Guru
Sepanjang Masa
Jika
saya ditanya siapa guru yang paling mengesankan selama hidup, saya akan
menjawab guru SD saya yang bernama Sidik Pramono. Nama itu terpatri pada memori
jangka panjang saya. Guru SD saya itu tidak bisa terhapus menjadi guru yang
paling mengesankan sepanjang masa. Beliau telah mengubah kebiasaan anak-anak desa Bandar yang hanya bermain dan
bermain sepanjang hari menjadi kegiatan
yang positif dan akademis.
Pak
Sidik adalah guru olah raga dan
sekaligus wali kelas ketika saya duduk di kelas tiga SD. Mengapa beliau
sebegitu melekat dalam ingatan saya? Pak sidik adalah guru luar biasa. Beliau
telah berhasil menanamkan mental disiplin kepada saya. Beliau telah memberi tauladan yang sangat baik kepada saya bagaimana menjadi guru
seharusnya.
Apa yang beliau ajarkan kepada saya membuat saya
menangis karena terharu atas pengertiannya kepada kami. Baiklah akan saya
kisahkan apa yang sudah beliau ajarkan kepada kami, para murid-muridnya.
***
Sebagai guru muda dan juga guru baru saat itu,
beliau membuat gebrakan yang sangat hebat. Beliau mengabdikan hidupnya untuk
pendidikan secara total. Mulai pagi hari sampai malam hari waktunya dihabiskan
untuk mendidik kami, aku dan teman-temanku.
Apalagi, beliau belum menikah saat itu.
Setiap pagi,
kegiatan sekolah diawali dengan senam
kesegaran jasmani. Pak Sidik mengajari senam Kesegaran Jasmani yang diiringi
dengan musik. Hal itu membuat
kami bergembira dan bersemangat. Kami menirukan setiap
gerakan yang dicontohkan Pak
Sidik. Dalam waktu singkat kami sudah hafal gerakan senam kesegaran jasmani. Kata pak sidik, dengan rutin
berolah raga badan akan menjadi sehat dan kuat.
Setelah senam, kami berbaris di depan kelas terlebih dahulu menjadi dua
barisan. Barisan kanan dan barisan kiri. Ketua kelas memberikan aba-aba dengan
tegas. ”Siap grak. Lencang kanan grak. Tegak grak. Jalan ditempat grak. Henti
grak.” Begitulah dia memberi aba-aba. Dia memandang barisan di sebelah kanan
dan kiri. Lalu memutuskan barisan mana yang boleh masuk terlebih dahulu.
Barisan yang boleh masuk adalah barisan yang lebih rapi. Jika ketua kelas
mengatakan barisan kanan yang maju, maka satu per satu siswa di barisan kanan
memasuki kelas, disusul siswa pada
barisan kiri. Itu adalah kebiasaan
sebelum masuk kelas yang diajarkan pak Sidik.
Setelah berdoa, pak Sidik
mengucapkan salam lalu mengabsen siswa satu per satu. Demikianlah
rutinitas yang setiap pagi dijalani tanpa bosan dan enggan. Satu hal yang tidak
saya lupa dari pak Sidik adalah baunya sangat harum. Kami senang sekali mencium
parfum pak Sidik. Begitu beliau masuk kelas, aroma segar menusuk hidung kami.
Pak Sidik menyukai kebersihan. Bajunya selalu rapi dan bersih. Keadaan tersebut
jauh berbeda dengan keadaan kelas dan juga kami semua para siswanya yang kotor
dan dekil.
Tembok kelas kami berwarna putih kekuningan karena telah memudar. Di atas papan tulis terpasang gambar presiden
Soeharto dan wakil presiden Umar Wirahadikusuma.
Selain itu ada gambar-gambar pahlawan seperti
R.A Kartini, Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol dan Jendral Sudirman.
Wajah-wajah pahlawan itu tidak asing lagi bagi kami. Pada pelajaran PSPB (Pendidikan
Sejarah Perjuangan Bangsa), pak Sidik selalu menceritakan kisah kepahlawanan kepada kami. Selain gambar pahlawan, di
dinding dekat meja guru terpasang jadwal mata pelajaran dan jadwal piket
harian. Kami harus melaksanakan tugas piket seperti yang telah dijadwalkan.
Tugas piket adalah menyapu
lantai,menghapus papan tulis dan mengambil kapur di kantor guru.
Suatu hari Pak
Sidik merencanakan untuk membersihkan kelas. Kami diajak kerja bakti mengepel kelas yang sangat kotor pada hari
Minggu. Maklumlah lantai kelas kami pada waktu itu hanya dari plester semen saja. Kami diminta untuk membawa peralatan seperti ember, lap, kuas cat, sapu,
kemucing dan peralatan lain yang
kami miliki. Pak Sidik membagi tugas. Siswa yang membawa ember menggambil air di belik yang jaraknya lumayan jauh dari sekolah kami. Siswa yang membawa kuas mengecat dinding dengan gamping yang dicairkan. Siswa yang membawa kemuceng membersihkan jendela. Siswa
yang membawa sapu, menyapu lantai. Siswa yang membawa kain pel, menanti
temannya yang sedang mengambil air, lalu mengepel lantai. Kami mengerjakan tugas masing-masing dengan
baik.
Beberapa jam kemudian ruang kelas
tiga menjadi bersih dan tampak baru. Warna dinding yang
semula kekuningan menjadi putih
bersih. Lantai berdebu berganti menjadi lantai yang
bersih. Kaca-kaca jendela berdebu menjadi
mengkilap.
“Kalian sudah bekerja dengan hebat. Luar biasa.
Kelas kita telah bersih sekarang. Namun, kerja kita belum selesai. Kita harus menjaga
agar kelas ini selalu bersih. Untuk itu, mulai besuk mari kita sepakat untuk melepas sepatu ketika akan masuk kelas. Kita akan membuat tempat sepatu dari pohon bambu. Oh ya. Masih ada satu hal lagi. Selain,
menciptakan kelas yang bersih, kita juga akan menciptakan kelas yang indah.
Kita bisa menempatkan vas bunga di atas meja guru. Pada mata pelajaran
keterampilan nanti akan saya ajarkan keterampilan membuat bunga dari bahan-bahan yang
bisa ditemukan di sekitar kita. Sekarang, karena hari sudah siang. Kalian boleh
pulang. Sampai jumpa besuk pagi”
begitu pak Sidik bertutur kepada kami.
Pada sore hari kami yang berminat diajak latihan
baris berbaris, pramuka dan juga berbagai jenis olah raga. Sekolah menjadi
ramai sepanjang hari. Kami menjadi termotivasi untuk selalu pergi ke sekolah.
Kami bisa menemukan pengalaman dan hal-hal baru
yang belum pernah kami lalukan
selama ini. Maklumlah selama ini tidak ada yang membimbing kami sehingga kami
hanya menghabiskan waktu dengan bermain saja.
Pada
hari Rabu dan Jum’at, Pak Sidik mengajarkan PBB (Persiapan Baris Berbaris) kepada para
siswanya. Dari situ saya diajari untuk disiplin dan tegas. Beliau mengatakan supaya kami memiliki disiplin “hidup”. Kata beliau, disiplin “hidup” artinya
disiplin yang berasal dari diri sendiri
dan Bukan disiplin “mati”, disiplin yang dilakukan karena alasan
tertentu misalnya karena dilihat oleh guru. Disiplin “hidup” harus ditanamkan
dalam diri seseorang sehingga seseorang itu akan melakukan suatu kebaikan bukan
karena orang lain. Sampai saat ini saya belum pernah menemukan teori atau
islilah adanya disimplin “hidup” dan “mati”. Mungkin itu temuan teori pak Sidik
sendiri. Istilah itu selalu diucapkan hingga kami semua hafal diluar kepala.
Pada
petang hari, pak Sidik menjadi guru
mengaji kami. Kami diajari mengaji di rumah kos beliau. Rumah kos beliau
digunakan untuk tempat mengaji karena belum ada mushola atau masjid. Kami
mengaji dari Magrib hingga Isya’. Pak sidik mengajari kami dengan sabar dan
telaten. Sungguh luar biasa guruku itu. Waktunya dihabiskan untuk kami para
siswanya.
Pada musim
kemarau, persediaan air semakin menipis. Udara sangat panas pada siang hari dan
sangat dingin pada malam hari. Tanah kering berdebu dan terbang di bawa angin ke dedaunan dan rumah-rumah. Kulit manusia
mengering dan telapak kaki menjadi pecah-pecah. Hal
seperti itu juga terjadi pada kulit kami. Pak Sidik yang sangat
perhatian itu sangat prihatin dengan keadaan tersebut. Ia tidak tega menyaksikan kulit siswanya bersisik, kotor dan dekil. Biasanya timbul berbagai
penyakit kulit atau kudisan.
Pak Sidik yang sangat perhatian, suatu hari meminta
anak-anak untuk membawa pasir dan parutan kelapa. Kami lalu diajak ke belik. Disana kami diminta untuk
menggosok kaki dan tangan kami dengan pasir.
Saya merasakan tangan dan kaki menjadi halus dan kotoran yang menempel
jadi hilang. Setelah kering, kami diminta untuk menggosokkan parutan kepala ke
tangan dan kaki. Hasilnya? Tangan dan kaki kami menjadi mengkilap. Kami diminta
untuk membiasakan di rumah agar kulit kami bersih dan tidak “Busik” atau “kusi”.
Pada
hari libur kami diajak pergi ke gunung Gembes.
Kami akan menggambar pemandangan alam dari atas gunung. Pak Sidik meminta kami
membawa buku gambar, pensil, penghapus dan pensil warna. Kata beliau rekreasi
sangat penting untuk membuat pikiran segar kembali. Rekreasi tidak harus di
tempat wisata yang jauh dan harus membayar.
Untuk itu beliau mengajak kami rekreasi ke gunung Gembes. Gunung Gembes
adalah gunung yang ada di kecamatan
Bandar kabupaten Pacitan yang merupakan mata air dari sungai Girindulu. Selama
ini kami hanya melihatnya dari kejauhan. Kata orang-orang, jika kami berada di
sana, kami bisa melihat pemancar TVRI. Saya penasaran untuk pergi ke sana. Pak
Sidik berpesan agar kami semua membawa bekal berupa makanan dan minuman
sendiri-sendiri.
Hari masih gelap ketika kami berangkat ke Gunung Gembes. Kami menyusuri
jalanan dengan wajah ceria. Dinginnya udara yang menusuk kulit tidak kami hiraukan. Langkah kami sangat mantap dan pasti. Ketika matahari mulai
mengumpulkan sinarnya di ufuk timur, udara menjadi hangat. Tampak pemandangan
yang sangat indah. Burung-Burung berkicau di pohon-pohon seakan memberi salam
kepada kami yang sedang berjalan menuju Gunung Gembes. Pemandangan seperti itu
sebenarnya bukanlah hal yang baru bagi
kami, namun kebersamaan itulah yang sangat mengesankan.
Semakin lama panas matahari semakin terasa membakar
kulit. Kami telah melewati perkampungan, sawah dan ladang hingga memasuki hutan.
“Mari kita menyanyi bersama untuk menghilankan rasa
lelah” ajak pak Sidik.
“Naik naik ke
puncak gunung tinggi tinggi sekali. Kiri kanan kulihat saja banyak pohon
cemara. Kiri kanan kulihat saja banyak pohon cemara.....” dendang kami dengan
riang.
“Karena
yang kita lihat bukan pohon cemara melainkan pohon pinus, maka mari kita ganti
kata “cemara” dengan “pinus”, kata pak Sidik.
“Naik naik ke puncak gunung tinggi
tinggi sekali. Kiri kanan kulihat saja banyak pohon pinusnya. Kiri kanan kulihat saja banyak pohon pinusnya.....”
kami terus menyanyi dengan senang gembira.
Kami berhenti di
bawah pohon besar. Sorot matahari yang tajam terhalang oleh rimbunnya daun-daun. Angin gunung berhembus menerpa wajah kami yang merah padam. Lalu kami
membuka bekal makan pagi dan
memakannya dengan lahap.
Selesai makan, kami melanjutkan perjalanan.
Semakin ke atas, angin berhembus semakin kencang. Matahari semakin meninggi saja.
Kulit kami terbakar matahari sampai merah padam. Keringat membasahi tubuh kami. Kami terus melangkah mendaki puncak gunung Gembes.
Semakin ke puncak, kami semakin merasakan kepuasan dan kegembiraan yang luar
biasa. Kami ditunjukanpemancar TVRI
oleh pak Sidik. Di atas puncak gunung, kami diminta untuk mengeluarkan
alat gambar lalu menggambar pemandangan alam. Sungguh senang rasanya
melakukan kegiatan seperti itu.
***
Pak
Sidik juga menjadi pembina Pramuka. Kami sering diajak penjelajahan dan juga
berkemah. Kegiatan Pramuka selalu
menyenangkan dan seru. Saya sering ditunjuk untuk mengikuti perlombaan
perkemahan mewakili sekolah di tingkat kecamatan. Saya merasa bangga untuk itu. Banyak hal yang
diajarkan pak Sidik dalam perlombaan pramuka. Diantaranya, kami diminta untuk menjaga kebersihan dan
kerapian tenda. Kami tidak boleh membuang sampah kecuali di tempat sampah. Jika
kita sedang makan permen, dan tidak menemukan tempat sampah, kami harus menaruh
bungkus permen tersebut di dalam saku. Ketika kita menemukan tempat sampah,
barulah kita buang bungkus permen itu. Saya juga diajari untuk memanfaatkan apa
yang tersedia di alam untuk berbagai keperluan misalnya untuk hiasan, kami diminta untuk mencari bunga
hidup dan memberikan air di dalam vas bunga agar tidak layu. Sungguh terkenang
saya akan nasihat pak Sidik.
***
Jika pada musim penghujan desa kami penuh debu, pada musim hujan tanah
menjadi becek dan berlumpur. Tanah liat yang menempel di sepatu kami ikut masuk
kelas. Bisa dibanyangkan betapa kotornya kelas kami. Pak Sidik menganjurkan kepada kami untuk melepas
sepatu sehingga “gedibal” atau tanah liat yang menempel di sepatu tidak ikut
masuk. Kelas kami pun menjadi bersih karenanya.
Untuk
membersihkan kelas, kami diminta untuk membuat sapu yang terbuat dari jerami.
Waktu itu, cara memanen padi dilakukan dengan
cara “ani-ani” dengan alat yang namanya
“pugut” pada bagian atas tangkai padi. Setelah padi ditumbuk, ada sisa
jeraminya. Nah jerami itulah yang kami buat untuk sapu. Sekarang saya tidak
bisa menemukan sapu jerami lagi karena
sekarang memanen padi tidak dengan “ani-ani” melainkan dipotong hingga bagian
bawah padi.
Pada musim penghujan, kami juga melakukan beberapa hal seperti kegiatan reboisasi di tanah gundul. Kami diminta untuk
membawa satu bibit pohon. Lalu kami menanam sendiri bibit pohon kami. Pak Sidik bilang bahwa dengan menanam satu
pohon berarti telah mewariskan satu pohon untuk anak cucu karena yang menikmati
pohon yang kami tanam bukan kami melainkan anak cucu.
Saya juga tidak akan melupakan ketika pak sidik
mengajak kami membuat taman bunga. Kami
diajarai mengambil rumput di lapangan desa untuk dijadikan taman. Lapangan tempat kami olah raga adalah lapangan desa yang menghijau
karena rumput. Pak Sisik mengajari kami mengambil rumput untuk ditanam di tanah
sekolah. Dengan cangkul, rumput diambil. Pengambilan rumput harus rapi
membentuk segi empat. Rumput-ruput itu digunakan sebagai penyangga taman kami.
Setelah selesai, barulah kami menanam bunga ditengahnya. Tamannya indah sekali.
Saya juga pernah diajak mencari batu lempung di
sungai untuk hasta karya pada jam keterampilan. Dari tanah lempung itu, kami
disuruh berkreasi untuk membuat hasta karya seperti asbak, patung, gelas, piring,
dan lain-lain. Pada waktu itu saya yakin pak sidik tidak mengetahui kalau sesungguhnya
beliau sudah melaksanakan pembelajaran berbasis potensi daerah lokal. Sungguh, pak
Sidik adalah sosok guru yang visioner. Saya
pun baru menyadari betapa pak Sidik sudah menerapkan berbagai pendekatan pembelajaran masa kini
sejak dahulu kala.
Begitulah apa yang dilakukan guruku. Beliau sungguh
menginspirasiku. Saya selalu mengingat beliau sebagai guru yang mengesankan
selama-lamanya. Ya, guru akan terus
dikenang siswanya sepanjang masa. Pak Sidik selalu menginspirasi sepanjang waktu. Semoga ilmu yang diberikan
menjadi ilmu yang bermanfaat dan akan dibawanya sebagai bekal di akherat kelak karena saya adalah saksi
bahwa pak Sidik telah memberikan ilmunya kepada saya, tauladan yang baik,
motivasi hidup dan juga semangat belajar. Salam
hormatku kepada Pak Sidik Pramono.
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar