Kata-kata Pembakar Semangat (1)



Kata-kata Pembakar Semangat yang Mengantarkan Meraih Juara (1)

Oleh: Rustiani Widiasih

“Bu, teman-teman susah disatukan. Sebagian anak mempunyai ide masing-masing dan egois. Sebagian lainnya acuh tak acuh. Mereka tidak serius dalam menghadapi lomba Bazar antar kelas. Padahal waktunya tinggal beberapa hari. Bu, tolong Ibu memberi  pengarahan di kelas X.6 ya bu,” kata ketua kelas X.6   penuh harap kepadaku suatu hari.  Aku adalah wali kelas X.6.  Aku memang mempersilakan anak-anak untuk menyampaikan segala permasalahan kelas yang dihadapi. Ini adalah masalah yang harus segera aku tangani karena lomba bazar antar kelas di sekolahku adalah agenda tahunan yan cukup bergengsi. Setiap kelas berlomba-lomba untuk menjadi juaranya.
Aku lalu memasuki kelas X.6. Aku tanyakan sejauh mana persiapannya. Mereka pun menjawab kalau belum mempunyai kata sepakat mengenai apa yang akan dijual,  apa tugas masing-masing dan bahkan berapa jumlah iuran masing-masing anak. Persiapan mereka sangatlah kurang. Aku memaklumi karena mereka belum pernah mengetahui seperti apa perlombaan bazar karena mereka masih pada tingak pertama di SMA.  Berarti aku harus menjelaskan kepada mereka secara detail tentang lomba bazar walau panitia sudah memberikan ketentuannya.
“Apa kalian  sudah mengetahui apa yang menjadi kriteria lomba?” tanyaku.
“Sudah, bu. Kreativitas, keunikan, penataan dan  daya jual,” jawab salah satu siswa.
“Baik, berarti kalian sudah mengerti kalau kalian harus memperhatikan hal  tersebut.  Nah, sekarang saya ceritakan seperti apa pemenang tahun yang lalu. Bertahun-tahun, pemenang bazar diraih oleh anak-anak kelas XI atau XII. Jarang sekali ada pemenang dari kelas X. Dan tahun ini, saya berharap pemenangnya dari kelas X yaitu kelas X.6,” kataku. Mendengarnya, anak-anak serentak menjawab “Amiin”.
“Apakah kalian ingin menang? “ tanyaku.
“Ya...” jawab anak-anak serentak.
“Nah kalau begitu,  kalian harus kompak. Ingat, ini adalah lomba tim dimana pesertanya adalah seluruh siswa dalam kelas ini.  Kalian  lihat permainan sepak bola. Semua mempunyai tujuan yang sama yaitu memasukkan bola ke gawang lawan. Semua berperan untuk tujuan itu dengan tugas masing-masing. Kalian juga. Dengan tujuan yang sama yaitu mengikuti perlombaaan bazar dengan sebaik-baiknya.  Hilangkan sikap individualisme. Kita melakukan sesuatu demi kebaikan  kelas kita. Jangan ada siswa yang tidak mendukung. Semua bekerja sama untuk tujuan kita yaitu menjadi yang terbaik. Kalian setuju?”
“Setuju...” kata anak-anak serempak.
“Baiklah, sekarang saya serahkan kepada ketua kelas untuk memimpin rapat kelas. Saya berpesan. Pertama,  pastikan makanan dan minuman  yang akan kalian jual adalah  enak, disukai banyak orang,  dan menarik bagi pembeli. Beri nama atas makanan dan minuman yang kamu jual dengan nama yang  menarik perhatian dan lain dari yang lain.  Kedua, buat tulisan yang besar di depan stand kalian sehingga pembeli tahu apa yang kamu jual. Ketiga,  pastikan setiap anak mempunyai tugas masing-masing dan keempat, lakukan semua dengan sebaik-baiknya. Persiapkan semuanya dengan sebaik-baiknya.  Rancang yang bagus semua yang akan kalian jual. Semboyan kita adalah, sepuluh enam, bisa,” kataku sebelum meninggalkan kelas.
                    “Sepuluh enam,” kataku bersemangat.
          “BISA!” kata anak-anak serentak. Aku lalu mempercayakan kepada para siswa untuk bermusyawarah.
Keesokan harinya, aku bertanya kepada anak-anak tentang kesiapan mereka. Mereka menjawab dengan mantapnya, “beres bu”.
Pada hari yang sudah ditentukan, aku melihat stand berjajar-jarar. Tampak  olehku salah satu stand yang paling mencolok. Persis seperti apa yang aku katakan, ada tulisan besar terpampang di depan stand menu makanan yang dijual. Nama makanan yang dijual pun cukup unik dan menarik.  Anak-anak kelas X.6 semuanya memakai kaos berwarna merah menyala. Ini membuatku heran. Sebegitu kompaknya mereka semua. Anak-anak laki dan perempuan melakukan tugas masing-masing. Ada yang membakar sate tahu “sesuatu”, ada yang melayani pembeli “Pentol Api neraka”  dan lain-lain. Aku bengga pada mereka.
          Keesokan harinya, anak-anak dengan puasnya bercerita kepadaku. “Bu, dagangan kami laris. Kami sampai kewalahan melayani pembeli. Kami mendapatkan laba banyak bu. Sampai-sampai kami tidak bisa merasakan rasa dagsngan kami karena semua habil terjual. Namun kami puas bu,” tutur salah satu siswaku. Aku juga merasa senang dan puas atas keberhasilan mereka. Itu sudah membuat kami bangga dan puas sehingga tidak memikirkan kejuaraan lagi. Baki anak-anak, mereka sudah merasa menang. Sehingga andaipun kalah itu sama sekali tidak menjadi soal.
Pada hari Senin sewaktu upacara, ada pengumuman bazar. Para juara diumumkan dari juara ketiga, kedua dan terakhir kesatu. Tidak menyangka, kelasku X6 yang menjadi juara 1. Mereka bisa mengalahkan anak-anak  kelas XI IPA yang pada umumnya tidak mau kalah dalam setiap perlombaan.  Ini adalah suatu prestasi kelas yang amat bagus. Ini adalah kemenangan  yang luar biasa karena kelas X bisa mengalahkan kelas XI. Ini adalah suatu prestasi yang sangat membanggakan kelas X.6.
Di balik kemenangan itu, semua pihak saling mempengaruhi keberhasilan. Aku mempunyai peran dalam memberikan motivasi. Anak-anak adalah pelaksananya. Aku merasa puas akan kemenangan ini. Aku bangga dan sekaligus merasa lega. Luar biasa.
Dari kemenangan itu ada beberapa hal yang dapat dijadikan renungan agar menjadi  pemenang dalam tim. Pertama adalah kekompakan, kedua well prepared, ketiga keunikan, keempat inovasi, kelima daya tarik, keenam penyajian, dan ketujuh jiwa pemenang. Semoga di masa yang akan datang aku bisa terus memberikan kata-kata pembakar semangat yang mengantarkan meraih juara kepada anak didikku.

*****



Budaya mbecek



Budaya “Mbecek” yang Memberatkan
         
          “Enaknya kalo bulan Sura,  tidak ada yang punya gawe.” Begitu celetuk saudaraku di salah satu desa di kabupaten Ponorogo. Memang kenyatannya, tidak ada yang menikah, khitan  dan mendirikan rumah pada bulan sura atau Muharam. Katanya bukan bulan baik. Itu menurut  pandangan orang Jawa. Menurut agama Islam, bulan Muharam atau Asyura memang bulan dimana ada banyak peristiwa yang merupakan ujian bagi para Nabi dan sekaligus Allah memberikan pertolongan atas ujian tersebut. Mungkin karena itu saya mengatakan bulan keprihatinan sehingga seharusnya tidak digunakan untuk pesta melainkan untuk puasa atau tirakat.
          Namun bukan masalah tersebut yang akan saya bahas melainkan masalah punya gawe baik sunatan (khitan) atau mantu dan budayanya di kebanyakan desa di kabupaten Ponorogo.  Sudah menjadi tradisi di desa apabila seseorang mempunyai gawe mantu atau khitan, pasti ada  budaya “mbecek”. Mbecek adalah mendatangi orang yang punya gawe dengan membawa sejumlah barang bawaan dan sejumlah uang. Barang-barang yang dibawa biasanya beras, mie, gula, minyak goreng, bawang merah, bawang putih, pisang, kopi dan berbagai kebutuhan pokok lain.  Biasanya barang bawaan tersebut dimasukkan ke dalam tas anyam, rinjing, sak, atau bekas kantong terigu.
          Selain barang  bawaan, orang yang mbecek juga membawa uang. Begitu datang di rumah orang yang punya gawe, biasanya ada petugas yang menulis jumlah uang dan menyediakan amplop. Heran saya, jumlah uang yang diberikan oleh yang yang mbecek juga ditulis. Nama dan alamat orang yang mbecek juga ditulis dengan lengkap.
          Tidak hanya itu, barang-barang bawaan juga dicatat dengan lengkap. Beras harus ditakar, barang lainnya harus dihitung  jumlah atau beratnya. Lalu ditulis di buku yang telah disedikan. Buku itu nantinya akan akan menjadi “buku hutang” bagi orang yang punya gawe. Karena, kelak jika orang yang mbecek punya gawe, barang dan uang itu harus dikembalikan persis sama jumlahnya.
          Setelah menyerahkan uang dan barang bawaan, orang yang mbecek dipersilakan duduk. Di hadapannya, sudah disediakan aneka suguhan seperti ranginang,  wajik, jadah, pisang,  kembang goyang atau sarang tawon, dan lain-lain. Selain itu, juga disuguhi makan dan minum sesuai dengan kemampuan orang yang punya gawe.
          Begitu pulang, tas, rinjing atau apapun tempat barang bawaan diisi dengan makanan yang sudah matang. Salah satunya adalah nasi. Dulu nasi sering dibungkus dengan daun jati. Seiring dengan perkembangan zaman kini menggunakan kertas atau tempat dari plastik. Selain nasi juga ada sayung seperti sayur pindang tempe,  mie, oseng-oseng buncis, sambal goreng kentang, dan sayur lotho atau tolo.
          Hal tersebut sudah menjadi budaya yang tidak bisa ditinggalkan. Saya mengatakan mbecek itu  justru akan memberatkan orang saja. Apa tidak  sebaiknya memberikan semampunya saja dan tidak harus mengemblikan.  Ya, semacam  bantuan begitulah. Itu hanya angan saya. Nyatanya itu sudah menjadi tradisi yang tidak mungkin bisa ditinggalkan.
          Saya akan menceritakan saudara saya yang tadi saya sebut. Betapa dampak mbecek itu sangat memberatkannya. Begini ceritanya, saudara saya itu, sebut saja namanya  Bu Parti.  Dia menikahkan anaknya. Istilah Jawanya, mantu.   Pada saat mantu, banyak sekali orang yang datang mbecek kepadanya. Saya sampai heran melihat tumpukan gula, beras, dan segala macam bahan kebutuhan pokok. Satu rumah penuh lah.
          Setelah punya gawe, semua barang itu dijual atau diuangkan. Biasanya juga, jumlah yang dia terima dengan jumlah yang dikeluarkan tidaklah seimbang. Kebanyakan  merugi. Dapat dibayangkan. Berhari-hari memberi makan banyak orang dan juga memasakkan orang yang mbecek. Belum lagi ada budaya tonjokan (masalah tonjokan akan diuraikan secara khusus lain kesempatan).
          Pada saat musim becek, Bu Parti harus menyediakan barang bawaan dan uang yang tidak sedikit.  Apalagi harus mengembalikan barang bawaan orang yang mbecek dengan jumlah banyak. Coba dihitung saja. Satu kali mbecek rata-rata membawa uang 20 ribu. Beras  lima kilogram, gula dua kilogram, minyak goreng dua kilogram. Misal harga beras delapan ribu kali  5 berarti empat puluh ribu. Harga gula sekilo sebelas ribu kali dua berarti dua puluh dua ribu. Harga minyak goreng dua liter dua puluh empat ribu.  Jika ditotal semua  kurang lebih seratus ribu. Itu sekali mbecek. Jika pada musim becek ada lima, tinggal mengalikan saja.
          Saya pribadi tidak berada pada daerah yang ada budaya demikian. Namun mendengar keluhan saudara tersebut, saya kasian juga mendengarnya. Bahkan ada yang makan saja susah namun di sisi lain mau tidak mau harus mbecek. Kalau tidak mbecek tidak  enak atau sungkan  dengan yang punya  gawe. Beberapa lagi harus kerja ekstra untuk mendapat uang agar bisa mbecek. Sementara keadaan sendiri susah.
          Begitulah salah satu tradisi yang ada di negeri ini. Pastinya ini adalah salah satu kekayaan tradisi di Indonesia yang entah harus dilestarikan atau tidak.  Seiring dengan perkembangan zaman,  ada orang yang menyikapi budaya tersebut dengan tidak mempunyai gawe. Jika menikahkan anak, cukup dengan  Ijab saja istilahnya. Mungkin diawali dengan kirim leluhur.
          Dibalik itu semua, ada nilai moral yang bisa dipelajari dari budaya mbecek.  Dan tentang itu akan dibahas selanjutnya.

***
         


Anakku diuntungkan



Kurikulum 2013 Menguntungkan Anakku

Oleh: Rustiani Widiasih

          Ada perbedaan yang mencolok pada kurikulum 2013 yaitu aspek yang dinilai tidak  ditentukan pada unsur kognitif saja melainkan pada sikap spiritual, sikap sosial, pengetahuan, keterampilan dan  muatan lokal. Dengan adanya tambahan unsur yang dinilai tersebut, justru itu sangat menguntungkan anak-anak yang unggul tidak dalam segi pengetahuan atau kognitif saja.
          Anakku termasuk anak yang kerang unggul dalam segi kognitif namun dia mempunyai keunggulan dalam bidang sosial, keterampilan, dan spiritual. Sebelum menerapkan kurikulum yang tematik seperti saat ini, anakku tidak mendapatkan peringkat sepuluh besar di kelasnya. Namun sejak kelas IV dimana kurikulum 2013 mulai diterapkan, dia mendapatkan juara sepuluh besar. Aku sungguh tidak mengira akan perkembangan yang disampaikan gurunya bahwa anakku termasuk berani dan aktif dalam kegiatan pembelajaran. Anak memang dituntut untuk kreatif dan berani bertanya.
          Kalau saya rasakan, memang benar juga kurukulum kita harus segera diubah. Keberhasilan tidak hanya ditentukan oleh kepintaran saja. Kesuksesan memerlukan sikap yang baik, ibadah yang taat, keterampilan dan juga keberanian mencoba.
          Mudah-mudahan generasi emas bangsa ini dapat terwujud pada waktu yang ditentukan. Semoga generasi mendatang menjadi generasi yang baik tingkah lakunya, baik tutur bahasanya, terampil, kreatif,  berani, dan taat menjalankan agama yang dianut. Amin.

Renungan Hari Ibu



Renungan  Hari Ibu

Oleh: Rustiani Widiasih

          Sepulang sekolah, ananda Azka Farhanta memberikan sebuah bunga. Dia bilang, “Mah, ini bunga untuk mama. Ada tulisannya:  Selamat hari mama. Saya sayang mama”. Tidak hanya sekali ini aku mendapatkan bunga dari anakku yang duduk di bangku TK. Gurunya  melatih anak untuk memberikan kesan yang istimewa bagi ibunya di hari ibu.  Menurut saya itu adalah pembiasaan yang sangat mulia. Anak jadi tahu betapa ia harus menyayangi ibunya. 

         
     Aku membaca tulisan Azka semula tertulis,”Saya sayang ibu dan selamat hari ibu.”  Lalu, kata “Ibu” diganti “mama” sehingga tulisannya menjadi,” saya sayang mam dan selamat hari mama.” Aku penasaran mengapa dia mengganti kata ibu dengan mama. Dia menjawab, “Gurunya tidak tahu kalau aku memanggil mama bukan ibu. Aku sayang mama.” Mendengarnya aku tertegun. Betapa polosnya anakku. Aku juga terharu karena ternyata dia tidak salah memilih orang yang harus lebih  disayangi.
 
        Mengapa saya berkata demikian? Sejak Azka lahir, aku memerlukan pengasuh anak selama aku bekerja. Pengasuhku tersebut sangat menyayangi anakku. Dia ingin  dipanggil dengan sebutan ibu atau buk Som.  Dan begitulah yang terjadi. Aska memanggil saya dengan sebutan mamah dan menanggil  pengasuhnya dengan sebutan ibu samai sekarang.
Satu hal, Azka sangat dekat dengan ibunya dan juga dengan saya.  Dia bilang kalau ibunya ada dua yaitu buk Som dan mamah. Dengan kenyataan tersebut, Azka mungkin tidak kekurangan perhatian dari kami berdua. Aku juga merasa lega dan tenang sewaktu aku bekerja karena ibunya menjaga anakku dengan baik. Jika aku pulang bekerja, Azka menjadi tanggunganku karena buk Som pulang ke rumahnya begitu aku datang.
Dari kenyataan di atas, aku sungguh terharu dan bersyukur. Anakku menyayangi aku lebih dari “ibunya”. Mungkin itu adalah hadiah terindah bagiku di hari ibu. Semoga aku bisa memerankan peranku secara seimbang untuk keluarga dan untuk profesiku. Bagaimanapun, sebagai seorang ibu aku harus melaksanakan funsiku sebagai pengurus rumah tangga dengan segala macam tugas. Di satu sisi aku juga harus mempertanggungjawabkan keilmuan yang telah aku pelajari untuk anak-anak didikku. Entah seberapa besarnya, aku pun harus ikut mencerdaskan anak bangsa ini sebisaku. Di satu sisi aku juga merasa perlu untuk membantu suami mencari nafkah karena  dua  sumber penghasilan akan lebih baik daripada satu sumber penghasilan saja. Apalagi, kami mempunyai cita-cita yang ingin dicapai.
Untuk memerankan peran yang “multitasking” tersebut seorang ibu memerlukan banyak sekali asupan seperti multienergi, kesabaran, keikhlasan, kekuatan, daya tahan yang kuat, kesehatan, kerja keras, management waktu, skala prioritas, kecerdasan, dan masih banyak lagi.
Dari kisah saya itu, saya jadi teringat kepada ibuku sendiri. Aku sebagai anak merasa belum bisa membalas jasa ibu. Sungguh ibu... jasamu sangat besar. Tidak bisa aku ukur jasamu dengan apapun. Tidak bisa aku beli ASI yang telah kau berikan. Tidak bisa aku ganti kesabaranmu menghadapi dan mendidikku sampai saat ini. Aku ingin bersimpuh di hadapanmu, Ibu. Aku selalu mendoakanmu setiap waktu. Semoga Allah menyayangimu sebagaimana kasih sayangmu kepadaku. Ya Allah kabulkan doaku. Sayangilah ibuku dengan kasih dan sayangMU.

****