ALIH TUGAS




Saya kuliah di jurusan bahasa Inggris UNESA. Jesa sekali setelah lulus saya bakal menjadi guru bahasa Inggris. Tahu apa yang terjadi? Entah bagaimana, saya tidak menjadi guru bahasa Inggris melainkan menjadi guru JURNALISTIK.


Lho Kok? Saya sedikit bisa menulis. Padahal sedikit sekali. Kebetulan sekali ada pelajaran jurnalistik di sekolah saya mengajar. LAlu guru senior saya pindah tugas. Entah karena apa, saya diminta mengantikan beliau. Ya... jadilah saya guru jurnalistik.


Kadang saya berpikir, ada enaknya juga memiliki kemampuan lain selain kemampuan mayor, karena saya bisa banyak ilmu. Tapi jika berpikir profesional, saya jadi setengah-setegah.


Diluar semua itu, saya menikmati saja apa yang saya terima. Disuruh megajar bahasa inggri saya terima, disuruh mengajar jurnalistik, tidak apa-apa. Yang terpenting, saya bisa berbuat untuk bangsa ini walau sedikit. Ya... siapa tahu saya bisa melahirkan penulis, wartawan dan profesi jurnalistik lainnya.


Foto ini adalah salah satu kegiatan pada kelas jurnalistik yaitu mengadakan lomba mading dan majalah. Ini para pemenangnya.

BERTEMU TOKOH IDOLA


Sejak membaca buku Laskar pelangi karya Andrea Hirata, Saya mengidolakan sosok guru yang bernama bu Muslimah. Penasaran sekali saya terhadap tokoh itu. Sampai-sampai saya berkhayal bertemu bu Muslimah. Ketika film Laskar Pelagi belum diputar di kotaku, saya berusaha mencari film tersebut di berbagai tempat, seperti di internet.

Siapa yang menyangka? Tepatnya tanggal 28 Nvember 2008 saya bertemu tokoh idola saya di Jakarta. Waktu itu saya bisa luluasa becakap-cakap dengan ibu Muslimah (bukan Cut Mini), bu Muslimah aslinya. Satu pesannya untukku"Ibu, jadilah guru yang mengesankan. Karena guru akan dikenang siswa sepanjang hidupnya. Ibu tidak pernah lupa guru TK nya kan?". Wah kata-kata itu sangat inspiratif. Saya ingin menjadi guru yang mengesankan.

Pengalaman Mengikuti LKG 2008




Senang sekali aku bisa terpilih menjadi finalis LKG 2008. Ketika qku hampir berputus asa, di akhir tahun 2008 aku terpanggil menjadi fnalis. Itu kesempatan pertamaku mengikuti LKG. Sungguh menyesankan bisa bertemu guru-guru hebat dari seluruh Indonesia dan terlebih lagi bisa bersama-sama SBY memperingati upacara hari guru dan PGRI. Ini foto saya bersama rekan-rekan guru.

FOTO GENERASI REOG











Tentang saya

Rustiani Widiasih

         Nama saya Rustiani Widiasih. Lahir di Pacitan pada tanggal 2 Nopember 1977.  Saya berasal dari sebuah desa di Kabupaten Pacitan tepatnya desa Bandar. Bagiku, desa kelahiran saya adalah tempat yang selalu saya rindukan dan juga tempat yang membuat saya bersedih karena selalu mengingatkan pada bapakku yang telah tiada. 
       Saya dibesarkan oleh orang tua yang sangat luar biasa. Bapak saya adalah seorang guru sejati. Mengapa saya bilang begitu? Karena bapak saya menjadi seorang guru dimanapun beliau berada.Di kantor, di sekolah, di masyarakat, di masjid, di keluarga besarnya dan dimanapun berada, beliau sangat diperlukan orang banyak karena pemikirannya yang cerdas, dewasa dan solusif. Aku bangga kepada bapakku. Bapak sangat mencintai profesinya dan juga dunia pendidikan. Bahkan, bapak meninggal pada saat menjalankan profesinya.
      Ibuku bagi prang lain adalah orang biasa saja. Dia hanya seorang ibu rumah tangga dengan pendidikan yang rendah karena SD saja tidak lulus. Namun bagiku, ibu adalah segalanya. Ibu mempunyai rasa asih atau penyayang kepada siapa saja terutama orang yang kekurangan. Ibu mempunyai banyak teman orang yang kekurangan. Orang-orang itu sungguh setia kepada ibu. Mereka dengan ringan tangan membantu ibu bekerja di ladang karena ibu sangat pengertian kepada mereka. Jika mereka pulang dari bekerja dirumah ibu, ibu selalu membawakan barang-barang apa saja yang mereka perlukan mulai dari kopi, beras, ataupun bumbu dapur.
  Semoga aku mewarisi kebaikan  kedua orang tuaku. Ibu mengajari aku akan arti kasih sayang. Ibu menginginkan aku menyadi prang yang penyayang kepada siapa saja. Dan karena itu ibu memberi nama WIDIASIH. Tentang namaku itu, ibu beeharap agar aku memiliki rasa kasih sayang kepada sesama. Dan begitulah kiranya. Aku sangat dekat dengan orang-orang yang berkekurangan. aku juga hobi berbagi dengan orang fakir. Aku sama sekali tidak butuh yanga namanya pujian atau pamrih. Aku mempunyai kepuasan betin tersendiri jika aku bisa berbagi dengan orang  fakir. Aku bercita-cita untuk bisa memberikan pekejaan kepada orang-orang itu. Jika lebaran tiba, aku rela tidak membeli pakaian dan segala kebutuhan dalam rangka menunjang penampilan demi bisa berbagi dengan mereka. Bahkan aku rela berhutang untuk berbagi. Kadang aku berdoa agar Allah menjadikan saya lantaran untuk memberikan RezekiNya kepada orang fakir.


         

       Itulah saya. Hobi saya adalah membaca, menulis dan mengajar. Saya menyukai ketiga hal tersebut. Saya berprofesi sebagai seorang guru.  Menjadi guru bukanlah suatu kebetulan. Menurut saya, itu adalah pilihan profesi dari Allah. Saya  menikah dengan Anton Kristianotoni dan dikaruniai 2 anak (Fahri Ahmad Fadhillah dan Azka Farhanta).
      Dua buah hati saya sangat istimewa. Saya mendidik anak saya agar menjadi anak yang berjiwa wirausaha, mandiri, dan sederhana.  Saya sekata dengan suami untuk mendidik anak-anak dengan memberikan bekali agama yang cukup sejak anak-anak. Maka, anak-anak saya saya sekolahkan di sekolah berbasis agama. Pendidikan beragama dan ketaan beribadah adalah suatu hal yang sangat penting bagi kami untuk anak-anak. Kami mengakuai bahwa ilmu keagamaan kami sangat sedikit  dan kami meminta bantuan pendidikan di sekolah untuk menanamkan pendidikan agama.
      Kami juga ingin menanamkan jiwa kewirausahaan kepada anak-anak. Mengapa? Jika mereka memiliki jiwa wirausaha, mereka dapat mempertahankan hidup dalam kondisi apapun. Sejak anak-anak, aku telah memperkenalkan pekerjaan berbasis wirausaha kepada anak-anak. Hasilnya? Alhamdulillah anakku yang besar sudah bisa menghsilkan uang sendiri dari berbagai usaha yaitu mengambar, berjualan dan lainnya.
     Kami juga mendidik anak-anak menjadi orang yang sederhana. Saya menamamkan pada diri anak-anak saya untuk menjadi orang yang kaya raya. Namun mereka harus sederhana. Mengapa harus kaya? Agar bisa berbuat banyak untuk membantu orang-orang yang membutuhkan pertolongan, agar bisa mnyekolahkan anak yang tidak mampu dan lain-lain. Tentang pentingnya kesederhanaan? Banyak sekali. Pada dasarnya Allah juga menyukai kesederhanaan bukan kemewahan. Orang-orang juga lebih senang jika melihat orang lain tampak sederhana daripada mewah. Kemewahan hanya akan membuat orang merasa iri, berburuk sangaka dan juga rendah diri. Aku mempunyai kisah tersendiri akan hal itu. Kelak akan aku tulis secara khusus akan hal itu.

     Aku dan suami sangat kompak dalam mendidik anak. Untuk anak, pemikiran kami hampir sama. Jika ada rezeki, kami mengajar anak-anak untuk  pergi ke tempat pariwisata. Aku memperkenalkan berbagai tempat wisata seperti pantai, telaga, gunung, tempat perbelanjaaan, goa, dan lain-lian. Bagi kami itu adalah hal yang sangat penting. Mengapa? Karena dengan itu kami berusaha untuk membukakan pintu kreativitas mereka.
     Pada awalnya, aku menganggap mengajar adalah hal yang sangat biasa dalam hidupku. Aku sering mengajar hanya sekedar mengajar. Bahkan, aku sering mengajar dan berharap bel segera berbunyi untuk istirahat atau pulang. Lala-lama, aku menikmati mengajar. 




     Aku selalu berkikir untuk menemukan teknik, metode dan terategi mengajar yang menarik bagi siswa saya. Dulu aku menemukan teknik mengajar hanya sekedar untuk keperluan lomba. Kini aku menemukan metode dan teknik pembelajaran untuk tujuan inovasi pembelajaran dan juga untuk meningkatkan kemudahan belajar bagi siswa. Setelah berhasil lalu aku tulis dan aku ikutlan lomba.
     Aku sering ditunji untuk menjadi MC. Sebenarnya aku tidak tahu apakah cukup baik dalam menjadi MC atau tidak. Namun semua tawaran yang diberikan kepadaku selalu aku terima.gi semua tawaran itu ada sarana untuk belajar. Aku yakin semakin sering aku menjadi MC, akan semakin bagus saja. Setiap  kali ditunjuk utuk menjadi MC, aku belajar dan terus belajar.

  Sebagai seorang guru, aku harus berhasil mengantarkan anak-anak meraih prestasi dan tentunya ku sendiri harus berprestasi. Tentang hal itu akan aku tulis pada kisah selanjutnya. Saya akan ceritakan pengalanmu menjadi:


1. Finalis Simposium Inovasi Pembelajaran Nasional Tahun 2004
2. Finalis Simpsium Inovasi pembelajaran Nasional Tahun 2005
3. Finalis Lomba Kreativitas Ilmiah Guru LIPI Tahun 2006
4. 10 Basar Lomba Mengulas karya sastra Depdiknas Tahun 2007
5. Juara 2 Guru berprestasi Tingkat Kabuaten Ponorogo Tahun 2007
6. Finalis Lomba Keberhasilan Guru Nasional Tahun 2008.
7. Finalis Lomba Kreativitas Ilmiah Guru LIPI Tahun 2012
8.Juaran harapan I Lomba Menulis Artikel Pendidikan Kabupatan Ponorogo Tahun 2013
9.10 Besar Lomba Menulis Marikel Pendidikan majalah Dinamika tahun 2013
10. Nominasi Best Practice Guru dalam Pembelajaran tahun 2014
11. Juara 3 Lomba Kreativitas Guru Tingkat Nasional Tahun 2014

   Sedangkan keberhasilanku dalam membimbing siswa adalah sebagai berikut:

  1. Juara 3 Lomba Cerpen IKIP PGRI Madiun
  2. Finalis Lomba Karya Tulis Lingkungan Hidup Tahun 2006 Depdiknas
  3. Finalis Lomba Karya Ilmiah Bidang IPA di Universitas Ahmad Dahlan
  4. Juara 2 Lomba Inovasi Pangan Tingkat SMA Se- Jawa Timur di Universitas Jember
  5. Team Mading Tebaik Pelajar Se- Ponorogo oleh Radio Romansa FM
  6. Juara Harapan 2 Lomba “English General Knowlwdge” di Unmuh Ponorogo.
  7.    Juara 3 Sayembara Cipta Puisi STKIP Ponorogo tahun 2013
  8. Finalis Lomba Karya Tulis Ilmiah Teknik Fisika ITS tahun 2014
  9. Juara harapan 1 Story telling  di STAIN Ponorogo tahun 2014
  10. Juara harapan 1 olimpiade bahasa Inggris  di STAIN Ponorogotahun 2014
  11. Juara Harapan 3 Speed Reading Contest di STKIP Ponorogo tahun 2014
  12. Juara 1 Lomba Menulis Artikel STKIP Ponorogo tahun 2014
  13. Juara 1 Lomba Menulis Cerpen STKIP Ponorogo tahun 2014
  14. Juara 2 Lomba Menulis Cerpen STKIP Ponorogo Tahun 2014


 Begitulah sekilas tentang RUSTIANI WIDIASIH. Belajar, Mengajar dan Berkarya adalah Mottoku. Salam kenal parapembaca!

Arti Sebuah Kekalahan

 KALAH


Orang bijak berkata,"Pemenang selalu jatuh tapi ia akan segera bangun lagi". Tidak masalah berapa kali anda terjatuh berapa kali pun. Itu akan memberikan kekuatan untuk berbenah diri. Jika Anda terjatuh dalam kegagalan maka segeralah bangkit.
Memang hal itu sulit sekali. Ada dua pilihan, jika menemukan kekalahan dalam hidup ini lalu berputus asa untuk bagkit dan berusaha lagi, maka ia tidak akan dapat kesempatan lagi untuk menjadi pemenang. Maka, mari bangkit dan ukir terus prestasi.

Arti Sebuah Kekalahan

Orang bijak berkata,"

Rabu, 30 September 2009

Hari pertamaku masuk sekolah


banyak tugas menanti
perangkat pembelajaran, membuat tulisan, memanti pengumuman, pembuatan kandang baru, pembenahan komputer, operasi amandel anak, dlll buanyak sekali.

Catatan Harian

Penantian

Sebulan dua bulan
aku terus menanti
sesuatu yang tidak pasti
sejuta harapan aku tumpuk
agar aku dapat hasil yang baik
seperti yang aku harapkan

Novel Anak

ANAK-ANAK SD BUNGA PINUS
Hilangnya lembu Pak Marto mengejutkan semua orang. Bagaimana bisa lembu yang sedang digembala menghilang begitu saja? Padahal, telah diikat tali pengikat sapi itu pada sebatang pohon. Menurut Pak Karto, lembu tersebut hilang di gunung Kuniran. Lembu yang telah diikat itu ditinggalnya merumput di lereng-lereng gunung Kuniran. Ketika ia hendak pulang sore hariya, ia tidak mendapati sapinya. Ia mencari kesana-kemari namun tidak juga ditemukannya. Akhirnya ia pulang tanpa sapi.
Memang, pada musim kemarau ini semua orang di desa Tosari kesulitan mendapatkan makanan ternak. Salah satu tempat yang kelihatan hijau adalah di gunung Kuniran. Maka Pak Marto merumput dan menggembala di gunung tersebut walau jaraknya cukup jauh dari desanya.
***
Tanah di sekitar desa Tosari rengkah (pecah-pecah karena kekeringan). Tetanaman dan rerumputan mengering kecoklatan. Pohon-pohon Waru yang biasanya menghijau, kini meranggas karena daun-daunnya dipangkas orang-orang untuk pakan ternak. Sumber-sumber air kering kerontang. Salah satu sumber yang masih mengalir hanyanlah belik (sumber air di kolam kecil) di bawah pohon Beringin yang berada di ujung desa Tosari. Itu pun harus dibagi-bagi dengan banyak orang.
Keadaan yang demikian itu meresahkan semua orang. Banyak orang kesulitan mendapatkan pakan (makanan) ternak, mendapatkan air untuk keperluan sehari-hari apalagi untuk bercocok tanam. Padahal, air merupakan kebutuhan vital (penting) bagi masyarakat yang sebagian besar adalah petani dan peternak sapi dan kambing. Barangkali hanya Rusti saja yang menyukai musin kemarau. Gadis kecil itu selalu menikmati gemerlapnya langit di malam hari. Bintang-bintang yang bertaburan dan berkelap-kelip tak jemu-jemunya ia pandang setiap malam. Sebuah pemandangan yang tidak didapatinya pada musim penghujan.
Pada bulan purnama, ia menghabiskan malamnya di halaman rumah. Ia menggelar tikar lalu membuat api unggun dengan ranting-ranting dan daun-daun kering. Jika tidak ingin sendirian saja, ia memanggil teman-temannnya untuk bergabung. Kentongan yang menggantung di teras surau (Musholla) dipukulnya sebagai isyarat panggilan untuk teman-temannya. Setelah berkumpul, mereka bermain, bernyanyi dan bercerita tentang kisah-kisah lucu dan kadang cerita horor.
”Kamu tahu, ke mana hilangnya sapi pak Marto?” tanya Nunuk, si pembual ulung. Semua anak menggelengkan kepala. ”Sapi itu dicuri yang mbaurekso (menguasai) gunung Kuniran untuk dijadikan tumbal (tebusan). Kalian tahu, gunung Kuniran ada penunggunya. Yang menunggu adalah raksasa buto ijo (hantu raksasa yang menakutkan dan jahat menurut kepercayaan orang Jawa) Buto ijo makan sapi bahkan juga suka makan anak kecil seperti kita”.
”O... begitu ya?” ucap Trisno sambil menggeserkan tempat duduknya mendekati Rusti, Nunuk dan Tutut. Trisno, walau seorang laki-laki, sangatlah penakut.
”Dengar ya. Aku mendapatkan cerita ini dari Mbak Sri. Dia dapat cerita dari temannya” tutur Nunuk penuh percaya diri. ”Hi... menakutkan. Jangan sampai kita pergi ke gunung Kuniran bisa-bisa kita dimakan buto ijo” kata Tutut sambil melingkarkan tangannya ke pundak Rusti.Demikianlah keempat anak tersebut menghabiskan malamnya hingga salah satu dari orang tua mereka memanggil untuk segera pulang. Jika sudah begitu, mereka baru meninggalkan tempat. Rustilah yang pulang paling akhir. Ia menggulung tikarnya lalu mematikan api unggun dengan memercikkan air di atasnya. Rusti tidak penakut seperti ketiga temannya. Kadang-kadang ia juga diminta untuk mengantarkan Tutut yang sangat penakut sampai di depan rumahnya.
Pada musim kemarau, angin malam sangatlah dingin. Dinginnya sampai menusuk kulit.Angin bertiup sangat kencang. Kadang menimbulkan suara yang aneh. Juga muncul suara menakutkan dari pohon-pohon yang saling bergesekan. Rusti seringkali menyusul tidur di kamar ibu, bapak dan adikknya yang masih bayi. Jika ia tidur di kamarnya sendiri, ia merasa kedinginan. Ia menindih tubuh bapaknya sampai tergeser ke pinggir sehingga ia mempunyai tempat yang hangat di dekat adiknya. Pernah suatu hari tubuh bapaknya sampai terjatuh dari tempat tidur. Untungnya, bapaknynya tidak sadar dari tidurnya sampai pagi.
Pada pagi hari, Rusti dan ketiga temannya bertemu di belik bawah pohon beringin. Mereka tidak langsung mandi. Alasannya, masih banyak orang dewasa yang menggunakan belik itu. Namun alasan yang lebih kuat adalah karena mereka masih merasa kedinginan dan malas untuk segera mandi. Buktinya, walau orang dewasa telah selesai mandi dan mengambil air, mereka masih saja enggan untuk segera mandi.
Trisno masih berselimut sarung kesayangannya. Tutut menggunakan baju pijamanya, Nunuk dan Rusti mengalungkan handuk di pundaknya. Mereka duduk di atas batu besar yang terletak tidak jauh dari belik. Mereka segera mandi jika matahari sudah mulai terbit atau salah satu orang tua dari anak tersebut meneriaki agar segera mandi. Trisno diminta untuk mandi terlebih dahulu. Setelah selesai, Rusti, Tutut dan Nunuk mandi bersama-sama. Pulangnya, Rusti harus membawa pulang timba kecil berisi air. Ia membawakan air ibunya untuk memasak.
Setelah mandi, mereka berganti pakaian lalu makan pagi seadanya. Mereka berangkat ke sekolah bersama-sama menyusuri jalanan berdebu. Sepatu mereka yang baru saja dicuci tidak tampak bersih lagi. Debu menempel pada sepatu sehingga warnanya kecoklatan. Sesekali mereka menepuk-nepuk sepatunya sehingga debu berhamburan dibawa angin.
Anak-anak desa itu selalu ceria, mereka tidak begitu dibebani dengan urusan pelajaran sekolah atau pekerjaan rumah. Bagi mereka, dunianya adalah bermain dan bertualang. Keempat anak tersebut sebenarnya tidaklah lahir pada tahun yang sama. Trisno adalah anak yang paling tua. Ia pernah tinggal kelas pada kelas dua sehingga ia berada di kelas yang sama dengan Rusti, Nunuk dan Tutut. Tutut adalah anak termuda, Ia masuk SD pada usia lima tahun. Oleh karenaya ia menjadi anak yang penakut dan manja. Rusti dan Nunuk lahir pada tahun yang sama.
Mereka berempat menjadi sahabat yang saling melengkapi. Jika ada Tutut yang manja dan penakut, maka ada pula Rusti yang tomboi dan pemberani. Ada Nunuk si pembual dan juga ada Triso yang selalu percaya begitu saja pada ucapan orang.
Pagi itu adalah hari Senin, semua siswa SD Bunga Pinus harus melaksanakan upacara bendera. Anak-anak berbaris dengan rapi, namun anak-anak yang menghadap ke Timur sangatlah gelisah. Matanya terpejam-pejam. Tangnnya seringkali berada di atas mata seperti sedang menghormat. Mereka menghindari tajamnya sorot matahari. Keringat mengalir di dahi dari balik topi merah putihnya. Anak-anak yang berada di barisan belakang berlindung pada teman yang berada di depannya. Mereka menundukkan tubuhnya.
Pada saat acara amanat upacara, pimpinan upacara memberi aba-aba istirahan di tempat. Lalu Bapak kepala sekolah, selaku pemberi amanat meminta siswa untuk diam sejenak. Anak-anak diperkenankan untuk duduk.
”Anak-anakku siswa dan siswi SDN Bunga Pinus yang saya cintai, di pagi yang cerah ini saya mengajak anak-anak untuk menjaga kesehatan. Pada musim kemarau seperti ini, di mana sulit untuk mendapatkan air, biasanya akan timbul berbagai penyakit kulit. Oleh karena itu saya harap anak-anak tetap menjaga kebersihan. Selain itu, ada pengumuman untuk siswa kelas tiga. Mulai minggu depan, Ibu guru kalian, Ibu Katmiati tidak bisa mengajar kalian lagi karena akan purna tugas (pensiun). Sebagai gantinya nanti, kalian akan diajar oleh guru baru dari kota...” tutur bapak kepala sekolah.
Anak-anak kelas tiga, yaitu Rusti dan kawan-kawan saling memandang. Mereka merasa sedih. Selama ini bu Katmi mengajar mereka dengan sabar sekali. Ia tidak pernah memberi pekerjaan rumah kepada siswanya. Ia selalu megajar dengan santai.
Selesai upacara bendera selesai, seperti biasanya anak-anak berbaris di depan kelas terlebih dahulu menjadi dua barisan. Barisan kanan dan barisan kiri. Ketua kelas di kelas tiga adalah Rusti. Ia Memberikan aba-aba dengan tegas. ”Siap grak. Lencang kanan grak. Tegak grak. Jalan ditempat grak. Henti grak.” Begitulah dia memberi aba-aba. Lalu ia memandangi barisannya. Dia memandang barisan di sebelah kanan dan kiri. Lalu memutuskan barisan mana yang boleh masuk terlebih dahulu. Barisan yang boleh masuk adalah barisan yang lebih rapi. ”Barisan kanan, masuk dahulu”. Jika ia berkata demikian, satu per satu siswa di barisan kanan memasuki kelas, lalu disusul siswa pada barisan kiri.
Setelah masuk kelas, mereka duduk di tempat masing-masing. Tidak lama kemudian Ibu Katmiati masuk kelas. Lalu spontan Rusti memimpin teman-temannya berdoa. Setelah berdoa, Ibu guru mengucapkan salam lalu mengabsen siswa satu per satu. Demikianlah rutinitas (kebiasaan) yang setiap pagi dijalani tanpa bosan dan enggan.
Kelas mereka bercat putih. Namun kini warnanya menjadi kekuningan karena telah memudar. Di atas papan tulis terpasang gambar presiden dan wakilnya. Selain itu ada gambar-gambar pahlawan seperti R.A Kartini, Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol dan Jendral Sudirman. Wajah-wajah pahlawan itu tidak asing lagi bagi anak-anak. Pada pelajaran sejarah, Ibu Katmi selalu menceritakan kisah kepahlawanan mereka. Selain gambar pahlawan, di dinding dekat meja guru terpasang jadwal mata pelajaran dan jadwal piket harian. Anak-anak harus melaksanakan tugas piket seperti yang telah dijadwalkan. Tugas piket itu adalah menyapu lantai dan menghapus papan tulis.
Ibu Katmiati memang sudah terihat tua. Ada keriput di wajah dan tangannya. Rambutnya tercampur antara hitam dan putih. Giginya ada yang ompong. Jika sudah siang, suaranya menjadi parau walau lantang pada pagi harinya. ”Anak-anak yang saya cintai, hari ini adalah hari terakhir saya mengajar kalian. Ibu akan pensiun. Usia ibu sudah 60 tahun. Sudah waktunya ibu digantikan oleh guru muda. Pesan saya, nikmatilah masa anak-anak kalian. Teruslah bermain, bernyanyi dan bertualang. Karena itulah dunia kalian....” Ucap Ibu Katmi mengawali pelajaran pada waktu itu. Ia memang guru yang sangat peduli degan dunia anak-anak. Karena alasan itu pula ia tidak memberi beban yang sangat berat kepada anak-anak. Ketika ia mengajar, anak-anak selau menikmatinya. Ia menjelaskan dengan sederhana tetapi justru mudah dipahami oleh siswa. Kemampuan itulah yang membuat anak-anak tidak merasa sulit dalam menangkap pelajaran.
”Hari ini saya tidak akan mengajar. Saya hanya akan bercakap-cakap dengan kalian semua” lanjut bu Katmi.
”Hore....” teriak anak satu kelas.
”Ibu akan bertanya tentang hobi dan cita-cita kalian. Anak-anak harus punya masa depan yang cerah. Masa depan yang cerah itu awalnya dari cita-cita yang tinggi. Ayo sekarang katakan apa hobi anak-anak? Lalu saya akan memberitahu apa kira-kita profesi yang sesuai dengan hobi kalian ”
”Hobi saya bercerita, Bu” kata Nunuk si pembual dengan keras.
”Itu hobi yang bagus. Kamu bisa menjadi pendongeng, penyiar atau peceramah kelak”
”Dia pembual, Bu” kata Agus si pembuat onar.
”Benarkah? Berarti pendongeng yang paling cocok untukmu, Nunuk. Karena mendongeng itu tidak harus benar-benar terjadi. Yang diceritakan boleh cerita rekaan”
”Hobi saya melakukan penjelajahan seperti di Pramuka itu, Bu” kata Rusti.
”Bagus. Besuk kamu bisa menjadi....”
”Mandor hutan, Bu” sela Agus lagi.”Ya. Agus benar. Selain itu, kau bisa menjadi penyelamat lingkungan. Beberapa tahun yang lalu ada seorang yang mendapatkan penghargaan Kalpataru dari Bapak Presiden karena berhasil menyelamatkan hutan dengan menanami pohon pinus”
”Kalau saya hobinya menyanyi, Bu” kata Tutut.
”Bagus. Kamu bisa menjai seorang penyanyi kelak. Lalu apa hobi kamu, Agus? Dari tadi kamu hanya mengomentari hobi temanmu”
”Aku ..... Aku.....” Agus tidak bisa menjawab karena dia belum memikirkan hobinya sendiri.
”Tidak punya hobi? Ibu kira kamu cocok untuk menjadi seorang komentator atau penilai”
”Betul....” teriak anak-anak membenarkan saran bu Katmi.
”Kalau kamu Trisno?” tanya bu Katmi melihat Trisno yang sejak awal hanya diam saja.
”Saya bingung, bu. Saya suka mendengarkan cerita teman-teman. Saya juga suka mendengarkan sandiwara radio. Saya juga suka mendengarkan lagu-lagu”
”Oh... Hobimu mendengarkan?”
”Dia bisa jadi dukun ya bu?” tanya Tutut
”Jangan menjadi dukun. Jadi saja penasihat spiritual atau paranormal. Menjadi pengacara juga bisa” tambah Agus si komentator.
Percakapan mereka sangat seru. Tidak lama kemudian bel istirahat berbunyi. Mereka beristirahat. Ada yang bermain di luar kelas, ada yang pergi ke warung Bu Siti, ada pula yang bergerombol di dalam kelas. Mereka yang bergerombol itu biasanya mendengarkan bualan Nunuk dengan cerita-cerita yang diciptakannya. Jika ada isu baru Nunuk selalu menceritakan kepada teman-teman. Anehnya, semua anak selalu senang mendengar ceritanya walau mereka tahu ceritanya itu kadang hanya dibuat-buat. Nunuk seperti mempunyai kekuatan untuk menarik perhatian teman-temannya.
Keterampilan Nunuk bercerita membuatnya memiliki banyak teman. Kerena, selain suka membual dia juga suka membicarakan kejelekan teman yang tidak sependapat dengannya. Topik yang sedang hangat dibahas pada waktu itu adalah tentang hilangnya sapi pak Marto.
Rusti dan Tutut tidak mau bergabung dengan gerombolan itu. Mereka selalu mendapatkan informasi terbaru karena rumahnya paling dekat dengan Nunuk sehingga semua informasi pasti sampai di telinga mereka paling awal. Trisno tidak bosan-bosannya mendengar cerita Nunuk walau berpuluh-puluh kali telah didengarnya. Ia benar-benar pendengar setia.
***
GURU BARU
Seorang lelaki memasuki ruang kelas tiga. Laki-laki itu masih muda. Bajunya sangat rapi. Rambutnya disisir dengan rapi pula. Begitu memasuki kelas, aroma harum tercium dari tubuhnya. Ia tampak segar dan gagah.Ia tersenyum dengan ramah memandangi para siswa. Senyum ramahnya membuat hati siswa menjadi berbunga-bunga.
“Selamat pagi, anak-anak?” ucap lelaki itu dengan suara yang merdu.
“Selamat pagi....” jawab anak-anak.
“Perkenalkan. Saya adalah guru baru kalian”
“O..... guru baru? Namanya siapa?” selidik Nunuk agar tidak ketinggalan info terbaru.
“Nama saya SIDIK PRAMONO” ucap pak guru sambil menuliskan namanya di papan tulis. “Panggil saja Pak Sidik.”
“Ya, Pak Sidik...” Anak –anak langsung mempraktikan.
Guru baru dan siswa-siswi kelas tiga itu lalu saling berkenalan. Pertemuan pertama mereka sangat mengesankan. Mereka langsung akrab seperti sudah pernah kenal sebelumnya. Anak-anak menganggap Pak Sidik tidak hanya sebagai seorang guru tetapi juga seorang kakak dan sahabat.
***
Kehadiran pak Sidik di SDN Bunga Pinus memberi warna yang berbeda. Semula, anak-anak tidak pernah senam pagi sebelum pelajaran dimulai. Pak Sidik mengajari senam Kesegaran Jasmani yang diiringi dengan musik. Hal itu membuat anak-anak gembira. Mereka menirukan setiap gerakan yang dicontohkan Pak Sidik. Dalam waktu satu minggu mereka sudah hafal gerakan senam. Tidak hanya itu, pada sore hari anak-anak yang berminat diajak latihan baris berbaris, pramuka dan juga berbagai jenis olah raga. Sekolah menjadi ramai sepanjang hari. Anak-anak menjadi termotivasi untuk selalu pergi ke sekolah. Mereka bisa menemukan pengalaman dan hal-hal baru.
Suatu hari Pak Sidik bertanya pada anak-anak didiknya.
“Apakah kalian merasa nyaman berada di kelas ini?”
“Senang Pak, tetapi kadang-kadang sedih juga karena kelasnya berdebu. Saya suka bersin-bersin jika terkena debu” ucap Tutut dengan manja.
“Huh dasar anak manja” olok Agus.
“Baiklah. Kalau bagitu bagaimana kalau kita besuk membersihkan kelas kita. Kebetulan besuk hari Minggu. Kita akan membuat kelas ini menjadi kelas yang indah dan nyaman, bagaiman?”
“Setuju....”
“Besuk bawalah peralatan untuk membersihkan kelas ini. Ada yang membawa ember, lap, kuas cat, sapu, kemucing dan peralatan lain yang kalian punya”
“Baik, Pak....”
Keesokan harinya anak-anak bersemangat pergi ke sekolah. Pak Sidik datang paling awal. Lalu Rusti dan ketiga sahabatnya datang menyusul karena rumah mereka paling dekat dengan sekolah. Tidak lama kemudian anak-anak lain datang satu per satu. Setelah lengkap mulailah pak Sidik memberi pengarahan.
“Selamat pagi semua!”
“Pagi, Pak....”
“Sudah mandi? “
“Belum, pak. Beliknya masih digunakan orang dewasa untuk mencuci” ucap Rusti.
“Ya, pak. Karena sekarang mahal air, hari minggu bonus tidak mandi” kata Nunuk.
“Ya saya tahu. Kalian belum mandi itu lebih baik karena kita akan terkena kotoran dan debu. Setelah selesai bersih-bersih baru kita mandi. Mari kita awali saja kegiatan kita dengan bacaan Basmallah. Semoga semua bisa lancar”
“Bismillahhirrahmannirrahim”
“Pertama mari kita pindahkan meja dan kursi ini keluar. Satu meja dianggat oleh empat anak. Satu kursi dianggap oleh dua anak. Cari pasangan masing-masing”
Dengan penuh semangat anak-anak memindahkan meja dan kursi keluar kelas. Suara mereka ramai sekali.
“Bagus anak-anak. Kaian bisa melakukan tugas dengan baik. Sekarang kita bagi tugas. Siswa yang membawa ember, menggambil air di belik. Siswa yang membawa kuas, mengecat dinding. Nanti saya ajari cara mengecat yang benar. Siswa yang membawa kemuceng, membersihkan jendela. Siswa yang membawa sapu, menyapu lantai. Siswa yang membawa kain pel, menanti temannya yang sedang mengambil air, lalu mengepel lantai. Kerjakan tugas masing-masing dengan baik. Ada yang ditanyakan?”
“Pak, saya membawa sabit. Karena setelah kerja bakti saya akan merumput. Apa yang bisa saya kerjakan?” tanya Trisno ketakutan.
“Kebetulan sekali ada yang membawa sabit. Ambillah pelepah pisang. Nanti bisa digunakan untuk membersihkan lantai”
Lalu anak-anak menjalankan tugas masing-masing dengan baik. Kebetulan Pak Kebon muncul saat itu sehingga bisa membantu mengecat dinding bagian atas.Beberapa jam kemudian ruang kelas tiga menjadi bersih dan tampak baru. Warna dinding yang semula kekuningan, kini dicat dengan warna biru muda yang cerah. Lantai berdebu telah berganti menjadi lantai yang bersih. Kaca-kaca jendela menjadi mengkilap dan bersih.
Kerja bakti selesai ketika matahari tepat di atas kepala. Sebelum pulang, Pak Sidik memberikan pengarahan kepada siswa.
“Saya mengucapkan terimakasih kepada kalian semua. Kalian sudah bekerja dengan hebat. Luar biasa. Kelas kita telah bersih sekarang. Namun, kerja kita belum selesai. Kita harus menjaga agar kelas ini selalu bersih. Untuk itu, mulai besuk kita sepakat untuk melepas sepatu ketika akan masuk kelas. Besuk kita akan membuat tempat sepatu dari pohon bambu. Oh ya. Masih ada satu hal lagi. Selain, menciptakan kelas yang bersih, kita juga akan menciptakan kelas yang indah. Kita bisa menempatkan vas bunga di atas meja guru. Untuk itu, pada mata pelajaran keterampilan nanti akan saya ajarkan keterampilan membuat bunga dari bahan-bahan yang bisa ditemukan di sekitar kita. Sekarang, karena hari sudah siang. Kalian boleh pulang. Sampai jumpa besuk pagi”
“Sampai jumpa, Pak...” jawab anak-anak serempak.
***
Pada bulan September, persediaan air semakin menipis. Udara sangat panas pada siang hari dan sangat dingin pada malam hari. Tanah kering berdebu dan terbang di bawa angin ke dedaunan dan rumah-rumah. Kulit manusia mengering dan telapak kaki menjadi pecah-pecah. Hal seperti itu juga terjadi pada kulit anak-anak SDN Bunga Pinus. Pak Sidik yang sangat perhatian itu sangat prihatin dengan keadaan tersebut. Ia tidak tega menyaksikan kulit siswa-siswinya bersisik, kotor dan dekil.
Suatu hari pak Sidik meminta anak-anak untuk membawa beberapa bahan seperti parutan kelapa, sabun mandi dan minyak kelapa. Semula anak-anak tidak mengerti untuk apa bahan-bahan itu. Namun anak-anak tidak pernah membantah ucapan pak Sidik karena mereka dipastikan akan mendapakan hal-hal yang baru.
Ternyata benar, anak-anak diberi penjelasan tentang kulit manusia.
“Kulit manusia sama seperti tumbuhan. Kulit juga membutuhkan makanan. Jika tidak, kulit menjadi kering dan pecah-pecah. Apalagi, pada musim kemarau seperti sekarang ini, dimana angin berhembus dengan kencang sehingga kulit menjadi kering. Selain itu, banyaknya debu yang menempel pada kulit juga menyebabkan kulit menjadi kotor. Oleh karena itu kulit kalian semua menjadi kering dan bersisik”
Anak-anak lalu melihat kulit masing-masing. Mereka malu melihatnya. Ada yang melingkarkan kakinya, ada yang menarik kaos kakinya dan ada pula yang menunduk.
“Kali ini saya akan mengajarkan pada kalian bagaimana cara merawat kulit. Sebenarnya ada cream khusus untuk kulit seperti hand body ini” kata pak Sidik sambil menunjukkan sebuah hand body kepada anak-anak.
“Oh kalau seperti itu kakakku juga punya pak” ucap Nunuk dengan bangga.
“Bagus. Itu bisa kau pakai setiap pagi. Jika tidak punya, bahan-bahan seperti yang telah engkau bawa yaitu minyak kelapa, kelapa yang sudah diparut dan sabun mandi bisa dipakai. Jika kalian membawa minyak kelapa, ambil minya secukupnya lalu oleskan pada lengan tangan dan kaki. Jika kalian membawa parutan kelapa, gosokkan pada kaki dan tangan, lalu bersihkan sisanya. Jika membawa sabun mandi, begini caranya. Basahi sabun dengan air, lalu gossokkan pada kaki dan kulit. Jangan dibilas dengan air. Nanti akan mengering sendiri. Di dalam sabun ada pelembabnya sehingga kaki kalian tidak akan bersisik”
“Wah.... Betul sekali, Pak. Kaki saya menjadi bersih” kata Rusti yang telah mengoleskan minyak kelapa ke kaki dan tangannya.
“Kaki saya jadi mengkilat!” ucap Trisno kegirangan setelah mengoleskan parutan kelapa ke kaki dan tangannya.
“Wow... harum....” ucap Nunuk sambil mencium tangannya karena ia mengoleskan sabun pada kaki dan tanggannya.
“Kalian sudah tahu bagaimana cara merawat kulit. Lakukan itu setiap hari sebelum sekolah”
“Ya Bapak.....”
***

CERITA ANAK

SURAT SRI LESTARI

Sahabatku Dita,

Aku senang sekali menerima suratmu. Ternyata, kamu masih ingat walau kita tidak menjadi teman sekelas lagi. Syukurlah suratmu bisa sampai di tanganku. Padahal, di amplop kamu hanya menulis : Untuk Sri Lestari di di tempat penampungan korban lumpur Sidoarjo. Itu karena, di sini akulah satu-satunya pemilik nama tersebut. Kabarku baik-baik saja. Begitu juga dengan keluargaku. Saat ini kami tinggal di tempat penampungan korban lumpur Pasar Baru. Kami tidur bersama-sama tanpa kamar. Untunglah Bapak bisa membeli kasur untuk tidur kami sekeluarga. Ada juga lho orang yang tidurnya beralas kardus dan tikar saja.

Di sini, di tempat penampungan ini aku harus sabar. Tidak ada yang tidak antri. Mandi, makan, dan buang air kecil pun harus antri. Selain itu, aku tidak merasa nyaman dan bebas. Ketika saya mau tidur, tetangga sebelah memutar radio keras sekali. Ketika orang lain tidur, saya tidak bisa bermain dan berbicara dengan keras pula.

Makan pun seadanya. Apa yang dimasak di dapur umum, itulah yang dimakan. Kalau belum kenyang, aku makan mie instant jika ada. Aku jarang membeli makanan karena bapak tidak punya banyak uang. Yang paling menyenangkan adalah jika ada orang yang mengajak kami makan bersama. Kadang-kadang orang-orang kaya datang ke sini membawa makanan. Mereka merayakan ulang tahun, melakukan bakti sosial atau sengaja ingin beramal. Saat seperti itulah saya bisa menikmati makan enak. Tidak hanya itu, sesekali ada juga kiriman dari orang kaya yang baik hati berupa makanan kecil dan kue-kue. Hem... nikmat benar aku memakannya.

Ada sekolah di tempat penampungan ini. Sekolahku sekarang tidak seperti sekolah kita dulu sebelum tertimbun lumpur. Dulu ada banyak buku di perpustakaan, meja dan kursi yang bagus serta gedung yang megah. Sekarang semuanya serba seadanya. Bahkan ada siswa kelas tertentu yang duduk di terpal yang digelar di lantai. Untungnya, saya tidak harus membayar biaya sekolah karena dibantu oleh para dermawan. Sehingga, bapak tidak harus repot memikirka biaya sekolah saya.

Aku senang ketika sekolahku mendapat kiriman buku-buku baru atau mendapat kunjungan mobil perpustakaan keliling. Hiburan kudapat dengan membaca cerita-cerita lucu atau detektif. Seru! Kadang-kadang juga ada kiriman CD film kartun atau lagu-lagu. Aku dan teman-teman melihatnya bersama-sama sepelang sekolah.

Selain itu, kadang juga ada bantuan berupa pakaian layak pakai, mukena, sarung, dan baju-baju baru. Ah.. Alangkah senang saya mendapatkannya. Sesekali ada juga kiriman berupa mainan dan selimut.

O ya, cita-cita kamu masih ingin menjadi seorang dokter? Sekarang aku berubah pikiran. Setelah adanya lumpur, aku tidak lagi bercita-cita menjadi dokter sepertimu. Dalam keadaan seperti ini, mana mungkin bapak bisa membayar sekolah dokter. Bapak tidak memiliki pekerjaan tetap sedangkan biaya sekolah dokter kan mahal. Aku bercita-cita menjadi orang kaya supaya bisa membeli rumah dan membantu orang miskin.

Kadang-kadang aku merasa sangat rindu kampung halaman. Di sana, kita dilahirkan, dibesarkan, bermain, bersekolah dan mengaji bersama. Ups! Aku ingat. Dulu, kita bermain di kolam ikan kakekmu. Kita memancing ikan lele bersama teman-teman. Sebelumnya, kita membagi tugas untuk membawa bahan pecel lele. Kamu yang membawa minyak goreng, aku membawa sambal, Sari membawa mentimun dan Dian yang menyediakan nasi putih. Lalu kita goreng lele itu di rumah Dian. Ingatkah kamu ketika kita membunuh lele-lele itu? He.. he... Dipukul, diinjak, dibanting, di sembelih tidak mati-mati. Akhirnya kita masukkan ke dalam air garam. Beberapa menit kemudian, lele pun mati kaku semua.

Kini tidak bisa lagi kita temukan semuanya. Kenangan yang indah itu telah hilang ditimbun lumpur. Tidak ada lagi yang bisa ditemukan di sana kecuali lautan lumpur. Sedih rasanya jika aku mengingat kenangan itu. Tapi, ... ah! Sedih tidak berguna. Semua sudah terjadi.

