CERPEN 2

Suatu Senja di Sekolahku

Oleh: Rustiani Widiasih

Pukul 13.00, suatu siang yang damai di SMAN I Badegan. Matahari masih memancarkan sinarnya. Sinar yang cemelorot dibalik pohon beringin yang bertengger di depan sekolah. Rasanya seperti berada di tenggah pasar yang sudah tutup. Sepi senyap seketika begitu jam tutup tiba.
Pada saat seperti sekarang ini kebanyakan siswa sudah pulang ke rumah masing-masing. Yang masih tersisa adalah seorang kebon dan beberapa anak di ruang Osis. Pak Kebon itu membereskan meja yang dipenuhi gelas-gelas kosong serta abu rokok di asbak tua . Tidak terengar lagi suara meja kursi dipukul-pukul siswa yang menirukan gaya grup band terkenal layaknya. Beberapa penggembala tampak melepaskan hewan ternaknya memakan rumput di lapangan sekolah.
Pintu Kopsis yang terletak kira-kira 10 meter dariku, yang sejak pagi tadi tidak pernah sepi dari lalu lalang anak-anak yang sedang kelaparan, kini tertutup rapat. Tiada seorangpun melewatinya. Yang ada hanya seorang pemulung sampah yang memungut gelas-gelas bekas mimuman kemasan lalu memasukkannya ke dalam karung yang disandang dipundaknya. Tampak wajahnya yang mulai senja itu letih sekali. Namun ada seberkas kebahagiaan diwajahnya. Ya, karena karungnya hampir penuh dengan barang-barang bekas yang akan dijualnya.
Disekeliligku, yang jelas terdengar adalah gemerincing gelas yang bebenturan, karena dicuci pak kebon, petugas pembantu umum dan serbaguna di sekolahku. Ia dengan leluasa mencuci gelas-gelas itu tanpa ada suara bapak dan ibu guru yang sering mengomentarinya. Juga pak kepala sekolah yang setiap saat memberikan tugas baru. Lapangan olahraga yang jaraknya kira-kira 10 meter dariku, yang tadi pagi digunakan siswa untuk olahraga, kini dipenuhi oleh lembu dan kambing. Tampak juga beberapa anak dari desa Menang bermain bola. Mereka berada jauh dari hewan piaraan gembalaan mereka. Anak-anak ini tidak punya aturan, tidak seperti para siswa yang tertib karena ada gurunya. Seringkali bola mereka menghantam kaca Musholla hingga pecah. Tiada pertanggungjawaban dari anak-anak itu. Pihak sekolahlah yang dirugikan. Suara teriakan anak-anak itu memecahkan kesunyian di sekitar sekolahku.
Ngaungan lembu sesekali terdengar menggema menghantam dinding-dinding dan kaca-kaca kelas. Terdengar juga embikan kambing yang hanya diketahui maknanya oleh Nabi Sulaiman dan Tuhannya. Mungkin itu berarti ungkapan kenyang atau apalah, aku tidak tahu.
Disebelah kananku terdapat ruang kelas yang digunakan sebagai gudang tempat menyimpan kawat bekas jendela yang sekarang sudah diganti dengan kaca. Terdengar sayup-sayup percakapan yang mirip degan pertengkaran antara pemulung sampah dengan seorang siswa.
Siswa itu masih menggunakan celana abu-abunya.. Baju atasannya bukanlah kemeja putih melainkan kaos olahraga. Sebuah tas berada dipunggungnya. Tubuhnya yang tegap menunjukka sikapnya yang tegas. Anak itu adalah salah satu anak yag tadi berada di ruang Osis. Ia memarahi tukang rosok yang tertangkap olehnya sedang mengambil kawat sepanjang 10 centimeter. Pemulung itu hendak memasukkan kawat itu ke dalam karungnya. Ada perdebatan sesaat antara mereka berdua. Waktu sudah bergeser dua jam dari pukul 13. Seorang pemulung pulang dengan karung dipundaknya. Beberapa siswa pulang dengan tas dibahunya. Beberapa penggembala pulang dengan hewan piaraannya. Anak-anak pulang dengan bolanya. Terakhir, seorang tukang kebon pulang dengan seombyok kunci untuk datang lagi besuk, pagi-pagi sekali.

****

1 komentar: