CERPEN

SEBINGKAI FOTO
Oleh: Rustiani Widiasih

      Jika Saudara pergi ke rumahku, maka Saudara akan dipersilakan duduk menghadap ke arah sebingkai foto wisuda yang terpasang di dinding. Pandangan saudara pasti akan tertuju pada foto itu karena ukuran foto berpigora itu cukup besar kira-kira 50 cm kali 60 cm. Selain itu, tiada gambar lain yang tertempel di dinding. Foto itulah satu-satunya gambar yang menghiasi dinding ruang tamu rumah kami.
Ada tiga orang yang berdiri di foto itu yaitu aku, bapak dan ibu. Aku berada di tengah antara bapak dan ibu. Aku memakai baju toga lengkap sambil membawa sebuah tabung panjang berwarna biru tua yang berisi surat keterangan kelulusan. Bapak memakai baju batik berlengan panjang sedangkan ibu memakai baju kebaya. Senyum bahagia tersungging di bibir kami bertiga.
Di bagian bawah foto itu ada tulisan: WISUDA SARJANA UNIVERSITAS NEGERI MALANG TAHUN 2000. Bingkai foto itu berwarna biru, sangat serasi dengan background fotonya. Bingkai itu menahan kaca dan foto dengan kuat sehingga foto terhindar dari debu dan kotoran. Foto itu telah terpasang di dinding sejak delapan tahun yang lalu. Dahulu aku memberikan foto wisuda berukuran postcard bersama negative filmnya kepada bapak. Lalu ia membawa ke tukang foto untuk memperbesar ukurannya. Bapak juga memesan pigora seukuran dengan fotonya lalu dipasanglah foto tersebut di dinding ruang tamu sampai sekarang.
Bapak tidak pernah mengatakan kebanggaannya kepadaku atau terhadap foto itu. Namun aku bisa merasakan betapa bangganya bapak. Dia senang jika ada tamu yang menanyakan soal foto itu. Bahkan ia seringkali mengatakan hal-hal yang tidak ditanyakan oleh tamu. Misalnya begini, jika ada tamu menanyakan apakah yang ada di foto itu adalah anakknya, dia seharusnya hanya menjawab ”ya”. Namun dia menjawab dengan panjang lebar seperti ini;”Dia lulus dari Universitas Negeri Malang jurusan Sastra Inggris. Kini ia telah menjadi seorang PNS dan menikah dengan PNS pula. Anaknya satu laki-laki....” begitu ia menuturkan. Aku tahu kata-katanya bukan bermaksud sombong melainkan wujud rasa bangganya. Sebetulnya aku merasa malu dengan kenyataan seperti itu. Namun tidak mungkin aku menolak kehendak bapak karena aku tidak mau menyakiti perasaannya. Aku tidak pantas untuk tidak mematuhinya karena ia orang yang sangat bijasana.
Bapakku berkulit hitam. Itu mencerminkan seringnya ia terbakar sinar matahari. Sebagai seorang pengawas TK/SD, ia harus mendatangi sekolah-sekolah yang sulit dijangkau. Namun semangat dan dedikasinya yang tinggi tidak meghalanginya untuk sampai pada sekolah di daerah pedalaman. Sepeda motor inventaris kantor senantiasa mengantarnya mencapai tempat-tempat yang akan dituju.
Jika Saudara berjabat tangan dengan bapak, maka akan merasakan betapa kasar tangannya. Itu menunjukkan kalau bapak adalah seorang pekerja keras. Setelah pulang dari kantor Cabang Dinas Pendidikan, ia pergi berkebun. Ia menikmati setiap hal yang dilakukannya, sehingga tiada kata lelah baginya.Tidak heranlah jika tubuh bapak sehat dan kuat perkasa.
Kulit bapak yang hitam tertutupi dengan wajahnya yang ramah dan bersahabat. Senyumnya yang tulus dan wajahnya yang ramah adalah pancaran dari jiwa kepasrahan dan keihllasan dari lubuk hatinya yang paling dalam.
Bapak bisa berganti-ganti sosok. Dimanapun ia berada, semua akan menerima dengan hormat dan senang hati karena pikirannya yang tajam dan bijak sangat dibutuhkan. Ia bisa menjadi seorang petani dan memiliki teman pergaulan sesama petani. Ia bisa menjadi seorang tokoh agama yang memberikan ceramah di masjid-masjid. Ia bisa juga menjadi seorang guru dan pengawas. Namun yang terpenting bagiku, ia adalah tokoh seorang bapak yang arif bijaksana.
Aku tahu bapak sangat menyayangiku walau ia tidak pernah mengatakannya. Aku merasakan kasih sayangnya melalui tindakan-tindakanya kepadaku. Jika ia pergi ke suatu tepat, dan di tempat itu ada makanan atau barang yang aku suka, pastilah ia akan membelikannya untukku. Aku sampai bingung bagaimana caraku untuk ganti menyenangkannya.
Aku banyak belajar dari bapak bagaimana cara menjalani hidup ini. Aku tahu darinya kalau hidup manusia sebenarnya diciptakan oleh manusia itu sendiri. Begini maksudnya, jika ingin disayangi, maka sayangilah orang lain. Jika ingin dihormati, maka hormatilah orang lain. Jika tidak ingin disakiti, maka jangan menyakiti orang lain, begilulah seterusnya.
Aku juga tahu dari bapak kalau kebahagiaan hidup itu diciptakan oleh manusia sendiri. Bapak juga menciptakan kebahagiannya sendiri. Ia tidak pernah meraih apa yang tidak bisa dia raih. Ia menyeimbangkan antara pemasukan dan pengeluaran. Dan satu hal lagi, ia menyisakan uangnya untuk orang-orang yang memerlukan. Kulihat bapak bahagia. Bahkan kini kebahagiaan bapak sudah lengkap. Beberapa cita-cita yang pernah aku dengar telah terpenuhi. Aku sudah menjadi PNS, aku sudah menikah, dan aku sudak memiliki anak laki-laki.
Aku senang jika melihat bapak bercengkrama dengan anakku seperti yanh kulihat sore itu. Mereka berdua asyik melihat-lihat foto-foto yang dipasang di album foto. Sesekali aku mendengar mereka tertawa ketika melihat hal-hal yang lucu di foto itu. Aku tidak heran lagi dengan pemandangan seperti itu karena bapak adalah orang yang telaten dan rajin merawat foto.
Beberapa saat setelah kudengar canda tawa bapak dan anakku, suasana rumah menjadi sepi. Aku tidak mendapati mereka berdua. Sebalikknya aku menemukan album foto berserakan di lantai. Aku lalu pergi ke luar rumah Kulihat bapak dan anakku pergi entah kemana dengan sepeda inventaris.
Keesokan harinya, tepatnya hari Jum’at, bapak memberikan selembar kertas kepadaku. Setelah kulihat, kertas itu adalah tanda pengabilan foto. Sepintas aku lihat tanggal pengabilannya adalah hari Senin. Lalu kusimpan kertas itu di dalam dompetku.
***
Senin pagi pukul sembilan pagi Hpku berdering. Kulihat nomer yang menghubungiku adalah nomer bapak namun yang berbicara bukan bapak melainkan teman sekantornya. Hatiku berdegup kencang. Ada apa ini? Tidak biasanya bapak meminta orang lain untuk berbicara denganku. ”Bapak kecelakaan, Sekarang dirawat di Rumah Sakit. Cepat ke sini” kata teman bapak melalui HP. Aku tersentak. Kutarik napas dalam-dalam. Jantungku derdetak tak beraturan. Aku tidak percaya. Kenyataan itu bagaikan mimpi. Setelah aku bisa menguasai diri, aku berlaju ke Rumah sakit.
Setiba di sana, aku disambut oleh teman-teman bapak. Mereka mengantarku ke tempat bapak dirawat. Bapak berada di ruang ICU. Aku mendekati bapak yang tergeletak tak berdaya. Kupandangi seluruh tubuhnya. Tiada luka yang berarti di tubuhnya namun bapak tidak sadarkan diri. Dia bagaikan orang tidur lelap. Lemas tubuhku melihat kondisi bapak seperti itu. Tiada daya dan kekuatan tanpa pertolongan Allah. Mulutku terus berdoa agar bapak cepat diberi kesembuhan. Betapa lemah dan tak berdayanya manusia dalam keadaan seperti itu. Dan betapa kuat dan kuasanya Allah dalam membuat manusia tak berdaya.
Aku diminta perawat untuk keluar ruang ICU. Aku hanya bisa menyaksikan bapak dari jendela yang tinginya di atas kepalaku. Kulihat dokter dan perawat memasang peralatan medis di tubuh dan hidung bapak. Aku lalu duduk dengan lunglai di kursi yang berada di luar ruang ICU. Jantungku masih terus berpacau tak beraturan. Hanya doa yang bisa kuucapkan.
Tidak lama kemudian, seorang perawat mendekatiku. Tangannya memegang pundakku sambil berkata: ”Ibu harus kuat”, lalu ia menyodorkan buku Yaasiin kepadaku.”Bacalah Surat Yaasiin ini di dekat bapak”, katanya sambil menepuk-nepuk pundakku. Aku merasa diberi kekuatan dari tangan perawat tadi. Aku bangkit mengambil air wudhu lalu membaca Yaasiin di dekat bapak sampai selesai.
Begitu aku menutup buku Yaasiin, tidak kudengar lagi suara alat detektor yang sejak tadi berdetak. Garis yang tadinya bergelombang di layar detektor menjadi garis lurus. Kulihat bapak masih seperti orang tidur dengan senyum tersungging di bibirnya. Dia tampak pulas sekali.
Perawat yang tadi menepuk pundakku yang kurasa bisa memberikan kekuatan, mendekatiku lagi. Kali ini dia merangkulku lalu membisikkan kata-kata di telingaku. ”Ibu orang yang kuat. Selamat, Ibu bisa mengantar kepergian Bapak dengan doa. Bapak sudah meninggal dunia”, kata perawat itu. Jantungku berdetak semakin kencang. ”Innalillahi wainnalillahi rojiuun”, ucap perawat itu. Lalu secara spontan aku juga mengucapkan kata yang sama. Aku hayati pula ucapan itu. Sesunggunhnya kita adalah milik Allah dan kepada-Nyalah kita kembali.
***
Aku mengambil kertas bukti pengambilan foto yang diberikan bapak sebelum meninggal. Lalu aku beranjak ke Delta Foto tempat pengambilan foto itu. Aku tidak sabar lagi foto mana yang diperbesar bapak. Seorang palayan membawa sebingkai foto berukuran besar kira-kira ukurannya sama dengan fotoku wisuda yang telah dipasang dirumah. Setelah diserahkan kepadaku, akau membuka koran pembungkus pigora itu. MasyaAllah! Ternyata foto itu adalah fotoku bersama suami dan anak. Anakku berada di tengah-tengah antara aku dan suami.
Aku memasang foto itu di sebelah fotoku wisuda. Aku memandangi kedua foto itu. Ada perbedaan yang kurasakan setelah memandang foto wisudaku. Dulu aku merasa bangga dan senang melihatnya. Kini, aku merasa ada sesuatu yang hilang dan ada sesuatu yang tidak lengkap.
Setelah lama merenung, sadarlah aku apa maksud bapak memperbesar fotoku bersama anak dan suami. Aku tahu bahwa dalam hidup ini ada dua hal yang saling berlawanan antara siang dan malam, hidup dan mati, pertemuan dan perpisahan, kelahiran dan kematian dan yang lainnya. Aku tahu aku kehilangan bapak, namun Allah juga memberiku suami dan anak kepadaku.
Sampai kapanpun aku tidak akan menurunkan kedua foto itu. Setiap kali aku memandang foto bapak, aku merasa memiliki kekuatan yang luar biasa. Sebesar apapun masalah yang kuhadapi menjadi ringan karena aku ingat akan hakikat kehidupan yang akan berujung pada kematian. Jika aku melihat kulit hitam dan tangan kasarnya, aku terpacu untuk bekerja keras sepertinya. Aku merasa damai dalam hidup karena hekekatnya hidup adalah menebar kebaikan untuk bekal ke akherat. Foto itu juga mengingatkanku agar aku terus menerus mendoakan bapak dan memohonkan ampunnan dari-Nya.
Apakah aku harus bersedih hati karena bapak telah berpulang? Tidak. Aku harus senang karena bapak telah membawa bekal yang cukup. Bukankah ketiga bekal untuk mati sudah dibawanya? Amal Jariah, Ilmu yang bermanfaat dan anak yang sholehah. Kini akulah satu-satunya yang akan menjadi bekal bapak maka akau harus mejadi anak sholehah.
***
Sekarang, jika Saudara pergi ke rumahku, Saudara akan dipersilakan duduk menghadap dua bingkai foto. Dan jika Saudara bertanya siapakah sosok laki-laki di sebelahku saat aku wisuda itu? Maka aku akan menjawab: ”Itulah bapakku yang kini telah berada di tempat mulia di sisi-Nya”. Setujukah Saudara?

SELESAI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar