DAWET JABUNG


LEPEK DAWET JABUNG
Cerpen: Rustiani Widiasih

           
“Sum, apa kamu masih ingin kembali ke Hongkong?”  tanya Misno, Suaminya suatu malam.
            “Memangnya kenapa, Mas?” jawab Sumini sambil mengecat kuku tangannya yang panjang.
            “Kamu sudah cukup lama di sama, Sum. Sudah enam tahun. Cita-citamu sudah terwujud. Kini mari kita hidup bersama dan mempunyai anak, Sum.”
            “Mas.... aku kan masih muda, usiaku baru dua puluh empat tahun. Masih banyak kesempatan untuk mempunyai anak.”
            “Tetapi aku sudah tua, Sum. Sudah waktunya punya anak dua atau tiga. Selain itu, bukankah dulu kamu bilang kalau akan berjualan dawet Jabung lagi? Sekarang makin banyak orang datang ke desa ini  untuk menikmati dawet Jabung lho. Aku akan membantu mempersiapkan dagangan lalu kamu yang menjualnya. Aku yakin dawetmu pasti laris,” tutur Misno.
            Sumini bimbang hatinya. Dalam hati kecilnya, ia masih ingin kembali ke Hongkong. Ia ingin ke sana bukan karena suka akan pekerjaannya, tetapi suka akan gajinya yang  tinggi. Dalam waktu enam tahun, mana bisa saya memiliki harta seperti sekarang ini kalau hanya bekerja di Indonesia, pikirnya. Memang, sekarang rumahnya luas dan bagus. Setiap lantai dan dindingnya terpasang keramik, perabotannya lengkap, punya sepeda motor, perhiasan dan HP mahal. Itu semua tidak terlepas dari peran Misno yang ingin menyenangkan hati istrinya tercinta. Setiap kali Sumini kirim[1], Misno selalu menggunakan uang kiriman Sumini untuk keperluan sepertihalnya yang diminta istrinya.
Penampilan Sumini kini berubah. Sumini dahulu  utun[2].  Sekarang, gaul. Rambutnya yang dahulu hitam dan selalu diikat dengan karet gelang, kini dicat merah kekuningan dan dibiarkan terurai. Bajunya yang dulu berupa blus dan rok  di bawah lutut, kini kaos ketat dan celana jins  super ketat. Tidak hanya itu,  perhiasan emas kemrompyong[3]  menghiasi leher, tangan, telinga dan bahkan di kakinya ada gelang serta cincin di jari kakinya. 
Dengan semua yang telah ia raih, ia merasa semakin tidak sebanding dengan Misno yang tua dan ndesani[4]. Usia mereka memang terpaut jauh. Sumini mau menikah dengan Misno kerena hartanya. Setelah Misno tertipu bisnis voucher[5] yang menggiurkan, hartanya ludes. Keadaan perekonomian keluarga itu hancur. Maka, pergilah Sumini merantau ke Hongkong untuk memperbaiki keadaan. Setelah enam tahun pergi, entah mengapa rasa cintanya kepada Misno agak memudar. Ada rasa muak dan jijik tehadap suamiya.  Sungguh tak senada dengan Misno yang semakin mencintai istrinya.
***
Misno terus melarang istrinya kembali ke Hongkong. Terjadilah  perdebatan selama berhari-hari. Akhirnya, dengan berat hati, Sumini mengurungkan niatnya  kembali ke Hongkong. Dia menuruti keinginan suaminya  berjualan dawet Jabung. Menempati warung dawet Jabung simboknya yang tutup beberapa tahun. Tidak sulit baginya untuk membuat dawet Jabung karena dulu sebelum menjadi TKW, Sumini adalah seorang penjual dawet Jabung. Selain itu, almarhumah Simbok[6]nya  juga penjual dawet. Sejak kecil dia sudah hafal betul bagaimana komposisi membuat dawet Jabung yang enak dan nikmat.
