Anak-anak Desa Pinus

ANAK-ANAK SD BUNGA PINUS

Hilangnya lembu Pak Marto mengejutkan semua orang. Bagaimana bisa lembu yang sedang digembala menghilang begitu saja? Padahal, telah diikat tali pengikat sapi itu pada sebatang pohon. Menurut Pak Karto, lembu tersebut hilang di gunung Kuniran. Lembu yang telah diikat itu ditinggalnya merumput di lereng-lereng gunung Kuniran. Ketika ia hendak pulang sore hariya, ia tidak mendapati sapinya. Ia mencari kesana-kemari namun tidak juga ditemukannya. Akhirnya ia pulang tanpa sapi.
Memang, pada musim kemarau ini semua orang di desa Tosari kesulitan mendapatkan makanan ternak. Salah satu tempat yang kelihatan hijau adalah di gunung Kuniran. Maka Pak Marto merumput dan menggembala di gunung tersebut walau jaraknya cukup jauh dari desanya.
***
Tanah di sekitar desa Tosari rengkah (pecah-pecah karena kekeringan). Tetanaman dan rerumputan mengering kecoklatan. Pohon-pohon Waru yang biasanya menghijau, kini meranggas karena daun-daunnya dipangkas orang-orang untuk pakan ternak. Sumber-sumber air kering kerontang. Salah satu sumber yang masih mengalir hanyanlah belik (sumber air di kolam kecil) di bawah pohon Beringin yang berada di ujung desa Tosari. Itu pun harus dibagi-bagi dengan banyak orang.
Keadaan yang demikian itu meresahkan semua orang. Banyak orang kesulitan mendapatkan pakan (makanan) ternak, mendapatkan air untuk keperluan sehari-hari apalagi untuk bercocok tanam. Padahal, air merupakan kebutuhan vital (penting) bagi masyarakat yang sebagian besar adalah petani dan peternak sapi dan kambing. Barangkali hanya Rusti saja yang menyukai musin kemarau. Gadis kecil itu selalu menikmati gemerlapnya langit di malam hari. Bintang-bintang yang bertaburan dan berkelap-kelip tak jemu-jemunya ia pandang setiap malam. Sebuah pemandangan yang tidak didapatinya pada musim penghujan.
Pada bulan purnama, ia menghabiskan malamnya di halaman rumah. Ia menggelar tikar lalu membuat api unggun dengan ranting-ranting dan daun-daun kering. Jika tidak ingin sendirian saja, ia memanggil teman-temannnya untuk bergabung. Kentongan yang menggantung di teras surau (Musholla) dipukulnya sebagai isyarat panggilan untuk teman-temannya. Setelah berkumpul, mereka bermain, bernyanyi dan bercerita tentang kisah-kisah lucu dan kadang cerita horor.
”Kamu tahu, ke mana hilangnya sapi pak Marto?” tanya Nunuk, si pembual ulung. Semua anak menggelengkan kepala. ”Sapi itu dicuri yang mbaurekso (menguasai) gunung Kuniran untuk dijadikan tumbal (tebusan). Kalian tahu, gunung Kuniran ada penunggunya. Yang menunggu adalah raksasa buto ijo (hantu raksasa yang menakutkan dan jahat menurut kepercayaan orang Jawa) Buto ijo makan sapi bahkan juga suka makan anak kecil seperti kita”.
”O... begitu ya?” ucap Trisno sambil menggeserkan tempat duduknya mendekati Rusti, Nunuk dan Tutut. Trisno, walau seorang laki-laki, sangatlah penakut.


”Dengar ya. Aku mendapatkan cerita ini dari Mbak Sri. Dia dapat cerita dari temannya” tutur Nunuk penuh percaya diri. ”Hi... menakutkan. Jangan sampai kita pergi ke gunung Kuniran bisa-bisa kita dimakan buto ijo” kata Tutut sambil melingkarkan tangannya ke pundak Rusti.Demikianlah keempat anak tersebut menghabiskan malamnya hingga salah satu dari orang tua mereka memanggil untuk segera pulang. Jika sudah begitu, mereka baru meninggalkan tempat. Rustilah yang pulang paling akhir. Ia menggulung tikarnya lalu mematikan api unggun dengan memercikkan air di atasnya. Rusti tidak penakut seperti ketiga temannya. Kadang-kadang ia juga diminta untuk mengantarkan Tutut yang sangat penakut sampai di depan rumahnya.
Pada musim kemarau, angin malam sangatlah dingin. Dinginnya sampai menusuk kulit.Angin bertiup sangat kencang. Kadang menimbulkan suara yang aneh. Juga muncul suara menakutkan dari pohon-pohon yang saling bergesekan. Rusti seringkali menyusul tidur di kamar ibu, bapak dan adikknya yang masih bayi. Jika ia tidur di kamarnya sendiri, ia merasa kedinginan. Ia menindih tubuh bapaknya sampai tergeser ke pinggir sehingga ia mempunyai tempat yang hangat di dekat adiknya. Pernah suatu hari tubuh bapaknya sampai terjatuh dari tempat tidur. Untungnya, bapaknynya tidak sadar dari tidurnya sampai pagi.
Pada pagi hari, Rusti dan ketiga temannya bertemu di belik bawah pohon beringin. Mereka tidak langsung mandi. Alasannya, masih banyak orang dewasa yang menggunakan belik itu. Namun alasan yang lebih kuat adalah karena mereka masih merasa kedinginan dan malas untuk segera mandi. Buktinya, walau orang dewasa telah selesai mandi dan mengambil air, mereka masih saja enggan untuk segera mandi.
Trisno masih berselimut sarung kesayangannya. Tutut menggunakan baju pijamanya, Nunuk dan Rusti mengalungkan handuk di pundaknya. Mereka duduk di atas batu besar yang terletak tidak jauh dari belik. Mereka segera mandi jika matahari sudah mulai terbit atau salah satu orang tua dari anak tersebut meneriaki agar segera mandi. Trisno diminta untuk mandi terlebih dahulu. Setelah selesai, Rusti, Tutut dan Nunuk mandi bersama-sama. Pulangnya, Rusti harus membawa pulang timba kecil berisi air. Ia membawakan air ibunya untuk memasak.
Setelah mandi, mereka berganti pakaian lalu makan pagi seadanya. Mereka berangkat ke sekolah bersama-sama menyusuri jalanan berdebu. Sepatu mereka yang baru saja dicuci tidak tampak bersih lagi. Debu menempel pada sepatu sehingga warnanya kecoklatan. Sesekali mereka menepuk-nepuk sepatunya sehingga debu berhamburan dibawa angin.
Anak-anak desa itu selalu ceria, mereka tidak begitu dibebani dengan urusan pelajaran sekolah atau pekerjaan rumah. Bagi mereka, dunianya adalah bermain dan bertualang. Keempat anak tersebut sebenarnya tidaklah lahir pada tahun yang sama. Trisno adalah anak yang paling tua. Ia pernah tinggal kelas pada kelas dua sehingga ia berada di kelas yang sama dengan Rusti, Nunuk dan Tutut. Tutut adalah anak termuda, Ia masuk SD pada usia lima tahun. Oleh karenaya ia menjadi anak yang penakut dan manja. Rusti dan Nunuk lahir pada tahun yang sama.
Mereka berempat menjadi sahabat yang saling melengkapi. Jika ada Tutut yang manja dan penakut, maka ada pula Rusti yang tomboi dan pemberani. Ada Nunuk si pembual dan juga ada Triso yang selalu percaya begitu saja pada ucapan orang.
Pagi itu adalah hari Senin, semua siswa SD Bunga Pinus harus melaksanakan upacara bendera. Anak-anak berbaris dengan rapi, namun anak-anak yang menghadap ke Timur sangatlah gelisah. Matanya terpejam-pejam. Tangnnya seringkali berada di atas mata seperti sedang menghormat. Mereka menghindari tajamnya sorot matahari. Keringat mengalir di dahi dari balik topi merah putihnya. Anak-anak yang berada di barisan belakang berlindung pada teman yang berada di depannya. Mereka menundukkan tubuhnya.
Pada saat acara amanat upacara, pimpinan upacara memberi aba-aba istirahan di tempat. Lalu Bapak kepala sekolah, selaku pemberi amanat meminta siswa untuk diam sejenak. Anak-anak diperkenankan untuk duduk.
”Anak-anakku siswa dan siswi SDN Bunga Pinus yang saya cintai, di pagi yang cerah ini saya mengajak anak-anak untuk menjaga kesehatan. Pada musim kemarau seperti ini, di mana sulit untuk mendapatkan air, biasanya akan timbul berbagai penyakit kulit. Oleh karena itu saya harap anak-anak tetap menjaga kebersihan. Selain itu, ada pengumuman untuk siswa kelas tiga. Mulai minggu depan, Ibu guru kalian, Ibu Katmiati tidak bisa mengajar kalian lagi karena akan purna tugas (pensiun). Sebagai gantinya nanti, kalian akan diajar oleh guru baru dari kota...” tutur bapak kepala sekolah.
Anak-anak kelas tiga, yaitu Rusti dan kawan-kawan saling memandang. Mereka merasa sedih. Selama ini bu Katmi mengajar mereka dengan sabar sekali. Ia tidak pernah memberi pekerjaan rumah kepada siswanya. Ia selalu megajar dengan santai.
Selesai upacara bendera selesai, seperti biasanya anak-anak berbaris di depan kelas terlebih dahulu menjadi dua barisan. Barisan kanan dan barisan kiri. Ketua kelas di kelas tiga adalah Rusti. Ia Memberikan aba-aba dengan tegas. ”Siap grak. Lencang kanan grak. Tegak grak. Jalan ditempat grak. Henti grak.” Begitulah dia memberi aba-aba. Lalu ia memandangi barisannya. Dia memandang barisan di sebelah kanan dan kiri. Lalu memutuskan barisan mana yang boleh masuk terlebih dahulu. Barisan yang boleh masuk adalah barisan yang lebih rapi. ”Barisan kanan, masuk dahulu”. Jika ia berkata demikian, satu per satu siswa di barisan kanan memasuki kelas, lalu disusul siswa pada barisan kiri.
Setelah masuk kelas, mereka duduk di tempat masing-masing. Tidak lama kemudian Ibu Katmiati masuk kelas. Lalu spontan Rusti memimpin teman-temannya berdoa. Setelah berdoa, Ibu guru mengucapkan salam lalu mengabsen siswa satu per satu. Demikianlah rutinitas (kebiasaan) yang setiap pagi dijalani tanpa bosan dan enggan.
Kelas mereka bercat putih. Namun kini warnanya menjadi kekuningan karena telah memudar. Di atas papan tulis terpasang gambar presiden dan wakilnya. Selain itu ada gambar-gambar pahlawan seperti R.A Kartini, Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol dan Jendral Sudirman. Wajah-wajah pahlawan itu tidak asing lagi bagi anak-anak. Pada pelajaran sejarah, Ibu Katmi selalu menceritakan kisah kepahlawanan mereka. Selain gambar pahlawan, di dinding dekat meja guru terpasang jadwal mata pelajaran dan jadwal piket harian. Anak-anak harus melaksanakan tugas piket seperti yang telah dijadwalkan. Tugas piket itu adalah menyapu lantai dan menghapus papan tulis.
Ibu Katmiati memang sudah terihat tua. Ada keriput di wajah dan tangannya. Rambutnya tercampur antara hitam dan putih. Giginya ada yang ompong. Jika sudah siang, suaranya menjadi parau walau lantang pada pagi harinya. ”Anak-anak yang saya cintai, hari ini adalah hari terakhir saya mengajar kalian. Ibu akan pensiun. Usia ibu sudah 60 tahun. Sudah waktunya ibu digantikan oleh guru muda. Pesan saya, nikmatilah masa anak-anak kalian. Teruslah bermain, bernyanyi dan bertualang. Karena itulah dunia kalian....” Ucap Ibu Katmi mengawali pelajaran pada waktu itu. Ia memang guru yang sangat peduli degan dunia anak-anak. Karena alasan itu pula ia tidak memberi beban yang sangat berat kepada anak-anak. Ketika ia mengajar, anak-anak selau menikmatinya. Ia menjelaskan dengan sederhana tetapi justru mudah dipahami oleh siswa. Kemampuan itulah yang membuat anak-anak tidak merasa sulit dalam menangkap pelajaran.
”Hari ini saya tidak akan mengajar. Saya hanya akan bercakap-cakap dengan kalian semua” lanjut bu Katmi.
”Hore....” teriak anak satu kelas.
”Ibu akan bertanya tentang hobi dan cita-cita kalian. Anak-anak harus punya masa depan yang cerah. Masa depan yang cerah itu awalnya dari cita-cita yang tinggi. Ayo sekarang katakan apa hobi anak-anak? Lalu saya akan memberitahu apa kira-kita profesi yang sesuai dengan hobi kalian ”
”Hobi saya bercerita, Bu” kata Nunuk si pembual dengan keras.
”Itu hobi yang bagus. Kamu bisa menjadi pendongeng, penyiar atau peceramah kelak”
”Dia pembual, Bu” kata Agus si pembuat onar.
”Benarkah? Berarti pendongeng yang paling cocok untukmu, Nunuk. Karena mendongeng itu tidak harus benar-benar terjadi. Yang diceritakan boleh cerita rekaan”
”Hobi saya melakukan penjelajahan seperti di Pramuka itu, Bu” kata Rusti.
”Bagus. Besuk kamu bisa menjadi....”
”Mandor hutan, Bu” sela Agus lagi.”Ya. Agus benar. Selain itu, kau bisa menjadi penyelamat lingkungan. Beberapa tahun yang lalu ada seorang yang mendapatkan penghargaan Kalpataru dari Bapak Presiden karena berhasil menyelamatkan hutan dengan menanami pohon pinus”
”Kalau saya hobinya menyanyi, Bu” kata Tutut.
”Bagus. Kamu bisa menjai seorang penyanyi kelak. Lalu apa hobi kamu, Agus? Dari tadi kamu hanya mengomentari hobi temanmu”
”Aku ..... Aku.....” Agus tidak bisa menjawab karena dia belum memikirkan hobinya sendiri.
”Tidak punya hobi? Ibu kira kamu cocok untuk menjadi seorang komentator atau penilai”
”Betul....” teriak anak-anak membenarkan saran bu Katmi.
”Kalau kamu Trisno?” tanya bu Katmi melihat Trisno yang sejak awal hanya diam saja.
”Saya bingung, bu. Saya suka mendengarkan cerita teman-teman. Saya juga suka mendengarkan sandiwara radio. Saya juga suka mendengarkan lagu-lagu”
”Oh... Hobimu mendengarkan?”
”Dia bisa jadi dukun ya bu?” tanya Tutut
”Jangan menjadi dukun. Jadi saja penasihat spiritual atau paranormal. Menjadi pengacara juga bisa” tambah Agus si komentator.
Percakapan mereka sangat seru. Tidak lama kemudian bel istirahat berbunyi. Mereka beristirahat. Ada yang bermain di luar kelas, ada yang pergi ke warung Bu Siti, ada pula yang bergerombol di dalam kelas. Mereka yang bergerombol itu biasanya mendengarkan bualan Nunuk dengan cerita-cerita yang diciptakannya. Jika ada isu baru Nunuk selalu menceritakan kepada teman-teman. Anehnya, semua anak selalu senang mendengar ceritanya walau mereka tahu ceritanya itu kadang hanya dibuat-buat. Nunuk seperti mempunyai kekuatan untuk menarik perhatian teman-temannya.
Keterampilan Nunuk bercerita membuatnya memiliki banyak teman. Kerena, selain suka membual dia juga suka membicarakan kejelekan teman yang tidak sependapat dengannya. Topik yang sedang hangat dibahas pada waktu itu adalah tentang hilangnya sapi pak Marto.
Rusti dan Tutut tidak mau bergabung dengan gerombolan itu. Mereka selalu mendapatkan informasi terbaru karena rumahnya paling dekat dengan Nunuk sehingga semua informasi pasti sampai di telinga mereka paling awal. Trisno tidak bosan-bosannya mendengar cerita Nunuk walau berpuluh-puluh kali telah didengarnya. Ia benar-benar pendengar setia.
