SANG DWIJA

Sebuah buku yang mengisahkan perjuangan bocah Ndeso mewujudkan impian dan cita-citanya.
 




Setiap orang pasti memiliki cita cita. Jalan menuju kesuksesan tidak ditaburi mawar yang semerbak harum tapi penuh onak dan duri. Oleh karena itu perlu perjuangan yang berat. Bahkan berdarah-darah.
Rustiani Widiasih tak pernah lelah dan putus asa mewujudkan mimpinya menerbitkan buku sendiri. Ketelatenan dan kesabaranya kini membuahkan hasil. Sebuah buku "Sang Dwija" lahir dari proses kreatif perempuan jebolan Universitas Negeri Surabaya (Unesa)
   Sang Dwija ini mirip seperti autobiografi. Mengisahkan perjuangan bocah Ndeso mewujudkan impian dan cita-citanya. Buku berukuran 19x21 itu benar benar inspiratif. Tulisannya mengalir bak air sungai. Disajikan dengan bahasa yang lugas dan mudah dipahami, penulis mengajak para pembaca agar terus bekerja keras tanpa harus menjual idealisme. "Idealisme itu salah satu aset yang paling berharga," tutur perempuan asal kota Reog
     Bagi Rustuani, sapaan akrabnya, guru bukanlah sekadar profesi tapi juga pangabdian dan panggilan jiwa. Pemikiran itu yang menjadikan perempuan bermata sayu itu menjadi sosok yang tregginas dan kreatif. Ia tak puas hanya sebagai guru yang cuma mengajar di kelas dengan gaya ortodok, tapi berinovasi mengemas dan memilih strategi pembelajaran yang ciamik.
     Tidak hanya itu, pemilik bibir tipis yang saat ini tercatat sebagai Dwija Bahasa Inggris SMAN 1 Badegan Ponorogo itu tidak pernah berhenti berkarya. Ini tergambar dari sejumlah prestasi bug ditorehkan. Misalnya, mewakili Jawa Timur dalam ajang lomba guru berprestasi Nasional yang digeber Kesharlindung Dikmen tahun 2017. Pada even itu ia sukses meraih medali perunggu.
Masih banyak lagi sederet prestasi yang diukirnya. Rustiani adalah pembelajar, ia Sang Dwija sejati. Penasaran, Yuk, kita baca bukunya.

Sang Dwija

 
Suatu hari seorang kawan senior  menyebut saya dengan sebutan “Sang Dwija”. Mendengarnya saya merasa tersanjung sekali. Sungguh indah, agung dan elegan sekali sebutan itu. Ya, saya adalah seorang Dwija, Sang Dwija sejati.

Sang Dwija sejati menjadi guru sebagai  pilihan hidupnya bukan kerena disuruh orang tua, karena terpaksa, karena nasib atau takdir, atau karena hal lain. Menjadi guru adalah panggilan jiwa. Sang Dwija  menikmati tugas sebagai seorang guru dan berkeinginan untuk menjadi guru yang tidak biasa-biasa saja. Guru biasa  hanya melakukan tugas  utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi siswa  sesuai dengan tugas pokok guru. Sang Dwija  ingin lebih dari itu karena ingin menjadi guru yang menginspirasi.

Sang Dwija keluar dari zona nyaman dengan mengikuti berbagai kompetisi nasional. Pada persiapan kompetisi itulah  mulai tumbuh karena ketidaknyamanan yang dialami membuatnya berpikir untuk menyelesaikan permasalahan demi permasalahan. Saya suka belajar tentang apa saja. Saya siap berubah ke arah yang lebih baik. Bahkan saya suka belajar dari siapa saja. Intinya saya selalu terbuka dengan ilmu baru. Saya menyadari bahwa ilmu selalu  bergerak dinamis mengikuti perkembangan teknologi dan zaman. Bisa jadi ilmu saya telah using kerena sudah muncul ilmu baru. Oleh karenanya saya mau mendengarkan siapapun untuk belajar.

Sang Dwija tidak  ingin  menjadi yang hanya bisa menceritakan, menjelaskan, dan menunjukkan. Saya ingin memberikan inspirasi untuk para siswa dengan memberikan teladan dan nasihat membangun pada siswa. Keteladanan tidak perlu banyak bicara tetapi bukti nyata. Dengan perbuatan nyata tanpa kata-kata, saya harap bisa menginspirasi sehingga bisa melahirkan siswa yang hebat. Tampaknya ini mudah sekali namun ternyata menjadi seorang guru yang menginspirasi  tidaklah mudah oleh karenanya saya terus belajar dan memperbaiki kualitas diri.

Sang Dwija adalah manusia biasa seperti yang lainnya, namun tekanan bekerja terkadang sangat berat untuk dihadapi karena saya melakukan banya hal diluar tugas utama. Dibalik tuntutan diri itu saya harus terus  menjaga senyum di wajah.  Saya  yakin selalu ada  sisi terang  dari tuntutan diri yang berat tersebut.  Saya terus berusaha untuk menemukan sesuatu yang positif dalam setiap situasi. Sikap positif bisa  mempengaruhi siswa dan berdampak pada pembentukan karakter. 

Sang Dwija juga harus menjadi seorang motivator dengan bahasa yang baik. Dengan kekuatan bahasa, guru bisa  membuat siswa fokus dan tertarik akan materi yang diajarkan. Selain bahasa  kontak mata, bahasa tubuh, perasaan dan ikatan emosional sangatah penting untuk meningkatkan kualitas mengajar.

Saya mungkin termasuk sang dwija yang kurang pekerjaan, guru tidak lazim dan guru yang gila. Lihatlah betapa banyak rintangan yang harus saya lalui.  Betapa banyak orang yang memandang saya sebelah mata dan menghalangi saya untuk maju. Lihatlah pula apakah saya melayani mereka? Saya tidak mau mengambil pusing apa kata orang karena akan membuat saya tertekan.  Menuruti kata ofang  akan membuat hidup tidak berkembang. Saya abaikan apa yang orang lain pikirkan tentang saya. Saya tidak bertugas untuk  menyenangkan mereka bukan?

Tidak sedikit orang suka menilai orang lain dan tidak mau menilai dirinya sendiri. Saya termsuk yang orang yang suka menilai orang lain namun saya simpan sendiri penilaiann itu sebagai instropeksi diri.  Orang lain bisa saja salah dalam menilai saya namun saya justru berterimakasih karena masih mereka sempat memikirkan saya. Saya tidak terlalu menghiraukan penilaian orang yain yang salah itu. Banyak hal yang lebih penting yang perlu dipikirkan daripada hal itu toh saya bukan orang yang harus diistimewakan.

Memiliki pemikiran yang gila dan aneh dari yang biasanya dipikirkan oleh orang lain memang tidak selamanya mudah.  Rasa takut untuk mencoba sesuatu pasti dialami oleh setiap orang. Tetapi Sang Dwija  ini sudah terbiasa dengan komentar negatif dari orang lain sehingga saya berani untuk mengambil resiko dan menerima tantangan. Kegagalan yang menimpa tidak menjadi penghalang  sudah siap untuk gagal dan bangkit lagi. Saya tetap bertahan dan berusaha dalam menghadapi hambatan, kesulitan.  Keteguhan hati menuntun untuk  tetap semangat meskipun merasa ingin berhenti atau menyerah. Sikap gigih, sabar dan pantang menyerah terhadap apapun membuat saya  selalu ngotot dalam meraih apa yang saya diinginkannya walaupun menghadapi hambatan dan tantangan.

Ketika saya melihat ada batu yang menghalangi jalan hidup saya menghancurkan batu tersebut tanpa rasa takut. Ternyata   rasa takut itu semu. Rasa takut hanya ada dalam pikiran yang belum tentu benar adanya nyatanya saya bisa menggapai mimpi-mimpi yang telah  diukir sejak dulu. 

Sang Dwija selalu optimis dan berpikir positif selalu memiliki pemikiran yang berorientasi masa depan. Sikap optimis dan berpikir positif akan membuat saya  kebal dengan keterpurukan karena kegagalan. Dalam hidup selalu ada masalah yang harus  dihadapi. Sang Dwija mempunyai masa-masa sulit yang harus disikapi dengan tetap optimis karena hal tersebut sangat penting untuk meraih mimpi besar dalam hidup.

Begitulah sang Dwija berproses dan membuktikan bahwa tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini asalkan impian terus dipancarkan dalam diri dan diiringi usaha untuk mencapainya.  Ya, Sang Dwija harus terus menginspirasi sepanjang waktu.


Untuk Pak Sidik Pramono, Guruku Sepanjang Masa


Guru Sepanjang Masa

            Jika saya ditanya siapa guru yang paling mengesankan selama hidup, saya akan menjawab guru SD saya yang bernama Sidik Pramono. Nama itu terpatri pada memori jangka panjang saya. Guru SD saya itu tidak bisa terhapus menjadi guru yang paling mengesankan sepanjang masa. Beliau telah mengubah kebiasaan  anak-anak desa Bandar yang hanya bermain dan bermain sepanjang hari menjadi  kegiatan yang positif dan akademis.
            Pak  Sidik adalah guru olah raga dan sekaligus wali kelas ketika saya duduk di kelas tiga SD. Mengapa beliau sebegitu melekat dalam ingatan saya? Pak sidik adalah guru luar biasa. Beliau telah berhasil menanamkan mental disiplin kepada saya. Beliau  telah memberi tauladan yang sangat baik kepada saya bagaimana menjadi guru seharusnya. 
Apa yang beliau ajarkan kepada saya membuat saya menangis karena terharu atas pengertiannya kepada kami. Baiklah akan saya kisahkan apa yang sudah beliau ajarkan kepada kami, para murid-muridnya.
***
Sebagai guru muda dan juga guru baru saat itu, beliau membuat gebrakan yang sangat hebat. Beliau mengabdikan hidupnya untuk pendidikan secara total. Mulai pagi hari sampai malam hari waktunya dihabiskan untuk mendidik kami, aku dan teman-temanku.  Apalagi, beliau belum menikah saat itu.
Setiap  pagi, kegiatan sekolah  diawali dengan senam kesegaran jasmani. Pak Sidik mengajari senam Kesegaran Jasmani yang diiringi dengan musik. Hal itu membuat  kami bergembira dan bersemangat. Kami menirukan setiap gerakan yang dicontohkan Pak  Sidik. Dalam waktu  singkat kami sudah hafal gerakan senam kesegaran jasmani. Kata pak sidik, dengan rutin berolah raga badan akan menjadi sehat dan kuat.
Setelah senam, kami berbaris di depan kelas terlebih dahulu menjadi dua barisan. Barisan kanan dan barisan kiri. Ketua kelas memberikan aba-aba dengan tegas. ”Siap grak. Lencang kanan grak. Tegak grak. Jalan ditempat grak. Henti grak.” Begitulah dia memberi aba-aba. Dia memandang barisan di sebelah kanan dan kiri. Lalu memutuskan barisan mana yang boleh masuk terlebih dahulu. Barisan yang boleh masuk adalah barisan yang lebih rapi. Jika ketua kelas mengatakan barisan kanan yang maju, maka satu per satu siswa di barisan kanan memasuki kelas,  disusul siswa pada barisan kiri.  Itu adalah kebiasaan sebelum masuk kelas yang diajarkan pak Sidik.
Setelah berdoa, pak Sidik  mengucapkan salam lalu mengabsen siswa satu per satu. Demikianlah rutinitas yang setiap pagi dijalani tanpa bosan dan enggan. Satu hal yang tidak saya lupa dari pak Sidik adalah baunya sangat harum. Kami senang sekali mencium parfum pak Sidik. Begitu beliau masuk kelas, aroma segar menusuk hidung kami. Pak Sidik menyukai kebersihan. Bajunya selalu rapi dan bersih. Keadaan tersebut jauh berbeda dengan keadaan kelas dan juga kami semua para siswanya yang kotor dan dekil.
Tembok kelas kami berwarna putih kekuningan karena telah memudar.  Di atas papan tulis terpasang gambar presiden Soeharto  dan wakil presiden Umar Wirahadikusuma. Selain itu ada gambar-gambar pahlawan seperti  R.A Kartini, Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol dan Jendral Sudirman. Wajah-wajah pahlawan itu tidak asing lagi bagi kami. Pada pelajaran PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa), pak Sidik selalu menceritakan kisah kepahlawanan  kepada kami. Selain gambar pahlawan, di dinding dekat meja guru terpasang jadwal mata pelajaran dan jadwal piket harian. Kami harus melaksanakan tugas piket seperti yang telah dijadwalkan. Tugas piket  adalah menyapu lantai,menghapus papan tulis dan mengambil kapur di kantor guru.
            Suatu hari Pak Sidik merencanakan untuk membersihkan kelas. Kami diajak kerja bakti mengepel kelas yang sangat kotor pada hari Minggu. Maklumlah lantai kelas kami pada waktu itu hanya dari plester  semen saja. Kami diminta untuk membawa peralatan  seperti ember, lap, kuas cat, sapu, kemucing dan peralatan lain yang kami miliki. Pak Sidik membagi tugas. Siswa yang membawa ember menggambil air di belik yang jaraknya lumayan jauh dari sekolah kami. Siswa yang membawa kuas  mengecat dinding dengan gamping yang dicairkan. Siswa yang membawa kemuceng membersihkan jendela. Siswa yang membawa sapu, menyapu lantai. Siswa yang membawa kain pel, menanti temannya yang sedang mengambil air, lalu mengepel lantai. Kami mengerjakan tugas masing-masing dengan baik.
 Beberapa jam kemudian ruang kelas tiga menjadi bersih dan tampak baru. Warna dinding yang semula kekuningan menjadi putih bersih. Lantai berdebu berganti menjadi lantai yang bersih. Kaca-kaca jendela berdebu  menjadi mengkilap.
Kalian sudah bekerja dengan hebat. Luar biasa. Kelas kita telah bersih sekarang. Namun, kerja kita belum selesai. Kita harus menjaga agar kelas ini selalu bersih. Untuk itu, mulai besuk  mari kita sepakat untuk melepas sepatu ketika akan masuk kelas. Kita akan membuat tempat sepatu dari pohon bambu. Oh ya. Masih ada satu hal lagi. Selain, menciptakan kelas yang bersih, kita juga akan menciptakan kelas yang indah. Kita bisa menempatkan vas bunga di atas meja guru. Pada mata pelajaran keterampilan nanti akan saya ajarkan keterampilan membuat bunga dari bahan-bahan yang bisa ditemukan di sekitar kita. Sekarang, karena hari sudah siang. Kalian boleh pulang. Sampai jumpa besuk pagi” begitu pak Sidik bertutur kepada kami.
Pada sore hari kami yang berminat diajak latihan baris berbaris, pramuka dan juga berbagai jenis olah raga. Sekolah menjadi ramai sepanjang hari. Kami menjadi termotivasi untuk selalu pergi ke sekolah. Kami bisa menemukan pengalaman dan hal-hal baru  yang belum  pernah kami lalukan selama ini. Maklumlah selama ini tidak ada yang membimbing kami sehingga kami hanya menghabiskan waktu dengan bermain saja.
            Pada hari Rabu dan Jum’at, Pak Sidik mengajarkan PBB  (Persiapan Baris Berbaris) kepada para siswanya. Dari situ saya diajari untuk disiplin dan  tegas. Beliau mengatakan supaya kami  memiliki disiplin “hidup”.  Kata beliau, disiplin “hidup” artinya disiplin yang berasal dari diri sendiri  dan Bukan disiplin “mati”, disiplin yang dilakukan karena alasan tertentu misalnya karena dilihat oleh guru. Disiplin “hidup” harus ditanamkan dalam diri seseorang sehingga seseorang itu akan melakukan suatu kebaikan bukan karena orang lain. Sampai saat ini saya belum pernah menemukan teori atau islilah adanya disimplin “hidup” dan “mati”. Mungkin itu temuan teori pak Sidik sendiri. Istilah itu selalu diucapkan hingga kami semua hafal diluar kepala.
            Pada petang hari, pak Sidik menjadi  guru mengaji kami. Kami diajari mengaji di rumah kos beliau. Rumah kos beliau digunakan untuk tempat mengaji karena belum ada mushola atau masjid. Kami mengaji dari Magrib hingga Isya’. Pak sidik mengajari kami dengan sabar dan telaten. Sungguh luar biasa guruku itu. Waktunya dihabiskan untuk kami para siswanya.   
            Pada musim kemarau, persediaan air semakin menipis. Udara sangat panas pada siang hari dan sangat dingin pada malam hari. Tanah kering berdebu dan terbang di bawa angin ke dedaunan dan rumah-rumah. Kulit manusia mengering dan telapak kaki menjadi pecah-pecah. Hal seperti itu juga terjadi pada kulit kami. Pak Sidik  yang sangat perhatian itu sangat prihatin dengan keadaan tersebut. Ia tidak tega menyaksikan kulit siswanya bersisik, kotor dan dekil. Biasanya timbul berbagai penyakit kulit atau kudisan.
Pak Sidik yang sangat perhatian, suatu hari meminta anak-anak untuk membawa pasir dan parutan kelapa. Kami lalu diajak ke belik. Disana kami diminta untuk menggosok kaki dan tangan kami dengan pasir.  Saya merasakan tangan dan kaki menjadi halus dan kotoran yang menempel jadi hilang. Setelah kering, kami diminta untuk menggosokkan parutan kepala ke tangan dan kaki. Hasilnya? Tangan dan kaki kami menjadi mengkilap. Kami diminta untuk membiasakan di rumah agar kulit kami bersih dan tidak “Busik” atau  “kusi”.
            Pada hari libur  kami diajak pergi ke gunung Gembes. Kami akan menggambar pemandangan alam dari atas gunung. Pak Sidik meminta kami membawa buku gambar, pensil, penghapus dan pensil warna. Kata beliau rekreasi sangat penting untuk membuat pikiran segar kembali. Rekreasi tidak harus di tempat wisata yang jauh dan harus membayar.  Untuk itu beliau mengajak kami rekreasi ke gunung Gembes. Gunung Gembes adalah  gunung yang ada di kecamatan Bandar kabupaten Pacitan yang merupakan mata air dari sungai Girindulu. Selama ini kami hanya melihatnya dari kejauhan. Kata orang-orang, jika kami berada di sana, kami bisa melihat pemancar TVRI. Saya penasaran untuk pergi ke sana. Pak Sidik berpesan agar kami semua membawa bekal berupa makanan dan minuman sendiri-sendiri.
Hari masih gelap ketika kami berangkat ke Gunung Gembes. Kami menyusuri jalanan dengan wajah ceria. Dinginnya udara yang menusuk kulit tidak kami hiraukan. Langkah kami  sangat mantap dan pasti. Ketika matahari mulai mengumpulkan sinarnya di ufuk timur, udara menjadi hangat. Tampak  pemandangan yang sangat indah. Burung-Burung berkicau di pohon-pohon seakan memberi salam kepada kami yang sedang berjalan menuju Gunung Gembes. Pemandangan seperti itu sebenarnya bukanlah hal yang baru bagi kami, namun kebersamaan itulah yang sangat mengesankan.
            Semakin lama panas matahari semakin terasa membakar kulit. Kami telah melewati perkampungan, sawah dan ladang hingga memasuki hutan.
            “Mari kita menyanyi bersama untuk menghilankan rasa lelah” ajak pak Sidik.
            “Naik  naik ke puncak gunung tinggi tinggi sekali. Kiri kanan kulihat saja banyak pohon cemara. Kiri kanan kulihat saja banyak pohon cemara.....” dendang kami dengan riang.
            “Karena yang kita lihat bukan pohon cemara melainkan pohon pinus, maka mari kita ganti kata “cemara” dengan “pinus”, kata pak Sidik.
“Naik  naik ke puncak gunung tinggi tinggi sekali. Kiri kanan kulihat saja banyak pohon pinusnya. Kiri kanan kulihat saja banyak pohon pinusnya.....” kami terus menyanyi dengan senang gembira.
            Kami berhenti di bawah pohon besar. Sorot matahari yang tajam terhalang oleh rimbunnya daun-daun. Angin gunung berhembus menerpa wajah kami yang merah padam. Lalu kami membuka bekal makan pagi dan memakannya dengan lahap. Selesai makan, kami melanjutkan perjalanan.
            Semakin ke atas, angin berhembus semakin kencang. Matahari semakin meninggi saja. Kulit kami terbakar matahari sampai merah padam. Keringat membasahi tubuh kami. Kami terus melangkah mendaki puncak gunung Gembes. Semakin ke puncak, kami semakin merasakan kepuasan dan kegembiraan yang luar biasa.  Kami ditunjukanpemancar TVRI oleh pak Sidik. Di atas puncak gunung, kami diminta untuk  mengeluarkan  alat gambar lalu menggambar pemandangan alam. Sungguh senang rasanya melakukan kegiatan seperti itu.
***
            Pak Sidik juga menjadi pembina Pramuka. Kami sering diajak penjelajahan dan juga berkemah. Kegiatan  Pramuka selalu menyenangkan dan seru. Saya sering ditunjuk untuk mengikuti perlombaan perkemahan mewakili sekolah di tingkat kecamatan.  Saya merasa bangga untuk itu. Banyak hal yang diajarkan pak Sidik dalam perlombaan pramuka. Diantaranya,  kami diminta untuk menjaga kebersihan dan kerapian tenda. Kami tidak boleh membuang sampah kecuali di tempat sampah. Jika kita sedang makan permen, dan tidak menemukan tempat sampah, kami harus menaruh bungkus permen tersebut di dalam saku. Ketika kita menemukan tempat sampah, barulah kita buang bungkus permen itu. Saya juga diajari untuk memanfaatkan apa yang tersedia di alam untuk berbagai keperluan misalnya  untuk hiasan, kami diminta untuk mencari bunga hidup dan memberikan air di dalam vas bunga agar tidak layu. Sungguh terkenang saya akan nasihat pak Sidik.
***
Jika pada musim penghujan  desa kami penuh debu, pada musim hujan tanah menjadi becek dan berlumpur. Tanah liat yang menempel di sepatu kami ikut masuk kelas. Bisa dibanyangkan betapa kotornya kelas kami. Pak  Sidik menganjurkan kepada kami untuk melepas sepatu sehingga “gedibal” atau tanah liat yang menempel di sepatu tidak ikut masuk. Kelas kami pun menjadi bersih karenanya.
            Untuk membersihkan kelas, kami diminta untuk membuat sapu yang terbuat dari jerami. Waktu itu, cara memanen padi  dilakukan dengan cara “ani-ani”  dengan alat yang namanya “pugut” pada bagian atas tangkai padi. Setelah padi ditumbuk, ada sisa jeraminya. Nah jerami itulah yang kami buat untuk sapu. Sekarang saya tidak bisa menemukan sapu  jerami lagi karena sekarang memanen padi tidak dengan “ani-ani” melainkan dipotong hingga bagian bawah padi.
Pada musim penghujan, kami juga melakukan  beberapa hal seperti kegiatan  reboisasi di tanah gundul. Kami diminta untuk membawa satu bibit pohon. Lalu kami menanam sendiri bibit pohon kami.  Pak Sidik bilang bahwa dengan menanam satu pohon berarti telah mewariskan satu pohon untuk anak cucu karena yang menikmati pohon yang kami tanam bukan kami melainkan anak cucu.
            Saya  juga tidak akan melupakan ketika pak sidik mengajak kami membuat taman bunga.  Kami diajarai mengambil rumput di lapangan desa untuk dijadikan taman.  Lapangan tempat kami  olah raga adalah lapangan desa yang menghijau karena rumput. Pak Sisik mengajari kami mengambil rumput untuk ditanam di tanah sekolah. Dengan cangkul, rumput diambil. Pengambilan rumput harus rapi membentuk segi empat. Rumput-ruput itu digunakan sebagai penyangga taman kami. Setelah selesai, barulah kami menanam bunga ditengahnya. Tamannya indah sekali.
Saya juga pernah diajak mencari batu lempung di sungai untuk hasta karya pada jam keterampilan. Dari tanah lempung itu, kami disuruh berkreasi untuk membuat hasta karya seperti asbak, patung, gelas, piring, dan lain-lain. Pada waktu itu saya yakin pak sidik tidak mengetahui kalau sesungguhnya beliau sudah melaksanakan pembelajaran berbasis potensi daerah lokal. Sungguh, pak Sidik adalah sosok guru yang  visioner. Saya pun baru menyadari betapa pak Sidik sudah menerapkan  berbagai pendekatan pembelajaran masa kini sejak dahulu kala.
Begitulah apa yang dilakukan guruku. Beliau sungguh menginspirasiku. Saya selalu mengingat beliau sebagai guru yang mengesankan selama-lamanya.  Ya, guru akan terus dikenang siswanya sepanjang masa. Pak Sidik selalu menginspirasi  sepanjang waktu. Semoga ilmu yang diberikan menjadi ilmu yang bermanfaat dan akan dibawanya sebagai bekal  di akherat kelak karena saya adalah saksi bahwa pak Sidik telah memberikan ilmunya kepada saya, tauladan yang baik, motivasi hidup dan juga semangat belajar. Salam hormatku kepada Pak Sidik Pramono.
****