Kelas Unggulan



Kelas “Unggulan”

Oleh: Rustiani Widiasih

          Selama ini saya mengajar di kelas yang sangat heterogen. Dalam satu kelas ada siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi, sedang dan rendah. Dari segi kemampuanpun juga demikian. Apa yang terjadi? Saya harus banyak sekali mengeluarkan tenaga untuk memberikan motivasi, menyelesaikan permasalahan siswa dan banyak lagi kewajiban untuk menciptakan kelas yang kondusif.
          Ketika dalam pembelajaran, siswa yang sama sekali tidak memiliki motivasi dan kemampuan, pada umumnya hanya membuat ulah. Seakan sejuta kata yang terucap ini hanya dimasukkan telinga kiri dan dikeluarkan melalui telinga kanan. Kesabaran yang ada, kadang tidak cukup untuk mengatasi siswa “bandel”. Ibarat pepatah Jawa “lambe sak lumpang kari sak merang”.
          Dalam satu kelas, pasti ada beberapa anak “bandel”. Beberapa anak tersebut suka membuat ulah saja. Sudah tidak menguasai materi, usil lagi. Mereka  juga  jahil, ramai dan menganggu kelas saja. Pernah suatu saat saya terpaksa menyuruh siswa-siswa  “bandel” dalam satu kelas untuk mengerjakan tugas di perpustakaan. Begitu anak-anak tersebut keluar kelas, saya memanfaatkan untuk mengajar siswa-siswa lain yang memiliki minat belajar. Oh... betapa senangnya ketika siswa “bandel” itu tidak ada di kelas. Kelas menjadi sangat kondusif.
          Sesungguhnya, saya sangat menyadari bahwa setiap anak memiliki hak yang sama. Saya pun menyadari kalau siswa dilahirkan berbeda-beda dengan kecerdasan sendiri-sendiri. Saya juga tahu siswa berlatar keluarga yang berbeda-beda. Ada siswa yang sangat kurang perhatian dari orang tua, ada siswa yang ditinggal ibu bapaknya bekerja di luar negeri. Sehingga, mereka merasa  kurang perhatian dari orang tua. Mereka mencari perhatian dari guru dan teman-temannya. Saya pun tahu tugas guru adalah termasuk memberikan perhatian, dan mendidikan siswa “bandel” tersebut.
          Saya sering melakukan home visit ke rumah siswa yang bermasalah. Ternyata kebanyakan siswa yang bermasalah adalah berasal dari keluarga yang bermasalah pula. Walau ada siswa yang keluarganya baik-baik saja namun siswa karena pengaruh teman menjadi siswa yang “bandel”. Banyak siswa saya sampai harus dikeluarkan dari sekolah gara-gara telah memenuhi syarat untuk dikeluarkan. Saya kadang juga merenung, siapa yang akan mendidik anak “bandel” tersebut? Seharusnya ada sekolah khusus anak-anak bandel itu. Jika mereka dijadikan dalam satu kelas yang sama mungkin penanganannya sama sehingga justru bisa lebih baik. Atau bisa sebaliknya, karena merasa diasingkan dan dicap sebagai anak bandel mereka menjadi semakin bandel.
          Betapapun kondisi kelas yang saya hadapi, saya sebetulnya telah berusaha secara maksimal untuk mengajar dan mendidik. Namun,  pasti selalu ada letidakberhasilan saya dalam mengatasi si anak “bandel”.  Kesabaran dan keikhlasan dalam mengajar adalah satu-satunya yang selalu saya upayakan selain berbagai cara untuk membuat anak bandel mau selayaknya seperti anak-anak lain yang mempunyai minat belajar dengan baik.
          Pada tahun pelajaran ini, saya mendapat tugas mengajar di satu kelas yang merupakan kelas “unggulan”. Ketika saya mengajar di kelas ini,  sungguh luar biasa  senangnya. Betapa tidak? Saya hanya fokus pada inovasi pembelajaran. Semua anak memiliki motivasi belajar tinggi. Daya saing pun tinggi. Anak disuruh apa saja mau. Rasanya ada kepuasan tersendiri mengajar di kelas ini. Bahkan waktu terasa sangat singkat ketika saya lagi asyik mengajak anak belajar dengan inovasi pebelajaran yang menyenangkan.
          Jika disuruh memilih, pasti semua guru akan memilih kelas unggulan. Namun, bagaimanapun saya juga menyadari  ada juga siswa yang tidak berada di kelas unggulah yang juga harus diperlakukan sebagaimana siswa di kelas unggulan. Bedanya,  perlu waktu dan tenaga yang banyak untuk mengkonsisikan kelas yang berisi anak “bandel”.  Semoga semakin tahun, semakin banyak trik untuk mengkodisikan kelas apapun. Amin.

Kelas Unggulan



Kelas “Unggulan”

Oleh: Rustiani Widiasih

          Selama ini saya mengajar di kelas yang sangat heterogen. Dalam satu kelas ada siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi, sedang dan rendah. Dari segi kemampuanpun juga demikian. Apa yang terjadi? Saya harus banyak sekali mengeluarkan tenaga untuk memberikan motivasi, menyelesaikan permasalahan siswa dan banyak lagi kewajiban untuk menciptakan kelas yang kondusif.
          Ketika dalam pembelajaran, siswa yang sama sekali tidak memiliki motivasi dan kemampuan, pada umumnya hanya membuat ulah. Seakan sejuta kata yang terucap ini hanya dimasukkan telinga kiri dan dikeluarkan melalui telinga kanan. Kesabaran yang ada, kadang tidak cukup untuk mengatasi siswa “bandel”. Ibarat pepatah Jawa “lambe sak lumpang kari sak merang”.
          Dalam satu kelas, pasti ada beberapa anak “bandel”. Beberapa anak tersebut suka membuat ulah saja. Sudah tidak menguasai materi, usil lagi. Mereka  juga  jahil, ramai dan menganggu kelas saja. Pernah suatu saat saya terpaksa menyuruh siswa-siswa  “bandel” dalam satu kelas untuk mengerjakan tugas di perpustakaan. Begitu anak-anak tersebut keluar kelas, saya memanfaatkan untuk mengajar siswa-siswa lain yang memiliki minat belajar. Oh... betapa senangnya ketika siswa “bandel” itu tidak ada di kelas. Kelas menjadi sangat kondusif.
          Sesungguhnya, saya sangat menyadari bahwa setiap anak memiliki hak yang sama. Saya pun menyadari kalau siswa dilahirkan berbeda-beda dengan kecerdasan sendiri-sendiri. Saya juga tahu siswa berlatar keluarga yang berbeda-beda. Ada siswa yang sangat kurang perhatian dari orang tua, ada siswa yang ditinggal ibu bapaknya bekerja di luar negeri. Sehingga, mereka merasa  kurang perhatian dari orang tua. Mereka mencari perhatian dari guru dan teman-temannya. Saya pun tahu tugas guru adalah termasuk memberikan perhatian, dan mendidikan siswa “bandel” tersebut.
          Saya sering melakukan home visit ke rumah siswa yang bermasalah. Ternyata kebanyakan siswa yang bermasalah adalah berasal dari keluarga yang bermasalah pula. Walau ada siswa yang keluarganya baik-baik saja namun siswa karena pengaruh teman menjadi siswa yang “bandel”. Banyak siswa saya sampai harus dikeluarkan dari sekolah gara-gara telah memenuhi syarat untuk dikeluarkan. Saya kadang juga merenung, siapa yang akan mendidik anak “bandel” tersebut? Seharusnya ada sekolah khusus anak-anak bandel itu. Jika mereka dijadikan dalam satu kelas yang sama mungkin penanganannya sama sehingga justru bisa lebih baik. Atau bisa sebaliknya, karena merasa diasingkan dan dicap sebagai anak bandel mereka menjadi semakin bandel.
          Betapapun kondisi kelas yang saya hadapi, saya sebetulnya telah berusaha secara maksimal untuk mengajar dan mendidik. Namun,  pasti selalu ada letidakberhasilan saya dalam mengatasi si anak “bandel”.  Kesabaran dan keikhlasan dalam mengajar adalah satu-satunya yang selalu saya upayakan selain berbagai cara untuk membuat anak bandel mau selayaknya seperti anak-anak lain yang mempunyai minat belajar dengan baik.
          Pada tahun pelajaran ini, saya mendapat tugas mengajar di satu kelas yang merupakan kelas “unggulan”. Ketika saya mengajar di kelas ini,  sungguh luar biasa  senangnya. Betapa tidak? Saya hanya fokus pada inovasi pembelajaran. Semua anak memiliki motivasi belajar tinggi. Daya saing pun tinggi. Anak disuruh apa saja mau. Rasanya ada kepuasan tersendiri mengajar di kelas ini. Bahkan waktu terasa sangat singkat ketika saya lagi asyik mengajak anak belajar dengan inovasi pebelajaran yang menyenangkan.
          Jika disuruh memilih, pasti semua guru akan memilih kelas unggulan. Namun, bagaimanapun saya juga menyadari  ada juga siswa yang tidak berada di kelas unggulah yang juga harus diperlakukan sebagaimana siswa di kelas unggulan. Bedanya,  perlu waktu dan tenaga yang banyak untuk mengkonsisikan kelas yang berisi anak “bandel”.  Semoga semakin tahun, semakin banyak trik untuk mengkodisikan kelas apapun. Amin.

Kelas Unggulan



Kelas “Unggulan”

Oleh: Rustiani Widiasih

          Selama ini saya mengajar di kelas yang sangat heterogen. Dalam satu kelas ada siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi, sedang dan rendah. Dari segi kemampuanpun juga demikian. Apa yang terjadi? Saya harus banyak sekali mengeluarkan tenaga untuk memberikan motivasi, menyelesaikan permasalahan siswa dan banyak lagi kewajiban untuk menciptakan kelas yang kondusif.
          Ketika dalam pembelajaran, siswa yang sama sekali tidak memiliki motivasi dan kemampuan, pada umumnya hanya membuat ulah. Seakan sejuta kata yang terucap ini hanya dimasukkan telinga kiri dan dikeluarkan melalui telinga kanan. Kesabaran yang ada, kadang tidak cukup untuk mengatasi siswa “bandel”. Ibarat pepatah Jawa “lambe sak lumpang kari sak merang”.
          Dalam satu kelas, pasti ada beberapa anak “bandel”. Beberapa anak tersebut suka membuat ulah saja. Sudah tidak menguasai materi, usil lagi. Mereka  juga  jahil, ramai dan menganggu kelas saja. Pernah suatu saat saya terpaksa menyuruh siswa-siswa  “bandel” dalam satu kelas untuk mengerjakan tugas di perpustakaan. Begitu anak-anak tersebut keluar kelas, saya memanfaatkan untuk mengajar siswa-siswa lain yang memiliki minat belajar. Oh... betapa senangnya ketika siswa “bandel” itu tidak ada di kelas. Kelas menjadi sangat kondusif.
          Sesungguhnya, saya sangat menyadari bahwa setiap anak memiliki hak yang sama. Saya pun menyadari kalau siswa dilahirkan berbeda-beda dengan kecerdasan sendiri-sendiri. Saya juga tahu siswa berlatar keluarga yang berbeda-beda. Ada siswa yang sangat kurang perhatian dari orang tua, ada siswa yang ditinggal ibu bapaknya bekerja di luar negeri. Sehingga, mereka merasa  kurang perhatian dari orang tua. Mereka mencari perhatian dari guru dan teman-temannya. Saya pun tahu tugas guru adalah termasuk memberikan perhatian, dan mendidikan siswa “bandel” tersebut.
          Saya sering melakukan home visit ke rumah siswa yang bermasalah. Ternyata kebanyakan siswa yang bermasalah adalah berasal dari keluarga yang bermasalah pula. Walau ada siswa yang keluarganya baik-baik saja namun siswa karena pengaruh teman menjadi siswa yang “bandel”. Banyak siswa saya sampai harus dikeluarkan dari sekolah gara-gara telah memenuhi syarat untuk dikeluarkan. Saya kadang juga merenung, siapa yang akan mendidik anak “bandel” tersebut? Seharusnya ada sekolah khusus anak-anak bandel itu. Jika mereka dijadikan dalam satu kelas yang sama mungkin penanganannya sama sehingga justru bisa lebih baik. Atau bisa sebaliknya, karena merasa diasingkan dan dicap sebagai anak bandel mereka menjadi semakin bandel.
          Betapapun kondisi kelas yang saya hadapi, saya sebetulnya telah berusaha secara maksimal untuk mengajar dan mendidik. Namun,  pasti selalu ada letidakberhasilan saya dalam mengatasi si anak “bandel”.  Kesabaran dan keikhlasan dalam mengajar adalah satu-satunya yang selalu saya upayakan selain berbagai cara untuk membuat anak bandel mau selayaknya seperti anak-anak lain yang mempunyai minat belajar dengan baik.
          Pada tahun pelajaran ini, saya mendapat tugas mengajar di satu kelas yang merupakan kelas “unggulan”. Ketika saya mengajar di kelas ini,  sungguh luar biasa  senangnya. Betapa tidak? Saya hanya fokus pada inovasi pembelajaran. Semua anak memiliki motivasi belajar tinggi. Daya saing pun tinggi. Anak disuruh apa saja mau. Rasanya ada kepuasan tersendiri mengajar di kelas ini. Bahkan waktu terasa sangat singkat ketika saya lagi asyik mengajak anak belajar dengan inovasi pebelajaran yang menyenangkan.
          Jika disuruh memilih, pasti semua guru akan memilih kelas unggulan. Namun, bagaimanapun saya juga menyadari  ada juga siswa yang tidak berada di kelas unggulah yang juga harus diperlakukan sebagaimana siswa di kelas unggulan. Bedanya,  perlu waktu dan tenaga yang banyak untuk mengkonsisikan kelas yang berisi anak “bandel”.  Semoga semakin tahun, semakin banyak trik untuk mengkodisikan kelas apapun. Amin.

Kelas Unggulan

Komenter Anda
Komenter Anda

OLEH-OLEH WORKSHOP BATU



CATATAN KECIL WORKSHOP PENINGKATAN MUTU GURU SSN

Oleh: Rustiani Widiasih


Dari Kiri: Bapak Hadi Wiyono, Bapak Suhanto, Ibu Rustiani Widiasih
Banyak sekali keluhan yang disampaikan peserta mengenai implementasi Kurikulum 2013. Permasalahan yang dihadapi para guru  tampak sangat komplek. Mulai dari pembuatan  RPP, materi ajar, pengurangan jumlah jam mengajar, sistem penilaian, dan masih banyak lagi. Banyak guru merasa bingung dan merasa seakan dipaksakan untuk melaksanakan apa yang sebenarnya belum begitu dipahai.
Di akhir pertemuan workshop peningkatan mutu guru di Kota Batu selama tiga hari, mulai hari Jum’at tanggal 26 Juni sampai hari Minggu tanggal 28 Juli 2013, seorang pembicara (bapak Hadi Wiyono)  memberikan pencerahan untuk bekal dibawa pulang peserta sebagai berikut:
1.     Guru tidak boleh meninggalkan tujuan pendidikan nasional. Bagaimanapun tujuan guru mengajar harus disesuaikan dengan tujuan pendidikan nasional. Guru adalah sebagai pelaksanan tujuan pendidikan nasional.
2.    Semua polemik yang ada tidak mudah untuk diterima namun bagaimana seorang guru bisa menerima dan mencari solusi yang benar atas segala kemampuan, strategi dan ide yang dimiliki. Itulah yang terbaik.
3.    Pendidikan di Indonesia tidak bisa ditunda lagi, harus bisa menghasilkan generasi yang memiliki kompetensi spiritual, sosial, kognitif dan keterampilan. Gurulah yang diharapkan oleh pemerintah untuk bisa menciptakan generasi emas.
4.    Guru hendaknya memiliki idealisme sebagai seorang pendidik sejati. Tanpa melihat kebijakan politis apapun, hati nurani sebagai seorang pendidik harus tertanam padi diri guru. Mengajar bukan semata tugas tetapi merupakan investasi di akherat. Kesabaran, keilhlasan seorang guru serta kreativitas untuk mengatasi setiap permasalahan dalam mendidik pastilah akan membuahkan hasil. Untuk itu, guru harus siap  menyongsong dan mempersiapkan  :Generasi Indonesia Emas”.
5.    Siswa terbaik, pasti dihasilkan oleh seorang guru yang baik pula. Siswa yang baik pasti diolah dengan baik oleg guru yang baik. Siswa akan menjadikan guru sebagai tauladan yang baik.  Untuk itu, benarkanlan dan perbaikilah pengetahuan konsep keilmuan guru, dan empat kompetensi guru.
6.    Berprinsiplah bahwa “lebih baik mengolah sampah menjadi emas daripada mengolah emas menjadi sampah.” Maka, didiklah putra bangsa dengan segala kondisi dengan kesungguhan hati, keikhlasan, dan pengabdian untuk bekal di akherat.
7.    Agar guru luas wawasannya, jadikanlah membaca sebagai budaya. Bagaimana guru bisa tahu banyak hal jika tidak pernah membaca? Manfaatkanlah sumber belajar berupa internet, dan media lain. Gugah minat baca siswa.  Sudah terbukti nyata bahwa siswa yang pandai pasti banyak membaca.
8.    Berikanlah ilmu yang telah dimiliki dengan rekan guru lain. Bertukarpikiranlah. Bahas permasalahan bersama-sama. Hasil pemikiran banyak orang pasti lebih baik daripada hasil pemikiran sendiri. Ambil sisi positif dari setiap hal.
9.    Kurikulum 2013 baru disosialisasikan dalam empat minggu ini. Jangan buru-buru menilai, lihat dulu, pelajari, dan coba terapkan dulu.
10. Untuk berbagai masalah yang dihadapi guru, pemerintah tidak diam saja. Pasti ada solusi dalam setiap masalah. Pasti akan ada kebijakan yang diambil pemerintah untuk mengatasi setiap solusi. Dengan pikiran yang jernih, mari kita dukunng upaya pemerintah untuk membentuk generasi Indonesia emas yang taat, bermoral, berilmu dan terampil.
11.  Siapa yang mau ikut, ayo ikut. Yang tidak ikut kita tinggal.
Demikian kurang lebih pesan terakhir di acara penutupan Workshop Peningkatan Mutu Guru di Hotel Wijaya Kota Batu. Semoga bermanfaat untuk kita semua. Amin.
***
Komenter Anda

SABAR

SABAR (1)

        Sabar. Satu kata yang singkat namun sangat sulit untuk dilaksanakan. Namun, penulis akan sharing pengalaman bahwasannya sabar bisa dilatihkan pada diri sendiri. Selain itu, buah dari kesabaran sangatlah manis.  
        Siapa yang tidak mendapatkan ujian dan cobaan. Semua orang hidup pasti mendapatkan ujian. Memang, tingkat ujian masing-masing berbeda-beda. Namun, apabila tingkat kepasrahan pada diri sudah sangat kuat, tidak begitu sulit untuk bisa bersabar.
Suatu hari, saya pernah mendapatkan ujian dari Allah. Ujian itu adalah rasa teraniaya oleh pimpinan di temapat saya bekerja. Pimpinan saya, entah apa sebabnya, sangat membenci saya. Apapun yang saya lakukan pasti salah dihadapannya. Namun, sebagai orang yang mempunyai prinsip dan tujuan, saya tidak menghiraukan apapun ocehannya karena semua apa yang dikatakan sangat menyakitkan. Suatu hari, saya hendak mengrim naskah untuk lomba di Jakarta. Saya meminta tanda tangan darinya. Bukannya mendukung, eh dia malah mencaci maki. Dikatakannya saya sudah melangkahi dia karena tidak meminta izin terlebih dahulu. Dia pun tidak mau memberikan tanda tangannya.
       Apakah saya tidak jadi mengirimkan naskah tersebut? Tidak. Saya tetap mengirimkannya. Apa yang terjadi berikutnya? Saya terpanggil menjadi finalis. Sejak saat itu dia berubah menjadi baik kepada saya. Andai saya tidak sabar dan diam saja mendengarkan omelannya, andai saja saya tidak merasa teraniaya, mungkin allah tidak akan memberikan belas kasihnya.
        Itulah salah satu buah dari kesabaran dalam mengahdapi pimpinan yang sangat membenci kita. Semoga kesabaran senantiasa menghiasai hati kita. Tuntu saja banyak kisah lainnya. 
Bersambung....