Budaya “Mbecek” yang Memberatkan
“Enaknya kalo bulan Sura, tidak ada yang punya gawe.” Begitu celetuk
saudaraku di salah satu desa di kabupaten Ponorogo. Memang kenyatannya, tidak
ada yang menikah, khitan dan mendirikan
rumah pada bulan sura atau Muharam. Katanya bukan bulan baik. Itu menurut pandangan orang Jawa. Menurut agama Islam,
bulan Muharam atau Asyura memang bulan dimana ada banyak peristiwa yang
merupakan ujian bagi para Nabi dan sekaligus Allah memberikan pertolongan atas
ujian tersebut. Mungkin karena itu saya mengatakan bulan keprihatinan sehingga
seharusnya tidak digunakan untuk pesta melainkan untuk puasa atau tirakat.
Namun bukan masalah tersebut yang akan saya bahas melainkan
masalah punya gawe baik sunatan
(khitan) atau mantu dan budayanya di kebanyakan desa di kabupaten
Ponorogo. Sudah menjadi tradisi di desa
apabila seseorang mempunyai gawe mantu atau khitan, pasti ada budaya “mbecek”. Mbecek adalah mendatangi
orang yang punya gawe dengan membawa sejumlah barang bawaan dan sejumlah uang.
Barang-barang yang dibawa biasanya beras, mie, gula, minyak goreng, bawang
merah, bawang putih, pisang, kopi dan berbagai kebutuhan pokok lain. Biasanya barang bawaan tersebut dimasukkan ke
dalam tas anyam, rinjing, sak, atau bekas kantong terigu.
Selain barang bawaan, orang yang mbecek juga membawa uang.
Begitu datang di rumah orang yang punya gawe, biasanya ada petugas yang menulis
jumlah uang dan menyediakan amplop. Heran saya, jumlah uang yang diberikan oleh
yang yang mbecek juga ditulis. Nama dan alamat orang yang mbecek juga ditulis
dengan lengkap.
Tidak hanya itu, barang-barang bawaan
juga dicatat dengan lengkap. Beras harus ditakar, barang lainnya harus
dihitung jumlah atau beratnya. Lalu ditulis
di buku yang telah disedikan. Buku itu nantinya akan akan menjadi “buku hutang”
bagi orang yang punya gawe. Karena, kelak jika orang yang mbecek punya gawe,
barang dan uang itu harus dikembalikan persis sama jumlahnya.
Setelah menyerahkan uang dan barang
bawaan, orang yang mbecek dipersilakan duduk. Di hadapannya, sudah disediakan
aneka suguhan seperti ranginang, wajik,
jadah, pisang, kembang goyang atau
sarang tawon, dan lain-lain. Selain itu, juga disuguhi makan dan minum sesuai
dengan kemampuan orang yang punya gawe.
Begitu pulang, tas, rinjing atau
apapun tempat barang bawaan diisi dengan makanan yang sudah matang. Salah
satunya adalah nasi. Dulu nasi sering dibungkus dengan daun jati. Seiring
dengan perkembangan zaman kini menggunakan kertas atau tempat dari plastik.
Selain nasi juga ada sayung seperti sayur pindang tempe, mie, oseng-oseng buncis, sambal goreng
kentang, dan sayur lotho atau tolo.
Hal tersebut sudah menjadi budaya yang
tidak bisa ditinggalkan. Saya mengatakan mbecek itu justru akan memberatkan orang saja. Apa
tidak sebaiknya memberikan semampunya
saja dan tidak harus mengemblikan. Ya,
semacam bantuan begitulah. Itu hanya
angan saya. Nyatanya itu sudah menjadi tradisi yang tidak mungkin bisa
ditinggalkan.
Saya akan menceritakan saudara saya
yang tadi saya sebut. Betapa dampak mbecek itu sangat memberatkannya. Begini
ceritanya, saudara saya itu, sebut saja namanya Bu Parti.
Dia menikahkan anaknya. Istilah Jawanya, mantu. Pada saat mantu, banyak sekali orang yang
datang mbecek kepadanya. Saya sampai heran melihat tumpukan gula, beras, dan
segala macam bahan kebutuhan pokok. Satu rumah penuh lah.
Setelah punya gawe, semua barang itu
dijual atau diuangkan. Biasanya juga, jumlah yang dia terima dengan jumlah yang
dikeluarkan tidaklah seimbang. Kebanyakan merugi. Dapat dibayangkan. Berhari-hari
memberi makan banyak orang dan juga memasakkan orang yang mbecek. Belum lagi
ada budaya tonjokan (masalah tonjokan akan diuraikan secara khusus lain
kesempatan).
Pada saat musim becek, Bu Parti harus
menyediakan barang bawaan dan uang yang tidak sedikit. Apalagi harus mengembalikan barang bawaan
orang yang mbecek dengan jumlah banyak. Coba dihitung saja. Satu kali mbecek
rata-rata membawa uang 20 ribu. Beras
lima kilogram, gula dua kilogram, minyak goreng dua kilogram. Misal
harga beras delapan ribu kali 5 berarti
empat puluh ribu. Harga gula sekilo sebelas ribu kali dua berarti dua puluh dua
ribu. Harga minyak goreng dua liter dua puluh empat ribu. Jika ditotal semua kurang lebih seratus ribu. Itu sekali mbecek.
Jika pada musim becek ada lima, tinggal mengalikan saja.
Saya pribadi tidak berada pada daerah
yang ada budaya demikian. Namun mendengar keluhan saudara tersebut, saya kasian
juga mendengarnya. Bahkan ada yang makan saja susah namun di sisi lain mau
tidak mau harus mbecek. Kalau tidak mbecek tidak enak atau sungkan dengan yang punya gawe. Beberapa lagi harus kerja ekstra untuk
mendapat uang agar bisa mbecek. Sementara keadaan sendiri susah.
Begitulah salah satu tradisi yang ada
di negeri ini. Pastinya ini adalah salah satu kekayaan tradisi di Indonesia
yang entah harus dilestarikan atau tidak.
Seiring dengan perkembangan zaman,
ada orang yang menyikapi budaya tersebut dengan tidak mempunyai gawe.
Jika menikahkan anak, cukup dengan Ijab
saja istilahnya. Mungkin diawali dengan kirim leluhur.
Dibalik itu semua, ada nilai moral
yang bisa dipelajari dari budaya mbecek.
Dan tentang itu akan dibahas selanjutnya.
***
Baguslah
BalasHapusMbecek ibarat sedekah bumi.
BalasHapus