O ya. Salammu untuk teman-teman sudah saya sampaikan. Sari titip salam untukmu. Sedangkan Dian sekarang ikut bibinya di luar Jawa. Dulu ketika kau masih di sini ia masih memiliki ibu walau bapaknya telah meninggal. Sekarang, keduanya tiada. Ibunya juga telah meninggal dunia. Saya sedih melihat nasib Dian.

Hal itulah yang menguatkan dan memberi semangat hidupku. Dulu aku berpikir kalau aku adalah anak yang paling sial karena menjadi korban lumpur. Tetapi itu semua salah. Masih saja ada orang yang hidupnya tidak semujur aku.

Sekian dulu ya. Jika ada waktu datanglah ke sini. Jengguk kami semua. Itu sudah cukup untuk menguatkan hati kami.

Sahabatmu,

Sri Lestari

JILBAB UNTUK BU IFAH

Guru kelasku bernama bu Ifah. Ia baik dan sabar. Bu ifah memakai jilbab ketika mengajar. Namun jilbab yang ia pakai tidak sesuai dengan baju seragamnya. Pada hari senin dan selasa, baju bu Ifah berwarna coklat tua. Seharusnya jilbab bu ifah berwarna coklat muda atau coklat tua bermotif, namun bu ifah memakai jilbab warna kuning. Kadang-kadang jilbabnya berwarna hitam.

Pada hari Rabu dan Kamis, bu Ifah memakai baju warna kuning semacan seragan Pegawai Negeri kebanyakan. Seharusnya warna jilbab yang di pakai sesuai, namun yang di pakai adalah jibab warna hijau muda. Pada hari Jum’at, baju bu Ifah batik bermotif warna coklat dan putih. Menurutku, warna jilbab bu Ifah semestinya menyesuaikan dengan roknya, atau warna batiknya. Namun tidak demikian, bu Ifah memakai jilbab warna abu-abu. Sedangkan pada hari sabtu, bu Ifah memakai seragam pramuka. Nah... Ini baru serasi. Ia memakai jilbab untuk seragam pramuka.

Warna jilbab bu Ifah yang tidak sesuai itu sungguh mengangguku. Aku gemas melihatnya. Apa alasan bu Ifah tidak menyesuaikan warna jilbabnya aku tidak tahu. Mungkinkah bu Ifah tidak mengetahui warna apa yang cocok untuk bajunya? Mungkin juga karena bu Ifah tergesa-gesa dan tidak punya cukup waktu. Entahlah!

Aku ingin sekali mengatakan hal itu pada bu Ifah. Tapi..., apakah aku sopan mengatakannya? Bagaimana kalau marah? Beberapa hari ini aku memikirkan cara agar bu Ifah memakai jilbab dengan warna yang serasi. Aku bahkan membayangkan penampilan bu Ifah jika jilbabnya serasi dengan baju. Alangkah cantiknya!

Suatu siang, aku bertanya pada ibu tentang harga sebuah jilbab. Ternyata, harganya tidak mahal amat. Jika aku sedikit berhemat dengan mengurangi uang jajan, beberapa minggu aku bisa membeli sebuah jilbab. Aku ingin sekali membeli jilbab untuk bu Ifah walau belum tahu bagaimana cara memberikannya. Jika uangku telah terkumpul akan ku beli jilbab warna coklat untuk seragam hari Senin dan Selasa.

Setiap hari saya menyisihkan uang jajan. Aku membawa air minum dari rumah sehingga tidak perlu membeli di sekolah. Selain itu, aku makan pagi di rumah. Padahal, biasanya aku lebih senang makan pagi di kantin bersama teman-teman ketika istirahat. Dengan demikian, kadang uang sakuku tidak berkurang.

Setelah dua minggu, terkumpullah uangku untuk membeli sebuah jilbab. Aku merahasiakan apa yang ku lakukan ini pada ibu dan teman-teman. Semoga saja tidak ada yang mengetahuinya. Lalu, aku pergi ke toko jilbab. Kebetulan sekali letak toko tersebut ku lewati setiap hari sepulang sekolah. Di sana aku melihat jilbab warna coklat dengan motif bunga. Indah sekali! Tampaknya cocok untuk baju seragan bu Ifah pada hari Senin dan Selasa. Jilbab itu aku bungkus dengan rapi lalu ku masukkan ke dalam tas.

Setelah itu, aku kini bingung bagaimana cara memberikannya? Kapan saat yang tepat agar tidak ada yang mengetahui? Ups! Kebetulan sekali besuk adalah hai Senin. Jika aku berhasil memberikan jilbab itu, pasti bu Ifah akan memakainya pada hari Selasa.

Keesokan harinya aku memberanikan diriku untuk memberikan jilbab yang sudah ku beli dengan uangku sendiri. Aku sudah siap jika bu Ifah akan memarahiku. Sewaktu istirahat, aku memasukkan bungkusan jilbab itu ke dalam buku LKS sehingga tidak ada yang mengetahui apa yang ke bawa. Aku menuju kantor. Ku lihat dari jauh, di dalam ada guru lain. Lalu aku menanti beberapa saat.

Tidak lama kemudian bu Ifah keluar dari kantor.

”Bu Ifah...”, panggilku. Bu ifah menghentikan langkahnya. Aku mendekat, ”Bu, Ini untuk Bu Ifah”, kataku sambil menyerahkan sebuah bungkusan.

”Apa ini?”

”Di buka di rumah saja, Bu”

”Terimakasih”

Aku lalu pergi meninggalkan bu Ifah dan bergabung dengan teman-teman di kantin. Ya... kali ini aku makan pagi di kantin. Lega rasanya sudah memberikan jilbab itu. Namun aku juga cemas kalau-kalau bu Ifah tidak suka. Harapanku, semoga bu Ifah mau memakainya besuk.

Pada hari Selasa..., Bu Ifah memakai jilbab yang kuberikan! Bu Ifah tidak marah tetapi justru tampak senang. Kini bajunya tampak serasi dengan jilbabnya. Ia lebih anggun dan cantik! Ternyata serasi itu tidak harus mahal. Yang penting cocok! Bu Ifah tersenyun kepadaku aku pun demikian.

”Tumben, Bu Ifah pakai jilbab yang cocok dengan bajunya”, bisik Dewi yang duduk di sampingku. Aku hanya mengangguk sambil tersenyun puas. ”Siapa dulu dong yang memilihkan jilbab?”, batinku.

Sejak itu, bu Ifah selalu mamakai jilbab yang warnanya cocok dengan baju yang sedang di pakai.Mungkinkah itu karena aku telah memberi jilbab kepadanya? Entahlah!

**********************