***







GURU BARU

Seorang lelaki memasuki ruang kelas tiga. Laki-laki itu masih muda. Bajunya sangat rapi. Rambutnya disisir dengan rapi pula. Begitu memasuki kelas, aroma harum tercium dari tubuhnya. Ia tampak segar dan gagah.Ia tersenyum dengan ramah memandangi para siswa. Senyum ramahnya membuat hati siswa menjadi berbunga-bunga.
“Selamat pagi, anak-anak?” ucap lelaki itu dengan suara yang merdu.
“Selamat pagi....” jawab anak-anak.
“Perkenalkan. Saya adalah guru baru kalian”
“O..... guru baru? Namanya siapa?” selidik Nunuk agar tidak ketinggalan info terbaru.
“Nama saya SIDIK PRAMONO” ucap pak guru sambil menuliskan namanya di papan tulis. “Panggil saja Pak Sidik.”
“Ya, Pak Sidik...” Anak –anak langsung mempraktikan.
Guru baru dan siswa-siswi kelas tiga itu lalu saling berkenalan. Pertemuan pertama mereka sangat mengesankan. Mereka langsung akrab seperti sudah pernah kenal sebelumnya. Anak-anak menganggap Pak Sidik tidak hanya sebagai seorang guru tetapi juga seorang kakak dan sahabat.
***
Kehadiran pak Sidik di SDN Bunga Pinus memberi warna yang berbeda. Semula, anak-anak tidak pernah senam pagi sebelum pelajaran dimulai. Pak Sidik mengajari senam Kesegaran Jasmani yang diiringi dengan musik. Hal itu membuat anak-anak gembira. Mereka menirukan setiap gerakan yang dicontohkan Pak Sidik. Dalam waktu satu minggu mereka sudah hafal gerakan senam. Tidak hanya itu, pada sore hari anak-anak yang berminat diajak latihan baris berbaris, pramuka dan juga berbagai jenis olah raga. Sekolah menjadi ramai sepanjang hari. Anak-anak menjadi termotivasi untuk selalu pergi ke sekolah. Mereka bisa menemukan pengalaman dan hal-hal baru.
Suatu hari Pak Sidik bertanya pada anak-anak didiknya.
“Apakah kalian merasa nyaman berada di kelas ini?”
“Senang Pak, tetapi kadang-kadang sedih juga karena kelasnya berdebu. Saya suka bersin-bersin jika terkena debu” ucap Tutut dengan manja.
“Huh dasar anak manja” olok Agus.
“Baiklah. Kalau bagitu bagaimana kalau kita besuk membersihkan kelas kita. Kebetulan besuk hari Minggu. Kita akan membuat kelas ini menjadi kelas yang indah dan nyaman, bagaiman?”
“Setuju....”
“Besuk bawalah peralatan untuk membersihkan kelas ini. Ada yang membawa ember, lap, kuas cat, sapu, kemucing dan peralatan lain yang kalian punya”
“Baik, Pak....”
Keesokan harinya anak-anak bersemangat pergi ke sekolah. Pak Sidik datang paling awal. Lalu Rusti dan ketiga sahabatnya datang menyusul karena rumah mereka paling dekat dengan sekolah. Tidak lama kemudian anak-anak lain datang satu per satu. Setelah lengkap mulailah pak Sidik memberi pengarahan.
“Selamat pagi semua!”
“Pagi, Pak....”
“Sudah mandi? “
“Belum, pak. Beliknya masih digunakan orang dewasa untuk mencuci” ucap Rusti.
“Ya, pak. Karena sekarang mahal air, hari minggu bonus tidak mandi” kata Nunuk.
“Ya saya tahu. Kalian belum mandi itu lebih baik karena kita akan terkena kotoran dan debu. Setelah selesai bersih-bersih baru kita mandi. Mari kita awali saja kegiatan kita dengan bacaan Basmallah. Semoga semua bisa lancar”
“Bismillahhirrahmannirrahim”
“Pertama mari kita pindahkan meja dan kursi ini keluar. Satu meja dianggat oleh empat anak. Satu kursi dianggap oleh dua anak. Cari pasangan masing-masing”
Dengan penuh semangat anak-anak memindahkan meja dan kursi keluar kelas. Suara mereka ramai sekali.
“Bagus anak-anak. Kaian bisa melakukan tugas dengan baik. Sekarang kita bagi tugas. Siswa yang membawa ember, menggambil air di belik. Siswa yang membawa kuas, mengecat dinding. Nanti saya ajari cara mengecat yang benar. Siswa yang membawa kemuceng, membersihkan jendela. Siswa yang membawa sapu, menyapu lantai. Siswa yang membawa kain pel, menanti temannya yang sedang mengambil air, lalu mengepel lantai. Kerjakan tugas masing-masing dengan baik. Ada yang ditanyakan?”
“Pak, saya membawa sabit. Karena setelah kerja bakti saya akan merumput. Apa yang bisa saya kerjakan?” tanya Trisno ketakutan.
“Kebetulan sekali ada yang membawa sabit. Ambillah pelepah pisang. Nanti bisa digunakan untuk membersihkan lantai”
Lalu anak-anak menjalankan tugas masing-masing dengan baik. Kebetulan Pak Kebon muncul saat itu sehingga bisa membantu mengecat dinding bagian atas.Beberapa jam kemudian ruang kelas tiga menjadi bersih dan tampak baru. Warna dinding yang semula kekuningan, kini dicat dengan warna biru muda yang cerah. Lantai berdebu telah berganti menjadi lantai yang bersih. Kaca-kaca jendela menjadi mengkilap dan bersih.
Kerja bakti selesai ketika matahari tepat di atas kepala. Sebelum pulang, Pak Sidik memberikan pengarahan kepada siswa.
“Saya mengucapkan terimakasih kepada kalian semua. Kalian sudah bekerja dengan hebat. Luar biasa. Kelas kita telah bersih sekarang. Namun, kerja kita belum selesai. Kita harus menjaga agar kelas ini selalu bersih. Untuk itu, mulai besuk kita sepakat untuk melepas sepatu ketika akan masuk kelas. Besuk kita akan membuat tempat sepatu dari pohon bambu. Oh ya. Masih ada satu hal lagi. Selain, menciptakan kelas yang bersih, kita juga akan menciptakan kelas yang indah. Kita bisa menempatkan vas bunga di atas meja guru. Untuk itu, pada mata pelajaran keterampilan nanti akan saya ajarkan keterampilan membuat bunga dari bahan-bahan yang bisa ditemukan di sekitar kita. Sekarang, karena hari sudah siang. Kalian boleh pulang. Sampai jumpa besuk pagi”
“Sampai jumpa, Pak...” jawab anak-anak serempak.
***
Pada bulan September, persediaan air semakin menipis. Udara sangat panas pada siang hari dan sangat dingin pada malam hari. Tanah kering berdebu dan terbang di bawa angin ke dedaunan dan rumah-rumah. Kulit manusia mengering dan telapak kaki menjadi pecah-pecah. Hal seperti itu juga terjadi pada kulit anak-anak SDN Bunga Pinus. Pak Sidik yang sangat perhatian itu sangat prihatin dengan keadaan tersebut. Ia tidak tega menyaksikan kulit siswa-siswinya bersisik, kotor dan dekil.
Suatu hari pak Sidik meminta anak-anak untuk membawa beberapa bahan seperti parutan kelapa, sabun mandi dan minyak kelapa. Semula anak-anak tidak mengerti untuk apa bahan-bahan itu. Namun anak-anak tidak pernah membantah ucapan pak Sidik karena mereka dipastikan akan mendapakan hal-hal yang baru.
Ternyata benar, anak-anak diberi penjelasan tentang kulit manusia.
“Kulit manusia sama seperti tumbuhan. Kulit juga membutuhkan makanan. Jika tidak, kulit menjadi kering dan pecah-pecah. Apalagi, pada musim kemarau seperti sekarang ini, dimana angin berhembus dengan kencang sehingga kulit menjadi kering. Selain itu, banyaknya debu yang menempel pada kulit juga menyebabkan kulit menjadi kotor. Oleh karena itu kulit kalian semua menjadi kering dan bersisik”
Anak-anak lalu melihat kulit masing-masing. Mereka malu melihatnya. Ada yang melingkarkan kakinya, ada yang menarik kaos kakinya dan ada pula yang menunduk.
