CERPEN

Dawet Njabung Sumini
oleh: Rustiani Widiasih


Sumini telah datang dari Saudi. Dia kini berubah, tidak seperti Sumini dahulu yang utun dan lugu. Rambutnya yang dahulu hitam dan selalu diikat dengan karet gelang, kini dicat merah kekuningan dan dibiarkan terurai. Bajunya yang dulu berupa blues dan rok di bawah lutut, kini kaos ketat dan celana jins super ketat. Bagian pusar yang dulu selalu tertutup, sekarang terlihat jelas dengan kaosnya yang hanya sampai di atas pusar panjangnya. Tidak hanya itu, perhiasan emas kemrompyong menghiasi leher, tangan, telinga dan bahkan di kakinya ada gelang serta cincin di jari kakinya.
Perubahan Sumini mengejutkan banyak orang di desa Njabung, terutama Misno, suaminya. Betapa tidak, kini dia selalu menggunakan bahasa Indonesia, bahasa yang jarang diucapkan orang di desa itu. Dulu dia selalu basa karma mlipis dengan siapa saja.
“Mas Misno, ngapain tidak ngejemput aku di terminal? Aku nungguin lama loh. Kirain mas Misno yang ngejemput, eh malah nyuruh orang” ucap Sumini begitu tiba di rumah.
“Sum, Sum kamu kan tahu aku iki ora iso numpak sepeda montor” jawab Misno sambil mengangkat koper Sumini yang berukuran cukup besar ke dalam rumah.
Sumini lalu berkeliling rumah. Dia tidak mendapati rumahnya yang jelek dan sempit seperti yang dia lihat sebelum dia berangkat ke Saudi. Kini rumahnya luas dan bagus. Setiap dindingnya tertempel keramik sesuai yang dia inginkan. Perabotannya juga lengkap seperti yang dia minta. Dia tampak puas dengan segala yang telah ia dapatkan. Rumah bagus, perabotan lengkap, sepeda motor, perhiasan, HP, baju bagus dan penampilan baru.
***
“Mas, mengapa tevenya tidak di ganti yang layar datar? Dulu aku kan kirim buat menggantinya? Tanya Sumini suatu malam.
“Sum, sisum, lha wong teve masih bagus kok diganti. Eman-eman”.
“Mas, jangan panggil aku Sisum, dong. Masa penampilan seperti ini tetap di panggil Sisum. Panggil Mini saja ya mas”
“Ya, Mini.... tapi sebenarnya telinggaku ini gatal sekali mendengar ucapanmu. Kamu tidak biasanya memanggilku mas. Dulu kamu menanggilku kang. Tapi aku senang juga kok, he... he....” tawa Misno, menjadikan gigi-giginya yang mrongos semakin menonjol. Hal itu membuat Sumini sebal sekali. Suaminya tampak semakin jelek dan tua sekarang. Tidak ada daya tariknya sama sekali. Kadang-kadang Sumini merasa risih dengan suaminya itu. Semakin lama bertemu rasanya semakin sempurna kekurangan Misno di mata Sumini. “Sum, apa kamu masih ingin kembali ke Njedah?” lanjutnya.
“Emangnya npapain, mas?” jawab sumini sambil mengecat kuku tangannya yang panjang.
“Kamu sudah terlalu lama di sama, Sum. Sudah empat tahun. Cita-citamu sudah terwujud. Kini mari kita hidup bersama dan mempunyai anak, Sum”.
“Mas.... aku kan masih muda, usiaku baru dua puluh tiga tahun. Masih banyak kesempatan untuk mempunyai anak”.
“Tetapi aku sudah tua, Sum. Sudah waktunya punya anak dua atau tiga”.
“Terus apa yang akan kau gunakan untuk membiayai anakmu nanti? Sawah, tegalan, sapi dan kambing sudah habis terjual tak ada sisanya untuk biaya pemberangkatanku ke Njedah dulu.”
“Bukankah dulu kamu bilang kalau kamu akan berjualan dawet Njabung lagi? Sekarang makin banyak orang datang ke desa ini untuk menikmati dawet Njabung lho. Aku akan membantu dan mempersiapkan segala yang diperlukan untuk berjualan lalu kamu yang berjualan. Aku yakin dawetmu pasti laris karena kamu cantik. Hasilnya lumayan, Sum. Lihat saja, sekarang tetangga kita bayak yang berjualan Dawet. Semua laris, Sum. Bahkan Yu Lamitri katanya mau beli pikep (pick up)”. Tutur Misno.
***
Sumini mengurungkan niatnya untuk kembali ke Saudi. Dia menuruti keinginan suaminya berjualan dawet Njabung . Tidak sulit baginya untuk membuat dawet Njabung karena dulu sebelum menjadi TKW, Sumini adalah seorang penjual dawet Njabung. Selain itu, almarhumah simboknya juga penjual dawet. Sejak kecil dia sudah hafal betul bagaimana komposisi membuat dawet Njabung yang enak dan nikmat.
Dawet Njabung memang enak sekali. Betapa tidak, cendol terbuat dari tepung garut pilihan, santan dipilih dari kelapa yang tidak terlalu tua, tidak terlalu muda. Kuahnya terbuat dari gula putih dimasak beraroma pandan wangi. Disuguhkan dengan ditambah tape ketan hitam dan tabahan gempol, yakni tepung beras di campur dengan air, gula sedikit dan garam, di bentuk bola-bola kecil, kemudian di masak di dandang jadilah gempol.
Juruhnya terbuat dari saus gula putih yang dicampur dengan legen. Legen adalah hasil nderes (panen) bunga batang aren lalu airnya di tampung dalam wadah bumbung bambu, biasanya di panaskan sedikit supaya tidak cepat basi. Jika legen tidak cepat digunakan, semalam saja legen akan menjadi minuman yang memabukkan
Sumini beruntung sekali bisa membeli sepetak tanah di pinggir jalan. Dia berada di antara penjual-penjual angkring yang berjajar di desa Jabung di sebelah selatan Ponorogo sekitar 3 km, kearah Pondok pesantren Gontor ponorogo. Ada tulisan “Dewet Njabung Mini” di depan angkrig Sumini.
Penampilan Sumini yang “eksotik”, menarik para pembeli dawet. Pelanggan Sumini banyak sekali. Bahkan, beberapa pelanggan Yu Lamitri, Ponirah dan penjual lainnya banyak yang pindah ke Sumini.
Sumini seringkali harus sabar menghadapi para pelanggan yang berasal dari luar daerah. Para pelanggan itu belum tahu kebiasaan yang ada pada penjualan dawet Njabung. Mereka belum tahu cara penyajian dawet yang cara penyajiannya langsung handover, tanpa baki atau nampan. Penjual hanya menggunakan lepek (tatakan, cawan, piring kecil), sedangkan pembeli hanya boleh mengambil mangkuknya. Apabila pembeli mengambil mangkuk dan lepeknya, maka penjual akan menahan lepek tersebut dan mengatakan: “Mas, mangkoknya saja yang diambil”.
Ada mitos yang dipercaya oleh masyarat Ponorogo bahwa , jika ada pembeli laki-laki yang mengambil lepek, dan si penjual membiarkannya berarti sang penjual bersedia “Menikah” dengan laki-laki tersebut, sebaliknya jika laki-laki tersebut sengaja mengambil lepek berarti ia “Naksir” terhadap penjualnya.
***
Dawet Njabung tidak membuat orang bosan untuk meminumnya, sebaliknya orang akan ketagihan jika lama tidak meminumnya. Orang-orang Njabung biasa mampir ke angkringan dawet Njabung pada siang hari untuk sekedar menghilangkan dahaga.
Siang itu tampak warok Suroprojo diantaran para pelanggan yang lain. Seperti biasa, dia suka memperhatikan gemulainya tangan Sumini dalam menyajikan dawet Njabung. Tangan itu memang putih, mulus serta lincah mengambil mangkuk, cawan, memegang irus (gayung) yang bertangkai tokoh wayang, Janoko. Lalu Menyiduk cendol, santan, juruh, air garam, tape ketan hitam, gempol dan memberikan es batu sesuai dengan selera pembeli. Dawet itu lalu disajikan dalam mangkuk dan sendok bebek di atas tatakan kecil.
Sambil menanti penyajian dawet, warok Suruprojo dan para pembeli bisa menikmati berbagai hidangan yang ada di meja. Sumini sudah mempunyai orang tetap yang mensuplai jajanan seperti tempe goreng, cucur, pisang goreng, tape ketan, pia-pia, tahu isi, lumpia, dadar gulung, gethuk, tahu goreng, rimbil dan gandos. Itu semua adalah makanan khas di desa Njabung.
“Seger tenan dawetmu, Sum” ucap warok Suroprojo yang sudah dianggap sebagai bapaknya orang-orang Njabung. Sesekali dia mengusap brengosnya yang panjang karena basah terkena dawet Njabung.
Tidak lama kemudian Supri datang. Supri adalah pelanggan baru Sumini. Sudah beberapa hari ini dia mampir ke angkring Sumini. Tatapan matanya membuat Sumini salah tingkah. Pertama kali dia datang ke angkring Sumini, dia menarik lepek kuat-kuat.
“Mas, yang diambil mangkuknya saja” kata sumini.
“Tetapi saya menginginkan lepek itu, Mbak Mini” sahut Supri dengan senyuman yang ramah dan menggoda.
“Maaf, mas. Lepeknya hanya satu. Nanti bakule katut”
“Wah, kalau katut saya senang sekali lha wong bakule cantik”
Sumini sudah biasa dirayu dan dipuji pembeli. Namun, rayuan dan pujian Supri menimbulkan kesan yang berbeda di hati Sumini. Bahkan, Sumini selalu menanti –nanti kedatangan Supri setiap hari. Jika Supri tidak datang harinya terasa hampa.
Kali ini Supri tidak bisa merayu-rayu lagi. Ada banyak sekali pelanggan. Dia hanya sesekali menatap Sumini dengan pandangan yang membuat hati Sumini berdebar-debar. Kalau sudah begitu Sumini menjadi salah tingkah.
“Sum, ini santannya” kata Misno sambil menyodorkan panci yang berisi santan. Sumini tampak gugup dan kaget dengan ucapan suaminya yang tiba-tiba saja. Ucapan yang membuyarkan semua bayangan semunya. Sumini lalu menuangkan santan ke jun tempat santan dan memberikan pancinya kembali pada Misno.Misno bekerja “di balik layar”. Dia memarut kelapa, mencuci mangkuk, merebus juruh dan dua hari sekali menderes legen ke kebun.
Bagi Sumini dan bagi siapa saja, Supri sungguh berbeda dengan Misno. Supri begitu romantis, ganteng, muda dan gagah. Sedangkan Misno? Dia sudah tua, giginya mrongos, berpenampilan ndesani. Jika mereka bersanding ibaratnya bagaikan bumi dan langit.
***
Suatu malam Misno mendapati Sumini sedang termenung. Sejak sore harinya dia tidak berkata-kata.
“Ada apa, Sum? Mengapa sejak tadi melamun terus? Apa yang kamu pikirkan?” tanya Misno sambil memegang pundak Sumini. Sumini menghindar dari Misno. Tangan Misno dia lepaskan dari pundaknya. Dia merasa risih dengan Misno. “Mengapa kamu ini? Apa aku telah berbuat salah padamu?” tanya Misno lagi.
“Tidak ada yang salah. Aku hanya capek saja”
“Kalau begitu sini saya pijat”
“Tidak usah. Aku mau tidur saja” ucap Sumini sambil beranjak ke kamarnya.
Misno sungguh tidak mengerti dengan tingkah polah Sumini. Dia hanya bisa diam dan sabar menghadapi orang yang sangat dia cintai itu. Untuk menghilangkan segala kekecewaanya, dia menghisap rokok tingwenya. Berkali-kali ia menggulung kertas papir yang telah diisi tembakau dan cengkeh, lalu menghisapnya dalam-dalam.
***
Suatu siang, Supri datang ke angkring Sumini. Tidak ada pelanggan lain siang itu. Supri duduk dekat sekali dengan Sumini. Ketika Sumini memberikan dawet Njabung, Supri menarik keras-keras cawannya. Mata mereka saling memandang. Akhirnya Sumini tidak kuasa menghadapi tatapan mata Supri. Lepek berhasil ditarik Supri.
“Apa artinya ini, Mini?” tanya Supri. “Apa kamu menerimaku?” Sumini hanya dian. Mukanya merah padam. Dia agak gugup.”Apa kamu takut dengan suamimu,Mini? Adakah dia sekarang?”
“Tidak. Dia sedang menderes”
“Mini, aku sangat mencintaimu. Apa kau percaya padaku? Jika aku tidak mencintaimu, mengapa aku pergi ke sini setiap hari? Ayolah, Mini kita pergi berdua. Sesekali kamu harus istirahat. Mari kita pergi ke kota. Ke alun-alun berdua saja.”
“Tapi aku takut sama Misno”
“Kita atur dengan lebut sekali. Jangan sampai dia curiga. Hanya aku dan kamu yang tahu, bagaiman?”
Sumini belum sempat menjawab pertanyaan Misno, lalu datanglah pelanggan lain. Suasana menjadi hening, tanpa kata-kata. Pikiran Sumini tidak menentu.
***
Malam yang dingin. Misno mendekati Sumini.
“Sum, kalau kita punya anak pastilah rumah ini tidak sesepi ini” kata Misno membuka pembicaraan. Yang diajak bicara hanya diam saja sambil mengoleskan hand body ke seluruh tangan dan kakinya. Sesekali dia menjawab sms di Hpnya. Sms yang tidak akan diketahui isinya oleh Misno yang tidak bisa mengoperasikan HP. “Baumu harum, Sum”.
“Mas aku bosan sekali. Aku ingin pergi ke kota untuk sekedar menghilangkan penat.”
“Wah, kebetulan sekali. Aku sudah lama tidak pergi ke alun-alun. Aku juga ingin membeli putu dan pisang molen.”
“Tapi aku ingin pergi dengan Lastri”
“Ya sudah kalau begitu. Nanti pulangnya belikan aku putu dan molen, ya”.
Tidak lama kemudian Hp berbunyi.
“Mas, aku pergi dulu. Lastri sudah menungguku. Nanti kamu saya belikan putu dan pisang molen” kata Sumini lalu bergegas meninggalkan rumah.
***
Supri telah menunggu Sumini di dekat jembatan seperti yang telah ia janjikan. Mereka lalu pergi ke alum-alun dengan sepeda motor Supri. Sesampai di alun-alun, pasangan yang sedang dimabuk cinta tersebut mencari tenpat duduk yang nyaman. Mereka duduk di rerumputan taman di depan gedung Graha Praja yang berlantai delapan, satu-satunya bangunan berlantai delapan yang ada di Ponorogo. Degan cahaya lampu yang remang-remang, suasana malam itu indah sekali seindah bunga-bunga yang ada di sekitarnya.
Malam telah larut, mereka masih asyik bercengkerama hingga lupa segalanya termasuk pesanan Misno, putu dan pisang molen. Pukul satu dini hari, mereka baru pulang.
Di rumah, Misno menanti kedatangan Sumini sampai tertidur di epan televisi. Sumini membuka pintu yang tidak dikunci dengan pelan-pelan sekali agar suaminya tidak terbangun. Dia lalu memasuki kamarnya. Dia mengantuk sekali lalu tertidur hingga pagi harinya Misno membangunkan Sumini.
“Sum, sudah siang. Kita harus cepat siap-siap membuat cendol. Hari ini hari Pon, hari pasaran, rame, Sum” kata Misno sambil menggoyang-goyangkan tubuh Sumini. Sumini tidak juga membuka matanya. Rasa kantuknya teramat sangat. Misno merasa jengkel dengan Sumini. Dia mengambil segayung air lalu mengusap wajah Sumini dengan air itu. Sumini marah sekali pada Misno.
“Hari ini kita prei saja. Aku capek sekali”
“Apa? Kamu capek? Semalam kamu bilang jenuh, sekarang capek. Ada apa kamu ini, Sum?” kata Misno dengan nada tinggi. “Kalau kamu terus begini aku tidak kuat, Sum. Aku sudah begitu sabar menghadapimu akhir-akhir ini”
Sumini masih saja diam. Itu membuat Misno tidak bisa mengendalikan diri.
“Ayo katakan pasti ada yang tidak beres”
“Ya. Aku muak denganmu, Misno!”
“Apa? Apa salahku padamu?”
“Tidak ada. Tetapi aku benci sama kamu”
Mendengarnya Misno menjadi tersinggung. Dia telah mengorbankan segala yang ia punya agar Sumini bisa berangkat ke Saudi. Kini setelah semua tercapai, tiada kebahagiaan yang didapatkannya. Sebaliknya Sumini menjadi acuh dengannya.
“Tidak kusangka kamu akan berubah seperti itu, Sum. Aku memang sudah tua. Mungkin tidak sebanding denganmu yang masih muda. Tapi aku ini sudah menunggumu lama sekali . Aku menuruti semua permintaanmu sampai-sampai aku tidak punya apa-apa lagi. Semua demi kamu. Sum. Jangan kira aku bahagia dengan semua ini. Kebahagiaan itu keutuhan, Sum. Berkumplnya istri dan suami lalu memuliki anak dan hidup bersama-sama. Jangan-jangan kamu memiliki simpanan, ya”
“Maaf, kang. Entah mengapa perasaanku menjadi seperti ini kepadamu.”
***
Beberapa hari angkring Dawet Njabung Mini tutup. Para pelanggan, termasuk warok Suroprojo menanyakan hal itu pada Ponorah, penjual dawet di sebelah angkring Sumini. Ponirah juga tidak mengetahui mengapa Sumini tidak berjualan. Warok Suroprogo lalu pergi ke rumah Sumini.
“Piye kowe kuwi, dawetmu dienteni wong-wong kok ora dodolan?” Tanya warok Suroprojo mengawali pembicaraan.
“Sum, nggawe benteran kono, moso mung di suguh anggur?” kata Misno menghidupkan suasana yang kaku. Lalu Sumini pergi ke dapur membuat kopi untuk tamunya. “Ngene Pakdhe, Sepertinya Sumini sudah tidak mencintai saya lagi. Dia memiliki simpanan. Dia tidak mau mempunyai anak denganku” Tidak lama kemudian Sumini datang sambil membawa nampan berisi dua cangkir kopi.
“Sum, bloko wae karo Pakdhe. Apa benar kamu sudah tidak mencintai Misno lagi?” tanya Suroprojo. Sumini hanya dian menunduk. “
“Jawablah, Sum” sahut Misno.
“Dengar Sum, aku ini sudah menganggap kalian berdua sebagai anakku sendiri, anggap saja aku sebagai pengganti bapakmu yang sudah tiada.” Suasana hening sejenak. “Apa benar kamu mencintai orang lain?” tanya Suroprojo lagi.
“Iya, Pak dhe”
“Siapa laki-laki yang telah merebut hatimu, Sum” tanya Misno dengan nada tinggi.
“Kamu diam saja, No. Biar saya yang berbicara dengan Sisum. Siapakah laki-laki yang itu, Sum? Katakan padaku”
“Supri, Pak dhe”
“Supri? Gendeng kowe, Pri. Wanine ngebut bojone wong” kata Misno dengan wajah merah padam.
“Tenang, tahan emosimu. Biar aku berbicara. Nduk Sumini, kamu bekerja menjadi sebagai penjual dawet Njabung.Itu pekerjaan yang mulia. Kamu memberi kesenangan, dan menghilangkan dahaga orang-orang yang kehausan di kala siang hari. Kamu dapat uang yang halal dengan usahamu itu. Memang, banyak lelaki senang melihat bakul yang ayu sepertimu. Jangan begitu mudah tergoda oleh rayuan dan pujian para pembeli. Kamu harus mempunyai harga diri. Jangan maenjadi penjual yang murahan semurah harga dawetmu. Jangan kau umbar cintamu pada setiap pembeli.
Kamu tahu Nduk, Supri itu bukan orang yang baik. Aku sudah kenal betul dengan Supri. Dia sudah punya anak dan istri. Kamu bukan satu-satunya orang yang terkena rayuannya. Dia suka selinguh dengan siapa saja yang dia mau. Banyak lelaki yang pintar merayu wanita, karena kelemahan wanita ada di situ.
Pasti kamu membandingkan wajah Misno dengan wajah Supri. Siapa yaang tidak menginginkan wajah tampan? Semua orang pasti ingin tampan, muda dan kuat. Tetapi, siapa yang bisa mengubah taqdir Allah? Bukankah wajah tampan saja tidak cukup untuk mebina bahtera rumah tangga. Diperlukan orang yang mau mengalah, mau mengerti, dan mau berkorban.
Lihatlah Misno, dia selalu mengalah dan menuruti keinginanmu. Dulu kamu nekad ingin pergi ke Saudi karena ingin memperbaiki keadaan. Padahal kamu tidak punya apa-apa. Lalu Misno mau mengorbankan sawah, tegal dan sapinya yang merupakan sumber penghidupannya. Selama empat tahun kamu tinggalkan Misno, dan dia tetap sabar menanti kedatanganmu. Setelah kamu datang, kamu lupa diri, lupa cita-cita kalian semula, kamu terkena rayuan Supri. Jangan anggap Misno itu orang bodoh. Dia itu orang yang tulus. Kau tidak akan bisa menemukan orang yang mau berkorban seperti yang dia lakukan. Kebanyakan orang hanya bisa mengharap dan meminta tetapi jarang yang mau berkorban.
Dia telah banyak berkorban untukmu, Nduk. Lalu apa yang telah kau korbankan untukknya? Dia hanya menginginkan anak darimu saja tidak pernah kau turuti. Jika kalian memiliki anak, kalian akan bisa memiliki penerus keturunan. Wanita diciptakan untuk mempunyai anak, mengapa kamu menghindarinya? Lihatlah aku, aku tidak punya anak sendiri, Aku hanya memiliki gemblak, anak-anak yatim piatu yang butuh sekolah, butuh perlindungan. Yang akan kembali kepada orang tuanya setelah tamat sekolah. Dan meninggalkan aku sendiri. Masa tuaku seharusnya tinggal bersama keluarga, namun aku tidak punya siapa-siapa. Kamu harus memikirkan masa tuamu nanti jika kamu tidak punya anak.” tutur warok Suroprojo membuat air mata Sumini berderai menbasahi pipinya. Dia lalu mencium tangan Misno.
“Maafkan aku, mas”
“Sudahlah, Sum. Mari kita tempuh kehidupan baru kita”
“Lanjutkan menjadi bakul dawet Njabung yang tidak akan melepaskan lepeknya” ujar warok Suroprojo sambil meninggalkan keduanya yang sedang berbahagia.

***




Tidak ada komentar:

Posting Komentar