Penampilan Sumini yang  “eksotik”,  menarik para pembeli dawet.  Pelanggan Sumini banyak sekali. Bahkan, beberapa pelanggan Lamitri, Ponirah dan penjual lainnya  banyak yang pindah ke Sumini. Sumini seringkali harus sabar menghadapi para pelanggan yang berasal dari luar daerah. Para pelanggan itu belum tahu kebisaaan yang ada pada penjualan dawet Jabung. Mereka belum tahu cara penyajian dawet yang cara penyajiannya langsung, tanpa baki atau nampan. Penjual hanya menggunakan lepek, sedangkan pembeli hanya boleh mengambil mangkuknya. Apabila pembeli mengambil mangkuk dan lepek[7]nya, maka penjual akan menahan lepek tersebut dan mengatakan: “Mas, mangkoknya saja yang diambil”.
***
Siang itu ada worok[8] Suroprojo di warung Sumini.  Ia adalah sesepuh desa yang sangat disegani. Sambil menanti penyajian dawet, warok Suroprojo dan para pembeli bisa menikmati berbagai hidangan yang ada di meja.  Sumini sudah mempunyai orang tetap yang menitipkan  jajanan seperti tempe goreng, cucur, pisang goreng, tape ketan, pia-pia, tahu isi, lumpia, dadar gulung, gethuk, tahu goreng, rimbil dan gandos. Itu semua adalah makanan khas di desa Jabung.
Seger tenan dawetmu[9], Sum” ucap warok Suroprojo yang sudah dianggap sebagai bapaknya orang-orang Jabung. Sesekali dia mengusap brengos[10]nya yang panjang karena basah terkena dawet Jabung.
Tidak lama kemudian Supri datang. Supri adalah sopir yang pernah menjemput Sumini di Bandara. Sudah beberapa hari ini dia mampir ke angkring Sumini. Tatapan matanya membuat Sumini salah tingkah. Pertama kali dia datang ke angkring Sumini, dia menarik lepek kuat-kuat.
“Mas, yang diambil mangkuknya saja” kata sumini.
“Tetapi saya menginginkan lepek itu, Mbak Mini,” sahut Supri dengan senyuman yang  ramah dan menggoda.
“Maaf, mas. Lepeknya hanya satu. Nanti bakule katut[11]
“Wah, kalau katut saya senang sekali lha wong bakule cantik[12]
Sumini sudah bisa dirayu dan dipuji pembeli. Namun, rayuan dan pujian Supri menimbulkan kesan yang berbeda di hati Sumini. Bahkan, Sumini selalu menanti–nanti kedatangan Supri setiap hari. Jika Supri tidak datang harinya terasa hampa.
Kali ini Supri tidak bisa merayu-rayu lagi. Ada banyak sekali pelanggan. Dia hanya sesekali menatap Sumini dengan pandangan yang  membuat hati Sumini berdebar-debar. Kalau sudah begitu Sumini menjadi salah tingkah.
“Sum, ini santannya” kata Misno sambil menyodorkan panci yang berisi santan. Sumini tampak gugup dan kaget dengan ucapan suaminya yang tiba-tiba saja. Ucapan yang membuyarkan semua bayangan dan lamunannya. Sumini lalu menuangkan santan ke jun[13] tempat santan dan memberikan pancinya kembali pada Misno. Misno bekerja “di balik layar”. Dia memarut kelapa, mencuci mangkuk, merebus juruh dan memasak air.
Supri sungguh berbeda dengan Misno. Supri begitu romantis, ganteng, muda dan gagah. Sedangkan Misno? Dia sudah tua, giginya mrongos, berpenampilan ndesani. Jika mereka bersanding ibaratnya bagaikan bumi dan langit.
***
Suatu malam Misno mendapati Sumini sedang termenung. Sejak sore dia tidak berkata-kata.
“Ada apa, Sum? Mengapa sejak tadi melamun terus?  Apa yang kamu pikirkan?” tanya Misno sambil memegang pundak Sumini. Sumini menghindar dari Misno. Tangan Misno dia lepaskan dari pundaknya. Dia merasa risih dengan Misno. “Mengapa kamu ini? Apa aku telah berbuat salah padamu?” tanya Misno lagi.
“Tidak ada yang salah. Aku hanya capek saja.”
“Kalau begitu sini saya pijat.”
“Tidak usah. Aku mau tidur saja,” ucap Sumini sambil beranjak ke kamarnya.
Misno sungguh tidak mengerti dengan tingkah polah Sumini. Dia hanya bisa diam dan sabar menghadapi orang yang sangat dia cintai itu. Untuk menghilangkan segala kekecewaanya, dia menghisap rokok tingwenya. Berkali-kali ia menggulung kertas papir yang telah diisi tembakau dan cengkeh, lalu menghisapnya dalam-dalam.
***
            Suatu siang, Supri datang ke angkring Sumini. Tidak ada pelanggan lain siang itu. Misno juga sedang tidak berada di angkring. Supri duduk dekat sekali dengan Sumini. Ketika Sumini memberikan dawet Jabung, Supri menarik keras-keras lepeknya. Mata mereka saling memandang dan berujung pada sebuah lepek. Akhirnya Sumini tidak kuasa menghadapi tatapan mata Supri. Lepek berhasil ditarik Supri.
            “Apa artinya ini, Mini?” tanya Supri. “Apa kamu menerimaku?” Sumini hanya dian. Mukanya merah padam. Dia agak gugup.”Apa kamu takut dengan suamimu, Mini? Adakah dia sekarang?”
            “Tidak. Dia ada di rumah.”
“Mini, aku sangat mencintaimu. Apa kau percaya padaku? Jika aku tidak mencintaimu, mengapa aku pergi ke sini setiap hari? Ayolah Mini, kita pergi berdua. Sesekali kamu harus istirahat. Mari kita pergi ke kota. Ke Alun-alun berdua saja.”
            “Tapi aku takut sama Misno.”
            “Kita atur dengan lembut sekali. Jangan sampai dia curiga. Ini nomor Hpku. Hanya aku dan kamu yang tahu, bagaimana?” ucap Supri sambil memberikan gulungan kertas pada Sumini.
            Sumini belum sempat menjawab pertanyaan Misno, lalu datanglah pelanggan lain. Suasana menjadi hening, tanpa kata-kata. Pikiran Sumini tidak menentu demikian halnya dengan hatinya.
***
Malam yang dingin. Misno mendekati Sumini.
 “Aku bosan  sekali. Aku ingin pergi ke kota untuk sekedar menghilangkan penat, “ kata Sumini.
“Wah, kebetulan sekali. Aku sudah lama tidak pergi ke alun-alun. Aku juga ingin membeli putu[14] dan pisang molen,” Ucap Misno.
“Tapi aku ingin pergi dengan Lastri,” jawab Sumini berbohong.
“Ya sudah kalau begitu. Nanti pulangnya belikan aku putu dan molen, ya”.
Tidak lama kemudian Hp berbunyi.
“Aku pergi dulu. Lastri sudah menungguku. Nanti saya belikan putu dan pisang molen untukmu,” kata Sumini sambil bergegas meninggalkan rumah.
***
            Supri telah menunggu Sumini di dekat jembatan  seperti yang telah ia janjikan. Mereka lalu  pergi ke alum-alun dengan sepeda motor Supri. Sesampai di alun-alun, pasangan yang sedang dimabuk cinta tersebut mencari tempat duduk yang nyaman. Mereka duduk di rerumputan taman di depan  gedung Graha Praja yang berlantai delapan, satu-satunya bangunan tertinggi yang ada di Ponorogo. Dengan cahaya lampu yang remang-remang, suasana malam itu indah sekali seindah bunga-bunga yang ada di sekitarnya.
            Malam telah larut, mereka masih asyik bercengkerama hingga lupa segalanya termasuk pesanan Misno, putu dan pisang molen. Pukul satu dini hari, mereka baru pulang.
            Di rumah, Misno menanti kedatangan Sumini sampai tertidur di depan televisi. Sumini membuka pintu yang tidak dikunci dengan pelan-pelan sekali agar suaminya tidak terbangun. Dia lalu memasuki kamarnya. Dia mengantuk sekali lalu tertidur hingga pagi.
***
            “Sum, sudah siang. Kita harus cepat siap-siap membuat cendol. Hari ini hari Pon[15], hari pasaran, rame, Sum” kata Misno sambil menggoyang-goyangkan tubuh Sumini. Sumini tidak juga membuka matanya. Rasa kantuknya teramat sangat. Misno merasa jengkel dengan Sumini. Dia mengambil segayung air lalu mengusap wajah Sumini dengan air itu. Sumini marah sekali pada Misno.
            “Hari ini kita prei saja. Aku capek sekali”
            “Apa? Kamu capek? Semalam kamu bilang jenuh, sekarang capek. Ada apa kamu ini, Sum?” kata Misno dengan nada tinggi. “Kalau kamu terus begini aku tidak kuat, Sum. Aku sudah begitu sabar menghadapimu akhir-akhir ini.”
            Sumini masih saja diam. Itu membuat Misno tidak bisa mengendalikan diri.
            “Ayo katakan pasti ada yang tidak beres”
            “Ya. Aku muak denganmu, Misno!”
            “Apa? Apa salahku padamu?”
            “Tidak ada. Tetapi aku benci sama kamu.”
            Mendengarnya Misno menjadi tersinggung. Dia telah mengorbankan segalanya demi kebahagiaan Sumini. Kini  setelah semua tercapai, tiada kebahagiaan yang didapatkannya. Sebaliknya, Sumini menjadi acuh dengannya.
            “Tidak kusangka kamu berubah seperti itu, Sum. Aku memang sudah tua. Mungkin  tidak sebanding denganmu yang masih muda. Tapi aku sudah menunggumu lama sekali . Semua demi kamu. Sum. Jangan kira aku bahagia dengan semua ini. Kebahagiaan itu keutuhan, Sum. Berkumpulnya istri dan suami lalu memuliki anak dan hidup bersama-sama. Jangan-jangan kamu memiliki simpanan, ya?”
            “Maaf, Mas. Entah mengapa perasaanku menjadi seperti ini kepadamu.”
***
            Beberapa hari angkring Dawet Jabung Mini tutup. Para pelanggan, termasuk warok Suroprojo menanyakan hal itu pada  Ponirah, penjual dawet di sebelah angkring Sumini. Ponirah juga tidak mengetahui mengapa Sumini tidak berjualan. Warok Suroprojo lalu pergi ke rumah Sumini.
            Piye kowe kuwi, dawetmu dienteni wong-wong kok ora dodolan[16]?” Tanya warok Suroprojo mengawali pembicaraan.
            “Sum, nggawe benteran kono, moso mung di suguh anggur[17]?” kata Misno menghidupkan suasana yang kaku. Lalu Sumini pergi ke dapur membuat kopi untuk tamunya.
Ngene[18]Pakdhe, sepertinya Sumini sudah tidak mencintai saya lagi. Mungkin dia memiliki simpanan. Dia tidak mau mempunyai anak denganku,”  bisik  Misno. Tidak lama kemudian Sumini datang sambil membawa nampan berisi dua cangkir kopi.
            “Sum, bloko wae karo Pakdhe[19]. Apa benar kamu sudah tidak mencintai Misno lagi?” tanya Suroprojo. Sumini hanya dian menunduk. “
            “Jawablah, Sum,” sahut Misno.
            “Sum, aku sudah menganggap kalian berdua sebagai anakku sendiri, anggap saja aku sebagai pengganti bapakmu yang sudah tiada.” Suasana hening sejenak. “Apa benar kamu mencintai orang lain?” tanya Suroprojo lagi.
            “Iya, Pak dhe.
            “Siapa laki-laki yang telah merebut hatimu, Sum?” tanya Misno dengan nada tinggi.
            “Kamu diam saja, No. Biar saya yang berbicara dengan Sisum.
            “Apa artinya penantian saya selama enam tahun, Pak Dhe? Apa balasan yang aku terima? Ternyata semua yang aku lakukan sia-sia.”
            “Siapakah laki-laki itu, Sum? Katakan padaku.”
            “Su... Supri, Pak dhe.”
            “Supri? Gendeng kowe, Pri. Wanine ngebut bojone wong liyo[20],” kata Misno dengan wajah merah padam. Misno sakit hatinya. Ia bagaikan disambar petir. Napasnya terengah-engah. Ia berlaju menuju dapur mangambil parang. Emosinya tidak terkontrol lagi. “Supri, tak pateni kowe[21],” ucap Misno berapi-api.
            “Tenang, tahan emosimu,” cegah Suroprojo. Biar aku berbicara dengan Sumini dulu,” tutur Suroprojo.
            “Sum, teganya kamu menghianatiku. Aku tidak mengira kalau kamu akan selingkuh. Aku menyuruhmu menjual dawet tapi kau berikan lepeknya pada orang lain. Dasar  wanita kurang ajar. Bangsat kamu, Sum,” ucap Misno sambil menampar wajah Sumini.  Sumini memegang pipi yang baru saja ditampar suaminya. Air matanya pun  tak kuasa ditahannya.
            “Aku tidak seperti yang kau bayangkan, aku tidak seligkuh. Aku tidak sampai melakukan itu.”
            “Pantas saja akhir-akhir ini kamu berubah. Rupanya kamu selingkuh.”
            “Aku tidak selingkuh, Mas.”
            “Tenang, Misno. Letakkan dulu  parangmu. Semua masalah tidak akan selesai jika diatasi dengan emosi seperti itu. Apakah kamu masih mencintai Sumini?” tanya Misno.
            “Ya, Pak Dhe,” jawab Misno mantap.
 Nduk Sumini, Memang, banyak lelaki senang melihat bakul[22] yang ayu sepertimu. Jangan begitu mudah tergoda oleh rayuan dan pujian para pembeli. Kamu harus mempunyai harga diri. Jangan menjadi penjual yang murahan semurah harga dawetmu. Jangan kau umbar cintamu pada setiap pembeli. Kamu tahu Nduk, Supri itu bukan orang yang baik. Aku sudah kenal betul dengan Supri. Dia sudah punya anak dan istri. Kamu bukan satu-satunya orang yang terkena rayuannya. Dia suka selinguh dengan siapa saja yang dia mau. Banyak lelaki yang pintar merayu wanita, karena kelemahan wanita ada di situ.
            Pasti kamu membandingkan wajah Misno dengan wajah Supri. Siapa yang tidak menginginkan wajah tampan?  Semua orang pasti ingin tampan, muda dan kuat. Tetapi, siapa yang bisa mengubah taqdir Allah? Bukankah wajah tampan saja tidak cukup untuk membina bahtera rumah tangga? Diperlukan orang yang mau mengalah, mau mengerti, dan mau berkorban.
            Lihatlah  Misno, dia selalu mengalah dan menuruti keinginanmu. Dulu kamu nekad ingin pergi ke Hongkong karena ingin memperbaiki keadaan setelah Misno tertipu bisnis voucher. Ia pun mengizinkan. Selama enam tahun kamu tinggalkan Misno, dan dia tetap sabar menanti kedatanganmu. Setelah kamu datang, kamu lupa diri, lupa cita-cita kalian semula, kamu terkena rayuan Supri. Jangan anggap Misno itu orang bodoh. Dia itu orang yang tulus. Kau tidak akan bisa menemukan orang yang mau berkorban seperti yang dia lakukan. Kebanyakan orang hanya bisa mengharap dan meminta tetapi jarang yang mau berkorban.
            Dia telah banyak berkorban untukmu, Nduk. Lalu apa yang telah kau korbankan untuknya? Dia hanya menginginkan anak darimu tapi  tidak pernah kau turuti. Jika kalian memiliki anak, kalian bisa memiliki penerus keturunan. Wanita diciptakan untuk mempunyai anak, mengapa kamu menghindarinya? Lihatlah aku, aku tidak punya anak sendiri, aku hanya  memiliki gemblak, anak-anak asuh yang butuh biaya sekolah dan butuh perlindungan. Mereka akan kembali kepada orang tuanya setelah tamat sekolah, dan meninggalkan aku sendiri. Masa tuaku seharusnya tinggal bersama keluarga, namun aku tidak punya siapa-siapa. Kamu harus memikirkan masa tuamu nanti jika kamu tidak punya anak,” tutur warok Suroprojo membuat air mata Sumini berderai membasahi pipinya. Dia beranjak dari tempat duduknya mendekati Misno yang mulai tenang. Sumini meraih tangan Misno  lalu menciumnya.
            “Maafkan aku, Mas. Percayalah aku tidak selingkuh. Aku tidak sampai melakukan hal itu. Aku khilaf.”
            “Sudahlah, Sum. Mari kita tempuh kehidupan baru kita.”
            “Teruslah menjadi penjual dawet Jabung yang tidak akan melepaskan lepeknya,” ujar warok Suroprojo sambil meninggalkan keduanya yang sedang berbahagia.

SELESAI
           
                       


[1] Kirim: Mengirim uang
[2] Utun  : lugu, sederhana
[3] Kemrompyong   : banyak dan berlebihan
[4] Ndesani              : tampak sekali kalau orang desa
[5] Voucher              : bisnis dimana seseorang yang ikut menjadi anggotanya dimintai sejumlah uang. Semakin banyak uang yang disetor, semakin banyak laba yang didapat. Laba dapat diambil di Bank, namun laba tersebut hanya kemuar selama satu dua bulan saja. Selanjutnya uang tidak cair. Sedangkan penggelola Voucher melarikan diri tanpa jejak. Kerugian besar dialami oleh masyarakat. Banyak harta yang hilang.

[7] Lepek  : cawan.  Ada mitos yang dipercaya masyarakat Ponorogo, bahwa  jika ada pembeli laki-laki yang mengambil lepek, san si penjual membiarkannya berarti sang penjual bersedia menikah dengan laki-laki tersebut.  Jika laki-laki  dengan sengaja mengambil lepek berarti ia “naksir” terhadap penjualnya.
[8] Warok : Dulu orang yang memiliki gemblak. Sekarang warok dianggap sebagai sesepuh.
[9] Segar sekali dawetmu
[10] Brengos : kumis
[11] Bahasa Jawa, artinya: nanti penjualnya ikut
[12] Bahasa Jawa, artinya: orang penjualnya cantik
[13] Jun: tempat campuran santan dan cendol yang terbuat dari tanah liat
[14] Putu: makanan yang terbuat dari tepung beras dan dicetak dengan cetakan bambu.  Setelah dicetak diberi campuran kelapa dan gula. Banyak ditemukan di sekitar Alun-alun Ponorogo.
[15] Pon: hari pasaran. Di Jawa ada lima hari pasaran: Pon, Wage, Kliwon, Legi dan Pahing.
[16] Bagaimana kamu itu, dawetmu  ditunggu-tunggu orang kok  tidak berjualan.
[17] Buat kopi sana, masa idak disuguhi
[18] Ngene: begini
[19] Jujur saja dengan Pakdhe.
[20] Gila kamu, Pri. Beraninya merebut istri orang lain
[21] Saya bunuh kamu
Bakul: penjual

Tidak ada komentar:

Posting Komentar