“Kali ini saya akan mengajarkan pada kalian bagaimana cara merawat kulit. Sebenarnya ada cream khusus untuk kulit seperti hand body ini” kata pak Sidik sambil menunjukkan sebuah hand body kepada anak-anak.
“Oh kalau seperti itu kakakku juga punya pak” ucap Nunuk dengan bangga.
“Bagus. Itu bisa kau pakai setiap pagi. Jika tidak punya, bahan-bahan seperti yang telah engkau bawa yaitu minyak kelapa, kelapa yang sudah diparut dan sabun mandi bisa dipakai. Jika kalian membawa minyak kelapa, ambil minya secukupnya lalu oleskan pada lengan tangan dan kaki. Jika kalian membawa parutan kelapa, gosokkan pada kaki dan tangan, lalu bersihkan sisanya. Jika membawa sabun mandi, begini caranya. Basahi sabun dengan air, lalu gossokkan pada kaki dan kulit. Jangan dibilas dengan air. Nanti akan mengering sendiri. Di dalam sabun ada pelembabnya sehingga kaki kalian tidak akan bersisik”
“Wah.... Betul sekali, Pak. Kaki saya menjadi bersih” kata Rusti yang telah mengoleskan minyak kelapa ke kaki dan tangannya.
“Kaki saya jadi mengkilat!” ucap Trisno kegirangan setelah mengoleskan parutan kelapa ke kaki dan tangannya.
“Wow... harum....” ucap Nunuk sambil mencium tangannya karena ia mengoleskan sabun pada kaki dan tanggannya.
“Kalian sudah tahu bagaimana cara merawat kulit. Lakukan itu setiap hari sebelum sekolah”
“Ya Bapak.....”
***






KE GUNUNG KUNIRAN

Rusti memandang Gunung Kuniran dengan seksama. Dilihatnya Gunung itu tampak menghijau. Ia ingin sekali bisa pergi ke gunung itu. Bukan karena ingin bertemu dengan buto ijo seperti yang diceritakan Nunuk. Namun ia ingin melakukan penjelajahan. Siapa tahu ia bisa menemukan hal yang baru di tempat itu.
Ia menyampaikan keinginannya itu kepada pak Sidik. Ternyata pak Sisik juga memiliki jiwa petualang sehingga juga memiliki keinginan untuk pergi ke gunung Kuniran. Pak Sidik mengajak Rusti ke rumah pak Karto. Ia ingin memperoleh beberapa keterangan tentang gunung Kuniran.
“Jika kita berangkat subuh, kita bisa sampai di sana kira-kira jam sembilan pagi. Tidak ada jalan khusus untuk pergi ke sana karena yang ada hanya hutan. Namun saya sarankan ikuti saja selokan bekas tempat mengalirnya air pada musim penghujan. Jika Kamu turuti itu, kamu akan sampai di puncaknya. Gunung itu tampak hijau, pohon-pohon lebat dan jalannya terjal berbatu” tutur pak Karto ketika ditanya tentang jalan ke gunung Kuniran.
“Lalu di bagian mana sapi Bapak hilang?” tanya Rusti penasaran.
“Saya tidak tahu dengan pasti. Hanya saja, tampaknya tali pengikat sapi lepas sehingga sapi bisa berjalan kesana-kemari.”
“Jadi tidak benar kata orang-orang kalau sapi Bapak dimakan buto ijo?” tanya Rusti lagi.
“Buto ijo? Saya tidak tahu akan hal itu. Saya setuju sekali jika Pak Guru pergi ke sana. Siapa tahu bisa menemukan sapi saya yang hilang. Namun hati-hatilah. Bawa bekal yang cukup karena tidak ada air di sana.”
“Apakah ada cerita atau semacam mitos (kepercayaan) yang diyakini masyarakat di desa ini tentang gunung Kuniran? Kenapa banyak orang takut pergi kesana?” tanya pak Sidik penuh selidik.
“Ya. Katanya dahulu gunung itu adalah rumah buto ijo. Buto itu suka makan hewan ternak dan juga anak manusia. Itu katanya, namun saya tidak percaya. Maka saya memberanikan diri untuk merumput dan menggembala di sana. Namun tampaknya saya lagi sial. Lembu saya hilang sehingga orang-orang semakin yakin akan mitos kepercayaan itu.”
“Kenapa Bapak tidak percaya? Padahal hampir semua orang percaya akan mitos itu” tanya pak Sidik.
“Di zaman sekarang ini orang harus rasional (berpikir yang masuk akal), Pak Guru. Saya tidak lagi memikirkan mitos atau apa. Yang saya pikirkan adalah nasib hewan ternak saya. Mereka butuh makan, sementara sulit sekali untuk mendapatkan makanan ternak. Salah satu tempat yang menyediakan pakan ternak ya di gunung Kuniran itu” tutur pak Marto membuat pak Sidik tercengang. Suatu pemikiran yang modern. Rusti dan pak Sidik merasa lega mendapatkan petunjuk dari pak Marto. Mereka semakin mantap untuk pergi ke gunung Kuniran.
Pada keesokan harinya pak Sidik menceritakan rencananya kepada anak-anak kelas tiga. Mereka merespon(menanggapi) dengan berbagai pendapat.
“Ke Gunung Kuniran? Yang benar saja? Apa kita mau jadi makanan buto ijo? Amit-amit” ucap Nunuk mengawali komentar.
“Jalan kaki ke gunung Kuniran? Mana aku kuat?” sela Tutut.
“Kita kesana mau menangkap buto ijo ya, Pak” ucap Agus.
“ “Aku takut, Pak. Mendengar ceritanya saja sudah takut, apalagi pergi ke sana” kata Tutut.
“Ya. Pak” lanjut Trisno.
“Dengar, teman. Apa yang kalian pikirkan itu tidak benar. Tidak ada buto ijo disana. Pak Marto sendiri yang mengatakan demikian. Sapinya memang hilang namun bukan karena dimakan buto ijo. Sapinya hilang karena talinya lepas. Bisa jadi sapi itu masih berada di sekitar gunung Kuniran” tutur Rusti dengan lantang.
“Bagaimana kamu tahu?” sela Nunuk.
“Kemarin saya menemui pak Marto di rumahnya”
“Ya. Rusti benar. Sebaiknya kita membuktikannya sendiri sekalian kita melakukan penjelajahan alam. Gunung Kuniran adalah bagian dari desa kita. Masa kita tidak pernah mengunjunginya karena cerita orang yang belum tentu benar. Siapa tahu kita bisa menemukan hal-hal baru di tempat itu. Bagaimana?”
Anak-anak masih ragu-ragu. Mereka menanti pendapat Nunuk. Jika Nunuk berkata setuju, maka semua siswa pasti akan setuju pula. Mereka memandang Nunuk, menanti jawaban darinya.
“Kita akan melakukan jejak petualang, kawan. Pasti menarik sekali” bujuk Rusti.
“Baiklah. Aku setuju” ucap Nunuk mantap.
“Bagaimana yang lain?” tanya pak Sidik.
“Se...setuju......” jawab siswa serempak. Mendengar jawaban itu Rusti sangat gembira.
“Baiklah. Besuk hari Minggu kita ke sana. Kita berangkat pagi sekali setelah Subuh. Kita berkumpul di sekolah. Bawa perlengkapan seperti bahan makanan, minuman dan jangan lupa memakai jaket karena udara pagi masih sangat dingin”
“Pakai seragam, Pak” tanya Trisno.
“Pakai seragam merah putih lengkap dengan dasi dan topinya” jawab Agus mengejek.
“Tidak perlu, Trisno. Pakai baju bebas yang nyaman seperti celana dan kaos.”
“Membawa buku apa tidak, Pak?” tanya Trisno lagi.
“Ya, membawa alat tulis yang lengkap, sekalian bawa penggaris, penghapus, jangka dan busur” jawab Agus dengan ketus.
“Ya. Kalian membawa sebuah buku catatan dan pensil. Mungkin ada yang perlu ditulis disana. Ada pertanyaan lain? Mendengar jawaban itu Agus langsung menutup mulutnya dengan kedua tangan. Ia tampak malu dengan ucapannya.
“Pakai sandal atau sepatu, Pak?” tanya Tutut.
“Sebaiknya pakai sepatu agar kaki kita tidak terluka karena jalan menuju ke sana terjal dan berbatu. O ya, jika ada diantara kalian yang mempunyai baterai, bawalah karena kita berangkat di pagi buta” kata pak Sidik.
***
Rusti mengatakan rencananya kepada ibu dan bapaknya. Semula kedua orangtuanya melarang, namun karena Rusti pergi bersama gurunya akhirnya mereka memberi izin. Ibu Rusti menyiapkan bekal makanan dan minuman yang akan dibawa ke gunung Kuniran. Makanan itu dimasukkan ke dalam sebuah tempat nasi yang dahulu sering dibawa Rusti ke sekolah sewaktu TK. Demikian juga dengan minumannya. Semua perbekalan itu dimasukkan ke dalam rangsel. Ia juga memasukkan lampu baterai, korek api dan makanan ringan.
Setelah melakukan shalat Subuh, Rusti bergegas ke sekolah. Tidak lupa ia meminta doa restu kepada bapak dan ibunya. Udara pagi itu masih sangat dingin. Suara ayam jantan terdengar bersautan. Langit tampak cerah sekali. Bintang bertaburan di langit yang biru. Dalam perjalanannya ke sekolah, ia bertemu dengan Tutut yang diantar oleh bapaknya.
“Rus, nanti aku berjalannya sama kamu saja, ya. Aku takut” kata Tutut sambil berlari mendekati Rusti.
“Ya. Tidak usah takut, teman kita kan banyak. Buang jauh-jauh rasa takutmu itu”
“Benar Rusti. Anak desa kok penakut” sambung bapak Tutut.
Setiba di sekolah beberapa anak sudah datang. Anak-anak yang rumahnya jauh diantarkan oleh bapak mereka. Anak-anak duduk bergerombol di teras kantor guru sambil menanti semua anak berkumpul.
Beberapa saat kemudian semua anak sudah datang. Pak Sidik memanggil siswanya satu per satu. Setelah itu ia memberikan beberapa pesan kepada siswa.
“Anak-anak yang berbahagia. Hari ini kita akan mengadakan penjelajahan alam agar kita lebih kenal dan lebih dekat dengan alam di sekitar kita. Ada beberapa hal yang tidak boleh dilakukan selama kita melakukan perjalanan nanti yaitu tidak boleh membuang sampah sembarangan terutama sampah dari bahan plastik karena akan mengotori alam. Lalu tidak boleh merusak tanaman yang ada di hutan. Lalu kalian harus senantiasa berjalan bersama-sama, tidak boleh mendahului karena bisa jadi tersesat.” Demikian pesan Pak Sidik sebelum berangkat ke gunung Kuiran. Setelah berdoa bersama berangkatlah rombongan itu dengan perasaan gembira.

***







PERJALANAN YANG INDAH

Hari masih gelap ketika anak-anak kelas tiga SD Bunga Pinus berangkat ke Gunung Kuniran. Anak-anak menyusuri jalanan dengan wajah ceria. Dinginnya udara yang menusuk kulit tidak dihiraukannya. Langkahnya sangat mantap dan pasti. Sesekali Agus membuat lelucon sehingga suasana meriah sekali.
Ketika matahari mulai mengumpulkan sinarnya di ufuk timur, udara menjadi hangat. Tampak pemandangan yang sangat indah. Burung-burung berkicau di pohon-pohon seakan memberi salam kepada anak-anak yang sedang berjalan menuju Gunung Kuniran. Pemandangan seperti itu sebenarnya bukanlah hal yang baru bagi mereka, namun kebersamaan itulah yang membuat segalanya sangat mengesankan.
“Anak-anak masih semangat?” tanya pak Sidik memastikan keadaan siswanya.
“Semangat, Pak...” jawab mereka serempak.
“Kita akan sampai puncak gunung sekitar pukul sembilan. Lalu kita makan pagi di sana”
“Hore....”
Rusti berjalan bersama Trisno, Nunuk dan Tutut paling depan. Sedangkan pak Sidik berjalan paling belakang.
Semakin lama panas matahari semakin terasa membakar kulit. Mereka telah melewati perkampungan, sawah dan ladang. Kini mereka mulai memasuki hutan.
“Mari kita menyanyi bersama untuk menghilankan rasa lelah” ajak Rusti sambil membalikkan tubuhnya.
“Naik naik ke puncak gunung tinggi tinggi sekali. Kiri kanan kulihat saja banyak pohon cemara. Kiri kanan kulihat saja banyak pohon cemara.....” dendang anak-anak dengan riang.
“Bukan pohon cemara, kawan. Yang benar pohon pinus” protes Agus.
“Kalau begitu kita ganti pohon cemara dengan pohon pinus” ajak Rusti.
Lalu anak-anak secara serentak bernyanyi lagi. Tutut tidak bisa berjalan cepat sehingga kini ia berada di bagian belakang bersama pak Sidik. Ia sudah kelelahan. Padahal jalan semakin sulit. Jalannya terjal berbatu dan menanjak lagi.
“Ayo, Tutut. Kejarlah aku..” teriak Nunuk yang telah berada di bukit. Nunuk yang sejak tadi hanya diam akhirnya angkat bicara. “Hai Gus, kejarlah saya jika kamu memang laki-laki. Trisno saja bisa berjalan cepat, masa kamu kalah dengan dia” tantang Nunuk pada Agus.
“Tunggu saja, Nunuk. Bukan Agus kalau tidak bisa mendahuluimu” jawab Agus lantang. Lalu Agus berlari melewati beberapa teman di depannya. Dia tidak menghiraukan walau keringat mengalir di dahinya. Rasa gengsi mengalahkan rasa lelahnya. Dengan napas tersenggal-senggal akhirnya ia bisa juga mengejar Nunuk.
Kini yang berada paling depan adalah Rusti, Nunuk, Trisno dan Agus. Mereka berjalan dengan cepat tanpa menghiraukan teman-teman di belakangnya. Semakin lama mereka semakin jauh dari teman-teman dibelakangnya. Rusti sangat yakin ia tidak akan tersesat karena ia selalu melewati selokan bekas mengalirnya air pada musim penghujan.
Sementara pada kelompok Pak Sidik, Tutut dan anak-anak lainnya berjalan dengan cukup pelan. Beberapa anak megeluh kelaparan dan kelelahan. Lalu pak Sidik memutuskan untuk beristirahat sambil makan pagi. Ia berlari ke barisan paling depan.
“Anak-anak, kita berhenti dahulu. Kita beristirahat di bawah pohon itu sambil makan pagi. Tetapi jangan dihabiskan makanan kalian sisakan untuk makan siang juga” ucap pak Sidik. Lalu anak-anak membuka bekal mereka. Mereka makan dengan lahap sekali. Tiba-tiba seorang siswa berteriak.
“Pak Sidik... Rusti, Nunuk, Trisno dan Agus tidak ada. Mereka berjalan cepat sekali” ucap Hadi dengan keras. Mendengar kata itu, anak-anak tampak kaget. Mereka sejenak berhenti menyuapkan makanan ke mulutnya.
“Kalau begitu kita segera saja menyelesaikan makan pagi. Lalu kita menyusul mereka” ajak pak Sidik.
***
Rusti menghentikan langkahnya.
“Capek, kawan?” ucap Agus mengejek.
“Bukannya capek, tetapi tidakkah kamu sadar, kita sudah berada sangat jauh dari rombongan. Sejak tadi saya memandang ke belakang namun, tidak juga saya melihat rombongan itu. Kita harus berhenti dahulu. Lagian perutku sudah keroncongan minta diisi” tutur Rusti.
“Ya, aku juga lapar” lanjut Trisno menyetujui perkataan Rusti.
“Baiklah, teman. Mari kita mencari tempat yang nyaman dan teduh. Lalu menyantap bekal kita” usul Nunuk.
Keempat anak itu lalu menuju sebuah batu besar di bawah pohon besar. Sorot matahari yang tajam terhalang oleh rimbunnya daun-daun. Angin gunung berhembus menerpa wajah mereka yang merah padam. Lalu mereka membuka bekal makan pagi dan memakannya dengan lahap.
“Oh.. betapa nikmat masakan ibu saya” ucap Nunuk.
“Masakan ibuku juga nikmat.... dan mantap. Nasi dengan oseng-oseng buncis dan lauknya tenpe goreng” balas Agus.
“Ah... makanan seperti itu saja nikmat!..... Enakkan masakan ibuku. Sambal goreng kentang dan lauknya telur mata sapi” sahut Nunuk. “Apa menumu, Trisno?” lanjutnya.
“Ayam goreng, sambal dan lalapan” jawab Trisno singkat.
“Enak juga makan pagimu, Tris. Tetapi rasanya makananku juga sangat enak. Padahal hanya lauk tempe saja” kata Agus.
“Begitulah, ketika kita sedang lapar, makanan apa saja akan terasa enak dan nikmat. Namun jangan dihabiskan. Ingat, sisakan untuk makan siang” saran Rusti. Mereka menyelesaikan makan pagi lalu beristirahat lagi.
“Bagaimana ini? Kita sudah cukup lama beristirahat di sini, tetapi rombongan pak Sidik kok belum juga muncul. ..” ucap Rusti.
“Jangan-jangan kita tersesat” potong Nunuk.
“Bagaimana kalau kita lanjutkan saja perjalanan ini. Kita menunggu mereka di puncak gunung Kuniran. Mereka pasti menuju ke sana. Kalau kita menunggu disini, belum pasti mereka akan melewati jalan ini” usul Rusti.
“Ya. Aku setuju” jawab Agus. Mereka beranjak dari bawah pohon yang rindang itu.
“Ternyata benar ya Rus, hutan ini tidak menyeramkan seperti yang diceritakan orang-orang” ucap Nunuk.
“Bukankah kamu sendiri yang mengatakan kalau ada buto ijo di hutan ini? Makanannya anak kecil lagi” olok Agus.
“Aku kan dikasih tahu kakakku. Lalu kakakku dikasihtahu temannya” protes Nunuk.
“Makanya kalau tidak tahu sendiri jangan membual” kata Agus.
“Sudahlah. Jangan bertengkar saja. Kini kita sudah membuktikan sendiri kalau tidak ada buto ijo di gunung Kuniran” Kata Rusti.
Semakin ke atas, angin berhembus semakin kencang. Matahari semakin meninggi saja. Kulit mereka terbakar matahari sampai merah padam. Keringat membasahi tubuh mereka. Rusti melepas jaket lalu mengikat lengan jaket itu di perutnya. Trisno yang hanya diam saja menggunakan jaketnya untuk tutup kepala.
Mereka terus melangkah mendaki puncak gunung Kuniran. Panas matahari tidak mempengaruhi semangat keempat anak itu. Semakin ke puncak, mereka semakin merasakan kepuasan dan kegembiraan yang luar biasa.
“Sebentar lagi kita akan sampai ke puncak gunung, kawan. Menatakjupkan. Lihatlah gunung yang ada di sana itu, warnanya biru dan ada awan putih di antara gunung-gunung itu. Indah sekali” ucap Nunuk.
“Lihatlah di sana, Nunuk. Itu pemancar TVRI. Jelas sekali dari sini” sahut Trisno.
“Aku heran, mengapa ya aku jadi kagum sekali melihat pemandangan seperti itu? Bukankah kita seringkali melihat gunung?” ucap Agus.
“Itu karena kita puas setelah bersusah payah mendaki gunung” ucap Rusti, “rasa capek kita juga hilang begitu kita sampai di puncak gunung” lanjutnya.
“Hore.... Kita berada di puncak gunung. Tiada lagi tempat yang lebih tinggi dari tempat ini...” teriak Nunuk.
Anak-anak itu akhirnya tiba di puncak gunung. Tiba-tiba langkah mereka terhenti. Mereka dikejutkan oleh pemandangan yang sangat aneh. Ada baju gombal (baju yang sudah usang dan lama) dijemur di atas batu besar. Mereka tercengang. Trisno menggandeng tangan Agus. Nunuk merapatkan tubuhnya ke ke tubuh Rusti.
“Kamu melihat sesuatu?” tanya Agus memastikan apakah teman-temannya juga melihat apa yang dilihatnya.
“Ya. Aku melihat gombal dijemur di atas batu itu” jawab Nunuk. “Di sini kan tidak ada penghuninya, lalu gombal itu milik siapa...? Jangan-jangan milik Wewe Gombel” kata Nunuk.
“Mari kita dekati saja. Kita pastikan gombal itu bisa dipegang atau tidak” usul Rusti.
“Tidak mau! Kalian belum pernah mendengar cerita tentang wewe gombel ya? Wewe gombel itu seperti manusia tetapi bukan manusia. Sebangsa makhluk halus. Ia juga mencuci pakaian seperti manusia.....” tutur Nunuk.
“Sudah-sudah jangan dilanjutkan ceritanya. Ceritamu membuat hatiku ciut. Padahal, sebelum aku mendengar ceritamu aku tidak merasa takut sama sekali. Aku agak takut begitu mendengar ceritamu” omel Rusti.
“Bagaimana kita sekarang? Kita lanjutkan atau tidak perjalanan ini?” tanya Agus.
Keempat anak itu saling bergandengan tangan. Mereka seakan tidak mau melepaskan tangan mereka. Pandangan matanya menghindari gombal yang dijemur di atas batu.
“Hust....! Diam teman. Apakau engkau mendengar sesuatu?” ucap Agus tiba-tiba. Ucapan itu sungguh mengagetkan ketiga temannya.
“Ada apa, Gus? Janganlah membuat saya kaget” bentak Nunuk.
“Diamlah. Dengar dengan seksama” pinta Agus.
Tidak lama kemudian sayup-sayup terdengar suara nyanyian Burung Kutilang.
“Itu pasti teman-teman kita” kata Trisno.
“ Ya. Benar!” sambung Rusti lega sambil mengambil napas panjang-panjang.
Tidak lama kemudian rombongan datang. Mereka masih terkagum-kagum menyaksikan pemandangan dari puncak gunung. Setelah mereka bertemu, Nunuk menunjukkan gombal yang dijemur di atas batu besar.
“Pak Sidik, lihat itu,” kata Rusti sambil menunjuk gombal yang dijemur di atas batu besar, “itu baju wewe gombel kan, Pak? Mana ada orang yang tinggal di gunung ini? Berarti itu baju wewe gombel” tutur Nunuk.
Anak-anak merasa ketakutan. Mereka mengerumuni Pak Sidik meminta perlindungan.
“Aku takut....” renggek Tutut yang sejak tadi menggandeng tangan pak Sidik.
“Tenang anak-anak, kalian semua duduk di bawah pohon besar itu. Beristirahatlah di sana. Saya akan melihatnya dari dekat. Siapa yang mau ikut dengan saya?” tanya pak sidik.
“Saya ikut, Pak” jawab Rusti.
“Saya juga, Pak” Agus menyambung ucapan Rusti “Kamu juga, Tris?” lanjutnya.
“Saya tidak mau, Gus” jawab Trisno lirih.
“Baiklah ayo kita ke sana” ajak pak Sidik. Lalu Rusti dan Agus mengikuti pak Sidik. Mereka berjalan mendekati batu besar.
Batu besar yang akan mereka tuju, ternyata tidak sedekat kelihatannya. Mereka harus melewati jalanan yang cukup sulit. Untuk menuju batu besar itu harus menuruni tebing terlebih dahulu. Batu itu besar dan tinggi sekali. Karena bingung harus memanjat dari sebelah mana, mereka mengelilingi batu besar tersebut. Langkah mereka terhenti ketika mereka mendengarkan suara gemericik seperti air yang mengalir.
“Kamu dengar itu?” ucap Rusti.
“Ya” kata Agus.
“Tampaknya itu suara aliran air” kata pak Sidik “aneh” lanjutnya.
Mereka lalu melanjutkan mengitari batu besar. Tiba-tiba mereka melihat suatu lorong gelap di dalam batu besar itu.
“Apakah itu goa?” tanya Rusti.
“Ya, goa. Itu goa. Benar goa. Apa kalian bawa baterai? Ayo kita lihat” ajak pak Sidik.
“Ini baterainya” kata Rusti sambil menyerahkan baterai kepada pak Sidik “tampaknya sudah ada orang yang kesini. Itu ada bekas semak yang dipangkas” lanjutnya.
Dengan pelan-pelan mereka melangkah mendekati goa itu. Pak Sidik menyorotkan lampu baterai ke dalam goa.
“Tampaknya ini goa besar. Kita bisa masuk” ucap pak Sidik lirih.
“Wah gelap sekali goanya” kata Agus setelah melangkahkan kakinya ke dalam goa.
“Sorotkan lampu baterainya ke sana. Itu ada suara gemericik air” kata Rusti, “Ya di situ. Lihat! Ada beliknya airnya melimpah dan jernih sekali. Mari kita dekati belik itu” lanjutnya.
“Wow... mentapjubkan! Ada sumber air di dalam goa. Aku akan mencuci muka” kata agus kegirangan.
“Luar biasa! Airnya dingin sekali. Segar. Aku akan meminumnya, bolehkan Pak?” tanya Rusti.
“Ya, bolehlah. Air ini walau belum direbus tidak tercemar. Anak-anak, sumber ini menjawab misteri gombal yang dijemur di atas batu tadi. Berarti seseorang telah menemukan keberadaan sumber ini. Jadi gombal tadi bukannya milik wewe gombel. Kalau begitu, ayo kita segera keluar. Kasihan anak-anak dicekam rasa takut oleh cerita Nunuk” kata Pak Sidik.
“Ya, Pak. Kalau perlu kita ajak mereka ke sini biar mereka tahu keberadaan goa ini” usul Rusti.
Setelah mencuci tangan, kaki, muka dan minum sepuasnya, mereka memutuskan untuk segera keluar. Namun langkah mereka tiba-tiba terhenti ketika sinar lampu baterai mengenai tulang belulang yang berada tidak jauh dari belik itu.
“Ada jerangkong” teriak Agus.
“Bukan. Lihatlah, bukankah itu tanduk sapi?” kata pak Sidik “Adanya tulang dan tanduk ini mengungkap misteri tentang hilangnya sapi pak Marto. Masuk akal sekali. Sapi itu terjerumus ke dalam goa dan tidak bisa keluar lalu mati di goa ini” lanjutnya.
“Hebat...! Berarti kita bisa mengungkap dua misteri sekaligus. Aku sudah tidak sabar untuk menyampaikan hal ini kepada teman-teman agar mereka tidak takut lagi” kata Rusti. Ketiganya lalu keluar dari goa dengan perasaan puas dan lega.
Anak-anak lainnya menanti kedatangan pak Sidik, Rusti dan Trisno dengan ketakutan. Mereka masih saja duduk di tempat masing-masing sambil merapatkan tubuhnya dengan teman lainnya. Mereka terheran-heran ketika melihat wajah ceria dan segar dari ketiga orang yang baru saja datang. Rusti dan Trisno datang dengan senyum-senyun.
“Anak-anak, kami baru saja menemukan jawaban atas gombal itu” kata pak Sidik mengawali berbicara sambil berdiri di depan anak-anak yang sedang duduk ketakutan. Sementara Rusti dan Trisno masih saja berdiri dengan wajah cengengesan saja. “Gombal itu bukan milik Wewe Gombel. Itu adalah milik seseorang yang sengaja dijemur setelah dicuci. Rupanya di dalam batu besar itu ada goanya. Lalu di dalam goa ada sumber airnya. Saya yakin ada orang yang telah menemukan goa itu lalu menggunakannya untuk mencuci. Lalu tentang sapi yang dimakan buto ijo itu sama sekali tidak benar, soalnya di dalam goa itu juga ada tulang-tulang sapi dan tanduknya. Saya yakin itu sapi milik pak Marto yang hilang. Sapi tersebut terjebak di dalam goa lalu tidak bisa keluar karena memang gelap sekali di dalamnya” tutur pak Sidik.
Anak-anak menjadi lega. Hilang sudah rasa takutnya. Mereka melepaskan tangan mereka dari temannya. Beberapa anak mengambil napas dalam-dalam.
“Kalian akan menyesal sekali jika tidak melihat goa itu. Kita bisa minum dan mencuci muka sepuasnya. Airnya dingin, jernih dan segar sekali” kata Agus bangga.
Anak-anak menjadi penasaran untuk melihat goa. Rusti dan Agus, walau sudah ke goa itu masih penasaran untuk pergi ke sana lagi.
Setelah puas berada di goa rombongan itu meninggalkan gunung Kuniran dengan perasaan senang. Wajah mereka sangat segar setelah mencuci muka dengan air goa. Tidak tampak rasa lelah pada mereka. Pada saat matahari mulai condong ke barat, mereka tiba di rumah masing-masing dengan selamat. Perjalanan itu adalah perjalanan yang sangat indah dan mengesankan bagi meraka.
***





SELANG PENYALUR AIR
Pada Bulan September desa Tosari banar-benar kering kerontang. Masyarakat semakin kesulitan mendapatkan air untuk keperluan memasak, mencuci dan dan mandi. Akibatnya, banyak orang menderita gatal-gatal.
Berbagai upaya sudah dilakukan untuk mengatasi kekeringan namun usaha tersebut belum membuahkan hasil. Pada musim penghujan, orang-orang menampung air hujan di sebuah tempat penampungan air. Penampungan air tersebut sengaja dibuat oleh warga desa untuk menyimpan air. Walau ukuran penampungan itu cukup besar namun airnya hanya bisa bertahan beberapa minggu saja. Maklumlah air itu digunakan oleh banyak orang.
Selain usaha tersebut, warga juga telah membuat sumur. Kedalaman sumur mencapai 22 meter namun tidak juga ditemukan sumber airnya. Pada kedalaman itu yang dijumpai adalah batu padas sehingga tidak mungkin lagi untuk menggali batu tersebut. Sumur itu baru akan menghasilkan air pada musim penghujan. Begitu musim kemarau tiba sumur tersebut kering lagi.
Ketika musim kemarau datang sumber air hanya bisa didapatkan dari belik. Belik berada di bawah pohon besar. Itulah sumber kehidupan masyarakat. Mereka terbiasa untuk selalu menghemat air untuk mencuci, mandi, minum dan memasak. Untuk mandi, mereka cukup dengan satu ember air saja. Satu gayung untuk membasahi tubuh, lalu menyabunnya dan sisanya untuk membilas.
Untuk keperluan buang air besar, mereka kebanyakan menggunakan kakus, yaitu galian tanah sedalam beberapa meter lalu bagian atasnya ditutup dan hanya memberikan sedikit lobang untuk buang air besar. Dengan menggunakan kakus mereka tidak memerlukan air untuk menyiramnya. Jika kakus telah penuh, biasanya mereka tutup lalu menggali tempat lain sebagai kakus. Begitulah, sebenarnya masyarakat telah berlaku hemat air, namun keadaanlah yang menyebabkan sulitnya mendapatkan air.
***
Setelah sholat Isya’ di musholla Rusti dan kawan-kawan tidak langsung pulang. Seperti biasanya, mereka masih asyik bercakap-cakap membicarakan hal-hal yang menarik. Tampak juga pak RT, pak Sidik dan beberapa warga masih duduk sambil bercakap-cakap. Mereka membahas kekeringan yang melanda desa Tosari.
“Kebetulan sekali, kita bisa berkumpul di sini. Beberapa hari yang lalu saya bersama anak-anak menemukan sebuah sumber air di dalam goa di gunung Kuniran. Airnya jernih dan melimpah. Saya memikirkan bagaimana cara untuk memindahkan air dari sumber itu ke desa kita.” Tutur pak Sidik.
“Saya baru tahu kalau ada goa di gunung Kuniran” lanjut pak RT.
Mendengar percakapan itu, Rusti dan kawan-kawan mendekati pak Sidik. Anak-anak itu ingin terlibat dalam percakapan.
“Ya, Pak RT. Kami yang menemukan goa itu” sahut Trisno.
“Kalau begitu, mari kita pikirkan bagaimana cara mengalirkan air di desa ini. Jarak gunung Kuniran cukup jauh dari sini, kita bisa menggunakan selang atau paralon. Pasti memerlukan biaya yang sangat banyak untuk itu” kata pak RT.
“Bagaimana kalau kita menggunakan uang kas desa, Pak RT?” usul Pak Dirman yang tampaknya penasaran sekali dengan penemuan sumber air di gunung Kuniran.
“Ya, besuk saya akan menghadap pak Lurah. Namun setiap keluarga juga harus dimintai sumbangan seiklasnya” jawab Pak RT.
“Kalau ke gunung Kuniran saya ikut, Pak.” Seloroh Rusti.
“Saya juga, Pak” lanjut Trisno dan Tutut hampir serempak.
“Saya ingin sekali melihat lagi goa dan sumber air di gunung Kuniran.” kata Tutut.
“Baiklah, kalian bisa ikut asal tidak minta gendong” jawab Pak Sidik.
“Saya sangat bangga pada kalian semua, anak-anak. Kalian bersama dengan guru kalian telah berhasil menemukan sumber air yang semoga bisa bermanfaat untuk masyarakat saat ini.” Pak RT memuji beberapa anak SD Bunga Pinus tersebut.
“Saya yakin usaha kita akan berhasil karena pada dasarnya air mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Kita bisa mengalirkan air dari sumber itu ke desa kita dengan menggunakan selang atau paralon. Kita bisa memanfaatkan tempat penampungan yang selama ini kita gunakan untuk menampung air hujan, untuk menampung air dari gunung kuniran. Lalu masyarakat bisa mengalirkan air di penampungan tersebut ke rumah-rumah mereka. Selama ini masyarakat hanya memiliki paso (sejenis gerabah dari tanah liat yang berfungsitempat penampungan air). Daya tampungnya sangat terbatas yaitu hanya lima ember besar. Saya memiliki pemikiran untuk mengenalkan kamar mandi kepada masyarakat. Selama ini masyarakat menggunakan belik untuk mandi sehingga mereka tidak mengenal kamar mandi” tutur pak Sidik.
“Ide yang bagus, Pak. Saya juga setuju. Masalahnya sekarang adalah biaya yang akan kita gunakan untuk itu semua” lanjut pak RT.
“Kalau begitu selain uang dari masyarakat dan dari iuran warga, saya akan membuat proposal (pengajuan) kepada Bupati dan dari donatur. Semoga proposal saya bisa diterima” kata pak Sidik.
***
Pak Sidik lalu membuat proposal. Ia menemui Bupati lalu menjelaskan semua rencana yang akan dilaksanakan di desa Tosari. Berkat kemampuannya menyakinkan, Bupati menerima proposal pak Sidik. Dengan demikian ia bisa segera melaksanakan programnya.
Pada suatu minggu, Pak RT, Pak Sidik, Rusti dan teman-teman melakukan program pengairan. Langkah pertama yang dilakukannya adalah memperkirakan jarak antara sumber air di dalam goa dengan tempat penampungan air lalu mempersiapkan selangnya. Mereka memilih jenis selang yang tidak mudah tertekuk karena bisa menghambat air. Selang yang berkualitas harganya agak mahal namun bisa tahan lama dan lebih kuat.
Setelah semua siap mereka berangkat ke gunung Kuniran. Pak Sidik dan Pak RT meminta bantuan warga untuk membawa selang. Rusti, Nunuk, Tutut dan Trisno membawa perbekalan untuk makan siang. Mereka berjalan menelusuri jalan berdebu dengan suka cita. Selang itu lalu di rentangkan mulai dari tempat penampungan air lalu di hubungkan di sepanjang perjalanan ke gunung Kuniran.
Panas metahari tidak mereka hiraukan. Ada sejuta harapan dalam hati mereka. Terbayang di benak Rusti, betapa senang jika orang-orang Tosari bisa menikmati air yang berlimpah.
Sambil berjalan, Rusti dan teman-temannya memastikan agar selang tidak tertekuk. Jika perlu mereka menancapkan bambu diantara selang agar selang tidak bergeser,
Ketika matahari berada tepat di atas kepala, rombongan pengairan itu sudah tiba di dalam goa. Beberapa warga membuat lubang di bagian bawah belik. Lalu lobang itu dimasukki selang. Agar tertancap kuat, mereka memberi semen untuk merekatkan selang.
Setelah semua beres, mereka keluar goa dan beristirahat di bawah pohon yang teduh sambil makan siang.
“Apa airnya sudah mengalir sampai di penampungan ya?” selorah Rusti setelah menelan makanannya.
“Ya belum lah, kita kan baru saja menghubungkan selang dari sumber ke penampungan. Pasti memerlukan waktu yang cukup lama agar airnya sampai di penampungan” sahut Nunuk.
“Apa sumber air bisa berhenti, Pak?” tanya Trisno.
“Bisa saja. Jika pohon-pohon yang ada di gunung ini ditebang sampai gundul, lambat laun sumber air bisa mati. Keberadaan sumber air itu tergantung dari kelestarian hutan. Untuk itu masyarakat harus terus menjaga kelestariannya. Caranya, tidak menebang pohon. Sebaliknya, kita akan terus mengadakan reboisasi (penghijauan kembali) di hutan yang gundul” jelas Pak Sidik.
Percakapan mereka terus berlanjut hingga makan siang selesai. Setelah itu mereka melakukan perjalanan pulang. Di sepanjang perjalanan mereka memastikan agar air di dalam selang bisa mengalir dengan lancar. Mereka berjalan mengikuti selang sampai di tempat penampungan.
Setiba di desa Tosari, mereka langsung disambut oleh warga dengan wajah berbinar-binar.
“Airnya mengalir. Penampungan air kita terisi air....” sorak seorang warga.
“Alhamdulillah...” ucap orang-orang yang baru datang dari gunung Kuniran hampir serempak.
Mengalirnya air dari gunung Kuniran ke penampungan air membuat semua warga desa Tosari bergembira ria. Karena kegembiraan itu anak-anak, remaja dan beberapa warga langsung menggunakannya untuk mandi tanpa melepas pakaian mereka. Para Ibu rumah tangga beramai-ramai mendatangi tempat penampungan sambil membawa timba, jurigen atau jun (tempat ait yang terbuat dari tanah liat digunakan untuk membawa air).
***
Pagi yang cerah. Rusti SD menapakkan kakinya menuju sekolah. Wajah segarnya siap menatap masa depan yang gemilang. Ia dan anak-anak SD Bunga Pinus adalah orang yang kuat menghadapi segala kesulitan dalam keadaan alam yang kurang menguntungkan. Keadaan alam yang gersang dan kering, terjal itulah yang membuat mereka terlatih dalam mengatasi kesulitan.
Rusti terseyum lega karena ia bisa menjadi salah satu anak yang berhasil menemukan air kehidupan. Air yang sangat diharapkan orang-orang pada musim kemarau seperti itu. Ia juga bangga memiliki guru seperti ak Sidik yang kaya akan ide dan pemikiran yang cerdas.
“Hai, Rus!” tegur Nunuk membuyarkan lamunannya. “Kok senyum-senyum sendiri?” lanjutya.
“I...Iya. Aku senang sekali bisa menemukan sumber air yang bisa bermanfaat untuk semua orang”
“Aku juga. Kamu tahu? Tetangga desa juga sudah mengetahui tentang adanya goa di gunung Kuniran. Mereka telah pergi ke sana” tutur Nunuk.
“Dari mana kamu tahu? Tanya Rusti.
“Ada deh. Nunuk pasti tahu semuanya” ucap Nunuk penuh percaya diri.
Tidak lama kemudia Trisno dan Tutut menyusul mereka. Seperti biasa keempat anak itu selalu bercanda tawa sepanjang perjalanan ke sekolah. Kini mereka tampak bersih dari kulit hingga bajunya. Hal itu tentunya berkat adanya sumber air yang mereka temukan. Dan, berkat peranan bapak Sidik tentunya.
Anak-anak itu siap menerima ilmu yang akan mengantarkannya mengetahui dunia luar yang sangat luas tak terbatas. Sehingga mereka tahu dunia di balik gunung-gunung yang mengitari mereka. Semoga.

SELESAI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar