya Reog Ki Ageng Kutu akhirnya menyebabkan Kertabumi mengambil tindakan dan menyerang perguruannya, pemberontakan oleh warok dengan cepat diatasi, dan perguruan dilarang untuk melanjutkan pengajaran akan warok. Namun murid-murid Ki Ageng kutu tetap melanjutkannya secara diam-diam.
Walaupun begitu, kesenian Reog masih diperbolehkan untuk dipentaskan karena sudah menjadi pertunjukan populer diantara masyarakat. Namun, jalan ceritanya memiliki alur baru dimana ditambahkan karakter-karakter dari cerita rakyat Ponorogo yaitu Kelono Sewondono dan Dewi Songgolangit.”
“Cerita asal mula reog versi lainnya bagaimana?” tanyaku.
“Ceritanya tentang Raja Ponorogo yang berniat melamar putri Kediri, Dewi Ragil Kuning, namun ditengah perjalanan ia dicegat oleh Raja Singabarong dari Kediri.
Pasukan Raja Singabarong terdiri dari merak dan singa, sedangkan dari pihak Kerajaan Ponorogo Raja Kelono dan Wakilnya Bujanganom, dikawal oleh warok (pria berpakaian hitam-hitam dalam tariannya), dan warok ini memiliki ilmu hitam mematikan.
Seluruh tariannya merupakan tarian perang antara Kerajaan Kediri dan Kerajaan Ponorogo, dan mengadu ilmu hitam antara keduanya, para penari dalam keadaan 'kerasukan' saat mementaskan tariannya. Masyarakat Ponorogo mengikuti apa yang menjadi warisan leluhur mereka sebagai warisan budaya yang luar biasa, begitu!” jelas pakdhe. “Ngomong-ngomong, kita belum makan nih. Bagaimana kalau kita cari makan.”
“Kita cari minum dulu, Pak. Haus sekali…” usul Andika.
“Baiklah. Kita akan menikmati minuman khas kota Reog”
“Horeee,” sorak Andika girang.
Aku dan bapak yang belum pernah mengetahui minuman khas Ponorogo hanya dian dan mengikuti saja ajakan pakdhe.
















3
Makanan Khas
“Pergi ke Ponorogo kurang lengkap jika belum minum dawet Jabung.” Ujar Pakdhe.
“Betul!” sahut Andika. Tampaknya ia ingin sekali menikmati dawet Jabung.
“Memang enak?” tanyaku.
“Tidak” jawab Andika bergurau.” Kalau sudah merasakan baru terasa enaknya. He…he…” katanya sambil tertawa-tawa.
“Mengapa namanya dawet Jabung?” Tanya bapak.
“Karena berasal dari desa Jabung kecamatan Mlarak yaitu pusat penjual dawet Jabung. Dawet Jabung sangat terkenal bagi masyarakat Ponorogo. Di desa Jabung, ada deretan warung dawet Jabung. Warung-warung itu selalu ramai oleh pembeli. Pembelinya mulai pejalan kaki sampai pemilik mobil mewah. Letaknya tidak jauh dengan pondok modern darusalam Gontor yang terkenal itu. Oh ya, ada satu hal yang membuat senang banyak orang”
“Apa itu?” tanyaku penasaran.
“Penjualnya” jawab pakdhe singkat.
“Penjualnya bagaimana?”
“Menarik hati. Cuantik. He…he…” jawab Andika cekikikan.
Sesekali tawa kami berderai jika Andika membuat lelucon. Tidak berapa lama, sampailah kami pada warung dawet Jabung yang berderet-deret di pinggir jalan. Pakdhe memesan empat mangkuk dawet Jabung.
Akulah yang pertama kali mendapat kesempatan disodori semangkuk dawet Jabung. Aku menarik lepek atau cawan penyangga mangkuk. Penjual juga menariknya. Sesaat terjadilah tarik-menarik antara aku dengan penjual. Andika yang mengetahui hal itu justru mentertawaiku.
“Ayo terus tarik” katanya setengah mengejek.
Akhirnya penjual itu berkata: “Dik lepeknya hanya satu. Yang diambil mangkuknya saja”
“He…. He…. Aku sengaja tidak memberitahukan hal ini. Aku ingin mengetahui apa yang akan terjadi jika pembeli tidak mengetahui kebiasaan yang teradi di sini. Nah benar juga dugaanku. Banyak pendatang menarik lepek itu. Padahal, lepek itu tidak boleh ditarik, Ada mitosnya” jelas Pakdhe.
“Maaf, aku tidak tahu” kataku.
Aku lalu menyeruput dawet yang telah dihidangkan. Wow… Rasanya mak nyus.
“Apa bahan-bahannya?” tanyaku.
“Cendolnya terbuat dari tepung garut, santan dan kuahnya terbuat dari gula putih dimasak beraroma pandan wangi. Juga tape ketan hitam. Juruhnya terbuat dari saus gula putih yang dicampur dengan legen. Legen adalah hasil nderes (panen) bunga batang aren lalu airnya di tampung dalam wadah bumbung bambu, biasanya di panaskan sedikit supaya tidak cepat basi. Jika legen tidak cepat digunakan, semalam saja legen akan menjadi minuman yang memabukkan” jelas mbak penjual yang cantik itu.
”O ya apa mitosnya tadi, Pakdhe?” tanyaku.
“Mitos yang dipercaya oleh masyarat Ponorogo adalah, jika ada pembeli laki-laki yang mengambil lepek, dan si penjual membiarkannya berarti sang penjual bersedia “Menikah” dengan laki-laki tersebut, sebaliknya jika laki-laki tersebut sengaja mengambil lepek berarti ia “Naksir” terhadap penjualnya.”
Aku malu sekali mendengar cerita itu. Pantas saja Andika mentertawaiku. Itulah keunikan dawet Jabung Ponorogo. Selain unik, rasanya memang enak dan nikmat sekali. Tidak heran jika orang penasaran untuk menikmati dawet Jabung. Dawet Njabung tidak membuat orang bosan meminumnya. Saya pasti ketagihan jika lama tidak meminumnya. Orang-orang Ponorogo biasa mampir ke angkringan dawet Njabung pada siang hari untuk sekedar menghilangkan dahaga.
Penjual sangat perigel mengambil mangkuk, cawan, memegang irus (gayung) yang bertangkai tokoh wayang, Janoko. Lalu Menyiduk cendol, santan, juruh, air garam, tape ketan hitam, gempol dan memberikan es batu sesuai dengan selera pembeli. Dawet itu lalu disajikan dalam mangkuk dan sendok bebek di atas tatakan kecil.
Sambil menanti penyajian dawet para pembeli bisa menikmati berbagai hidangan yang ada di meja. Jajanannya yaitu: tempe goreng, cucur, pisang goreng, tape ketan, pia-pia, tahu isi, lumpia, dadar gulung, gethuk, tahu goreng, rimbil dan gandos. Itu semua adalah makanan khas di desa Njabung.
“Sejak kapan ada dewet Jabung ini, Mbak?” tanyaku.
“Wah… tidak tahu mas. Sejak nenek moyang” jawab mbak penjual dengan suara yang merdu.
“Begini ceritanya, Fahri. Dulu adanya dawet Jabung berkaitan erat dengan legenda warok Suromenggolo, yang terkenal sakti mandraguna dan merupakan tangan kanan R. Bhatoro katong. Suatu hari Warok Suromenggolo terlibat perang tanding melawan Jim Klenting Mungil yang menguasai gunung Dloka dan mempunyai pusaka andalan yaitu Aji dawet upas.
Ajian ini berbentuk cendol dawet yang terbuat dari mata manusia. Terkena ajian dawet upas seketika tubuh warok Suromenggolo menderita luka bakar dan ia pingsan seketika” tutur Pakdhe Dion.
“Kok bapak tahu?” Tanya Andika.
“Ya dong. Bapak membaca sejarah Ponorogo. Makannya kamu harus rajin membaca.”
“Kelanjutan cerinya tadi bagaimana?” tanyaku.
“Warok Suromenggolo akhirnya ditolong oleh seseorang pengembala sapi bernama Ki Jabung. Setelah diguyur dawet buatan Ki Jabung, seketika luka yang diderita Warok Suromenggolo sembuh, bahkan dapat mengalahkan Jim Klenting Mungil dan Jim Gento. Sebagai ungkapan terima kasih, Warok Suromenggolo bersabda, kelak masyarakat desa Jabung akan hidup makmur karena berjualan dawet. Begitulah ceritanya. Kini hampir seluruh warga desa Jabung berjualan dawet. Walaupun hanya warung dawet sederhana, namun rata-rata kehidupan mereka berkecukupan” tutur Pakdhe Dion.
“Apakah hal ini berkat sabda Warok Suromenggolo?” Tanya bapak yang sejak tadi diam saja sambil menikmati tahu goreng.
“Mungkin. Namun tidak ada yang bisa membuktikannya. Yang jelas dawet Jabung adalah warisan dari nenek moyang”
Setelah perut kami kenyang dengan jajanan meja dan dawet Jabung, Pakdhe menanyakan jumlah yang harus dibayar. Ternyata
harganya tidak mahal. Satu mangkuk dawet hanya berharga seribu rupiah. Sedangkan jajan per biji hanya senilai limaratus rupiah.
****
“Kamu sudah lapar?” Saya ajak kamu menikmati sate Ponorogo,” kata pakdhe begitu kami dalam perjalanan pulang dari desa Jabung.
“Tidak usah, Mas, Nanti Pakhe Raji kecewa kalau saya tidak makan di rumah” jawab bapak.
“Tenang saja. Dia orangnya baik kok. Mumpung ada di Ponorogo. Tidak lengkap kalau tidak makan sate ayam.”
“Memangnya apa bedanya denga sate ayam kebanyakan?” tayaku.
“Lihat saja nanti. Kita ke Gang Sate di jalan Lawu. Hampir semua orang di gang itu berjualan sate ayam. Ada satu nama yang terkenal yaitu Sobikun. Inilah pelopor sate Ponorogo di gang ini.
Sampai di tempat itu, Pakdhe memesan empat porsi sate ayam. Tidak lupa kami juga memesan minuman. Kami menanti beberapa saat pembakaran satenya. Aku rasa prosesnya tidak berbeda dengan proses penyajian sate lainnya. Setelah siap, sate pun disajikan dengan lontong kupat.
“Coba rasakan bedanya!” kata pakdhe sambil menyodorkan sepiring sate dan lontong kupat.
“Wow… rasanya mak nyus!” kataku menirukan pembawa acara pada wisata kuliner.
Memang benar, sate ayam Ponorogo rasanya gurih dan manis! Potongan dagingnya besar-besar dan panjang. Inilah yang membedakan sate Ponorogo dengan daerah lain.
Sebelum dibakar, daging ayam dibumbui lebih dulu. Selama proses pembakaran, sate ayam dicelupkan dalam larutan gula merah dan kecap berulang-ulang kali sehingga rasanya meresap. Pantas saja banyak orang senang sate Ponorogo.
“Ayo tambah lagi, Fahri!” seru pakdhe.
“Terimakasih, Pakdhe. Saya sudah kenyang.”
Setelah menikmati sate Ponorogo, kami pulang. Hari sudah sore ketika kami tiba di rumah mbah Raji. Aku beristirahat di kamar Andika.
Walau kecil kamar Andika rapi dan bersih. Di dinding kamarnya terpasang sebuah topeng Pujangganom.
“Kamu juga bermain reog?” tanyaku sambil merebahkan tubuhku di tempat tidur Andika.
“Ya. Di sekolahku ada pelajaran Muatan lokal Kesenian Reog”
“Wah… menarik sekali. Apa saja yang diajarkan?”
“Saya diajari sejarah reog Ponorogo, lalu peralatan yang diperlukan pada pementasan reog juga pakaian yang harus dipakai para pemainnya. Pada akhir pelajaran para siswa juga diajari menari reog. Setiap siswa diberi tugas untuk memerankan satu peran karena pemeran dalam reog itu banyak sekali. Saya bersama dua teman saya bertugas sebagai penari Pujangganon. Oleh karena itu aku membeli topeng Pujangganom di aloon-aloon. Namun demikian, pada dasarnya setiap siswa dilatih untuk memerankan tokoh-tokoh dalam reog.”
Aku dan Andika terus becakap-cakap. Tidak terasa lama-lama kami terbawa ke alam mimpi. Kami tertidur pulas setelah seharian berkeliling Ponorogo.


















4
TEMPAT WISATA

Pelaksanaan resepsi penikahan dilaksanakan pada sore hari. Saya masih mempunyai kesempatan untuk berkeliling Ponorogo. Pagi ini aku akan melihat telaga Ngebel. Pakdhe bersedia mengantarkan ke tempat yang indah itu. Kali ini ibu ikut serta karena persiapan pernikahan sudah beres semua.
Kami berangkat pada pukul enam pagi. Pakdhe Dion menyetir mobilnya. Bapak duduk disampingnya. Aku, ibu dan Andika duduk di belakang. Kami pergi bersama ke telaga Ngebel.
Dari brosur tempat wisata Ponorogo yang aku baca, aku mengetahui kalau obyek wisata Telaga Ngebel terletak sekitar 24 km kearah timur laut dari pusat kota Kabupaten Ponorogo Jawa Timur, tepatnya berada di Gunung Wilis dengan ketinggian 750 meter diatas permukaan laut, dengan suhu sekitar 22 derajat celcius. Luas permukaan telaga 15 km dengan dikelilingi jalan sepanjang 5 km.
Di sepanjang perjalanan aku melihat pemandangan yang indah. Begitu tiba di Ngebel, kami semua turun dari mobil. Udara terasa sejuk. Angin sepoi-sepoi di obyek wisata Telaga Ngebel. Pemandangan yang asri dan indah itu sungguh menarik. Aku melihat pencari ikan asyik menangkap ikan di telaga.
Kami lalu masuk ke salah warung untuk makan pagi. Menu utama di warung-warung itu adalah ikan bakar dari telaga. Ikan bakar itu disajikan bersama nasi hangat, sambal dan lalapan. Pagi-pagi makan nasi hangat dan ikan baker rasanya nikmat sekali. Sambil makan aku bias menikmati pemandangan yang indah pula.
Telaga Ngebel dikelilingi popoh-pohon yang rimbun di lereng gunung. Andai saja telaga ini dikembangkan lagi pasti akan menjadi tempat wisata yang menarik seperti telaga Sarangan di Magetan. Tapi sayang sekali tampaknya telaga ini kurang mendapatkan sentuhan.
Sambil menikmati ikan bakar, kami bercakap-cakap tentang berbagai hal. Aku tidak melewati setiap kesempatan untuk mengetahui lebih banyak tentang Ponorogo.
“Selain telaga Ngebel ini, tempat wisata apa yang ada di Ponorogo?” tanyaku setelah menelan nasi dan ikan bakar yang sungguh nikmat rasanya.
“Ponorogo tidak memiliki banyak tempat wisata. Tempat yang sering dikunjungi orang adalah aloon-aloon kota. Setiap sore banyak orang berdatangan kea loon-aloon. Para pedagang meramaikan aloon-aloon. Berbagai makanan dijual di sana. Ada pisang molen, getuk ketela, kacang rebus, kacang goring, martabak, terang bulan, berbagai makanan yang digoreng dan masih banyak lagi.
Selain berbagai jenis makanan, juga tersedia beberapa sarana untuk hiburan anak-anak. Ada persewaan mobil mini, ada kereta wisata, delman dan kemedi putar. Orang tua yang memiliki anak kecil sering pergi kea loon-alonn untuk sekedar menyuapi anaknya.
Banyak juga penjual mainan anak-anak, penjual sepatu, baju dan juga topeng serta peralatan reog Ponorogo. Harga barang-barang yang dijual di aloon-aloon sangat terjangkau sehingga orang lebih senang belanja di sana.” Tutur pakdhe.
“Wah… tampaknya menyenangkan sekali pergi kea loon-aloon?” sahutku. “Kalau ada kesempatan, kita mampir kesana Pakdhe. Saya akan membeli baju warok.”
“Tenang saja. Pasti kamu akan saya antar kesana. O ya…, ada cerita asal-usul telaga ini,” ucap Pakdhe sambil mengigit lalapan kacang panjang.
“Bagaimana ceritanya, Pakdhe?” tanyaku.
“Dulu ada seekor ular naga bernama "Baru Klinting". Sang Ular itu sedang bertapa. Kala itu, secara tak sengaja tubuhnya dipotong-potong oleh masyarakat sekitar untuk dimakan. Ajaib sekali, sang ular menjelma menjadi anak kecil. Anak itu mendatangi masyarakat dan membuat sayembara, untuk mencabut lidi yang ditancapkan di tanah. Orang-orang pun berusaha untuk mencabutnya.
Namun tak seorangpun berhasil mencabutnya. Ia sendirilah yang berhasil mencabut lidi itu. Dari lubang bekas lidi itu keluar air yang kemudian menjadi mata air yang menggenang hingga membentuklah Telaga Ngebel seperti sekarang ini.” tutur Pakdhe.
Setelah selesai makan, kami berputar mengelilingi telaga. Di pinggir-pinggir telaga, terdapat penjual aneka ragam buah seperti durian, manggis, dan pundung.
“Suasana agak sepi pada hari begini. Puncak keramaian terjadi satu tahun sekali. Pada tahun baru Hijriyah atau tahun baru Islam 1 Muharam atau 1 Suro. Dilaksanakan Larungan Sesaji. Sesaji itu berupa gunungan nasi, lauk, sayur dan buah yang sangat besar. Gunungan itu dimasukkan ke dalam telaga. Itulah rutinitas pada tanggal 1 Suro.”
“Wah… aku jadi pengin ke Ponorogo lagi” ucapku.
“Lain kali. Sekarang kita harus cepat pulang untuk persiapan resepsi pernikahan.” Kata ibu.
Kami pun pulang walau hari belum begitu siang.
****
Waktu resepsi pernikahan yang tertulis di undangan tertulis pukul satu siang. Namun acara dimulai pada pukul tiga sore. Kata Ibu, tradisi pernikahan di Ponorogo memang demikian. Waktunya sering molor. Kata orang Ponorogo jam pada resepsi pernikahan adalah jam karet. Karena keterlambatan waktu pelaksanaan, waktu selesainyapun molor juga. Pukul setengah enam acara baru selesai.











5
MITOS

Pada malam hari setelah resepsi pernikahan itu, suasana rumah mbah Raji tidak ramai lagi. Lagu-lagu campursari tidak diputar seperti kemarin. Aku tidak terganggu dengan suara musik yang diputar keras sekali. Orang-orang yang kemarin bekerja di dapur mempersiapkan resepsi pernikahan tampak kelelahan. Mereka pulang ke rumah masing-masing untuk istirahat.
Malam ini kami menginap di rumah mbah Raji. Aku, Andika, bapak dan mbah Raji tiduran di karpet yang digelar di ruang tamu. Namun sampai malam kami tidak bisa tidur. Kami pun berbincang-bincang tentang berbagai hal.
“Sebelum menikah dengan Hartono ini, adikmu pernah menyambung hubungan dengan orang Mirah, tetangga desa sebelah. Namun aku melarangnya. Aku tidak mau sesuatu yang jelek bakal terjadi,” ucap mbah Raji membuka cerita lama putrinya.
“Memangnya mengapa, Pakdhe?” Tanya bapak penasaran.
“Ada mitos yang dipercayai oleh masyarakat di Ponorogo bahwa orang dari desa Mirah tidak boleh menikah dengan orang dari desa Golan. Kepercayaan itu berlaku turun-temurun dari zaman nenek moyang sampai saat ini”
“Apa mitos itu, Pak?” tanyaku begitu mendengar cerita mbah Raji.
“Mitos itu cerita yang diyakini oleh masyarakat dan dijadikan sebagai panutan,” jawab bapak.
“Siapa yang membuat mitos itu?” tanyaku lagi.
“Ada ceritanya tentang asal-mula mitos ini. Kamu mau mengengarkan?” tanya mbah Raji.
“Fahri paling senang mendengarkan cerita, Mbah. Ia tidak pernah menolak untuk mendengar cerita. Setiap malam saya selalu dimintanya bercerita sampai ia terlelap tidur,” kata bapak.
“Ah…bapak membongkar rahasia saja. Bagimana ceritaya, Mhah?”
“Cerintanya panjang. Tidak mengantuk? Benar mau mendengarkan cerita?”
Aku dan Andika mengangguk hampir serentak.
“Begini ceritanya…. Pada permulaan abat XIV tepatnya di desa Golan Kecamatan Sukorejo kabupaten Ponorogo, hiduplah seseorang yang bernama Ki Honggolono. Ia adalah seorang guru yang memiliki murid-murid dan pengikut-pengikutnya.
Ki Honggolono orang yang pemberani dan sakti mandraguna sehingga orang-orang di desa itu segan terhadapnya. Apalagi, ia sebagai seorang kepala desa. Ia amatlah bijaksana dan adil dalam mengambil keputusan. Sehingga rakyatnya sering menjuliki ia dengan sebutan Ki Bayu Kusumo.
Ki Honggolono mempunyai seorang anak laki-laki yaitu si Joko Lancur. Joko Lancur adalah pemuda yang tampan dan gagah berani. Namun, ia mempunyai kegemaran menyabung ayam atau mengadu jago. Kemanapun ia pergi pasti membawa seekor jago, ayam jantan kesayangannya.
Suatu hari ia akan menyabung ayamnya di desa Polorejo dengan seorang teman. Namun, ketika lewat di desa Mirah tiba-tiba ayamnya lepas dari himpitannya dan lari ke belakang rumah bagian dapur Ki Ageng Mirah atau Ki Honggojoyo. Ia adalah adik sepupu dan adik seperguruan Ki Ageng Honggolono.
Adapun yang sedang di dalam dapur Ki Ageng Mirah yaitu seorang gadis cantik yang bernama Mirah Putri Ayu. Ia anak Ki Ageng Honggojoyo yang saat itu sedang membatik kain.
Mirah Putri Ayu terkejut ketika tiba-tiba ada seekor ayam Jago masuk ke rumanya. Lalu Mirah Putri Ayu menangkap dan memegang Jago itu. Ia amat senang karena jago itu amat jinak. Tidak lama kemudian Joko Lancur datang dan masuk ke dalam dapur Ki Ageng Honggojoyo untuk mencari ayamnya.
Joko Lancur terpesona dan kaget ketika masuk dalam dapur itu karena yang dicari-cari dipegang Mirah Putri Ayu, gadis cantik yang menjadi kembang desa Mirah. Orang-orang kagum melihat kecantikannya. Ia selalu menjadi buah bibir warga desa itu. Karena kecantikn itu, orang-orang memanggilnya dengan julukan Putri Mirah Kencono Wungu.
Joko Lancur menjadi gugup dan sulit untuk meminta ayamnya. Ternyata yang terjadi seperti itu bukalah Joko Lancur saja namun begitu juga dengan Putri Mirah Kencono Wunggu. Ia amat terpesona akan ketampanan dan kepolosan Joko Lancur. Keduanya saling pandang dan saling memperkenalkan namanya masing-masing hingga keduanya saling jatuh cinta.
Joko Lancur menanyakan kepada putri Mirah yang cantik jelita itu, mengapa pamannya, Ki Honggolono tidak pernah memperkenalkan anaknya sebelumnya. Lalu putri Mirah menjelaskan bahwa memang ia menjadi gadis pinggitan dan dilarang bergaul dengan pria oleh ayahnya.
Rupanya kedua anak pemuda pemudi itu saling bercanda dan bergurau sehingga mereka lupa waktu. Hingga keduanya kaget ketika mendengar suara Ki Ageng Mirah yang berada di luar rumah. Putri Mirah lekas-lekas menyerahkan ayam jago pada Joko Lancur dan menyuruh Joko Lancur untuk segera pulang. Putri Mirah amat takut dengan bayangan bapaknya jika sedang marah.
Joko Lancur segera beranjak keluar dapur, namun ketika Joko Lancur ingin keluar, ia kepergok oleh Ki Hongojoyo di dekat pintu dapur, sehingga Joko Lancur menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Namun rupanya Ki Ageng Mirah tidak mau menerima alasan itu. Ia marah-marah dan mencaci maki Joko Lancur sebagai pemuda yang tidak tahu diri dan sopan santun, masuk rumah orang tanpa permisi terlebih dahulu
Joko Lancurpun menyesal dan meminta maaf kepada Ki Ageng Mirah. Akhirya ia menyuruh Joko Lancur cepat pergi dari hadapannya. Maka pulanglah Joko Lancur ke desa Golan dengan perasaan malu dan mulai saat itu ia jatuh cinta.
Hari demi hari dilalui Joko Lancur dengan tidak seperti biasanya. Joko Lancur tidak pernah keluar rumah untuk menyabung ayam lagi. Yang ada di benaknya hanya Putri Mirah Ayu. Setiap harinya ia melamun dan berhayal. Ingin sekali ia bertemu dan bercanda tawa bersama Putri Mirah, pujaannya.
Tampaknya hal itu diketahi oleh bapaknya, Ki Honggolono sehingga ia menanyakan kepada Joko Lancur. Mula-mula Joko Lancur tidak mau bicara. Karena setiap hari bapaknya mendesak dan terus bertanya, akhirnya Joko Lancur mengaku. Ia bilang pernah bertemu Putri Mirah Ayu yang menjadi idam-idamannya. Ia ingin sekali membina rumah tangga dengannya. Ki Honggolono sangat kasihan terhadap anak satu-satunya itu yang setiap hari selalu merenung dan melamun.
Ki Honggolono menyuruh salah satu muridnya untuk melamar ke tempat Ki Ageng Mirah. Maka berangkatlah utusan dari desa Golan untuk melamar Putri Mirah.
Setelah sampai di desa Mirah, Ki Ageng Mirah menyambut hangat utusan dari desa Golan, walau dalam hati Ki Ageng Mirah tidak mau mempunyai menantu seorang penjudi dan penyabung ayam. Untuk mengantisipasi dan menggagalkan perkawinan itu, dan agar tidak menimbulkan perselisihan, Ki Ageng Mirah mempunyai siasat untuk menolak secara halus pinangan tersebut. Ia mengatakan bahwa ia menerima lamaran asalkan sanggup mengabulkan syarat yang ia minta.” Mbah Raji menghentikan ceritanya. Ia menyeruput air kopi di cangkir yang sudah mendingin.
“Apa syaratnya tadi, Mbah?” Adika tidak sabar untuk mengetahui cerita.
“Syaratnya ada dua, yaitu pertama membuat bendungan sungai Golan dan airnya dialirkan ke sawah-sawah yang berada di desa Mirah. Kedua, menyerahkan padi satu lumbung yang tidak boleh diantar oleh siapapun atau lumbung tersebut berjalan sendiri.
Itulah syarat-syarat yang diminta Ki Ageng Mirah sebagai siasat untuk menggagalkan perkawinan itu.
Maka pulanglah utusan dari Golan dan melaprokan kepada Ki Honggolono. Katanya, lamaran diterima asal mampu memenuhi persyaratan tersebut. Ki Honggolono sudah tahu dan menyadari hal itu. Ia yang terkenal sakti mandraguna sambil tertawa terkekeh-kekeh menyanggupi permintaan tersebut.
Di desa Mirah, Ki Ageng Mirah masih takut akan kesanggupan Ki Honggolono untuk memenuhi permintaanya. Untuk itu ia meminta bantuan Ki Kluntung Waluh yaitu genderowo untuk menggangu dan menggagalkan pembuatan bendungan serta mencuri padi-padi yang berada di lumbung padi desa Golan.
Sedangkan di desa Golan, Ki Honggolono menyuruh murid-muridnya untuk menggumpulkan padi-padi untuk mengisi lumbung sebagai serahan ke desa Mirah. Namun lumbung padi itu tidak pernah penuh, selalu kurang karena ulah Ki Klunthun Waluh yang selalu mencuri. Maka karena jengkel, Ki Honggolono menyuruh muridnya untuk mengumpulkan jerami dan titen atau kulit kedelai. Lalu dimasukkan ke dalam lumbung padi. Hal tersebut diketahui oleh Ki Klunthung Waluh, maka mulai saat itu ia tidak mencuri lagi.
Pembuatan bendungan juga selalu ambrol akibat gangguan Ki Klunthung Waluh. Karena hal itu, Ki Honggolono memanggil sahabatnya yang bernama Bajul Kowor yaitu pimpinan buaya untuk mebuat bendungan yang airnya dialirka ke sawah-sawah di desa Mirah.
Maka datanglah beribu-ribu buaya yang berjajar dan saling tumpang tindih untuk membuat bendungan. Ki Klunthung Waluh yang selalu menggagalkan usaha pembuatan bendungan itu tertangkap basah oleh Bajul Kowor, sehingga terjadi peperangan setu antara keduanya. Akhirnya Klunthung Waluh tunduk dengan Bajul Kowor dan berjanji tidak akan menggangu lagi. Mulai saat itu pembuatan bendungan lancar dan dapat diselesaikan.
Setelah semua pesiapan siap, berangkatlah iring-iringan penganten laki-laki dari desa Golan ke desa Mirah. Sebelum berangkat, Ki Honggolono menyabda lumbung padi untuk berjalan sendiri ke desa Mirah.
Setelah sampai di desa Mirah, mula-mula Ki Ageng Mirah dan murid-muridnya menyambut hangat kedatangan tamu tersebut. Ki Ageng Mirah juga melihat lumbung padi yang berjalan sendiri. Ia juga melihat lumbung padinya penuh. Sepintas isi lumbung padi itu penuh dengan padi, namun dengan kesaktiannya Ki Ageng Mirah bisa melihat bahwa isi lumbung itu ada titen, jerami dan titen,kulit kedelai.
Mengetahui hal tersebut, dia berkata kepada para siswanya untuk melihat isi lumbung yang berisi jerami dan kulit kedelai semuanya. Ia rupanya menyulap agar semua padi yang ada di lumbung menjadi damen dan titen semua tampa tersisa padinya.
Ki Honggolono menjadi marah karena perkawinan Joko Lancur digagalkan. Maka terjadilah perang mulut antara guru dengan guru dan murid dengan murid yang akhirnya menjadi perang tanding, adu jotos dan adu kesaktian.” Mbah Raji menghentikan ceritanya lagi. Ia menyalakan rokoknya. Mendengar cerita itu aku sampai-sampai menahan napas karena penasaran.
“Siapa yang menang, Mbah?” tanyaku.
“Dengar dulu saja. Masih ada cerita sebelum penentuan menang dan kalah,” ucap Mbah Raji setelah mengeluarkan asap rokok dari hidung dan mulutnya.
“Nah sekarang saya lanjutkan. Selama terjadi perang tanding antara kedua bersaudara tersebut, Joko Lancur mencari-cari Putri Mirah Ayu. Setelah bertemu kedua insan yang sedang kecewa dan sakit hati tersebut memutuskan untuk bunuh diri bersama.
Ketika peperangan sedang terjadi, tiba-tiba bendungan yang dibendung oleh Bajul Kowor ambrol dan terjadilah banjir. Akibatnya banyak mayat-mayat yang hanyut terbawa air. Ki Ageng Mirah juga ikut hanyut terbawa air namun ia belum mati.
Setelah peperangan berakhir, Ki Honggolono mencari anaknya yaitu Joko Lancur. Dia mendapati anaknya sudah mati bunuh diri bersama putri Mirah. Jenasah keduanya lalu dimakamkan di kuburan Setono Wunggu.
Setelah selesai menguburkan jasad anaknya segeralah Ki Ageng Honggolono menggumpulkan sisa-sisa orang-orang Golan dan orang-orang Mirah, dan bersabdalah Ki Ageng Honggolono, yaitu: Pertama, Orang Golan dan orang Mirah serta keturunanya tidak boleh mengadakan perjodohan. Kedua, segala sesuatu/barang (berupa kayu, air dan barang lainnya) dari Golan tidak bisa dibawa ke Mirah. Ketiga, Barang-barang dari Golan dan dari Mirah tidak bisa disatukan. Keempat, orang Golan tidak boleh m embuat atap dari jerami yang sudah kering. Keempat, orang Mirah dilarang menanam, menyimpan ataupun membuat makanan dari kedelai.
Selain kelima sabda tersebut di atas, Ki Honggolono menambahkan: “Siapa saja yang melanggar aturan tersebut akan celaka.” Selesai bersabda Ki Honggolono beserta pengikut-pengikitnya kembali ke desa Golan dengan perasaan sebal dan kecewa. Begitulah asal-mula mitos yang sampai sekarang dipercaya masyarakat termasuk saya.” Mbah Raji mengakhiri ceritanya.
“Adakah yang melanggar mitos itu, Pakdhe?” tanya bapak.
“Ada. Dulu ada warga desa Golan yang memiliki rumah dari jerami dan akhirnya terbakar. Ada juga orang dari desa Mirah yang sedang hajatan. Orang dari desa Golan membawa beras ke rumah orang yang sedag hajatan itu. Akibatnya, nasi yang dimasak tidak pernah matang. Bahkan ada juga yang melakukan pernikahan antara orang Mirah dan orang Golan. Tidak lama setelah pernikahan, sepasang suami istri itu mendapat kecelakaan sampai meninggal dunia. Karena banyak sekali kejadian aneh itulah saya juga takut. “
“Apa Mbah percaya pada mitos?” tanyaku.
“Mau tidak percaya nyatanya terjadi hal-hal aneh itu. Mau percaya belum ada bukti kebenarannya. Ya, begitulah mitos. Aku hanya tidak menginginkan sesuatu yang jelek terjadi pada keturunanku” jawab Mbah Raji.
Kami berhenti bercerita begitu mendengar suara jam dinding berdenting satu kali.
“Sudah jam satu. Mari tidur” ucap Mbah Raji. Kamipun memejamkan mata lalu tertidur lelap.




6
Selamat Tinggal Bumi Reog

Rasanya belum lama aku tidur. Mataku masih berat untuk dibuka. Tapi ibu sudah membangunkan. Kami harus segera pulang ke Surabaya. Begitu keluar dari ruang tamu, aku melihat banyak orang di halaman. Mereka sibuk membersihkan kotoran tempat snack, membereskan kursi dan membongkar tenda.
Aku harus bersiap-siap pulang ke Surabaya. Sebenarnya aku betah tinggal di Ponorogo, tapi bagaimana lagi? Aku harus masuk sekolah lagi. Setelah siap, aku berpamitan pada mbah Raji dan juga pada pengantinnya. Pakdhe Dion dan Andika mengantar kami sampai di terminal bus Selo Aji.
“Kita mampir Aloon-aloon dulu,” ucap Pakdhe Dion. Aku menurut saja. Sampai di aloon-aloon, aku melihat patung singa di sebelah utara. Di Pojok-pojok alon-alon, terdapat patung singa juga.
Mobil pakdhe Dion berhenti di depan deretan toko yang berada di sebelah utara Aloon-aloon. Di situ terdapat penjual beraneka macam pernik tentang reog. Ada topeng Pujangganong, pecut, baju warok, kaos reog, gantungan kunci dan masih banyak lagi.
“Kamu pilih apa saja yang kamu mau. Saya yang akan membayar untuk kenang-kenangan,” kata Pakdhe. Aku mengambil beberapa gantungan kunci dan satu stel baju warok lengkap dengan sabuk, udeng dan kolor. Baju itu akan aku pakai dan akan aku tunjukkan pada teman-temanku. Gantungan kuncinya akan aku bagikan pada mereka.
Pakdhe membayar semua yang saya ambil. Lalu kami berangkat menuju terminal. Sampai di sana, kami bersalaman. Sedih juga rasanya berpisah setelah beberapa hari bergaul bersama-sama, pergi bersama dan makan bersama. Ibu berjanji akan mengajakku ke Ponorogo lagi.
“Sampai ketemu lagi, Andika,” kataku sambil memeluk erat Andika. Selama dua hari ini dia sudah menjadi teman yang sangat baik dan menyenangkan.
“Dada Fahri…” katanya begitu aku naik bus yang akan menuju Surabaya. Bus yang kunaiki adalah bus Jaya Reog sama dengan yang membawaku ke Ponorogo.
Aku pulang. Pengalaman selama dua hari di Ponorogo itu akan terus aku kenang. Ponorogo, bumi Reog. Kota yang unik, kaya seni budaya dan penuh legenda. Aku bangga bisa mengetahui banyak hal tentang Ponorogo. Padahal, Ponorogo adalah bagian kecil dari Indonesia. Masih banyak lagi kota yang harus aku kunjungi. Jika Tuhan mengizinkan, Aku bercita-cita bisa menggali kekayaan seni budaya masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Semoga.

SELESAI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar