Renungan Hari Ibu



Renungan  Hari Ibu

Oleh: Rustiani Widiasih

          Sepulang sekolah, ananda Azka Farhanta memberikan sebuah bunga. Dia bilang, “Mah, ini bunga untuk mama. Ada tulisannya:  Selamat hari mama. Saya sayang mama”. Tidak hanya sekali ini aku mendapatkan bunga dari anakku yang duduk di bangku TK. Gurunya  melatih anak untuk memberikan kesan yang istimewa bagi ibunya di hari ibu.  Menurut saya itu adalah pembiasaan yang sangat mulia. Anak jadi tahu betapa ia harus menyayangi ibunya. 

         
     Aku membaca tulisan Azka semula tertulis,”Saya sayang ibu dan selamat hari ibu.”  Lalu, kata “Ibu” diganti “mama” sehingga tulisannya menjadi,” saya sayang mam dan selamat hari mama.” Aku penasaran mengapa dia mengganti kata ibu dengan mama. Dia menjawab, “Gurunya tidak tahu kalau aku memanggil mama bukan ibu. Aku sayang mama.” Mendengarnya aku tertegun. Betapa polosnya anakku. Aku juga terharu karena ternyata dia tidak salah memilih orang yang harus lebih  disayangi.
 
        Mengapa saya berkata demikian? Sejak Azka lahir, aku memerlukan pengasuh anak selama aku bekerja. Pengasuhku tersebut sangat menyayangi anakku. Dia ingin  dipanggil dengan sebutan ibu atau buk Som.  Dan begitulah yang terjadi. Aska memanggil saya dengan sebutan mamah dan menanggil  pengasuhnya dengan sebutan ibu samai sekarang.
Satu hal, Azka sangat dekat dengan ibunya dan juga dengan saya.  Dia bilang kalau ibunya ada dua yaitu buk Som dan mamah. Dengan kenyataan tersebut, Azka mungkin tidak kekurangan perhatian dari kami berdua. Aku juga merasa lega dan tenang sewaktu aku bekerja karena ibunya menjaga anakku dengan baik. Jika aku pulang bekerja, Azka menjadi tanggunganku karena buk Som pulang ke rumahnya begitu aku datang.
Dari kenyataan di atas, aku sungguh terharu dan bersyukur. Anakku menyayangi aku lebih dari “ibunya”. Mungkin itu adalah hadiah terindah bagiku di hari ibu. Semoga aku bisa memerankan peranku secara seimbang untuk keluarga dan untuk profesiku. Bagaimanapun, sebagai seorang ibu aku harus melaksanakan funsiku sebagai pengurus rumah tangga dengan segala macam tugas. Di satu sisi aku juga harus mempertanggungjawabkan keilmuan yang telah aku pelajari untuk anak-anak didikku. Entah seberapa besarnya, aku pun harus ikut mencerdaskan anak bangsa ini sebisaku. Di satu sisi aku juga merasa perlu untuk membantu suami mencari nafkah karena  dua  sumber penghasilan akan lebih baik daripada satu sumber penghasilan saja. Apalagi, kami mempunyai cita-cita yang ingin dicapai.
Untuk memerankan peran yang “multitasking” tersebut seorang ibu memerlukan banyak sekali asupan seperti multienergi, kesabaran, keikhlasan, kekuatan, daya tahan yang kuat, kesehatan, kerja keras, management waktu, skala prioritas, kecerdasan, dan masih banyak lagi.
Dari kisah saya itu, saya jadi teringat kepada ibuku sendiri. Aku sebagai anak merasa belum bisa membalas jasa ibu. Sungguh ibu... jasamu sangat besar. Tidak bisa aku ukur jasamu dengan apapun. Tidak bisa aku beli ASI yang telah kau berikan. Tidak bisa aku ganti kesabaranmu menghadapi dan mendidikku sampai saat ini. Aku ingin bersimpuh di hadapanmu, Ibu. Aku selalu mendoakanmu setiap waktu. Semoga Allah menyayangimu sebagaimana kasih sayangmu kepadaku. Ya Allah kabulkan doaku. Sayangilah ibuku dengan kasih dan sayangMU.

****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar